Tuesday, May 1, 2012

Kopi Mandailing, Sisa Peradaban


Kopi Mandailing, Sisa Peradaban


Posted by moline on Sunday, 19 December 2010 at 20:28.
MEDAN, 26/7 - BUAH KOPI MANDAILING. Sejumlah pekerja memilah buah kopi jenis arabika Mandailing yang akan dijual di Medan, Sumut, Senin (26/7). Buah Kopi Mandailing tersebut dijual seharga Rp 5 ribu per kilogram. FOTO ANTARA/Septianda Perdana/ed/ama/10

Pantai barat Sumatera kini sepi. Kota-kota pantai, seperti Barus, Sibolga, Natal, Air Bangis, dan Padang, tak lagi ingar bingar. Pada masa lalu, orang dari berbagai bangsa di dunia hilir mudik di tempat itu. Bajak laut asal Perancis pun pernah beraksi di tempat itu. Kini semuanya sunyi, tinggal kopi yang menjadi sisa kejayaan sebuah peradaban di tempat itu.

Alun-alun Kecamatan Natal di Kabupaten Mandailing Natal sangat sepi ketika Kompas berkunjung ke tempat itu beberapa waktu yang lalu. Beberapa meriam tua terletak di ujung alun-alun dan menghadap ke Samudra Indonesia. Kota yang dulu digunakan sebagai pelabuhan dagang, setidaknya Portugis pernah membuat benteng di tempat itu, kini sepi.

Padahal, Natal, salah satu pelabuhan yang digunakan untuk mengirim kopi yang dipetik dari beberapa tempat di pedalaman Sumatera menuju pelabuhan di Padang, dahulu sangat ramai. Dari pelabuhan di Padang, kopi dikirim ke beberapa tempat di dunia. Kopi itu kemudian dikenal dengan nama kopi mandailing. Natal menjadi salah satu bukti kejayaan peradaban Pantai Barat Sumatera. Kini tempat itu tinggal menjadi kenangan.

Kopi mandailing adalah sebutan dagang untuk kopi arabika yang sejatinya tidak hanya dihasilkan di daerah yang ditempati oleh etnis Mandailing. Kopi ini sebenarnya berasal dari beberapa daerah yang berada di pedalaman Sumatera, seperti Mandailing, Tapanuli, dan Pakpak.

Soal penamaan mandailing itu sendiri tidak diketahui secara persis. Mandailing memang nama salah satu suku di Sumatera Utara bagian selatan, seperti di Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal. Kebun kopi pernah ada di sekitar daerah itu. Namun, kini di tempat itu sudah tidak ada kebun kopi, tetapi nama kopi itu tetap terkenal di dunia.

”Pada zaman Belanda sampai zaman Jepang di Mandailing memang banyak kebun kopi. Sekarang sama sekali tidak ada, tetapi hingga sekarang orang Eropa dan Amerika masih ingat nama itu. Kopi yang kami produksi dari Kecamatan Lintongnihuta pun masih disebut kopi mandailing,” kata Gani Silaban, petani kopi Desa Nagasaribu, Kecamatan Lintongnihuta, Kabupaten Humbang Hasundutan.
Gani dan beberapa rekannya yang bisa mengekspor hingga 120 ton kopi berjenis arabika setiap tahunnya itu mengaku berusaha agar kopinya lebih dikenal sebagai kopi lintong, tetapi pedagang internasional tetap menamai kopi mandailing. Letak kecamatan itu sendiri sangat jauh dari Tapanuli Selatan ataupun Mandailing Natal.

Ia menceritakan bahwa kehadiran kopi di tempatnya sudah sangat tua. Ia tak tahu pasti tahunnya, tetapi menurut cerita secara turun-menurun nenek moyangnya sudah bertani kopi sejak lama.
”Asal-usul kopi di pantai barat Sumatera bukan dibawa oleh orang Belanda, tetapi oleh orang Minangkabau yang naik haji ke Mekkah. Ketika kembali, mereka telah membawa biji-biji kopi dari Mekkah kemudian ditanam di daerah Minangkabau. Jadi, sebelum awal abad ke-18 tanaman kopi sudah ada di pantai barat Sumatera,” kata sejarawan dari Universitas Andalas, Prof Gusti Asnan.
Sebelum abad ke-18, kopi telah menjadi komoditas yang diperdagangkan dari tempat itu. Pada tahun 1789, kopi diperdagangkan di Kota Padang. Setahun kemudian, ada laporan yang menyebutkan, sebuah kapal Amerika yang pertama berlabuh di Kota Padang telah memuat kopi.

Tanaman kopi semakin banyak ditemukan di wilayah itu setelah Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan tanam paksa kopi pada 1847. Upaya ini menyebabkan perkebunan kopi diperluas dari wilayah Minangkabau mengalir ke utara, yaitu ke daerah Tapanuli. Sejak saat itu, sejumlah perkebunan kopi ditemukan di beberapa tempat di pantai barat Sumatera.

”Nama kopi Mandailing awalnya adalah nama kopi yang berasal dari daerah pedalaman di Mandailing yang dikirim ke Pelabuhan Natal. Dari pelabuhan ini kopi dikirim melalui laut menuju pelabuhan di Padang. Jadi, semula, kopi mandailing adalah kopi yang berasal dari Mandailing, tetapi selanjutnya digunakan untuk menyebut nama dagang kopi yang diproduksi dari wilayah itu.

Kopi itu ditanam di pedalaman Mandailing dan dibawa ke Pelabuhan Natal dengan kapal yang berukuran tiga ton hingga empat ton. Saat itu sungai merupakan sarana transportasi yang efektif.
Asnan yang menulis buku berjudul Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera menyebutkan, dalam catatan sejarah nama kopi mandailing muncul pada akhir abad ke-19. Salah satunya dalam sebuah laporan orang Jerman, nama kopi mandailing disebut pada salah satu laporan sekitar tahun 1880. Yang menarik, kopi yang diproduksi di Sumatera Barat dan sekitarnya pada masa berikutnya malah kemudian tidak begitu dikenal di pasar internasional.

”Awalnya di Minangkabau dikenal kopi arabika. Orang Minangkabau akhirnya menanam kopi robusta meski sempat menolak. Nah, kopi ini ternyata tidak terlalu disukai oleh konsumen di banyak negara. Kopi yang disukai adalah kopi arabika yang banyak diproduksi di daerah Mandailing. Kopi inilah yang kemudian terkenal di dunia,” katanya.

Kopi mandailing pula yang masih terus terkenal saat perdagangan di pantai barat Sumatera mulai surut. Kopi ini terus diperdagangkan ke luar negeri ketika pusat perdagangan berpusat di Medan yang berada di pantai timur Sumatera. Dari pedalaman di Sumatera, kopi itu dikirim lewat sungai hingga melalui pelabuhan di pantai timur Sumatera.

Sepertinya tinggal kopi mandailing yang masih dikenal di dunia internasional dari sebuah peradaban di pantai barat Sumatera. Kopi ini masih dikenal oleh peminum-peminum kopi di berbagai belahan dunia.
”Kopi ini memang terkenal di dunia. Secara umum, kopi mandailing memiliki kesamaan dengan kopi-kopi arabika lainnya yang berasal dari Sumatera. Kopi ini mempunyai ciri khas beraroma harum dan paling kental di dunia. Untuk itu, peminum kopi tak perlu mencampur kopi mandailing dengan kopi lain agar mendapat kekentalan yang tinggi,” kata Verayani Jioe, pemilik Kafe Macehat di Medan.

Berkebalikan dengan nasib kopi itu, wilayah pantai barat Sumatera makin kurang dikenal. Bahkan, hingga kini! Jalan-jalan menuju beberapa pelabuhan di pantai barat juga banyak yang rusak. Kota Barus yang sangat mungkin menjadi kota dagang tertua di pantai barat Sumatera juga makin kurang dikenal. Padahal, di tempat itu para pedagang dari berbagai negeri pernah berlabuh dan mencari rempah-rempah di tempat itu.

Dari buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera diketahui, aktivitas dagang dan pelayaran yang terus bertumbuh membuat Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk membuat Kamar Dagang dan Industri Padang (Kadin Padang) pada tahun 1863. Kadin ini termasuk lima kadin pertama yang didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Selain Padang, ada Kadin Batavia, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Lembaga ini diharapkan menjadi partner pemerintah untuk menjadikan pantai barat Sumatera sebagai pusat kegiatan perdagangan dan pelayaran. Bahkan, Pemerintah Hindia Belanda berharap menjadi pusat perdagangan di bagian barat Nusantara.

Perkembangan ekonomi di daerah itu menarik berbagai bangsa. Mereka mendirikan konsulat dagang, seperti Amerika Serikat (1864), Perancis (1866), Denmark (1868), Inggris (1873), dan lain-lain. Kehadiran konsulat itu untuk mempermudah aktivitas perdagangan. Konsulat Amerika Serikat dan Inggris merupakan konsulat yang paling sibuk. Kedua negara ini merupakan partner dagang di samping Belanda.

Akan tetapi, semua ini tinggal catatan saja. Pantai barat kembali sepi sejak pusat ekonomi tumbuh di pantai timur Sumatera. Aktivitas perdagangan dan pelayaran di pantai barat Sumatera merosot.
”Kopi mandailing memang benar-benar menjadi sisa peradaban pantai barat Sumatera,” kata Gusti Asnan.




Redaksi, Pengiriman Berita,
dan Informasi Pemasangan Iklan:
apakabarsidimpuan[at]gmail.com

No comments:

Post a Comment