Monday, March 12, 2012

Negeri Rambe: Persimpangan Peradaban


Negeri Rambe: Persimpangan Peradaban

Tano Rambe atau Tanah Rambe didirikan oleh Alang Pardosi, bermarga Pohan, dari Balige sebagai bagian dari tanah Baru yang dibukannya di bagian Barat arah Pesisir Sumatera Utara. Raja Alang Pardosi membuka kawasan tersebut setelah memutuskan untuk hijrah dari Balige akibat friksi keluarga.

Salah satu anaknya kemudian diketahui membuka wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Lobu Tua. Sebuah bandar yang dihuni oleh kebanyakan saudagar asing khususnya dari Tamil , India .
Rambe sendiri diyakini berasal dari sebuah buah tumbuhan yang banyak tumbuh di wilayah tersebut.

Buah Rambe tersebut dimakan oleh istri seorang pendatang dari Dolok Sanggul yang telah lama belum mempunyai anak. Ajaibnya, setelah mengkonsumsi buah tersebut ternyata memebri kesuburan baginya sehingga pendatang tersebut memutuskan untuk menetap di wilayah tersebut dan menamakannya menjadi Tanah Rambe.

Keberadaan mereka yang sebelumnya tidak disadari oleh pengusa setempat, Raja Alang Pardosi, akhirnya berakhir saat Raja Alang Pardosi mewajibkan beberapa ketentuan pajak ‘adat’ kepada yang bersangkutan.

Pendatang tersebuta yang bernama Si Namora dari marga Simamora akhirnya harus patuh dengan ketentuan tersebut bila mana dia masih berkeinginan untuk menetap di tempat tersebut. Beberapa lama berselang, saat daerah tersebut berkembang menjadi pemukiman yang ramai dan banyak dikunjungi orang, terjadilah friksi antara keluarga pendatanag Si Namora dengan anak-anaknya, di antaranya bernama Si Purba dengan keluarga penguasa, yakni Alang Pardosi.

Takdir kemudian mengharuskan kedua keluarga ini untuk bersatu saat putera-putera Si Namora menikah dengan putri-putri Raja Alang Pardosi. Ternyata hal tersebut tidak dapat menahan gelombang realitas kehidupan antara keduanya, sehingga beberapa kali Si Purba yang sekarang masuk dalam lingkaran penguasa di daerah tersebut, mengkudeta sang mertua dan bahkan mengusirnya dari kursi kerajaan. Namun beberapa kali pula Raja Alang Pardosi dapat memulihkan kekuasaannya.

Kapan berdirinya Tanah Rambe
Sulit untuk memprediksi tahun berdirinya Tanah Rambe tersebut. Namun bila kita mengambil sebuah perbandingan bahwa Barus didirikan oleh keturunan anak Raja Alang Pardosi melalui Guru Marsakkot, dan Barus telah eksis dan terdengar namanya sebelum abad ke-2 M saat Ptolemeus dari Mesir berkunjung untuk urusan dagang maka Tanah Rambe mungkin saja telah eksis sebelum tahun-tahun Masehi.

Selain bukti kuat dari dokumentasi perjalanan Ptolemeus tersebut di Tanah Rambe masih terdapat beberapa situs-situs kuno, yang nampaknya belum pernah dieksplorasi, seperti situs Istana Raja Alang Pardosi di Gotting, Tukka. Juga terdapat perkuburan kuno dan patung-patung yang terbuat dari batu dari zaman megalitikum yang sudah tidak dimengerti oleh penduduk setempat mengapa dan apa makna patung tersebut, dan sayangnya, terbengkalai dan menjadi sasaran incaran para bandit-bandit kolektor yang akan menjualnya ke toke-toke Cina di Medan.

Bandit-bandit tersebut sejak tahun 1995, dengan menggunakan tangan penduduk setempat, berkeliaran di tempat-tempat bersejarah dan mencurinya tanpa sepengatahuan penduduk, yang saban tahun sering menjadikannya sebagai taman wisata tradisional, atau setidaknya tanpa sepengetahuan si pemilik tanah.

Pencurian itu diyakini melanda ratusan patung-patung megalitikum yang diyakini penduduk masih menyimpan kekuatan gaib. Tahun 2005, sebuah pencurian patung megalitikum dari sebuah situs berhasil digagalkan penduduk, namun sayang patungnya berhasil dibawa kabur dan dijual dengan harga ratusan juta rupiah.

Untuk sekedar informasi, pencurian patung-patung bernilai tinggi dari zaman kuno, bukan saja melanda Tanah Rambe tapi juga di Dairi. Namun, usaha pencurian di Dairi berhasil dihentikan setelah sebuah harian daerah memberitakan tertangkapnya beberapa orang Siantar yang berkeliaran di Dairi memburu patung-patung yang dijual ke Eropa dengan harga 150-an juta perbuah.

Persimpangan Peradaban
Tanah Rambe sejak berdirinya merupakan daerah yang bersifat urban karena letak geografisnya yang berda dalam persimpangan jalan tradisional. Satu arah jalan menuju ke Toba, satu lagi ke Singkil dan yang terakhir ke Barus.

Di Gotting, Tukka, tempat istana Raja Alang Pardosi mendirikan istananya, merupakan persimpangan dua aliran air yang akhirnya membentuk dua sungai yaitu Aek Sisira yang  mengarah ke Singkil dan yang satu lagi bernama Aek Sirahar mengarah ke Barus. Dengan mengikuti aliran singai-sungai tersebut para saudagar dari Toba dan Dairi serta sebaliknya dapat menjual produksi pertanian ke daerah pesisir yang menjadi pusat perekonomian regional yakni Singkil dan Barus.

Dairi sebagai pusat produksi kemenyan dan kapur merupakan daerah kaya yang selalu membutuhkan Tanah Rambe sebagai persinggahan. Orang-orang Barus juga sangat membutuhkan Tanah Rambe sebagai persinggahan menuju Toba yang menjadi pusat leluhur mereka. Bahkan diyakini Tanah Rambe dengan nama Pakkat juga menjadi tempat persinggahan bagi pembeli-pembeli logam mulia, emas dari pusat tambangnya di Dolok Pinapan sejak dahulu kala.

Maka wajarlah bila masayarakat Rambe sangat plural dan berpikiran terbuka dengan pengaruh dan perubahan zaman. Setiap individu masyarakat di tempat ini bahkan menguasai dua bahasa sekaligus yang jarang terjadi di Tanah Batak, yakni bahasa Batak Toba dan Dairi. Bahkan menurut cerita, para orang-orang tua setempat juga dapat berbahasa Melayu Pesisir, Karo dan Singkil.

Akibat lain dari letak yang strategis ini adalah, karakteristik majemuk yang selalu dimiliki oleh masyarakat khususnya dalam hal adat. Dengan terdapatnya berbagai jenis masyarakat maka adat yang dipakai sering kali menjadi campuran dari adat-adat yang baku, seperti Dairi, Aceh Singkil, Toba dan juga Barus yang telah banyak dipengaruhi oleh adat Minang.

Pluralisme adat tersebut melahirnya sebuah bentuk masyarakat yang sangat terbuka dengan kebudayaan dan peradaban asing. Salah satu buktinya adalah perkuburan Cina kuno yang masih terdapat di Panigoran, sebuah pusat pemakaman setempat, di mana kuburan orang-orang Cina menyatu dengan kuburan orang-orang setempat.

Walau orang-orang Cina sudah tidak ada lagi di tempat ini baik itu karena banyak dari mereka telah pindah ke kota-kota lain di Indonesia yang kaya maupun karena orang-orang Cina tersebut telah hilang akibat berasimilasi dengan penduduk dengan memakai marga dan telah lupa dengan bahasa nenek moyangnya, namun kemajemukan tersebut masih terasa sampai sekarang.

Tanah Rambe sendiri, walau dibuka pertama sekali oleh marga Pohan (atau Pardosi) sekarang kebanyakan dihuni oleh marga Purba dan Simamora, karena paska perdamaian dengan Raja Alang Pardosi, Raja Purba diijinkan menetap di Tanah Rambe karena mempunyai istri boru Pardosi Pohan. Orang-orang Pardosi, sebagai pembuka tanah masih terdapat di Tanah Rambe dengan jumlah yang sedikit.

Di wilayah sekitar Tanah Rambe terdapat beberapa huta yang dihuni oleh marga-marga yang berbeda seperti Siniang-Laksa oleh marga Marbun, Huta Ambasang oleh marga Manalu dan lain sebagainya.

Tanah Rambe-Sebuah Situs Yang Belum Terjamah
Yang paling mengherankan dari Tanah Rambe ini adalah kekunoannya yang belum banyak terjamah oleh pakar-pakar arkeolog Indonesia . Padahal dengan kekayaan sejarah dan letaknya yang strategis dapat dipastikan bahwa di bawah perut bumi Tanah Rambe tersimpan benda-benda arkeologi yang sangat berharga. Dalam penelusuran penulis, banyak benda-benda pusaka yang dimiliki oleh masyarakat yang berasal dari nenek moyang masing-masing yang berbentuk ‘sangat aneh’ untuk ukuran setempat.

Misalnya anting-anting kuno, perhiasan-perhiasan yang bentuknya sangat artistik dan bentuknya aneh, pedang, pustaha laklak yang nampaknya tidak terurus oleh genarasi sekarang yang tidak berminat. Selain patung-patung megalitikum yang terbiarkan dan tak terurus karena penduduk tidak tahu siapa yang membangun dan apa fungsinya, di Tanah Rambe juga terdapat hunian-hunian lama atau huta-huta kuno yang sudah tidak berpenduduk lagi.

Sesekali, apabila petani mencoba menanaminya sering sekali menemukan benda-benda aneh yang sering kali menimbulkan kecurigaan mengenai keangkeran tempat tersebut. Padahal mungkin saja benda yang ditemukannya tersebut adalah benda arkeologi yang sangat mahal dan tempat tersebut merupakan hunian kuno orang-orang lama.

Karena letaknya yang strategis dan tempat persinggahan para pengelana, sudah barang tentu di sekitar jalan-jalan menuju tanah Rambe, sering sekali ditemukan benda-benda dalam bentuk batu dan logam yang diduga sebagai tempat persinggahan para pengelana dari kelelahan.

Argumentasi lainnya yang mendukung fakta-fakta kekayaan sejarah tersebut adalah terdapatnyaseorang tokoh sejarah di Tukka yang sangat berpengaruh dalam sejarah peradaban Batak secara keseluruhan. Di antaranya adalah Raja Tuktung Pardosi, cucu dari Raja Alang Pardosi.

Kemasyhuran Raja Tuktung, seperti yang dicatat di “Hikayat Raja Tuktung” itu diyakini sebagai cerminan dari tingginya peradaban Batak di zamannya yang sudah barang tentu meninggalkan jejak-jejak sejarah yang mengagumkan. Setinggi apakah dan secanggih apakah kebudayaan saat itu belum pernah digali oleh para penikmat-penikmat sejarah Indonesia yang sangat kaya itu.


Sumber:

No comments:

Post a Comment