Merengkuh "Surga" di Taman Eden 100
KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQPengunjung menikmati kesegaran air terjun di Taman Eden 100 di Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Selasa (27/12/2011). Taman Eden 100 merupakan hutan tropis buatan yang menjadi tempat wisata sekaligus contoh pelestarian alam.
Oleh: Mohammad Hilmi Faiq
Kami berencana membuat penginapan agar pengunjung lebih leluasa, tapi modalnya belum cukup.
-- Marandus
Penasaran dengan pohon ara atau tin yang tersebut dalam kitab suci? Atau ingin mengintip suasana hutan Amazon? Datanglah ke Taman Eden 100. Di sana, Anda bisa temukan pohon ara dari Jerusalem dan butter nut dari Amazon tumbuh dengan subur.
Deretan pohon tertata di sepanjang jalan setapak. Anturmangan, beringin, alpukat, dan mangga adalah beberapa pohon yang ada di antara deretan itu. Hampir di setiap batang pohon tertulis nama dan instansi atau kota tertentu. Nama yang tertera menunjuk identitas si pemilik pohon itu.
Itulah salah satu keunikan Taman Eden 100 yang terletak di atas ketinggian 1.100 sampai 1.750 meter di atas permukaan laut. Lokasinya di perbukitan di Desa Sionggang Utara, Kecamatan Lumban Julu, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Setiap pengunjung mendapat kesempatan untuk mengabadikan namanya dengan cara menanam pohon. Tentu ada tarifnya.
Di luar tarif masuk Rp 3.000 sampai Rp 7.000 per orang, pengunjung cukup membayar Rp 100.000 sampai Rp 300.000 per pohon. Kutipan biaya itu digunakan untuk merawat pohon. ”Bila pohon mati, kami mengganti dengan bibit baru,” kata pemilik sekaligus pengelola Taman Eden 100, Marandus Sirait (44).
Pengunjung bebas makan buah-buahan di dalam hutan konservasi milik keluarga Marandus Sirait ini bila berminat. Ada buah durian, alpukat, jeruk, dan jambu biji.
Hutan tropis yang bersuhu rata-rata 20 derajat celsius di siang hari ini juga cocok bagi pencinta tanaman atau bunga. Marandus secara khusus membangun area konservasi anggrek toba degan label Orchid Park, satu-satunya taman konservasi anggrek hutan di Sumatera Utara. Beragam tanaman khas Batak yang mulai langka pun ada di sini. Sebutlah, misalnya, pohon sampinur bunga, hariara, jabi-jabi, tahul-tahul, dan andaliman tumbuh subur di sana.
Tumbuh juga pohon ara atau tin yang bibitnya sengaja didatangkan langsung dari Israel. Juga pohon butter nut dari hutan Amazon. Kedua pohon ini tumbuh subur dan rimbun meski tak berbuah. Mungkin karena iklim yang tidak cocok. Paling tidak, kehadiran pohon-pohon itu menambah kekayaan koleksi Taman Eden 100
Keindahan alam
Jenuh dengan keanekaragaman flora, pengunjung juga dapat menikmati keindahan alam di dalam hutan tropis ini. Pengelola hutan siap mengantarkan pengunjung ke goa kelelawar yang berjarak sekitar 2,5 jam jalan kaki dari pintu masuk. Di goa ini, pengunjung dapat menikmati keindahan alam di sekitar hutan lindung yang berdekatan dengan Taman Eden 100 atau bisa juga melihat langsung habitat kelelawar.
Bila cuaca mendukung dan cukup waktu, pengunjung dapat menikmati air terjun yang hanya butuh waktu sekitar 20 menit berjalan kaki dari pintu masuk Taman Eden 100. Suara debur air terjun yang ditingkahi gemerisik daun tertiup angin seolah membawa pengunjung pada kedamaian abadi.
Segala penat dan lelah setelah menyusuri jalan setapak berliku dan menurun terasa hilang. Apalagi saat menceburkan diri di bawah air terjun. Wuuuss....! Segar tiada terkira. Mungkin inilah yang disebut sebagian kenikmatan surga.
Jangan lupa, abadikan aktivitas Anda dengan berfoto bersama keluarga atau rombongan seperti yang dilakukan David Tomotius (16) yang datang bersama keluarganya. ”Sepertinya lain waktu saya perlu datang ke sini. Tempatnya sangat menyegarkan dan damai,” kata David.
Menurut Pendeta Oloan Sibatuara, pengunjung lain, jarang ada tempat wisata di Sumatera Utara yang mengajarkan pentingnya menanam pohon seperti Taman Eden 100. Tempat ini dapat menjadi lokasi percontohan bagi generasi mudah tentang cara melestarikan lingkungan. Oloan pun menyumbang sejumlah uang dengan menanam sebatang pohon sebelum pulang.
Lokasi hutan seluas 40 hektar ini berada di tepi Jalan Raya Parapat-Balige, sekitar 190 kilometer dari Medan ke Tarutung. Bila kesulitan menemukan lokasinya, pengunjung bisa langsung bertanya kepada warga di pinggir jalan. Sebagian besar dari mereka mengetahui persis Taman Eden 100 lantaran namanya sudah sedemikian tenar di Toba Samosir.
Taman Eden 100 dapat menjadi alternatif tempat berlibur bagi wisatawan yang barang kali jenuh dengan Danau Toba atau Parapat yang selama ini menjadi tujuan utama para pelancong. Dari Parapat, jarak Taman Eden 100 hanya sekitar 17 kilometer ke arah Balige.
Bila berangkat dari Medan, pengunjung dapat menempuh jalur darat dengan jarak tempuh 5-6 jam.
Bila kurang puas hanya sehari menikmati Taman Eden 100, pengunjung dapat menginap di hotel atau losmen di Parapat, baru keesokan harinya melanjutkan petualangan di Taman Eden 100.
”Kami berencana membuat penginapan agar pengunjung lebih leluasa, tapi modalnya belum cukup,” kata Marandus.
Asal mula
Taman Eden 100 lahir dari kegelisahan Marandus akan kemiskinan dan kerusakan lingkungan. Kala itu penghujung tahun 1990-an. Dia memahami pesan Tuhan dalam kitab suci bahwa manusia harus menjaga alam. Akan tetapi, banyak perilaku manusia yang menunjukkan sebaliknya.
Seminar, diskusi, dan dialog tentang lingkungan hidup lebih banyak berhenti pada sebatas wacana tanpa kerja nyata.
Pada saat bersamaan, Marandus tersadarkan pada sebuah ironi: warga di sekitar Danau Toba jatuh pada kemiskinan, padahal mereka hidup di tepi Danau Toba yang penuh dengan sumber daya alam. Ikannya melimpah ruah dan tanaman tumbuh subur.
Ayah satu anak ini saat itu menjadi guru musik di Medan, kemudian pulang kampung ke Desa Sionggang Utara. Dia meminta izin keluarganya untuk menghutankan lahan 40 hektar milik keluarganya yang tak terawat.
Untuk membiayai niatnya itu, ia lantas menjual satu demi satu peralatan musiknya seperti gitar elektrik, keyboard, dan seperangkat drum. Semua uang itu dia gunakan untuk survei, membeli bibit pohon, dan merawat pohon-pohon yang ia tanam.
Tak kurang dari 100 jenis pohon produktif dia tanam. Dia membayangkan hutan yang dia bangun itu menjadi semacam surga bagi manusia. Selain melindungi lingkungan, juga bermanfaat secara ekonomi bagi warga, baik dari buah maupun kunjungan wisatawan. Obsesi itu dia abadikan dengan nama hutan: Taman Eden 100.
Kerja keras dan dedikasi Marandus menuai berbagai penghargaan. Beberapa adalah penghargaan Kalpataru bidang perintis lingkungan tahun 2005 dan Wahana Lestari Tahun 2010. Bagi Marandus, penghargaan hanya pemacu untuk bekerja lebih keras.
Menyusul penghargaan itu, minat pengunjung taman ini makin deras. Dalam sebulan, rata-rata pengunjung mencapai 1.200. Pada Juni-Juli, saat liburan (panjang) sekolah, jumlah pengunjung mencapai 100 per hari.
Taman Eden 100 kini menjadi megaproyek Marandus yang berorientasi pada lingkungan dan ekonomi masyarakat. Dia memproyeksikan pada tahun 2020 kelak Taman Eden 100 bertambah fasilitas berupa penginapan, tempat berkemah, pentas musik tradisional, dan wahana permainan untuk anak-anak.
Ayo, datang ke Taman Eden 100. Selain bisa menikmati keindahan alam, Anda tentu bisa melihat langsung kerja Marandus yang sarat akan nilai fundamental. Siapa tahu Anda terinspirasi untuk melakukan hal serupa: menjaga lingkungan hidup sembari memakmurkan sesama.
Sumber :
Kompas Cetak
No comments:
Post a Comment