Semua Ciptaan Hidup Berdampingan di Taman Eden
Ditulis oleh Esther Risma Purba
Senin, 10 November 2008 22:16
Apa yang akan Anda lakukan jika Anda memiliki tanah seluas 35 hektar dengan banyak potensi di dalamnya? Di kawasan itu terdapat potensi kekayaan flora dan fauna, seperti hutan pinus yang lebat, sumber air bersih dari beberapa mata air, air sungai deras berdebit besar yang membentuk beberapa air terjun, gua kelelawar, anggrek hutan sebanyak 100 jenis (menurut hasil penelitian mahasiswa Universitas Negeri Medan), pohon-pohon langka yang bermakna penting dalam budaya dari etnis yang mendiami daerah tersebut, dan juga kontur kawasan yang berbukit-bukit dan jurang berpohon lebat dan tua dimana Harimau Sumatera masih dapat ditemui.
Mungkin jika memiliki kawasan 35 ha itu, ada yang berpikir untuk menjual sebagian luasnya. Atau mungkin berpikir tidak mengapa jika menebang pohon besar dan pohon pinus beberapa hektar untuk kemudian menjualnya ke pabrik bubur kertas yang beroperasi dengan tenang membabat pohon di hutan lindung di sekitar kawasan itu dengan izin teranyar SK Menhut no 201 tahun 2006. Toh, luas hutan yang ditebang tidak seluas kawasan HPHTI Sumut 269.060 ha yang menjadi konsesi pabrik bubur kertas itu. Atau mungkin berpikir tidak ada salahnya mengizinkan industri air minum kemasan untuk membangun pipa-pipa penyalur air dari mata air dan sungai jernih di dalam kawasan itu.
Apa yang telah dilakukan oleh keluarga Sirait, pemilik tanah adat seluas sekitar 35 hektar tersebut kiranya merupakan wujud upaya nyata dalam memerangi pengrusakan alam dan pelestarian alam. Kawasan itu merupakan tanah adat yang diwariskan dari keluarga marga Sirait. Sebagaimana sistem pewarisan dalam hukum adat Batak, kepemilikan atas tanah diteruskan oleh keturunan dari garis laki-laki. Bapak Leas Sirait, 73 tahun, satu-satunya laki-laki dalam keluarganya, memiliki hak adat untuk mewarisi kawasan tersebut. Terdorong oleh rasa syukur dan cinta terhadap tanah dan kekayaan di dalamnya, adanya kesadaran untuk membenahi kampung halaman, dan mendukung keutuhan ekosistem kawasan Danau Toba, keluarga Sirait mengelola kawasan tersebut agar tetap utuh dan terpelihara.
Taman Eden 100, demikian nama kawasan 35 hektar tersebut. Saya, Roy, dan Marthin singgah ke tempat yang berjarak sekitar 16 km dari kota peristirahatan Parapat, di tepi Danau Toba itu. Taman Eden 100 terletak di Desa Sionggang Utara, kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir (Tobasa), yang berjarak sekitar 190 km dari kota Medan yang ditempuh 4 jam, di ketinggian sekitar 1000 meter dpl. Kami tiba di tempat itu pukul 13.30 Minggu siang, tanggal 26 Oktober lalu. Tidak sulit mencapainya karena letaknya tepat di tepi jalan lintas Sumatera yang menghubungkan Sumut dan Sumbar. Bis lintas propinsi dan lintas kabupaten melintasi tempat ini.
Saya turun dari bus dengan rasa tidak nyaman. Bus yang kami tumpangi dari Parapat, setelah kami turun dari kapal dari Pulau Samosir, membawa muatan ikan Mas yang diternakkan di Danau Toba di atas atapnya. Entah bagaimana bentuk wadahnya, yang pasti setiap kali bus berhenti menghentak untuk mengangkut dan menurunkan penumpang, air dari wadah ikan Mas itu selalu menetes dan tadi juga mengenai rambut saya dan menciprati saya yang duduk di dekat pintu ketika bus melewati tikungan. Si kondektur, seorang anak muda yang cekatan, dengan ringan menerangkan bahwa bus selalu bermuatan ikan di sore hari, lebih berat dari muatan manusia.
Di gerbang masuk taman, tertulis besar “Selamat Datang di Taman Eden 100”. Kami menaiki jalan masuk yang menanjak. Dari luar sama sekali tidak terlihat bentuk dan isi taman itu. Sebuah pohon Jabi-jabi (sejenis Beringin namun berdaun lebih lebar) dan Hariara (Beringin) yang sangat besar dan cukup tua berdiri anggun menyambut pengunjung yang melewati jalan berbatu itu. Keduanya hidup tegak berdampingan dan batangnya berpilin saling merangkul. Bentuknya yang besar, tinggi, dan hampir simetris membuatnya terlihat istimewa dibanding pohon lain. Dahulu masyarakat Batak selalu menanam kedua pohon ini ketika membuka kawasan hutan untuk dijadikan kampung dan ladang. Jika selama 7 hari pohon Jabi-jabi dan Beringin ini tetap tumbuh, itu berarti Yang Maha Kuasa memberi restu kawasan itu dibuka. Di Pulau Samosir, pohon ini masih dapat dijumpai di depan jalan masuk kampung yang dikelilingi benteng dari tanah atau deretan rapat bambu. Sebuah gereja kecil papan bersahaja bertangga tanah dari tepi jalan masuk, berada di depan pohon.
Empat puluh meter dari gerbang, kami disambut oleh pagar ayu pohon-pohon yang sengaja ditanam, seperti jeruk Sunkist, Terong Belanda, Mangga, Alpukat, Jambu, Enau, perdu, bunga, dll., di sepanjang jalan masuk dan bukit di kanan. Kami tidak segera masuk menemui tuan rumah karena asik mengamati pohon dan membaca keterangan yang tertulis pada papan identitas berwarna biru yang tergantung di dahan pohon. Tertulis nama pohon tanpa bahasa Latin), nama pemilik pohon, alamat, tanggal penanamannya, dan motto bersemangatkan cinta lingkungan dari penanamnya. Jalan masuk ini pastilah yang termasuk lokasi penanaman pohon lapis satu, yang lebih mahal, dan dijamin tidak akan luput dari perhatian. Nama-nama pejabat dan artis serta lembaga besar sebagai pemilik pohon terbaca jelas.
Kami bertiga sejenak menjadi pengamat pohon. Tak henti-hentinya mengomentari jenis pohon, usia pohon, rupa pohon dan pemilik pohon-pohon itu. Ada pohon yang satu dengan yang lain tidak sama besarnya meski jenis dan usia tanam hampir sama. Saya membayangkan, apakah buah-buah Terong Belanda yang bentuknya cantik seperti lonceng dan tergantung berwarna merah itu, sempat berusia matang sebelum pengunjung memetiknya (belakangan saya tahu, pohon-pohon di taman ini ditanam untuk dinikmati buahnya oleh kalong, burung, monyet, pengunjung, ular, dll, yang semuanya ciptaan Tuhan karena ini Taman Eden dimana semua makhluk hidup aman dan damai di dalamnya).
Saya beberapa kali kecewa mendapati pohon milik dari tokoh atau suatu lembaga hanya berjenis pohon yang saya rasa mudah tumbuh dan ditemui di mana saja. Saya sempat pikir, apa hebatnya menyumbang pohon Alpukat dan Mangga? Tidakkah lebih heroik menanam pohon Andalehat, Ingul, Andaliman, Piu-piu Tangguli yang khas terdapat di tanah Batak ini dan sudah langka. Andalehat dan Ingul digunakan sebagai bahan kayu yang kuat untuk kapal transportasi Danau Toba, juga dahulu digunakan sebagai bahan rumah tradisional Batak yang dibangun tanpa paku. Andaliman adalah pohon berbuah kecil sebesar merica yang harus ada sebagai bumbu masak makanan khas Batak dengan rasa getir (saya sulit menggambarkan rasanya, saya pinjam kata sifat “getir”dari Bang Marandus pemilik dan pengelola Taman Eden ini), pedas, dan harum itu. Piu-piu Tangguli adalah pohon yang kayunya diukir dengan totem dan digunakan sebagai tongkat Tunggal Panaluan, tongkat berkekuatan magis yang dimiliki seorang datu Batak yang bisa membuat Anda bergidik ngeri melihat rupanya. Saya sendiri pertama kali tahu pohon-pohon ini dalam bentuk bibit setinggi 20 cm yang saya lihat di pembibitan di biara Pangururan, Samosir kemarin.
Dari jauh saya sudah melihat sosok pemilik dan pengelola Taman Eden 100 ini, Marandus Sirait, 41 tahun. Abang ini menerima penghargaan Kalpataru tahun 2005 untuk kategori perintis lingkungan dan menerima penghargaan tersebut langsung dari Bapak Presiden SBY. Ini pertama kali kami ke taman ini. Sebuah gazebo dengan tiang dan batang akar kayu alami dan berhiaskan tandan bunga rotan yang amat besar (pertama kalinya saya tahu rotan punya bunga seperti untaian bulir-bulir padi raksasa sebesar bola tenis pipih), langsung menarik perhatian. Beberapa pengunjung bersepeda motor dan pegawai kebun terlihat di sana. Bang Marandus datang menyambut kami.
Kami dipersilahkan duduk di teras posko. Saya memilih duduk di atas kursi yang dibuat dari balok kayu yang cekukannya menjadi tempat duduk. Dua buah cemara berpucuk daun biru dengan besar dan tinggi yang sama 2,5 meter berdiri di teras. Sebuah cemara yang digunting dan dirawat berbentuk sosok ular melingkar pada batang pohon, berdiri mengawal pintu masuk posko. Dari sini, kami bisa melihat kolam renang mungil di sisi kiri. Di kejauhan, terlihat barisan bukit dengan pohon lebat. Aha, sebuah noktah kecil berwarna merah, tampak di kejauhan. Ternyata, itu bendera spanduk dari operator telepon seluler yang menandai lokasi perkemahan dan rumah pohon. “Wah, jeruk Sunkistnya udah matang. Sayang, sampe berjatuhan nggak diambil” kata Marthin yang berdiri mengamati sekeliling. Pohon-pohon dengan buah jeruk Sunkist yang siap dipetik dan siap disantap hewan-hewan terlihat di beberapa titik.
Kami berkenalan dengan pemilik taman, Bapak Leas Sirait, 73 tahun, ayah 10 anak dimana Bang Marandus putranya yang ke-tiga menjadi pengelola taman ini. Kemudian, tanpa membuang waktu, kami beranjak menuju air terjun 2 tingkat, tempat yang dari awal ingin saya lihat. Untunglah, kata Bang Marandus medan menuju air terjun tidak berat karena saya tentu tidak sanggup jika harus naik dan turun. Lutut saya masih nyeri akibat menuruni punggung Gunung Pusuk Buhit di Samosir dan berjalan kaki hampir 7 km kemarin.
Kami berhenti sejenak di papan penunjuk arah dan memuat info akses. Tertera informasi, air terjun 2 tingkat yang berjarak 500 meter dari posko, air terjun Jantung Rimba 7 tingkat sejauh 7 km, air terjun di mulut gua kelelawar sejauh 5 km, Bukit Manja sejauh 5 km dimana Danau Toba dapat terlihat, Gunung Pangulu Bao setinggi 2150 meter sejauh 6 km, lokasi perkemahan, lokasi rumah pohon. Sungguh, tempat ini memiliki banyak potensi yang diidamkan para penikmat petualangan rimba dan juga pecinta alam seperti saya (ck…ck…ck).
Jalan setapak selebar kurang dari 1 meter menuju air terjun menyusuri sebuah sungai kecil selebar 1 meter yang mengalir deras, dan amat jernih. Dasarnya berpasir dan sedalam 20 cm. Bang Marandus mengatakan bahwa aliran ini sengaja dibuat untuk mengairi sawah dan menjadi sumber air yang berasal dari air terjun. Saya mencelupkan kaki sejenak, terasa dingin. Saya menyimpan airnya di dalam botol kemasan air mineral sebagai kenang-kenangan. Di sepanjang perjalanan, pohon-pohon besar tumbuh alami, seperti, Kalendra, Enau, Pinus, Pakis yang batangnya digunakan menjadi media tanam Anggrek, pohon Riman yang seratnya amat kuat dan mengandung zat besi dan digunakan sebagai tali senar kecapi Batak, dan lain-lain yang saya tak tahu namanya.
Udara terasa sejuk dan jalan yang terlindung dari sinar matahari membuatnya lembab. Bang Marandus berkata bahwa mereka sengaja menebang beberapa pohon besar saat membuka jalan sebagai akses menuju air terjun. Kami melewati jurang dengan sungai mengalir di bawahnya yang airnya berasal dari air terjun. Kami dapat mendengar suaranya, namun pandangan ke sungai terhalang oleh pohon-pohon liar dan yang sengaja ditanam untuk mencegah tanah longsor.
Di tepi jalan yang semula hutan ini, kita dapat menemui pohon-pohon yang ditanam dan disumbangkan oleh pengunjung. Akhirnya saya dapat melihat pohon-pohon langka Andalehat, Piu-piu Tangguli, dan Ingul. Pohon-pohon ini ditanam dengan jarak teratur dan terdata rapi identitasnya. Bang Marandus menerangkan bahwa Taman Eden bermakna: manusia, tanaman, hewan, segala ciptaan hidup rukun di dalamnya, 100 adalah jumlah jenis tanaman pohon berbuah yang bisa dinikmati makhluk ciptaan. Saya baru tahu bahwa pohon Piu-piu Tangguli dan Andalehat berbuah manis yang dapat dimakan manusia. Saya tidak sangka, Piupiu Tangguli yang kayunya diukir dengan totem dan digunakan sebagai tongkat berkekuatan magis, Tunggal Panaluan, memiliki buah manis yang aman dikonsumsi manusia. Semula saya pikir, semua yang ada pada pohon itu tidak ramah untuk manusia.
Bang Marandus menerangkan bahwa lokasi penanaman dibagi menjadi 3 lapis dimana lapis ke-3 adalah lokasi yang paling jauh. Harga pohon termasuk bibit, biaya pemeliharaan pohon, pemasangan identitas, dan perawatan papan identitas selama 2 tahun, berbeda menurut 3 lapis lokasi penanaman. Tentu, pejabat, tokoh, serta instansi memilih lokasi penanaman lapis satu. Di perjalanan, kami menemui beberapa pohon enau yang berbuah dan berbunga besar siap disadap niranya untuk menjadi tuak. Roy mencoba memanjat batang bambu menjulur dari tanah ke atas pohon yang buku-bukunya dilubangi agar kaki pemanjat dapat menaikinya untuk menyadap nira. Roy tidak bermaksud sampai ke puncak, tentunya.
Akhirnya kami tiba di lokasi air terjun. Cukup banyak pengunjung di sana saat itu. Airnya mengalir deras sekali dengan lebar 2 meter dan membentuk kolam cekungan seluas 10 meter persegi. Pengunjung tidak ada yang sampai mendekati tempat di bawah air terjun karena arus yang bergolak menyulitkan orang mendekatiya. Lagipula, curahan air yang deras dijamin akan menyakiti tubuh kita. Jadi, lupakan ide untuk memanfaatkan curahan air sebagai pemijat tubuh alami. Bang Marandus bercerita bahwa mereka menebang beberapa pohon besar untuk mengurangi gelap dan kesan angker pada tempat ini. Mereka pun mengadakan upacara doa agar air dan lokasi memberi berkat bagi semua orang. Kami dapat melihat dua batang dan akar pohon besar yang sudah ditebang, rebah setinggi 4 meter. Mestinya, posisi dan ketinggiannya sangat layak menjadi tempat untuk loncat indah. Sayang, kolam alami di bawahnya hanya sedalam lutut.
Dengan pengeras suara, Bang Marandus mengingatkan dengan lunak seorang pengunjung yang membiarkan kemasan plastik minumannya jatuh ke kolam, untuk tidak meninggalkan apapun di lokasi. Tampak mata air mengucur dari sela bebatuan yang pecah dan tebing. Menurut Bang Marandus, air itu bersumber dari mata air dan bukan merupakan aliran dari air terjun karena ketika debit air terjun berkurang saat kemarau, aliran dan debit air dari mata air itu tidak berubah.
Kami beranjak pergi dari air terjun dan menaiki tangga menuju puncak air terjun. Dari sini kami dapat melihat sambungan pipa air yang mengalirkan air dari sini untuk memenuhi kebutuhan air bersih orang-orang kampung. Meski air terjun ini berada di lokasi tanah milik keluarga Sirait, penduduk kampung sekitar dapat memanfaatkannya. Pembuatan saluran pipa mendapat sumbangan dari pemerintah Jepang. Di sini juga terdapat pintu air yang saat itu tidak dibuka.
Dari sini kami beranjak pulang ke posko menyusuri saluran tali air yang ditutup tadi selebar ¾ meter. Di sisi kanan tedapat jurang sedalam lebih dari 20 meter. Pohon-pohon di punggung jurang dijamin tidak akan memuluskan benda apapun yang bergulir ke bawah sana. Pohon-pohon Kalendra sengaja ditanam karena akarnya sangat kuat menahan longsor dan bunganya baik untuk pakan ternak lebah. Di punggung bukit di sisi kiri, saya dapat menemui Kantung Semar (Naphentes) yang besar, yang disebut Tahul-tahul dalam bahasa Batak.
Bang Marandus mengajak kami ke lokasi pembibitan yang dinamakan Bank Pohon. Bank Pohon didirikan 29 Desember 2007 untuk menyuplai bibit ke kawasan Danau Toba. Pohon-pohon yang khas terdapat di daerah ini sengaja dikembangkan untuk nantinya disebarkan ke kawasan Danau Toba dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat dan penghijauan. Taman Eden mendapat proyek dari perusahaan bubur kertas untuk mengembangkan bibit untuk nanti disebarkan gratis ke penduduk kawasan Danau Toba. Dia berharap ada donor yang membantu penyediaan bibit dan wadah plastik untuk bibit. Dia berharap, targetnya untuk mengembangkan 200.000 bibit pertahun dapat tercapai. Dia masih menuggu kesugguhan janji pemimpin sebuah instansi dari Jakarta yang berjanji menjadi donor saat mengunjungi tempat itu.
Dengan tanah dan kekayaan fauna seluas itu, pernahkah terlintas untuk menjualnya? Bang Marandus bercerita bahwa dari tahun 1999 saat upaya mengelola kawasan ini dimulai dan pembukaan Taman Eden menjadi kawasan agrowisata terbuka untuk umum di bulan Mei 2000, biaya perawatan dan kebutuhan hidup menjadi masalah dan sempat menggoyahkan niat luhur untuk melestarikan pohon-pohon di kawasan itu. Tawaran dari beberapa perusahaan untuk membeli kayu-kayu dari kawasan Taman Eden bukannya tidak ada. Namun, keluarga Sirait mencoba bertahan hingga menjual habis barang-barang rumah tangga dan tidak tergoda untuk memperoleh uang dengan menjual batang pohon. Bahkan, Bang Marandus sampai menjual peralatan musik tradisionalnya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Keteguhan tekad, kerja keras, dan keyakinan akan berkat Tuhan, telah membawa Taman Eden menjadi kawasan agrowisata seperti saat ini. Kerja kerasnya mendapat pengakuan dari pemerintah melalui penghargaan Kalpataru tahun 2005. Taman Eden terus dikembangkan untuk menjadi desa percontohan di bidang pertanian, peternakan, dan pariwisata yang ramah lingkungan. Rombongan dari universitas, seperti USU dan Unimed juga datang untuk melakukan penelitian di bidang lingkungan. Upaya untuk memelihara kesaksian kebesaran Maha Pencipta dan berpartisipasi dalam mendukung keutuhan ekosistem kawasan Danau Toba terus dilakukan dan dikembangkan.
Gerimis turun dan jam menunjukkan pukul 16.30 ketika kami meninggalkan Taman Eden 100. Perjalanan ke Medan masih 4 jam lagi dan kendaraan yang mungkin kami tumpangi di jam itu hanyalah bus lintas propinsi yang melewati jalan itu sore hingga malam hari. Ada sedikit sesal karena saya tidak bisa mengambil beberapa foto karena batere kamera habis dan juga niat untuk melihat rumah pohon tidak kesampaian. Bang Marandus memberi kami oleh-oleh beberapa jeruk Sunkist yang dipetik langsung dari pohon. Marthin segera menikmati buah yang sudah diincarnya sejak awal kedatangan tadi.
Suatu saat, saya ingin mencapai Bukit Manja dimana Danau Toba dapat terlihat dari kejauhan dan mencoba menaiki rumah pohon. Yang pasti, saat datang lagi, pohon Andalehat yang bibitnya tadi saya pilih untuk ditanam, sudah cukup besar dan telah diberi identitas pada papan yang ditancapkan di dekatnya. Bang Marandus berjanji akan menanamnya di tempat yang mudah dilihat dan diperhatikan. Setahun lagi, batang dan dahan Andalehat itu tentu sudah cukup kuat menahan beban papan bertuliskan PETA HIJAU - GREEN MAP INDONESIA (www.greenmap.or.id) itu.
Sumber:
No comments:
Post a Comment