Monday, March 12, 2012

KEBUDAYAAN PAKPAK DAN PETANI KOPI DI SIDIKALANG


KEBUDAYAAN PAKPAK DAN PETANI KOPI DI SIDIKALANG
BY
DWI THERESIA SIPANGKAR


Pendahuluan
Orang batak dewasa ini, untuk bagian terbesar mendiami daerah peguungan sumatra utara, mulai dari perbatasan daerah istemewa Aceh di uatara sampai  ke perbatasan dengan riau dan sumatra barat di sebelah selatan. Selain daripada itu, orang batak juga mendiami tanah datar yang berada di daerah pegunungan dengan pantai timur sumatra utara dan pantai barat sumatra utara. Dengan demikian, maka orang batak toba ini mendiami dataran tinggi karo, langkat hulu, deli hulu, serdang hulu, simalungun, dairi, toba, humbang, silindung, angkola, dan mandailing dan kabupaten tapanuli tengah.

Suatu hal yang menguntungkan bagi orang batak ialah bahwa sejak zaman sebelum kemerdekaan jaringan jalan raya telah mencapai sampai daerah ke pelosok – pelosok. Dengan demikian maka prasarana yang menghubungkan dan memperkenalkan orang batak dengan dunia luar telah tersedia.
Suku bangsa batak, lebih khusus terdiri dari sub – suku – suku bangsa :
1.    Karo yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi dataran tinggi karo, langkat hulu, deli hulu, serdang hulu, dan sebagian dari dairi
2.    Simalungun yang mendiami daerah induk simalungun
3.    Pakpak yang mendiami  daerah induk dairi
4.    Toba yang mendiami suatu daerah induk yang meliputi  daerah tepian danau toba, pulau samosir, dataran tinggi toba, daerah asahan, silindunng, daerah antara barus dengan sibolga dan daerah pegunungan pahae dan habinsaran
5.    Angkola mendiami daerah induk angkola dan sipirok sebagian dari sibolga dan batang toru dan bagian utara dari padang lawas
6.    Mandailing yang mendiami daerah induk mandailing, ulu, pakatan, dan bagian selatan dari padang lawas.

Pada masa sekarang, banyak orang batak dari berbagai sub – suku bangsa tersebut diatas menyebar ke lain – lain daerah, tidak hanya ke sumatra timur dan kota medan, tetapi juga ke lain tempat di indonesia terutama jawa khususnya jakarta.

Kabupaten Dairi merupakan salah satu dataran tinggi di propinsi Sumatera  Utara dengan ibukotanya Sidikalang, memiliki lahan pertanian dan hutan yang sangat luas, daerah ini di huni oleh beberapa suku yang hidup secara berdampingan antara lain suku Pak Pak yang diyakini suku asli daerah ini, juga suku Batak, Karo, Jawa dan lain lain.

Pada umumnya pekerjaan masyarakat sehari hari adalah kebanyakan bertani, berbagai macam tanaman yang mereka usahakan seperti kopi, sayuran, padi sawah dan darat, jagung, cacao, Jeruk, nilam dan lain sebagainya, diantara semua tanaman ini yang paling terkenal adalah tanaman  kopi, yang biasa disebut kopi Sidikalang. Areal produksi kopi robusta dan arabica terbesar di 13 Kecamatan di Kabupaten Dairi. Luas perkebunan kopi robusta adalah 14.117 Ha dengan produksi 6.7 ribu ton per tahun sedangkan perkebunan kopi arabica seluas berproduksi produksi 2.6 ribu tahun, menurut Dinas Komunikasi dan Informatika, Sumatera Utara.

     Pola pertanian yang dilakukan masyarakat secara umum masih secara tradisional walau ada beberapa daerah yang sudah memakai teknologi modern, dan menggunakan pupuk kimia. Seiring bertambahnya penduduk maka kebutuhan akan lahan pertanian juga meningkat, sehingga ada pembukaan kawasan hutan untuk lahan pertanian, hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat tentang fungsi hutan serta ketidakjelasan antara batas hutan dan lahan pertanian, serta lemahnya pengawasan dari pemerintah. Sama halnya dengan perkebunan kopi oleh para petani yang dari tahun ketahun terus bertambah, dimana beberapa areal perkebunan berada dalam kawasan hutan, sistem budidaya kopi di daerah ini juga belum begitu maksimal karena kurangnya pengetahuan mengenai budi daya kopi, seperti pemangkasan cabang, penggunaan tanaman pelindung, pemupukan dan pengomposan, serta pengetahuan mengenai hama dan penyakit tanaman.   Selain itu para petani dan pedagang, jarang sekali mendapat arahan atau pembelajaran tata cara pemeliharaan mutu kopi paska panen serta pengolahan kopi yang baik, dari berbagai faktor inilah nama kopi Sidikalang kian memudar.

Kondisi ini sangat penting dan mendesak untuk segera diperbaiki oleh berbagai pihak antara lain, pemerintah daerah, masyarakat petani kopi, pihak swasta dan lembaga swadaya masyarakat. Sehingga lingkungan terutama kawasan hutan tetap terjaga dan masyarakat mendapat maanfaat dari usaha perkebunan kopinya, sehingga citra kopi Sidikalang bisa semakin terkenal di dalam maupun luar negeri, karena kebanyakan pembeli dari luar negri mengutamakan kopi yang berwawasan lingkungan. 
1.    Kebudayaan pakpak
Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yakni di Kabupaten Dairi, Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Provinsi Aceh)
Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari :
1.    Pakpak Klasen (Kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara)
Suku pakpak klasen adalah Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah.
2.    Pakpak Simsim (Kabupaten Pakpak Bharat Sumatera Utara)
Suku pakpak simsim adalah Suku Pakpak yang berdomisili di Kabupaten Pakpak Bharat.
3.    Pakpak Boang (Kabupaten Singil dan kota Sabulusalam-Aceh)
Pakpak Boang adalah suku pakpak yang berdomisili di Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam.
4.    Pakpak Pegagan (Kabupaten Dairi Sumatera Utara)
Suku pakpak Pegagan adalah suku pakpak  yang bermukim di Sumbul sekitarnya.
5.    Pakpak Keppas (Kabupaten Dairi Sumatera Utara)
suku pakpak keppas adalah suku pakpak yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya.

Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni:
1.    Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang)
2.    Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak)

Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi.
A.    Sejarah Perkembangan dan Persebaran Kelompok Suku Bangsa Pakpak
Hingga saat artikel ini ditulis, belum ditemukan bukti yang autentik dan pasti tentang asal-usul dan sejarah persebaran orang Pakpak. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan beberapa variasi. Pertama, dikatakan bahwa orang Pakpak berasal dari India yakni pedagang-pedagang India yang menetap di Barus dan daerah Pantai Singkil dan selanjutnya masuk ke pedalaman sepanjang daerah Pakkat sampai ke Singkil dan beranak pinak menjadi orang Pakpak. Alasannya adalah bahwa adanya kebiasaan tradisional orang Pakpak dalam pembakaran tulang-belulang nenek moyang dan Barus sebagai daerah pantai dan pusat perdagangan berbatasan langsung dengan Tanoh Pakpak. Kedua, orang Pakpak berasal dari Batak Toba yang merantau ke Tanoh Pakpak. Alasannya karena adanya kesamaan struktur sosial dan kemiripan marga-marga seperti yang sudah dijelaskan diatas. Ketiga, orang Pakpak memang dari sejak zaman dahulu kala sudah ada. Alasannya didasarkan pada folklore dimana diceritakan adanya tiga zaman manusia di Tanoh Pakpak, yakni Zaman Tuara (manusia raksasa), zaman si Aji (manusia primitif) dan zaman manusia (homo sapien). Satu hal yang pasti umur masyarakat Pakpak itu hingga saat ini belum dapat ditentukan karena penemuan-penemuan bekas bekas tulang belulang yang dibakar dan mejan-mejan (patung batu) menunjukkan bahwa orang Pakpak sudah ada sejak Zaman Batu.

Sebagian orang Pakpak diperkirakan masuk ke Tanah Karo dan menetap disana. Ini dibuktikan dengan kedekatan bahasa antar Suku Karo dan Pakpak demikian juga marga misalnya Cibro (Sibero di Karo), Maha, Lingga (Sinulingga di Karo), dan lain-lain. Hal tersebut juga dikemukan seorang suku Karo yaitu Darwan Perangin-angin bahwa Ginting Sini Suka menurut cerita lisan Karo berasal dari Kelasen (Pakpak) berasal dari Lingga Raja di Pakpak. Sementara itu ada juga marga-marga Pakpak yang berasal dari Toba menetap di Tanoh Pakpak dan menjadi Raja Kuta seperti marga Kabeaken dari Habeahan (Pasaribu), marga Lembeng (Limbong), Sagala, Kaloko (Haloho), dan lain-lain.

Berdasarkan dialek dan wilayah persebarannya, Pakpak dapat diklasifikasikan menjadi lima bagian besar yang disebut Suak, yaitu:
1.Pakpak Simsim, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Simsim meliputi wilayah Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu. Marga-marganya antara lain Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung dan lain-lain.
2.Pakpak Keppas, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Sidikalang, Siteelu Nempu, Siempat Nempu, Silima Pungga-Pungga, Tanh Pine,, Parbuluan, Lae Hulung. Adapun marga-marganya yaitu Angkat, Bintang, Capah, Ujung, Berampu, Pasi, Maha, dan lain-lain.
3.Pakpak Pegagan, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Pegagan meliputi Sumbul, Tiga Baru, Silalahi, dan Tiga Lingga. Adapun marga-marganya yaitu Lingga, Matanari, Maibang, Kaloko, Manik Sikettang, dan lain-lain.
4.Pakpak Kelasen, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Kelasen meliputi wilayah Parlilitan, Pakkat, Barus dan Manduamas. Adapun marga-marganya misalnya Tumangger, Tinambunan, Turuten, Maharaja, Pinayungen, Anak Ampun, Berasa, Gajah, Ceun, Meka, Mungkur, Kesogihen dan lain-lain.
5.Pakpak Boang, yakni orang Pakpak yang menetap dan memilki hak ulayat di wilayah Boang meliputi Aceh Singkil yakni Simpang Kiri, Simpang Kanan, Lipat Kajang dan Kota Subulussalam. Adapun marga-marganya misalnya Saraan, Sambo, Bancin, Kombih, Penarik, dan lain-lain.

Marga (Raja) Matanari, Manik dan Lingga adalah keturunan Papak Suak Pegagan (disebut si Raja Gagan ataupun si Raja Api). Si Raja Api adalah salah seorang dari Pitu (7) Guru Pakpak Sindalanen (yakni keturunan Perbuahaji) . yang cukup terkenal ilmu kebatinannya (dukun yang disegani , ditakuti dan tempat belajar atau berguru ilmu kebatinan) diketahui melalui legenda yang cukup terkenal di daerah Pakpak, Karo Simalem dan mungkin juga di Gayo ..? (Alas). Apabila Pitu Guru Pakpak Sindelanan bersatu, maka dianggap sudah lengkaplah ilmu kebatinan yang dipelajari orang pada zaman dahulu, yakni meliputi:
1. Raja Api (Raja Gagan) di daerah Pakpak Suak Pegagan, adalah dukun (datu) yang mempunyai ilmu kebatinan Aliran Ilmu Tenaga Dalam, yang menyerupai tenaga Api (misalnya disebut: Gayung Api, apabila kena pukulanya akan terbakar atau gosong, Tinju Marulak, yakni justru orang yang memukulnya yang mengalami efek pukulan, dan lain lain), Ilmu kebatinan yang dikuasai dan dikembangkan si Raja Api dan keturunnya berkaitan dengan pembelaan diri, berkelahi, dan berperang melawan musuh.
2. Raja Angin di daerah Pakpak Suak Keppas, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan sperti tenaga angin. Kalau angin kuat berhembus (topan) dapat merobohkan yang kuat dan besar. Kalau angin berhembus lambat, tidak akan terasa dan tidak dapat dilihat, tetapi mereka ada. Jadi dapat tiba-tiba si Dukun (yang mempunyai ilmu ini) tiba-tiba ada di depan mata kita.
3. Raja Tawar pergi ke Tanah Karo Simalem, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan berkaitan dengan obat-obatan ramuan tradisional. Terbukti di daerah tanah Karo Simalem berkembang ilmu pengobatan Ramuan Tradisional, pengobatan Patah Tulang, luka terbakar dan lain lain, yang kadang kala lebih hebat dari pengobatan ilmu medis (kedokteran).
4. Raja Lae atau Lau atau Lawe yang pergi ke daerah Tanah Karo Simalem atau daerah Gayo-Alas. Lae = lau = lawe berarti air (bahasa suku Toba disebut aek). Raja Lae adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang dapat mendtangkan hujan, mencegah turun hujan di suatu tempat atau mengalihkan hujan dari satu tempat ke tempat lain (disebut Pawang Hujan).
5. Raja Aji di daerah Pakpak Suak Simsim sekitar kecamatan Kerajaan, Salak dan sekitarnya. Raja Aji adalah dukun yang mempunyai aliran ilmu Membuat dan Pengobatan penyakit Aji-ajian (Guna-guna, misalnya Aji Turtur, Gadam,Racun, dan lain lain).
6. Raja Besi di daerah Pakpak Suak Kellasen, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan alat-alat terbuat dari besi. Misalnya ilmu tahan (kebal) ditikam dengan pisau, kebal digergaji, terhindar dari atau kebal peluru senjata api, dan lain lain.
7. Raja Bisa di daerah Pakpak Suak Boang, adalah dukun yang mempunyai ilmu kebatinan yang berhubungan dengan pembuatan dan Pengobatan yang ditimbulkan oleh Bisa, missal bisa ular, kalajengking, lipan, laba-laba, dll

Setelah si Raja Api mempunyai keturunan 3 orang anak laki-laki, maka salah seorang putranya diberi nama Raja Matanari (berasal dari arti Matahari). Si Raja Api menginginkan ilmu/tenaga kebatinan yang dimiliki putranya harus melebihi tenga Api seperti yang telah dimilikinya. Keinginan si Raja Api, putranya harus mempunyai ilmu kebatinan/tenaga dalam menyerupai tenaga (kekuatan) Matahari.

Pada mulanya Pakpak Pegagan (si Raja Api), bapa dan kakeknya adalah manusia Nomade (mendapat makanan dari alam, hanya memanen hasil hutan dan hasil berburu binatang, menangkap ikan dan tinggal berpindah-pindah). Diduga mereka pertama sekali tinggal sekitar hutan Lae Rias dan Lae Pondom, sehingga perkampungan mereka yang pertama diyakini adalah di sekitar Lae Rias di hulu (takal) sungai Lae Patuk, yakni daerah di atas daerah Silalahi. Kuburan si Raja Api dan orangtuanya serta beberapa keturunannya Raja Matanari diduga disekitar hutan Lae Rias, yang menurut Legenda disebut daerah Sembahan (keramat) Simergerahgah. Simergerahgah adalah mpung si Perbuahaji (yang memperanakkan si Raja Api = Pakpak Pegagan) keturunan orang/suku Imigran dari India yang masuk dari daerah Barus.

Pakpak Suak Pegagan hanya ada tiga (3) marga yaitu Raja Matanari, Raja Manik dan Raja Lingga.
Sesuai dengan perkembangan kebudayaan, zaman dan sejarah akhirnya masing-masing keturunan 3 putra si Raja Api Pakpak suak Pegagan menempati daerah Balna Sikaben-kabeng dan Kuta Gugungserta sekitarnya (keturunan Raja Matanari), daerah Kuta Manik dan Kuta Raja serta sekitarnya (Raja Manik).dan daerah Kuta Singa dan Kuta Posong serta sekitarnya (Raja Lingga). Kuta (kampung) yang lain adalah perkembangan (pertambahan) pada generasi berikutnya.

Kali ini saya coba membuat resensi buku sejarah silsilah marga Manik yang berasal dari Pakpak Dairi,buku ini ditulis oleh Bp.Mansehat Manik,S.Pd salah seorang keturunan marga Manik dari Pakpak yang saat ini masih menjabat sebagai Ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat juga anggota Majelis Pusat Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).

Selama ini pihak keturunan Raja Borbor ataupun yang lebih kecilnya lagi keturunan Silau Raja dari Toba selalu mengklaim bahawa semua marga yang berbunyi Manik entah dari Toba,Damanik di Simalungun,Karo-Karo Manik di Karo dan Manik di Pakpak Dairi seakan-akan membuat sebutan “manik” adalah Hak Ekslusif dari pihak Toba semata.

Diceritakan dalam Sejarah Pihak Pakpak maka asal mereka adalah dari India Selatan yaitu dari Indika Tondal ke Muara Tapus dekat Barus lalu berkembang di Tanah Pakpak dan menjadi Suku Pakpak.Pada dasarnya mereka sudah mempunyai marga sejak dari negeri asal namun kemudian membentuk marga baru yang tidak jauh berbeda dengan marga aslinya.Tidak semua Orang Pakpak berdiam di atas Tanah Dairi namun mereka juga berdiaspora,meninggalkan negerinya dan menetap di daerah baru.
1. Sebagian tinggal di Tanah Pakpak dan menajadi Suku Pakpak “Situkak Rube:,”Sipungkah Kuta” dan “Sukut Ni Talun” di Tanah Pakpak.
2. Sebagian ada pergi merantau ke daerah lain,membentuk komunitas baru.Dia tahu asalnya dari Pakpak dan diakui bahwa Pakpak adalah sukunya namun sudah menjadi marga di suku lain.
3. Ada juga yang merantau lalu mengganti Nama dan Marga dengan kata lain telah mengganti identitasnya.

Diceritakan bahwa Nenek Moyang awal Pakpak adalah Kada dan Lona yang pergi meninggalkan kampungnya di India lalu terdampar di Pantai Barus dan terus masuk hingga ke Tanah Dairi,dari pernikahan mereka mempunyai anak yang diberi nama HYANG.Hyang adalah nama yang dikeramatkan di Pakpak.
Hyang pun besar dan kemudian menikah dengan Putri Raja Barus dan mempunyai 7 orang Putra dan 1 orang Putri yaitu :

1. Mahaji
2. Perbaju Bigo
3. Ranggar Jodi
4. Mpu Bada
5. Raja Pako
6. Bata
7. Sanggar
8. Suari (Putri)

     Pada urutan ke 4 terdapat nama Mpu Bada,Mpu Bada adalah yang terbesar dari pada saudara-saudaranya semua,bahkan dari pihak Toba pun kadangkala mengklaim bahwa Mpu Bada adalah Keturunan dari Parna dari marga Sigalingging,gimana bisa?sedangkan pada sejarah sudah jelas-jelas bahwa Mpu Bada adalah anak ke 4 dari Hyang..makanya perlu hati-hati jika memperhatikan pembalikan fakta sejarah yang sering dilakukan oleh Pihak Toba dewasa ini.

Anak Sulung,Mahaji mempunyai Kerajaan di Banua Harhar yang mana saat ini dikenal dengan nama Hulu Lae Kombih,Kecamatan Siempat Rube. Parbaju Bigo pergi ke arah Timur dan membentuk Kerajaan Simbllo di Silaan,saat ini dikenal dengan Kecamatan STTU Julu. Ranggar Jodi pergi ke arah Utara dan membentuk Kerajaan yang bertempat di Buku Tinambun dengan nama Kerajaan Jodi Buah Leuh dan Nangan Nantampuk Emas,saat ini masuk Kecamatan STTU Jehe. Mpu Bada pergi ke arah Barat melintasi Lae Cinendang lalu tinggal di Mpung Si Mbentar Baju. Raja Pako pergi ke arah Timur Laut membentuk Kerajaan Si Raja Pako dan bermukim di Sicike-cike.

Bata pergi ke arah Selatan dan menikah kemudian hanya mempunyai seorang Putri yang menikah dengan Putra Keturunan Tuan Nahkoda Raja.Dari sini menurunkan marga Tinambunen, Tumangger, Maharaja, Turuten, Pinanyungen dan Anak Ampun.

Sanggir pergi ke arah Selatan tp lebih jauh daripada Bata dan mmbentuk Kerajaan di sana,dipercaya menjadi nenek moyang marga Meka,Mungkur dan Kelasen. Suari Menikah dengan Putra Raja Barus dan memdiam di Lebbuh Ntua.

Marga Manik diturunkan oleh Mpu Bada yang mempunyai 4 orang anak yaitu :
1. Tndang
2. Rea sekarang menjadi Banurea
3. Manik
4. Permencuari yang kemudian menurunkan marga Boang Menalu dan Bancin.

B.    Adat Istiadat serta organisasi sosial Suku Pakpak
Masyarakat Pakpak mengenal hubungan Peradatan “Sulang Silima” yang agak mirip dengan “Dalihan Natolu” di masyarakat Toba dan “Sangkep Enggeloh/Rakut Sitellu” di masyarakat Karo. Adapun unsur sulang silima itu adalah:
a.Sukut;
b.Dengan sebeltek Si kaka-en (Saudara sekandung yang lebih tua)
c.Dengan sebeltek Si kedek-en (Saudara sekandung yang lebih muda)
d.Kula-kula/ puang (Kelompok pihak pengantin perempuan)
e.Berru (Kelompok pihak pengantin laki-laki).

Ada beberapa jenis Upacara Adat masyarakat Pakpak dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:
1.Kerja Njahat (Upacara Dukacita)
Misalnya Upacara Kematian (males bulung simbernaik, males bulung buluh, males bulung sampula), Upacara Mengankat Tulang Belulang (mengokal tulan) dan Upacara Membakar Tulang Belulang (menutung tulan).
2.Kerja Baik (Upacara Sukacita)
Misalnya Upacara Kehamilan (memerre nakan pagit), Upacara Kelahiran (mangan balbal dan mengakeni), Upacara Masa Anak-Anak (mengebat, mergosting), Upacara Masa Remaja (mertakil/sunat, pendidien/baptis, meluah/naik sidi), Upacara Masa Dewasa, Upacara Perkawinan (merbayo) dan Upacara Memberi Makan Orang Tua (menerbeb).
3.Upacara-Upacara Lain
Misalnya Upacara Mendegger Uruk, Upacara Merintis Lahan (menoto), Upacara Memepuh Babah/Merkottas, Upacara Pembakaran Lahan (menghabani), Upacara Menjelang Penanaman Padi (menanda tahun), Upacara Mengusir Hama (mengkuda-kudai), Upacara Syukuran Panen (memerre kembaen).

Masyarakat Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu:
a.Sitari-tari (Merbayo atau Sinima-nima), merupakan bentuk yang dianggap paling baik atau ideal karena hak dan kewajiban pengantin laki-laki dan perempuan telah terpenuhi.
b.Sohom-sohom, upacaranya sederhana dan dihadiri keluarga terdekat saja, semua unsur adat terpenuhi tetapi secara ekonomi lebih kecil.
c.Menama, disini pihak keluarga perempuan tidak setuju, sehingga dicari jalan lain dengan kawin lari, sehingga sebagai tanda rasa bersalah pengantin cukup membawa makanan (nakan sada mbari) sebagai tanda minta maaf dan pada suatu saat nanti mereka akan mengadati.
d.Mengrampas, artinya mengambil paksa isteri orang lain, sanksi untuk laki-laki adalah membayar mas kawin yang tidak mempunyai batasan.
e.Mencukung, hampi sama dengan mengrampas.
f.Mengeke, mengawini janda dari abang atau adik laki-laki.
g.Mengalih, seorang laki-laki mengawini janda baik bekas istri abang atau adiknya maupun istri orang lain.

Dalam merbayo (Upacara Perkawinan) dikenal beberapa tahapan, yaitu:
1.Mengirit/ Mengindangi (Meminang)
2.Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin)
3.Mengkata Utang (Menentukan Mas Kawin)
4.Merbayo (Pesta Peresmian)
5.Balik Ulbas

Pandangan hidup masyarakat Batak Pakpak Dairi yang menjadi pegangan menjalani hidup ini bersumber dari Sangkp Ngglluh yang artinya Pelindung Hidup. Sangkp Ngglluh bagi masyarakat batak dairi adalah Nilai Budaya yang menjadi sumber sikap perilaku dalam kehidupan mereka bersosial budaya. Nama saja sudah pelindung hidup berarti Batak Pakpak Dairi meyakini bahwa dengan melaksanakan peri kehidupan berdasarkan Sangkp Ngglluh mereka akan selalu aman dan sejahtera.

Sangkp Ngglluh dalam tiga bentuk yaitu : Kula – kula atau Puang, Dengan Siboltok dan Berru. Dengan Siboltok adalah kawan semarga. Kula – kula adalah keluarga asal istri dan Berru adalah keluarga pengambil istri. Sistem kekerabatan batak pakpak dairi masih satu prisip dengan Dalihan Na Tolu.

Realisasi sikap prilaku berdasarkan Sangkp Ngglluh tadi di sebut Sangkp Adat atau Pelindung Adat, atau sering disebut Sulang Silima. Disebut sulang silima karena sikap prilaku pradatan di tuangkan dalam 5 bentuk persulangan atau perolehan seperti parjambaran pada Batak Toba. Kelima bentuk persulangan tersebut adalah : Prrisang – isang adalah kepala hewan adat dalam keadaan utuh untuk sukut atau tuan rumah yang menjadi kegiatan kerja adat. Prtulan Tngngah seperti Soit pada batak toba bagian kiri adalah perolehan untuk anak sulung dari yang berpesta Prtulan Tngngah seperti Soit nabolon pada Batak Toba, bagian kanan adalah perolehan untuk Kula-kula dari yang berpesta. Prrekurekur seperti ihur – ihur pada Batak Toba adalah perolehan untuk anak bungsu dari semua marga dari yang berpesta. Prtakal pggu adalah perolehan untuk Brru.

Perolehan persulangan ini adalah gambaran penghormatan terhadap pribadi atau kelompok kekerabatan. Sejajar dengan pemberian persulangan, demikian pulalah sikap penghormatan dari masyarakat yang turut terlibat dalam pesta, termasuk di dalamnya akan hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukan dalam kelompok keluarga.

Dalam perolehan mahar kawin pun atau yang di sebut tokor Brru adalah merupakan gambaran pula dari sistem kemasyarakatan Batak Pakpak Dairi.
Tokor brru ini pun terbagi atas 5 pula yaitu:
a.  Kssukuton seperti hasuhutan di Toba
b. Upah Turah seperti pamarai pada Batak Toba adalah perolehan untuk bapa tua atau bapa uda
c.  Mndedeh adalah perolehan kepada bibi atau namboru seperti di Toba
d. Upah puhun adalah perolehan untuk tulang
e. Upah mpung adalah perolehan untuk mpung sukut atau seperti ompung suhut pada masyarakat Batak Toba.
Demikianlah sepintas sistem kemasyarakatan Batak Pakpak Dairi yang prinsipnya sama dengan Dalihan Na Tolu. Adat yang diadatkan, dalam berbagai sebutan pertuturan sesuai dengan hukum adat di daerah suku pakpak.

Pada tulisan terdahulu, pada garis besarnya ialah mengenai sebagian kecil tentang sebutan pertuturan di antara 2 ( dua) orang yang terlibat di dalam suatu percakapan mengenai marga yang akhirnya tercetuslah suatu bentuk pertuturan, demikian sekilas tentang dalihan sitolu (tungku nan tiga) kemudian dilanjutkan dengan prdllikan (tungku nan lima) yang menjadi diadatkan, hal tersebut kini masing-masing akan lebih diperluas sebagimana yang diuraikan pada tulian yang lain.

i.    Istilah Kekerabatan Suku Batak Pakpak
Istilah Kekerabatan Ego dengan Saudara Inti dan Keluarga Sekandung (Sinina)
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Bapa (Ayah), Inang (Ibu), Kaka/Abang (Kakak lk. Abang), Dedahen/Anggi (Adik laki-laki/adik pr.), Turang (Kakak/Adik pr. ), Mpung/Poli (Kakek), Mpung Daberru (Nenek), Patua (Sdr lk. tertua Ayah), Nantua (Istri Sdr lk. tertua Ayah), Tonga (Sdr lk. tengah Ayah), Nan Tonga (Istri Sdr lk. tengah Ayah), Papun (Sdr lk. termuda Ayah). Nangampun (Istri Sdr lk. termuda Ayah), Inanguda (Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Panguda (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih muda), Nan Tua (Sdr pr. Ibu yg lebih tua), Patua (Suami Sdr pr. Ibu yg lebih tua)

Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Berrunya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Turang (Sdr Pr), Silih (Suami Sdr Pr), Beberre (Anak Sdr Pr), Berru (Anak Pr. Ego), Kela (Menantu Lk), Namberru (Sdri Ayah), Mamberru (Suami Sdri Ayah), Impal (Anak lk Sdri Ayah), Turang (Anak Pr .Sdri Ayah), Mamberru (Mertua lk. Sdri Ego), Namberru (Mertua Pr. Sdri Ego).

Istilah Kekerabatan Ego dengan Kelompok Puangnya
Istilah-istilah kekerabatan yang dikenal yaitu Puhun (Sdr Lk Ibu), Nampuhun (Istri Sdr Lk Ibu), Impal (Anak Lk/Pr Sdr Lk. Ibu), Sinisapo (Istri Ego), Silih (Sdr Lk Istri), Bayongku (Istri Sdr Lk Istri Ego), Puhun (Mertua Lk), Nampuhun (Mertua Pr), Kalak Purmaen (Menantu Pr), Purmaen (Anak Sdr Lk Istri Ego).
ii.    Struktur Kemasyarakatannya
Masyarakat terdiri dari atas Marga-marga (65 marga) yang mendiami masing-masing kawasan hak tanah ulayat yang merupakan satu kesatuan dengan hidupnya dipimpin oleh Pertaki kemudian diatasnya adalah AUR yang dipimpin seorang Raja.

Struktur kemasyarakatan tersebut diletakkan pada SULANG SILIMA yang terdiri dari pada PRISANG-ISANG (Sukut) Pertualang tengah (Saudara-saudara tengah) PEREKUR-EKUR (Siampunan/bungsu) PERBETEKKEN (berru) dan PUNCA NDIADEP (Puang kula-kula). Pembagian status ini mempunyai peranan penting di dalam kemasyarakatan terutama berkaitan dengan status seseorang yang harus termasuk di dalam Sulang Silima tersebut. Pertaki mempunyai peranan yang sangat luas seperti pepatah mengatakan “Bana bilalang Bana birru, Bana ulubang bana guru” mempunyai kelebihan sebagai Panglima Perang, Raja Adat dan sebagai Guru yang menjadi suri teladan serta panutan bagi masyarakatnya.

C.    Kesenian Suku Pakpak

•    Alat Kesenian
Masyarakat Pakpak mempunyai alat kesenian yang dipelihara sejak nenek moyang yang terdiri dari : Gerantung (tidak terdapat didaerah-daerah lain) Gung, Kalondang, Sarune, Sordam, Kucapi, Genggong, Genderang (sembilan buah) dan lain-lain. Alat kesenian ini bisa milik perorangan dan juga milik bersama.

•    Seni Tari
Tari dalam Bahasa Pakpak disebut “Tatak” yang dalam Bahasa Toba disebut “Tortor” dan “Bahasa Karo” disebut “ La ‘ndek”. Tarian tradisional Pakpak sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari, misalnya Tatak Memupu/ Menapu Kopi, Tatak Mendedah, Tatak Renggisa, Tatak Balang Cikua, Tatak Garo-Garo, Tatak Tirismo Lae Bangkuang, Tatak Mersulangat, Tatak Menerser Page, Tatak Muat Page, Tatak Adat, Tatak Mendedohi Takal-Takal, dan lain-lain. Selain itu, dikenal juga seni bela diri misalnya moccak dan tabbus.

•    Seni Musik
Seni musik yaitu seni alat musik dan seni vokal. Seni alat musik misalnya Kalondang, Genderang, Gung Sada Rabaan, Kucapi, Sordam, Lobat, Kettuk, Gerantung, dan lain-lain. Seni vokal diantaranya odong-odong dan nangen. Selain itu, seni vokal juga sudah semakin dikembangkan sekarang ini, diantaranya lagu paling dikenal yaitu Cikala le Pong Pong, Delleng Sitinjo, Lae Une, Nan Tampuk Mas, dan lain-lain.

•    Makanan Tradisional
Kuliner Jenis-jenis makanan tradisional misalnya Pelleng (ada perbedaan dalam resep dan bentuk serta penyajian dari pelleng Pegagan dan Simsim) nasi yang dilumat dengan sendok dan berwarna kuning, Ginaru Ncor, Nditak (Tepung beras dicampur kelapa parut dan gula putih lalu dikepal dengan tangan), Pinahpah (padi muda yang dipipihkan), Ginustung, Sagun-Sagun (Tepung beras yang digongseng dengan gula pasir dan kelapa parut), Sambal Jeruk (durian yang diasamkan), Ikan Bingkis, dan lain-lain.

•    Kerajinan Tangan
Kerajinan tangan suku Pakpak sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu dengan adanya Mejan Batu (sejenis patung yang terbuat dari batu) yang terdapat hampir disetiap kuta. Selain itu ada juga “membayu” yaitu menganyam tikar, bakul, kirang (keranjang) dan lain sebagainya yang terbuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sawah. Selain itu kerajina rotan dan bambu juga banyak dikembangkan misalnya kursi, sangkar burung, bubu, tampi, juga keranjang. Kerajinan lainnya yaitu terutama di daerah Kelasen yaitu “meneppa” yaitu pandai besi terutama meneppa golok (pisau dan parang), pedang, kujur (tombak), cangkul, cuncun dan lain-lain.

•    Pakaian Adat dan Rumah Adat
Pakaian adat masyarakat Pakpak cenderung berwarna hitam. Untuk laki-laki (daholi) adalah baju lengan panjang dengan kerah mirip kerah Mandarin kemudian ada garis warna merah pada ujung tangan, pada daerah kancing baju, dan pada daerah lain sebagai tambahan. Untuk penutup kepala dipakai oles (kain adat) yang mempunyai rambu (rumbai) berwarna merah atau kuning yang dibentuk seperti peci dengan rambu kearah samping depan. Celana warna hitam dengan ukuran ¾ dipakai dengan mandar (sarung) sebagai penutup celana. Biasanya laki-laki menempatkan golok (parang) di pinggang sebagai aksesoris tambahan.

Untuk perempuan (perempun) memakai saong (penutup kepala) dengan bentuk “cudur” atau mengerecut ke bagian belakang. Posisi rambu olesnya berada di depan, bajunya juga berwarna hitam lengan panjang dengan hiasan payet berwarna kuning di depan, dibelakang dan dibagian ujung lengan. Untuk rok dipakai oles yang berwarna hitam dan ikat pinggang. Sebagai aksesoris tambahan pada tangan disematkan ucang-ucang (tas kecil) dan pada dada disematkan hiasan berwrna kuning keemasan.
•    Rumah Adat Pakpak

Bentuk rumah Pakpak mempunyai ciri tersendiri yaitu atapnya berbentuk melengkung (ndenggal). Hal ini diumpamakan “petarik-tarik mparas igongken ndenggal” artinya berani memikul resiko apabila sesuatu sudah dikerjakan dan berani mempertahankan sesuatu yang telah diperbuat.

Rumat adat mempunyai fungsi sebagai tempat musyawarah mengenai masalah-masalah kemasyarakatan dan merupakan tempat alat-alat kesenian, sedangkan untuk tempat anak muda serta tamu disediakan rumah tersendiri yang disebut “Bale” dan untuk rapat-rapat biasa dan tempat latihan-latihan kesenian, sedangkan untuk musyawarah dalam bentuk besar dipakai “Kerunggun”.

Rumah Adat pakpak ini sekarang ini masih banyak dilestarikan seperti pada gapura-gapura selamat datang dan gapura-gapura perkantoran, sedangnkan berupa bangunan yang masih dapat kita lihat seperti Museum Gedung Nasional di Sidikalang dan beberapa perkantoran di daerah Dairi dan Pakpak Bharat.
Rumah Adat masyarakat Pakpak disebut Sapo Jojong, yaitu sebuah rumah panggung terdiri dari ijuk sebagai atap dengan atap yang bertingkat dua. Ornamen utamanya terdiri dari ukiran atau lukisan yang agak mirip dengan rumah adat Karo maupun Toba. Diatas pintu rumah biasanya ada gambar sepasang cicak dan payudara wanita yang melambangkan kesuburan. Bentuk rumah adat Pakpak cenderung mirip dengan rumah adat Karo.

•    Peninggalan arkeologi terdapat di pakpak barat  
Di pakpak barat terdapat sebuah patung manusia ( mejan). Patung manusia tersebut terdapat di kompleks pertulanen merga manik di desa kecupak I, kecamatan pargetteng – getteng sengkut. Salah satu mejan yang terdapat dikompleks tersebut berukuran besar dipahat dengan posisi sikap duduk. Selain itu juga terdapat artefak lainnya seperti pertulanen / parabun, patung angsa, dan pahatan cecak pada tutup wadah.
Adapun salah satu patung manusia yang digambarkan adalah sosok laki – laki menunggang gajah. Bagian tangannya memegang bagian punggung gajah. Badannya digambarkan tegak, bagian leher hingga kepala hilang, sedangkan bagian kakinya digambarkan dittekuk menjepit badan binatang yang ditungganginya. Dan patung – patung manusia lainnya, masih terdapat di pakpak barat.

D.    Religi atau Sistem Kepercayaan
Pada saat ini masyarakat Pakpak telah memeluk Agama Islam dan Kristen, walaupun sebelumnya sangat kuat terhadap kepercayaan animisme (pelebegu) namun hal ini menunjukkan perobahan yang sangat cepat atas kepercayaan ini, walaupun masih ada kepercayaan-kepercayaan tertentu. Toleransi antara pemeluk Agama tersebut, tinggi karena diikat oleh kekeluargaan.

E.    Bahasa dan Sastra di Suku Pakpak
Etnis Pakpak sejak dahulu telah mempunyai aksara yang tertulis dalam buku yang disebut Lapihen. Dalam buku Lapihen ini terhimpun bermacam-macam catatan dalam bentuk mantera-mantera, religius dan lain-lain dalam bahasa daerah Pakpak. Bahasa ini masih tetap dipakai sebagai bahasa sehari-hari.

Kesusastraan juga dikenal dalam adat Pakpak, terutama peribahasa dan pantun. Biasanya peribahasa berisi anjuran dan nasihat sedangkan pantun juga berisi anjuran dan nasihat meskipun ada pantun jenaka. Misalnya peribahsa yaitu ipalkoh sangkalen mengena penggel artinya dipukul talenan telinga terasa, maknanya yaitu untuk kita selalu menuruti, was-was dan tanggap terhadap nasihat yang berguna yang diberikan oleh orang yang lebih berpengalaman. Contoh pantu yaitu sada lubang ni sige, sada ma ngo mahan gerrit-gerriten, tah soh mi ladang dike pe, ulang ma ngo mbernit-mberniten artinya kemana[un kita merantau semoga tetap sehat selalu. Prosa juga lumayan berkembang ditandai dengan banyaknya cerita-cerita legenda yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi seterusnya. Contoh cerita rakyat Pakpak yaitu Cerita Simbuyak-buyak yang dikenal luas dalam masyarakat Kelasen, Cerita Nan Tampuk Mas yang dikenal masyarakat Keppas.

2.    Petani Kopi
Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor. Permasalahan petani pada umumnya masih mengusahakan tanaman kopi secara bersama yaitu kopi robusta dan kopi arabika. Tanaman kopi robusta 40%  mendominasi lahan – lahan yang cocok untuk budidaya kopi arabika. Kopi robusta pada umumnya sudah lebih tua dan perolehan harga lebih rendah dibandingkan kopi arabika dengan nilai jual yang lebih tinggi.

Pada saat ini kopi robusta di indonesia sudah lebih dari 95%, sedang selebihnya adalah kopi arabika dan jenis lainnya. Meskipun kopi robusta semula di tanam dan diusahakan oleh perkebunan besar, namun perkembangannya tanaman ini lebih banyak ditanam oleh masyarakat biasa.

Kopi adalah salah satu andalan sektor pertanian Kabupaten Dairi. Produk ini sudah menembus pasar lokal maupun pasar ekspor. Petani mengetahui informasi untuk membudidayakan usaha tani kopi arabika atau kopi robusta dari berbagai sumber informasi yang berbeda. Keputusan petani kopi mengadopsi informasi budidayakan kopi robika dan kopi robusta dipengaruhi oleh karakteristik sosial – ekonomi petani itu sendiri dan tentunya terdapat perbedaan karakteristik antara petani kopi robusta dan petani kopi arabika.

Perkembangan areal tanaman kopi rakyat yang cukup pesat di Indonesia khususnya di daerah sidikalang , perlu didukung dengan kesiapan sarana dan metoda pengolahan yang cocok untuk kondisi petani sehingga mereka mampu menghasilkan biji kopi dengan mutu seperti yang dipersyaratkan oleh Standar Nasional Indonesia. Adanya jaminan mutu yang pasti, diikuti dengan ketersediaannya dalam jumlah yang cukup dan pasokan yang tepat waktu serta berkelanjutan merupakan beberapa prasyarat yang dibutuhkan agar biji kopi rakyat dapat dipasarkan pada tingkat harga yang menguntungkan.

Untuk memenuhi prasyarat di atas, pengolahan kopi rakyat harus dilakukan dengan tepat waktu, tepat cara dan tepat jumlah. Buah kopi hasil panen, seperti halnya produk pertanian yang lain, perlu segera diolah menjadi bentuk akhir yang stabil agar aman untuk disimpan dalam jangka waktu tertentu. Kriteria mutu biji kopi yang meliputi aspek fisik, citarasa dan kebersihan serta aspek keseragaman dan konsistensi sangat ditentukan oleh perlakuan pada setiap tahapan proses produksinya. Oleh karena itu, tahapan proses dan spesifikasi peralatan pengolahan kopi yang menjamin kepastian mutu harus didefinisikan secara jelas. Demikian juga, perubahan mutu yang terjadi pada setiap tahapan proses perlu dimonitor secara rutin supaya pada saat terjadi penyimpangan dapat dikoreksi secara cepat dan tepat. Sebagai langkah akhir, upaya perbaikan mutu akan mendapatkan hasil yang optimal jika disertai dengan mekanisme tata niaga kopi rakyat yang berorientasi pada mutu.

Untuk mendukung era agroindustri di masa datang, sudah saatnya upaya perbaikan mutu biji kopi dilakukan secara terintegrasi dengan pengembangan industri sekundernya. Dari total produksi biji kopi nasional yang mencapai 600.000 ton per tahun, hanya 20% yang diolah dan dipasarkan dalam bentuk sekundernya antara lain kopi sangrai, kopi bubuk, kopi cepat saji dan beberapa produk turunan lainnya. Padahal, pengembangan produk yang demikian dapat memberikan nilai tambah yang lebih besar, membuka peluang pasar dan menyerap tenaga kerja di pedesaan.

Berikut ini merupakan penjelasan petunjuk praktis teknologi pengolahan kopi untuk menghasilkan produk primer dan produk sekunder, dan merupakan rangkuman hasil penelitian Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia sejak lima tahun terakhir ini. Hasil penelitian yang telah dicapai telah diuji dalam skala praktek dan diantaranya sudah beroperasi pada skala komersial khususnya untuk skala UKM
i.    Panen
Biji kopi yang bermutu baik dan disukai konsumen berasal dari buah kopi yang sudah masak. Ukuran kematangan buah secara visual ditandai oleh perubahan warna kulit buah. Kulit buah terdiri satu lapisan tipis mempunyai warna hijau tua saat buah masih muda, kuning saat setengah masak dan berubah menjadi warna merah saat masak penuh . Warna tersebut akan berubah menjadi kehitam-hitaman setelah masa masak penuh terlampui [over ripe]. Kematangan buah kopi juga dapat dilihat dari kekearasan dan komposisi senyawa gula di dalam daging buah. Buah kopi masak mempunyai daging buah lunak dan berlendir serta mengandung senyawa gula yang relatif tinggi sehingga rasanya manis. Sebaliknya, daging buah muda sedikit keras, tidak berlendir dan rasanya tidak manis karena senyawa gula belum terbentuk secara maksimal. Sedangkan, kandungan lendir pada buah yang terlalu masak cenderung berkurang karena sebagian senyawa gula dan pektin sudah terurai secara alami akibat proses respirasi [Rothfos, 1980]. Secara teknis, panen buah masak memberikan beberapa keuntungan dibandingkan panen buah kopi muda antara lain [Sivetz and Desrorier, 1979; Rothfos, 1980] :
1.    Mudah diproses karena kulitnya mudah terkelupas.
2.    Rendeman hasil [perbandingan berat biji kopi beras per berat buah segar] lebih tinggi
3.    Biji kopi lebih bernas sehingga ukuran biji lebih besar [tidak pipih]
4.    Waktu pengeringan lebih cepat
5.    Warna biji dan citarasanya lebih baik
Buah kopi masak hasil panen disortasi secara teliti untuk memisahkan buah yang superior [masak, bernas dan seragam] dari buah inferior [cacat, hitam, pecah, berlubang dan terserang hama/penyakit]. Kotoran seperti daun, ranting, tanah dan kerikil harus dibuang karena benda-benda tersebut dapat merusak mesin pengupas. Cara sortasi ini dilakukan langsung di kebun sesudah panen selesai. Jika panen dilakukan secara kolektif, seluruh tenaga pemanen secara bersama-sama melakukan sortasi hasil panen yang dikumpulkan di suatu tempat tertentu di dalam kebun. Buah merah terpilih [superior] diolah dengan metoda pengolahan semi-basah supaya diperoleh biji kopi HS kering dengan tampilan yang bagus, sedang buah campuran hijau-kuning-merah diolah dengan cara pengolahan kering. Hasil pengolahan dari keduanya disajikan. Buah kopi segar hasil sortasi sebaiknya langsung diolah untuk mendapatkan hasil yang optimal, baik dari segi mutu [terutama citarasa] maupun kemudahan proses berikutnya. Buah kopi yang tersimpan di dalam karung plastik atau sak selama lebih dari 36 jam akan menyebabkan pra-fermentasi sehingga aroma dan citarasa biji kopi menjadi kurang baik dan berbau busuk [stink]. Demikian juga, penampilan fisik bijinya juga menjadi agak kusam.
ii.    Pengupasan kuliah buah
Proses pengolahan semi-basah diawali dengan pengupasan kulit buah dengan mesin mengupas [pulper] tipe silinder. Pengupasan kulit buah berlangsung di dalam celah di antara permukaan silinder yang berputar [rotor] dan permukaan pisau yang diam [stator]. Silinder mempunyai profil permukaan bertonjolan atau sering disebut “ buble plate “ dan terbuat dari bahan logam lunak jenis tembaga. Silinder digerakkan oleh sebuah motor bakar atau motor diesel. Mesin pengupas tipe kecil dengan kapasitas 200 – 300 kg buah kopi per jam digerakkan dengan motor bakar bensin 5 PK. Alat ini juga bisa dioperasikan secara manual [tanpa bantuan mesin], namun kapasitasnya turun menjadi hanya 80 – 100 kg buah kopi per jam. Mesin ini dapat digunakan oleh petani secara individu atau kelompok kecil petani yang terdiri atas 5 – 10 anggota. Sedang untuk kelompok tani yang agak besar dengan anggota lebih dari 25 orang sebaiknya menggunakan mesin pengupas dengan kapasitas 1.000 kg per jam. Mesin ini digerakkan dengan sebuah mesin diesel 9 PK.

Pengupasan buah kopi umumnya dilakukan dengan menyemprotkan air ke dalam silinder bersama dengan buah yang akan dikupas. Penggunaan air sebaiknya diatur sehemat mungkin disesuaikan dengan ketersediaan air dan mutu hasil. Jika mengikuti proses pengolahan basah secara penuh, konsumsi air dapat mencapai 7 - 9 m3 per ton buah kopi yang diolah. Untuk proses semi-basah, konsumsi air sebaiknya tidak lebih dari 3 m3 per ton buah. Aliran air berfungsi untuk membantu mekanisme pengaliran buah kopi di dalam silinder dan sekaligus membersihkan lapisan lendir. Lapisan air juga berfungsi untuk mengurangi tekanan geseran silinder terhadap buah kopi sehingga kulit tanduknya tidak pecah.

Kinerja mesin pengupas sangat tergantung pada kemasakan buah, keseragaman ukuran buah, jumlah air proses dan celah [gap] antara rotor dan stator. Mesin akan berfungsi dengan baik jika buah yang dikupas sudah cukup masak karena kulit dan daging buahnya lunak dan mudah terkelupas. Sebaliknya, buah muda relatif sulit dikupas. Lebar celah diatur sedemikian rupa menyesuaikan dengan ukuran buah kopi sehingga buah kopi yang ukurannya lebih besar dari lebar celah akan terkelupas. Buah kopi hasil panen sebaiknya dipisahkan atas dasar ukurannya sebelum dikupas supaya hasil kupasan lebih bersih dan jumlah biji pecahnya sedikit. Buah kopi Robusta relatif lebih sulit dikupas dari pada kopi Arabika karena kulit buahnya lebih keras dan kandungan lendirnya lebih sedikit. Untuk mendapatkan hasil kupasan yang sama, proses pengupasan kopi Ribusta harus dilakukan berulang dengan jumlah air yang lebih banyak. Oleh karena itu, pada skala besar pengupasan buah kopi Robusta sering menggunakan mesin tipe Raung [Raung pulper].
iii.    Pengeringan
Pengeringan kopi yang dimaksud di sini merupakan pengeringan setelah pengupasan. Pengeringan (menjemur) dilakukan langsung setelah pengupasan. Ini bertujuan untuk memisahkan biji dengan kulitnya. Dalam keadaan basah, pemisahan biji dengan kulitnya susah dipisahkan. Pengeringan biasanya dilakukan dalam waktu 1 – 2 hari dibawah terik matahari. Untuk hasil yang lebih baik pengeringgan bisa dijemur lebih dari 2 hari. Setelah kering, biji dan kulitnya dipisahkan dengan menggunakan kipas pemisah kulit dengan biji. Setelah kulit dan bijinya terpisah, bijinya kembali dikeringkan lagi. Sementara kulitnya dibuang atau dijadikan sebagai kompos.
iv.    Pengolahan
Untuk pengolahan kopi sendiri memiliki dua cara. Ada dengan alat dang ada yang masih tradisional atau pengolahan sendiri di rumah tangga. Untuk pengolahan tradisional sendiri adalah sebagai berikut,
a.    Menggongseng
Biji kopi yang sudah kering digongseng langsung kedalam kuali tanpa minyak goreng. Kopi di kacau dilamam kuali sampai gosong atau sampai hitam. Penggongsengan tersebut dicampur dengan sedikit beras supaya tidak lengket ke kuali.
b.    Ditumbuk
Setelah warna kopinya hitam atau gosong, kopinya dikeringkan beberapa saat. Jika sudah dingin, kopi tersebut di tumbuk sampai halus.
c.    Disaring
Tidak cukup hanya ditumbuk saja. Kopi yang sudah halus masih harus disaring supaya dihasilkan kopi yang lebih baik. Jika sudah benar-benar halus melalui penyaringan, kopi tersebut baru bisa dikonsumsi.

Kesimpulan
Pakpak. Suku Pakpak banyak terdapat di Sumatera Utara, yakni di Dairi, Perbatasan dengan Aceh, Parlilitan dan Pakpak Bharat Tak banyak orang Indonesia yang mengenalnya. Bukan karena suku ini tidak terkenal, tapi karena suku ini adalah suku yang terabaikan bahkan oleh pemiliknya sendiri. Beberapa sumber mengindikasikan bahwa suku Pakpak adalah suku tertua dari clan Batak. Meski sebenarnya kebanyakan orang Pakpak tidak mau disebut sebagai Batak. Bukan karena egoisme, melainkan lebih kepada ingin menunjukkan bahwa suku Pakpak itu ada dan terlepas dari bayang - bayang suku Batak yang selama ini lebih dikenal oleh dunia.

Secara kasat mata, memang sulit membedakan antara suku Batak dan Pakpak hingga ilmuwan ( yang kita tidak tahu motifnya) menggolongkan suku Pakpak ke dalam sub suku Batak. Namun sebenarnya banyak perbedaan mendasar dari kedua suku ini, mulai dari pakaian adat, rumah adat, acara adat, marga, bahasa dan kepercayaan.

Namun suku ini kini terancam punah. Situs - situs bersejarah tentang suku ini sudah sangat langka. Rumah tradisional yang mencerminkan budaya asli orang Pakpak kini juga hampir tiada. Banyak penyebab mengapa hal ini terjadi yaitu karena terabaikan oleh pemerintah, karena banyak peninggalan yang rusak, hancur dan bahkan tak sedikit yang dicuri oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Entah mengapa suku Pakpak memang telah lama terabaikan. Nama  - nama gunung, sungai dan nama Tempat yang dulunya banyak yang dinamai dengan bahasa Pakpak kini telah berganti dengan nama yang lain. Dan juga sangat sulit mencari literatur lengkap tentang sejarah suku bangsa yang satu ini. Ditambah lagi dengan masa lalu kelam suku ini yang dikenal sebagai masyarakat yang tidak mengenal sekolah. Dan hampir tidak ada anak daerah ini yang memegang satu jabatan pentingpun di pemerintahan pusat.Jumlah penutur bahasa Pakpak juga semakin lama semakin menciut membuat suku ini diambang kepunahan.

Demikianlah hasil penelitian yang saya lakukan di kota sidikalang tepatnya di perkampungan yang bernama tigalingga. Dari sebuah penelitian yang saya lakukan, bahwa disana bukan seperti sebuah kota yang dikenal dengan budaya pakpak. Disana malahan terlihat kalau bahwa lebih banyak suku batak karo dan batak toba. Ketika saya bertanya kepada masyarakat disekitar tersebut mengapa hal itu terjadi, meereka menjawab kalau kkota sidikalang tepatnya tigalingga sudah mulai terbuka dengan budaya lain/suku lain. Mereka juga mengatakan bahwa sudah banyak anak daerah pakpak itu sendiri pergi merantau dan di tempat perantauan mereka ada yang mengganti sukunya, ada yang perkawinna beda suku dan banyak alasan lainnya.

    Jika kita tinjau dari para petani kopinya, dari apa yang saya perhatikan dilapangan, hanya sedikit masyarakat yang masih menanam kopi. Karena sekarang ini kopi sangat tidak populer lagi. Kopi sidikalang populer dibebrapa tahun yang lalu, dan sekarang kepopuleran kopi sidikalang itu sendiri sudah turun. Para petani disana sudahberalih ke dalam petani jagung, petani kakao dan padi. Semua tanaman yang ditanam tidah menetap tetapi mengikuti musim tanam itu sendiri.


Lampiran:


DAFTAR PUSTAKA
Zulyani,hidayat,1997.”ensiklopedia suku bangsa di indonesia”.Indonesia:Pustaka lp3es
__________,berkala arkeologi sangkhala, 164/akred-upl/p2mbl/07/2009,issn1410-3974: kementerian kebudayaan dan pariwisata balai arkeologi medan
http://kardomantumangger.blogspot.com/2008/08/suku-pakpak-dan-eksistensinya-di.html



Sumber:
http://therhechiea.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-pakpak-dan-petani-kopi-di.html

No comments:

Post a Comment