Tuesday, May 1, 2012

Perkembangan Aksara di Nusantara


Perkembangan Aksara di Nusantara


Oleh: hurahura | 28 Desember 2011
1. Pendahuluan
Penelitian para ahli antropologi fisik menyimpulkan manusia purba di Indonesia pada zaman prasejarah, seperti Pithecanthropus, sudah mempunyai kemampuan bertutur (Jacob, 1980:81-86). Namun, sejak kapankah Bangsa Indonesia mulai mengenal aksara, dan bagaimana proses terjadinya keanekaragaman bentuk aksara di Nusantara? Apakah perkembangan kemampuan bertutur sejajar dengan perkembangan kemampuan beraksara? Tentu tidak! Dengan demikian manusia purba yang hidup pada Zaman Prasejarah di Indonesia dapat dianggap telah mampu berkomunikasi dengan cara bertutur (“berbahasa lisan”). Kemampuan beraksara ternyata baru kemudian dimiliki oleh bangsa-bangsa di Nusantara pada awal tarikh Masehi.

Pada awal Masehi di kawasan Asia Tenggara sedang berlangsung proses perubahan sosial-budaya. Sejak awal Masehi di wilayah ini telah terjadi perkembangan baru yang diawali oleh adanya hubungan pelayaran dan perdagangan antara India dan Cina. Beberapa daerah di sepanjang jalur ini terlibat pula dalam kontak budaya melalui akulturasi dengan para perdagang dan pelayar, khususnya dari India. Kontak budaya inilah yang menyebabkan terjadi penyerapan unsur-unsur Kebudayaan India dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat setempat. Proses ini pada akhirnya menyebabkan terbentuknya perubahan tatanan kehidupan sosial-budaya yang berlatarkan Kebudayaan India, khususnya dalam bentuk institusi kerajaan, seperti Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanagara di Jawa bagian barat (Djafar, 2010:28). Dengan latar budaya seperti inilah akhirnya masyarakat setempat mengalami perkembangan dalam kehidupan sosial-budayanya, a.l. seperti berkembangnya sistem religi baru yang bercorak Hindu dan Buddha, dan mulai dikenalnya sistem aksara dan bahasa khususnya Aksara Palawa dan Bahasa Sanskerta. Kehadiran Aksara Palawa dalam kehidupan budaya Bangsa Indonesia terjadi sejak awal abad ke-5. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada masa itulah munculnya tradisi keberaksaraan dalam kehidupan kebudayaan Bangsa Indonesia.

Hal yang hampir serupa juga terjadi pada masa awal perkembangan Islam di Nusantara. Di beberapa kota pelabuhan dan pusat-pusat perdagangan berdatangan para saudagar muslim dari berbagai tempat dan terjadilah pula proses kontak budaya yang pada akhirnya terjadilah berbagai proses Islamisasi. Tidak jarang pula bersama para saudagar dan pelayar itu ikut serta pula para mubalig penyiar Agama Islam ke berbagai pelosok di Indonesia. Aksara dan Bahasa Arab yang merupakan bahasa Alquran mulai pula tersebar dan teradaptasi dalam berbagai segi kehidupan sosial-budaya dan menumbuhkan tradisi bertulis baru dengan menggunakan Aksara dan Bahasa Arab pada masa perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Berbagai tinggalan budaya dan tradisi-tradisi keislaman terekam dalam tradisi bertulisnya.

Demikian pula ketika para pelayar dan pedagang dari Cina dan Eropa berdatangan di Indonesia untuk berniaga telah menyebabkan pula timbulnya pengaruh-pengaruh kultural dalam berbagai aspek kehidupan sosial-budaya. Berbagai peninggalan keberaksaraan yang bercorak Cina dan Eropa khususnya Belanda ditemukan di berbagai tempat di Indonesia. Peninggalan-peninggalan tersebut di antaranya berupa prasasti dan pertulisan lainnya yang terdapat pada nisan-nisan kubur, berbagai bangunan baik profan maupun bangunan religi, dan pada berbagai artefak lainnya [1].


2. Perkembangan Aksara pada Masa Hindu Buddha
Pada tahun 1975 J.G. de Casparis menerbitkan hasil telaahnya mengenai perkembangan paleografi dari prasasti-prasasti masa Hindu-Buddha di Indonesia, dengan judul Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the Beginnings to c. A.D. 1500 [2]. Di dalam buku tersebut De Casparis membagi perkembangan paleografi itu dalam lima bagian sebagai berikut.

I. Aksara-aksara di Indonesia sebelum pertengahan abad kedelapan.
A. Aksara Palawa Awal (Early Pallava script).
B. Aksara Palawa Akhir (Later Pallava script) [3].

II. Aksara Kawi Awal (Early Kawi Script), c. 750-925.
A. Fase Arkaik (Archaic phase).
B. Bentuk Standar Kawi Awal (Standard form of Early Kawi).
C. Perkembangan aksara Nagari Awal (Early Nāgarī ).
III. Aksara Kawi Muda/Akhir (Later Kawi script), c. 925-1250.
IV. Aksara-aksara Jawa dan daerah pada periode Majapahit (c. 1250-1450)
V. Aksara-aksara di Indonesia dari pertengahan abad lima belas – tulisan-tulisan asing. Meliputi: (1) prasasti-prasasti dari paruh kedua dari abad kelimabelas, (2) prasasti-prasasti dari Jawa Tengah, (3) Aksara Tamil, (4) aksara Arab.


2.1 Aksara Palawa
Ketika awal berdirinya Kerajaan Kutai dan Tarumanagara, kedua kerajaan tersebut belum memiliki sistem aksara, khususnya aksara silabik. Masyarakat di kedua kerajaan tersebut semula adalah masyarakat prasejarah yang masih belum memengenal tradisi bertulis. Oleh karena itulah maka kedua raja tersebut masih “meminjam” Aksara Palawa dan Bahasa Sanskerta untuk untuk keperluan penulisan prasasti-prasastinya. Aksara Palawa pada masa Kerajaan Kutai dan Tarumangara ini termasuk dalam kelompok Aksara Palawa Awal (Early Pallava script).

Barulah pada beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad ke-6 hingga abad ke-8 [4], telah berkembang pula bentuk Aksara Palawa yang sudah diadaptasi dan mengalami perubahan sebagai kreasi atau varian lokal, yang disebut Aksara Palawa Akhir (Later Pallava script). Aksara Palawa jenis ini tampak pada Prasasti Tukmas (Magelang) dari masa sekitar 500 Saka (c. 578 M), Prasasti Canggal (Magelang) yang berangka tahun 654 Śaka (732 M), prasasti-prasasti Buddhis pada lempengan emas dari Batujaya (Karawang, Jawa Barat) dari sekitar abad ke-6 hingga abad ke-8, dan prasasti-prasasti Sriwijaya dari Palembang, Jambi, Kotakapur, dan Lampung (Sumatra bagian Selatan) dari masa menjelang akhir abad ke-7. Prasasti-prasasti Tukmas, Canggal, dan Batujaya dituliskan dalam Bahasa Sanskerta. Sedangkan prasasti-prasasti Sriwijaya tersebut semuanya dituliskan dalam Bahasa Melayu Kuna


2.2 Aksara Kawi (Jawa Kuna)
De Casparis membagi aksara Kawi (Jawa Kuna) ke dalam dua kelompok, yaitu:


I. Aksara Kawi Awal (c. 750-950) yang terbagi pula atas dua kelompok, yaitu:
A. Kawi Awal fase arkaik, yang meliputi: (1) prasasti-prasasti Plumpungan, (2) prasasti Dinoyo, dan (3) prasasti-prasasti yang berasal dari masa antara 760 dan 856; dan
B. Kawi Awal Standar, yang meliputi: (1) prasasti-prasasti dari masa Kayuwangi dan Balitung, (2) prasasti-prasasti dari masa 910 hingga 1925.

Pada masa perkembangan Aksara Kawi Awal Standar, berkembang pula Aksara Nāgarī Awal (Early Nāgarī script, Siddhamāttkā) yang di antaranya dipakai pada Prasasti Kalasan tahun 700 Saka (778 M), Sanur (Bali Selatan) dari tahun 914, dan pada prasasti-prasasti “ye dharmā”.


II. Aksara Kawi Akhir (c. 910-1250)
Meliputi: (1) prasasti-prasasti Jawa Timur dari masa Pemerintahan Daksa (910-919), Tulodong (919-921), Wawa (921-929), dan Sindok (929-947); (2) prasasti-prasasti Airlangga (1019-1042), (3) prasasti-prasasti periode Kadiri (c. 1100-1220), (4) aksara Kadiri kuadrat, (5) Tulisan-tulisan dari Bali, Sunda, dan Sumatera Selatan.


2.3 Aksara-aksara Jawa Kuna dan daerah pada periode Majapahit (c. 1250-1450)
Kelompok ini meliputi: : (1) prasasti-prasasti Jawa Timur (c. 1250-1350), a.l. prasasti Penanggungan (1296), dan Prasasti Gajah Mada (1351); (2) naskah-naskah kuna yang masih ada, (3) prasasti-prasasti dari Jawa Barat, seperti: Prasasti Kawali, Prasasti Kebantenan, Batutulis, dan Prasasti Huludayeuh; (4) aksara dari Sumatera [5] , a.l. pada prasasti-prasasti Adityawarman (Padangcandi, 1347; Pagarruyung, 13447 dan 1356; Kuburrajo, 1378); dan Prasasti Ulubelu, Lampung (abad ke-14); (5) prasasti-prasasti Bali, Madura dan Sumbawa.
Pada masa yang sama berkembang pula penggunaan Aksara Nagari Akhir (Later Nāgarī script). Aksara Nagari Akhir digunakan a.l. dalam prasasti-prasasti pada arca perunggu Amoghapāśa dari masa Raja Kertanagara (c. 1267-1292), dan prasasti-prasasti pendek pada arca-arca dari Candi Jago.


2.4 Aksara-aksara dari pertengahan abad ke-15
Dari masa abad ke-15 telah muncul berbagai bentuk aksara yang meliputi kelompok:
A. Prasasti-prasasti dari masa sekitar pertengahan kedua abad ke-15, yang ditulis dengan tipe Aksara Majapahit. Dalam kelompok ini dapat disebutkan a.l.: (1) Prasasti Surodakan (Waringinpitu), tahun 1447; (2) Prasasti Sendang Sedati (Pamintihan), tahun 1473; dan (3) prasasti-prasasti Trailokyapurī, tahun 1486, dari Raja Majapahit Girīndrawarddhana.
B. Prasasti-prasasti Jawa Tengah (1439-1457). Kelopok ini meliputi: (1) prasasti-prasasti dari Candi Sukuh dari masa 1439-1457, dan (2) Prasasti Ngadoman dari lereng Gunung Merbabu, tahun 1449.
C. Prasasti-prasasti beraksara Tamil. Prasasti Tamil: a.l. prasasti dari dari Lobu Tua, Barus, Sumatera Utara, berangka tahun 1088; Prasasti Tamil pada bagian belakang arca Ganeśa dari Porlak Dolok, Tapanuli.


3. Prasasti-prasasti dari masa perkembangan Islam di Indonesia
Dari berbagai tempat di Indonesia telah ditemukan berbagai jenis prasasti yang dipahatkan atau digoreskan pada berbagai bentuk peninggalan. Ada yang dipahatkan pada batu nisan, pada lempengan logam, mata uang, cap atau meterai, meriam, dan benda-benda lainnya.
Bersamaan dengan masa perkembangan Aksara Kawi Akhir di Jawa Timur, khususnya di daerah Gresik, berkembang pula penggunaan Aksara Arab. Di Pemakaman Leran, dekat Gresik, ditemukan sebuah nisan kubur berprasasti yang ditulis dengan Aksara Arab Kufik, yang menyebutkan meninggalnya seorang wanita bernama Fātimah binti Maimūn bin Hibat-Allah pada tahun 475 Hijrah (1082 M).

Di Sumatera bagian utara: a.l. dapat disebutkan prasasti-prasasti nisan kubur Sultan Malik al-Sālih yang meninggal tahun 1297, nisan dari Minje Tujoh tahun 1380 [6], prasasti pada nisan kubur Ratu Nahrasiyah yang meninggal pada tahun 1428, dan sultan-sultan Aceh lainnya. Di Gresik terdapat pula prasasti pada makam Malik Ibrahim yang meninggal tahun 1419.

Sebuah komplek pemakaman Islam dari masa sekitar zaman keemasan Majapahit, c.1350-1450 terdapat di Tralaya, daerah Mojokerto Jawa Timur [7]. Di komplek pemakaman ini terdapat beberapa batu nisan beraksara Arab yang berisi ayat-ayat suci Al Qur’an, dan di antaranya banyak pula batu nisan yang hanya berangka tahun dengan angka Jawa Kuna. Sebuah batu nisan beraksara Arab menyebutkan meninggalnya seorang bernama Zayniddin pada Hijrat Nabi 874 (1469 Masehi).
Dari berbagai kesultanan di Indonesia, seperti dari Aceh, Banten, dan Mataram terdapat pula prasasti yang dituliskan pada mata uang. Dari Aceh diperoleh mata uang dirham emas yang bertuliskan nama Sultan Muhammad (1297-1326) dengan Aksara Arab. Demikian pula dari Kesultanan Banten terdapat mata uang tembaga dan perunggu bertuliskan pangeran ratu ing banten dengan Aksara Arab.

Sejumlah meriam dari berbagai kesultanan di Indonesia didapati ada yang berprasasti. Sebagai contoh dapat disebutkan prasasti yang terdapat pada meriam Ki Amuk yang kini ada di bekas Ibu Kota Kesultanan Banten. Prasastinya dibuat dalam bentuk tiga buah medalion yang ditulis dalam bentuk kaligrafi. Sejumlah meriam peninggalan dari masa Kesultanan Mataram di Jawa Tengah ada pula yang berprasasti yang dituliskan dengan Aksara Jawa.

Sejumlah prasasti beraksara Arab yang biasanya dipahatkan pada papan kayu atau balok ditemukan pula pada mesjid-mesjid kuna seperti di Mesjid Kudus, yang memperingati saat pendiriannya, tanggal 28 Rajab tahun 956 H (22 Agustus 1549). Beberapa kesultanan, seperti Mataram, Banten, dan Palembang pernah pula mengeluarkan prasasti yang dituliskan pada lempengan tembaga dengan Aksara Arab atau Aksara Jawa berisi keputusan atau penetapan yang dilakukan oleh sultan dalam berbagai bidang, seperti politik dan perdagangan. Prasasti-prasasti dari masa kesultanan seperti itu biasanya di Jawa dikenal dengan sebutan piyagem.

Dari Kesultanan Riau-Lingga diperoleh sebuah prasasti berbahasa Melayu beraksara Arab yang dituliskan pada artefak berupa kipas berbentuk gunungan (jogan) yang terbuat dari emas dengan tangkai perak. Prasastinya berisi doa bagi sultan yang disebutkan sebagai keturunan raja dari Bukit Siguntang yang juga keturunan Sri Sultan Iskandar Zulkarnaen. Jogan ini diperkirakan berasal dari abad ke-18.

Prasasti-prasasti beraksara Arab seperti yang terdapat pada nisan kubur sultan-sultan Aceh dan tokoh-tokoh tertentu seperti Fātimah binti Maimūn bin Hibat-Allah dan Malik Ibrahim, dituliskan dalam bentuk kaligrafi Arab yang sangat indah.


Catatan:
[1] Mengenai prasasti-prasasti nisan kubur dan berbagai pertulisan lainnya seperti terdapat pada bangunan kelenteng, dapat dilihat dalam karya Wolfgang Franke, Claudine Salmon, dan Anthony K.K. Siu, Chinese Epigraphic Material in Indonesia, 3 jilid. Singapore: South Seas Society/Paris: EFEO/Association Archipel, 1988 (Vol. I), 1997 (Vol. II-III).
[2} Mengenai prasasti dan pertulisan lainnya dari masa kolonial, khususnya yang ada di Jakrta, lihat: F. De Haan, Oud Batavia. 2 jilid dan Album. Batavia: G. Kolff, 1922-1923. Lihat pula: Lilie Suratminto, Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007.
[3] Leiden/Köln: E.J. Brill, 1975. Diterbitkan dalam seri Handbuch der Orientalistik, III.4.1
[4] Ke dalam kelompok ini dapat ditambahkan prasasti-prasasti Buddhis dari Batujaya.
[5] Pembahasan mengenai prasasti-prasasti Buddhis dari Batujaya ini lihat: Hasan Djafar, Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama/EFEO/Puslitbang Arkenas/KITLV, 2010:91-93, 118-121. Lihat pula: Hasan Djafar, “Prasasti-prasasti Buddhis dari Kompleks Percandian Batujaya (Catatan Pendahuluan)”, Jurnal Sosio e-Kons, II93), 2010:70-83.
[6] Aksara yang digunakan dalam penulisan prasasti-prasasti di Sumatera, khususnya pada masa pemerintahan Adityawarman oleh L.C. Damais disebut “Aksara Sumatera Kuna” (Damais, 1955; 1995).
[7] Ada dua prasasti, satu prasasti beraksara dan berbahasa Arab, dan satu prasasti yang lainnya beraksara Sumatera Kuna dengan Bahasa Melayu Kuna. Menurut W.F. Stutterheim nisan kubur tersebut berasal dari tahun 1380 (Lihat: W.F. Stutterheim, “A Malay Sha’ir in Old-Sumatran Characters of 1380 A.D.”, Acta Orientalia, 14, 1936:268-279.
[8] Mengenai prasasti-prasasti pada nisan kubur di Tralaya ini lihat: L.-C. Damais, “Makam Islam di Tralaya”, dalam: Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan Karangan Louis-Charles Damais. Jakarta: EFEO/Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, 1995:223-332. (Dr. Hasan Djafar, pensiunan Staf Pengajar Departemen Arkeologi UI)

Sumber: Katalog Pameran Lambang & Aksara, Direktorat Permuseuman, 6-21 Oktober 2011.

No comments:

Post a Comment