Tuesday, May 1, 2012

Varietas Unggul Baru Nilam


Yang Nuryani

Varietas Unggul Baru Nilam

Seleksi terhadap 28 nomor nilam hasil eksplorasi ke berbagai daerah mendapatkan tiga varietas yang mempunyai produktivitas dan mutu minyak tinggi, yaitu Tapaktuan, Lhokseumawe, dan Sidikalang. Dari hasil pengujian di beberapa lokasi, Tapaktuan menghasilkan minyak paling tinggi (375,76 kg/ha), jauh di atas produksi nasional (97,5 kg/ha). Kadar minyak tertinggi dijumpai pada Lhokseumawe (3,21%), dan untuk patchouli alkohol pada Sidikalang (34,97%).

Di Indonesia terdapat tiga jenis nilam, yaitu nilam Aceh (Pogostemon cablin Benth.), nilam Jawa (P. heyneanus Benth.), dan nilam Lembang (P. hortensis Benth.). Namun, yang umum dibudidayakan adalah nilam Aceh karena kadar dan mutu minyaknya lebih tinggi dibanding nilam Jawa dan nilam Lembang.

Minyak nilam (patchoulli oil) digunakan dalam industri parfum, kosmetik, antiseptik, dan insektisida. Selain itu, karena bersifat fiksatif (mengikat minyak atsiri lainnya), minyak nilam banyak digunakan dalam industri parfum atau sebagai aromaterapi, karena hingga kini belum ada produk substitusinya.
Berdasarkan data Ditjen Bina Produksi Perkebunan tahun 2004, rata-rata produktivitas minyak nilam Indonesia menurun dari 116,94 kg/ha pada tahun 2001 menjadi 97,53 kg/ha pada tahun 2002. Sebaliknya, produksi meningkat dari 1.053,6 ton menjadi 1.448,6 ton. Selain itu, kadar dan mutu minyak yang dihasilkan petani umumnya rendah, berkisar 1-2% dari terna kering.

Hampir seluruh pertanaman nilam di Indonesia merupakan pertanaman rakyat yang melibatkan lebih dari 36.000 kepala keluarga. Pada tahun 2002, volume ekspor mencapai 1.295 ton dengan nilai US$22,526. Nilam diekspor dalam bentuk minyak dan terna, terutama ke Singapura, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss.

Pertanaman nilam banyak terdapat di NAD (sebelum Desember 2004), Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dengan adanya musibah tsunami di NAD, peta penyebaran pertanaman nilam akan berubah. Demikian pula produksi diperkirakan akan menurun, walaupun daerah pengembangan terus bertambah seperti di Riau, Lampung, dan Kalimantan Tengah. Luas areal pertanaman nilam tahun 2002 mencapai 21.602 ha.

Perbaikan Mutu Genetik
Rendahnya produktivitas tanaman nilam antara lain disebabkan oleh mutu genetik yang rendah, teknik budi daya yang sederhana, serangan berbagai penyakit, serta panen dan pascapanen yang belum tepat. Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu genetik nilam adalah dengan mengumpulkan plasma nutfah nilam dari berbagai daerah, baik daerah sentra produksi maupun daerah lainnya.
Dari hasil eksplorasi tersebut terkumpul 28 nomor dengan kadar minyak 1,60-3,59% dan mutu memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI). Seleksi terhadap 28 nomor tersebut mendapatkan tiga varietas yaitu Lhokseumawe, Tapaktuan, dan Sidikalang dengan produksi serta kadar dan mutu minyak relatif tinggi. Ketiga varietas tersebut telah diuji di Ciamis, Cimanggu, Sukamulya, Manoko dan Citayam (Jawa Barat), Laing (Sumatera Barat), Dairi (Sumatera Utara), dan Ipuh (Bengkulu). Di Ciamis, Cimanggu dan Sukamulya telah dilakukan dua kali panen. Pengujian di beberapa lokasi dilakukan untuk mengetahui daya adaptasi varietas tersebut pada berbagai lingkungan dan stabilitas hasil sebelum varietas tersebut dikembangkan.

Hasil dan Mutu Minyak
Di Sukamulya, Ciamis dan Cimanggu, rata-rata produksi terna kering tertinggi (13,28 t/ha) dari dua kali panen dihasilkan oleh Tapaktuan, diikuti oleh Lhokseumawe (11,09 t/ ha), Sidikalang (10,90 t/ha), dan klon lokal (7,66 t/ha). Kadar minyak tertinggi (3,21%) terdapat pada Lhokseumawe (Tabel 1). Varietas lainnya memiliki kadar minyak kurang dari 3%, namun masih termasuk tinggi (>2,5%).

Produksi minyak sangat bergantung pada produksi terna dan kadar minyak (produksi minyak = produksi terna kering x kadar minyak). Walaupun kadar minyak varietas Lhokseumawe (3,21%) lebih rendah dibanding Tapaktuan (3,63%), namun karena produksi ternanya lebih tinggi, maka produksi minyaknya juga lebih tinggi. Produksi minyak ketiga varietas dan klon lokal tersebut lebih tinggi dari rata-rata nasional (97,53 kg/ ha). Rata-rata produksi tertinggi dihasilkan di Sumatera Barat (161,51 kg/ha).
Sifat-sifat penting lainnya selain kadar minyak dan produksi terna adalah kadar patchouli alkohol (PA). Ketiga varietas ini memiliki kadar PA >30%, yang merupakan kandungan minimal untuk ekspor.

Varietas unggul baru nilam Tapaktuan (kiri), Lhokseumawe (tengah), dan Sidikalang (kanan).

Ketahanan terhadap Penyakit
Nilam sangat rentan terhadap serangan nematoda dan penyakit layu bakteri yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum. Beberapa jenis nematoda parasit yang menyerang tanaman nilam adalah Pratylenchus brachyurus, Meloidogyne incognita, dan Radhopholus similis. Serangan nematoda dapat menurunkan kadar minyak dan kandungan klorofil pada daun. Kerusakan akibat serangan nematoda dapat mencapai 75%.

Gejala serangan terutama tampak pada daun yang berubah warnanya menjadi kecoklatan atau kemerahan, karena klorofil daun menurun. Daun yang rusak akan menurunkan produksi minyak karena sel minyak terutama terdapat pada daun.

Penyakit layu bakteri sudah lama ditemukan di NAD dan daerah pertanaman nilam lainnya. Penyakit ini dapat menimbulkan kerugian 60-80%. Gejala serangan adalah tanaman menjadi layu dan mati. Berdasarkan hasil penelitian baik di rumah kaca maupun di lapangan, varietas Sidikalang lebih toleran terhadap beberapa jenis nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan varietas lainnya.
Karakter yang dapat membedakan varietas tersebut selain produksi terna, kadar minyak, kadar PA, dan ketahanan terhadap penyakit adalah morfologi tanaman terutama warna batang tua (pangkal batang). Warna batang tua Tapaktuan lebih hijau dibandingkan dua varietas lainnya, sedangkan Lhokseumawe lebih ungu, dan Sidikalang paling ungu.

Daerah Adaptasi
Nilam dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah (Andosol, Latosol, Regosol, Podsolik, dan Grumusol) dengan tekstur lempung, liat berpasir dengan drainase yang baik dan pH tanah 5-7. Nilam tumbuh baik pada daerah dengan ketinggian <700  m dpl, karena pada dataran tinggi kadar minyaknya menurun (<2%). Demikian pula pada keadaan ternaungi (<50% cahaya), kadar minyaknya akan berkurang.

Kendala utama pengembangan nilam adalah curah hujan atau ketersediaan air. Nilam menghendaki 9-11 bulan basah per tahun. Musim kemarau panjang dapat menyebabkan tanaman mati (Yang Nuryani).

Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Jalan Tentara Pelajar No. 3 Bogor 16111, Telepon : (0251) 321879 327010, Faksimile : (0251) 327010;  E-mail : balittro@indo.net.id


Sumber:

No comments:

Post a Comment