Tuesday, May 1, 2012

Kasus di Sumatera


Kasus di Sumatera


Dampak buruk paling mutakhir dari illegal logging terjadi di kawasan Bahorok-Langkat, Sumatera Utara. Banjir bandang akibat penggundulan hutan terjadi pada minggu malam, 2 November 2003 pada pukul 21.55 Wib. Air bah yang datangnya dari hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Bahorok seperti menggerus wilayah sepanjang hulu sungai.

Korban meninggal yang teridentifikasi diperkirakan sebanyak 138 orang dan seratusan orang belum ditemukan.4 Hal ini akibat semakin berkurangnya luas tutupan hutan di Sumatera Utara, termasuk di wilayah perbatasan dengan Taman Nasional Gunueng Leuser.

Sumatera Utara memiliki luas wilayah sebesar 7.168.000 hektar setengahnya atau sekitar 3.675.918 hektar merupakan kawasan hutan. Namun luas wilayah hutan ini tidak dijaga kelestariannya. Sekitar 890.505,8 hektar sedang dalam kondisi rusak. Banyak pemilik izin perkayuan tidak melakukan penanaman kembali, di samping maraknya illegal logging.

Produksi hutan sebesar 8.987.961,51 m3 selama 5 tahun, berarti 1.797.592,302 m3 per tahun atau setara dengan 179.759,2 hektar per tahun. Jika dibandingkan dengan hasil kayu berdasarkan izin HPH, telah terjadi penebangan hutan sebesar 127.376,202 m3 atau setara dengan 1.273,762 hektar di luar HPH. Illegal logging ini mengakibatkan kerugian triliunan rupiah.

Dari data tersebut terlihat kerusakan hutan di Sumatera Utara sebesar 1.045.595,762 hektar (HPH dan produksi hutan). Namun berdasar data yang diolah dari berbagai media massa, masih terjadi kerusakan hutan lainnya diakibatkan pembakaran dan penebangan sebesar 165.001,15 hektar.
Sehingga dari 3.675.918 hektar hutan yang ada di Sumatera Utara, 1.367.643,15 hektar telah rusak. Hutan yang tersisa dan harus diselamatkan sebesar 2.308.274,85 hektar. Inilah salah satu penyebab banjir bah di Bahorok-Langkat, Sumatera Utara.

Tim investigasi Koalisi Ornop menemukan adanya tumpukan kayu bekas tebangan di lokasi kejadian. Tidak jauh dari lokasi bencana juga terdapat kawasan hutan muda bekas tebangan. Sementara di lokasi lain ditemukan adanya bekas tunggul kayu dan potongan kayu.

Selain Sumatera Utara, Riau pun harus menghadapi ancaman serupa. Menurut Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia (GI), akibat tingginya laju kerusakan hutan, luas hutan di Riau kini tinggal 800 ribu hektar, padahal pada 2001 masih 4 juta hektar. Saat ini, karena penyusutan hutan itu, bencana banjir makin sering terjadi. Tahun ini Riau diperkirakan mengalami kerugian Rp 1,12 triliun akibat dampak banjir.
5
Menurut Elfian, kerugian Riau akibat banjir pada periode 2003-2004 sebesar Rp 1,12 triliun terdiri dari kerugian langsung Rp 203 miliar dan kerugian tidak langsung Rp 920,4 miliar. Kerugian sebesar itu merupakan 57 persen dari total APBD Provinsi Riau. Akibatnya sebagian besar pembangunan di Riau hancur akibat banjir.

Elfian menunjuk makin menipisnya luas hutan sebagai penyebab makin seringnya datang banjir. Lebih lanjut Direktur Eksekutif GI tersebut menyatakan saat ini terdapat 36 titik alih fungsi hutan, yakni mengubah hutan lindung menjadi hutan produksi terbatas. Namun setelah menjadi hutan produksi terbatas, alih fungsi juga dilakukan menjadi hutan produksi dan seterusnya menjadi perkebunan.
Dari jumlah tersebut, 50 persen terdapat di hutan lindung. Celakanya tujuh titik alih fungsi terdapat di daerah yang paling parah terkena banjir, sehingga daerah tersebut di masa mendatang akan makin menderita.

Selain banjir, kerugian akibat perusakan hutan juga dirasakan sektor pertanian. Kerusakan hutan menyebabkan satwa-satwa seperti gajah sering mengamuk di areal pertanian dan perkebunan. Pada 2002, GI memperkirakan nilai kerugian Riau akibat amukan gajah terhadap pertanian dan perkebunan mencapai Rp 83 miliar.
Kerugian yang diderita Riau akibat banjir, tutur Elfian, jauh lebih besar dibandingkan pendapatan dari eksploitasi hutan. Dia mencontohkan pada 2003, dana dari sektor kehutanan yang masuk APBD hanya Rp 15,5 miliar. Bisa disimpulkan Riau sebenarnya sangat dirugikan dengan kebijakan melakukan alih fungsi hutan.

Karena itu, melihat begitu merugikannya dampak kerusakan hutan, Elfian menyarankan Pemprov Riau memilih kebijakan melestarikan hutan. GI memperkirakan jika hutan tersisa di Riau tidak diselamatkan, pada 2007 kerugian yang akan diderita Riau membengkak mencapai Rp 2,5 triliun. Untuk melestarikan hutan yang luasnya sudah sangat sedikit, Pemprov harus secepatnya mendeklarasikan gerakan anti praktik kejahatan kehutanan. Deklarasi itu harus melibatkan gubernur dan bupati secara langsung.
Aceh sedang mengalami ancaman! Kira-kira begitualh yang terjadi di Aceh. Bukan lagi serangan besar-besaran GAM atau Operasi Militer. Propinsi itu sejak awal telah ditengarai sebagai salah satu tempat pencurian kayu. Namun, apabila proyek pembangunan jalan tembus Ladia Galaska terealisir sempurna, praktek illegal logging makin mudah saja. Illegal logging bakal menemukan surganya yang baru di sekitar Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh.

Proyek sepanjang 470 km yang dimulai dari pantai barat Aceh Samudra Hindia ke pantai timurnya di Selat Malaka, dari kota Meulaboh-Takengon-Blangkajeren ke Peureulak. Dari pengamatan landsat telah ditemukan pada tahun 2000, menunjukkan proses perusakan hutan sudah terjadi di kiri kanan jalan.


Nabiel Makarim, Menteri Lingkungan Hidup, menunjukkan citra landsat pada 1973 di sepanjang jalan yang kini dijadikan jalur Ladia Galaska terjadi perambahan hutan di kiri kanan jalan meskipun belum terlalu parah seperti sekarang. Namun 37 tahun kemudian sepanjang jalur itu sudah terjadi penebangan hutan yang sangat luas.

Menurut dia, jika rencana pembangunan Ladia Galaska diteruskan salah satu dari dua hutan yang utuh di Indonesia akan hancur. Saat ini dari dua hutan di Indonesia yang masih terbilang utuh dan rusak parah adalah Leuser di Pulau Sumatera dan hutan Loren di Papua.
Nabiel juga menyebutkan pembangunan jalan yang dimaksudkan untuk membuka isolasi masyarakat Aceh kepada aktivitas ekonomi di Selat Malaka, tidak disertai feasibility study. Tidak mempertimbangkan jumlah rakyat yang bisa memanfatkan jalur itu. Menurutnya, alasan pembangunan jalan untuk membuka isolasi daerah terpencil, mengapa pembangunannya justru di daerah yang jarang penduduknya.

Selain berdampak negatif bagi lingkungan, jelas Nabiel, pembangunan Ladia Galaska juga berpengaruh buruk terhadap ekonomi, sosial dan keamanan di NAD. Pembukaan jalur daerah selatan Aceh ke arah Medan justru membuat daerah utara Aceh terisolir dan akan meningkatkan eksploitasi sumber daya hutan di selatan Aceh.

Sedangkan dampak sosialnya berupa akan terjadi peningkatan persaingan antar etnis. Masyarakat yang baru terbuka keterisolirannya berhadapan dengan masyarakat kota yang sangat agresif dari Medan. Sedangkan dari aspek keamanan, kata Nabiel, membuat Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bisa keluar-masuk kawasan hutan Leuser dari berbagai jalur di jalan Ladia Galaska. Artinya menambah beban TNI di berbagai titik rawan baru.


© 2004, ISAI
Tim Penulis: Ludhy Cahyana, Tri Mariyani Parlan    Tim Peneliti: Dyah Listyorini, Iwan Achmad Ambiya, Waryanto, Nanin Upiyanti, Juita Kartini    Diterbitkan oleh: Institut Studi Arus Informasi (ISAI)/Koalisi Media untuk Pemilu Bebas dan Adil serta didukung oleh Greencom.

No comments:

Post a Comment