Wednesday, June 20, 2012

Menjenguk Peradaban Masa Lalu Suku Batak di Huta Siallagan


Menjenguk Peradaban Masa Lalu Suku Batak di Huta Siallagan


Samosir memiliki cukup banyak tempat bersejarah yang menarik untuk dikunjungi. Salah satu yang sempat kudatangi adalah Huta Siallagan  dengan Batu Kursi Persidangan yang ada di Kampung Ambarita.

Huta Siallagan
Huta kampung adalah sebuah kelompok rumah yang berdiri di sebuah kawasan yang dihuni oleh beberapa keluarga yang terikat dalam satu kerabat. Huta ini dibangun sebagai identitas yang akan menjelaskan asal usul kekerabatannya, maka selanjutnya huta akan dinamai sebagai huta marga. Begitu pula halnya dengan marga Siallagan (turunan Raja Naiambaton garis keturunan dari Raja Isumbaon anak ke-2 Raja Batak). Mereka membangun sebuah huta/perkampungan yang dinamakan Huta Siallagan dan dipimpin oleh Raja Siallagan.

Pembangunan huta Siallagan dilakukan secara gotong royong atas prakarsa raja huta yang pertama yakni Raja Laga Siallagan. Huta kemudian diwariskan kepada keturunannya, Raja Hendrik Siallagan dan seterusnya kepada keturunan Raja Ompu Batu Ginjang Siallagan. Kampung Siallagan dikelilingi oleh batu-batu besar disusun bertingkat menyerupai benteng dengan tanaman bambu di atasnya. Bagi orang Batak, bambu memiliki banyak fungsi seperti halnya suku bangsa Indonesia yang lain.

Huta Siallagan persisnya berada di Desa Ambarita, Kecamatan Simanindo, Pulau Samosir, Kabupaten Samosir. Kalau Anda masuk Samosir melalui Tuktuk, jaraknya sekitar 3 km dari dermaga atau 5 km dari dermaga Tomok. Luas Huta Siallagan diperkirakan 2.400 m2. Huta ini dikelilingi dengan tembok batu alam berketinggian 1,5–2 meter yang disusun dengan rapi. Pada masa lampau tembok dengan tanaman bambu ini berfungsi untuk menjaga huta dari gangguan binatang buas maupun penjahat. Sedangkan pada pintu masuk terdapat patung batu besar yang diyakini sebagai penjaga dan mengusir roh jahat yang ingin masuk kedalam huta. Patung ini disebut Pangulubalang.

Rumah Adat Batak
Begitu memasuki gerbang huta, kita langsung dihadapkan pada sederet rumah adat Batak. Rumah-rumah itu beratap kerucut dengan ujung bagian belakang lebih tinggi menjulang ke atas daripada ujung bagian depan. Jumlah rumah ada 8. Pada masa lalu rumah-rumah ini dihuni oleh satu sampai empat keluarga (suami isteri dan anak). Saat ini hanya satu rumah yang dihuni, yakni rumah sang raja. Rumah-rumah adat di Huta Siallagan ini sempat mengalami kebakaran. Bentuk asli rumah diperkirakan berumur ratusan tahun. Namun seiring perkembangan jaman, ada penyesuaian bahan bangunan pada proses perbaikannya, misalnya dinding, tiang dan atap telah diganti atau diperbaharui. Rumah adat asli menggunakan bahan bangunan baik dinding maupun lantai dari kayu tanpa paku dan atapnya bahan ijuk.

Bangunan rumah adat Batak berdiri diatas tiang-tiang kokoh dengan ruangan bawah yang dibiarkan terbuka. Ruang bawah ini disebut “bara” dan biasanya digunakan untuk kandang hewan piaraan. Bara ini dikelilingi oleh tiang-tiang penyangga rumah yang satu sama lain dihubungkan dengan “ransang” yakni papan kayu tanpa paku.

Pada bagian depan rumah adat Batak dihiasi ukiran khas Batak (disebut Gorga) yang terdiri dari 3 warna (putih, merah dan hitam) yang memiliki makna tersendiri. Selain itu terdapat pula berbagai ornamen benda-benda khas antara lain seperti ornamen yang dinamakan Gaja Dompak, Singa-singa, Pane Nabolon dan Dila Paung. Konon ornamen ini diyakini berfungsi untuk menangkal roh jahat yang mau masuk kedalam rumah tersebut dan menjaga penghuni rumah dari gangguan ilmu gaib atau yang menimbulkan hal buruk terhadap masyarakat di Huta Siallagan.

Untuk masuk ke dalam rumah adat Batak kita harus melalui tangga yang ditempatkan pada bagian tengah. Tangganya pendek san sempit. Jadi hati-hati, kalau tidak Anda bisa kejeduk :) Struktur itu memang sengaja dibuat demikian untuk mengingatkan bahwa sebagai tamu kita harus sopan, santun, dan hormat mendatangi pemilik rumah. Tangga ini biasanya terdiri dari 3, 5 atau 7 anak tangga (dahulu, hitungan ganjil bagi rumah orang yang dihormati atau rumah Raja, sedang hitungan genap untuk rumah pembantu atau orang yang miskin).

Begitu masuk kita langsung berada dalam ruangan tanpa sekat. Di ruangan terbuka Anda bisa jumpai berbagai peralatan rumah tangga sehari-hari seperti :
- Tataring (tungku) dan hudon tano (periuk tanah) ditempatkan ditengah ruangan sebagai tempat memasak makanan dan minuman bagi penghuni rumah atau tamu.
- Hassung (terbuat dari bambu yang panjang dan besar) digunakan untuk menampung dan mengangkat air dari mata air.
- Sapa (piring besar) tersebut dari kayu sebagai tempat makanan dihindangkan bagi seluruh anggota keluarga.
- Solub (terbuat dari bambu) sebagai tempat menyimpan makanan yang sudah dimasak, atau juga menjadi alat takaran beras.
- Peralatan dapur lainnya biasanya terdiri dari kayu dan batu seperti sendok nasi, lesung kecil dan tatakan.

Selain benda-benda tersebut, terdapat sebuah benda berbentuk empat persegi (seperti tampi) yang dibuat tergantung dibagian belakang atas ruangan, dahulu berfungsi sebagai tempat sesajen/ persembahan memohon berkat dan perlindungan dari roh nenek moyang dan Yang Maha Kuasa (di masa lalu orang-orang yang tinggal di Huta Siallagan termasuk Raja Siallagan menganut agama asli Batak yaitu agama Parmalim).

Bagian atas tidak mempunyai plafon, hanya pada bagian depan dan belakang atas terdapat ruangan yang disebut “Parapara”. Parapara di bagian depan digunakan untuk menyimpan benda-benda adat atau alat musik tradisional. Selain itu juga digunakan sebagai tempat yang aman untuk mengintip kondisi yang terjadi diluar rumah dalam huta. Parapara bagian belakang dipakai untuk menyimpan peralatan dapur dan bahan makanan persediaan.

Dimasa kini, pada salah satu rumah yang menjadi tempat open house Anda bisa melihat kain tradisional Batak, Ulos, yang dipasang berjajar. Ulos ini selain untuk pajangan juga untuk dijual sebagai souvenir.
13025895241441452167
Rumah adat Batak di Huta Siallagan dan batu persidangan
Hau Habonaran
Hau (kayu) yang tumbuh di tengah Huta Siallagan disebut Hau Habonaran (pohon kebenaran, pohon keadilan) yang pada awalnya disebut sebagai Hau Hangoluan (Pohon kehidupan). Disebut demikian karena pohon tersebut ditanam sebelum membangun Huta, ketika itu para tetua masyarakat berdoa (martonggo) bila kelak pohon yang ditanam tumbuh subur, itu berarti ada kehidupan ditempat tersebut yang akan dijadikan huta/perkampungan. Dahulu, pada hari-hari tertentu, Raja dan para tetua huta memberikan persembahan/sesajen di pohon tersebut yang dipercayai bahwa akan mendapatkan berkah yang mereka inginkan.
Kini Hau Habonaran masih berdiri kokoh dengan umur diperkirakan berumur ratusan tahun, dan keluarga raja masih memeliharanya dengan baik.

Batu Kursi Persidangan
Suku Batak (memiliki 5 sub etnis) merupakan etnis Indonesia yang memiliki ciri tersendiri. Bahkan konon bisa dianggap sebagai suku bangsa yang spesifik di dunia karena memiliki daerah asal-usul yang jelas, bahasa dan aksara, struktur kekerabatan, adat-istiadat dan hukum serta pola kehidupan sosial bahkan agama tersendiri.

Berkaitan dengan hukum, kursi (persidangan dan eksekusi) di Huta Siallagan adalah salah satu bukti peninggalan sejarah terdapatnya hukum Batak.  Batu kursi di Huta Siallagan ditempatkan pada dua lokasi sesuai dengan aturan dan fungsinya yang berbeda. Kelompok batu kursi pertama, dibawah pohon kayu Habonaran, merupakan tempat rapat-pertemuan Raja dan pengetua adat untuk membicarakan berbagai peristiwa kehidupan warga di Huta Siallagan dan sekitarnya. Selain itu juga menjadi tempat persidangan atau tempat mengadili sebuah perkara kejahatan.

Menurut cerita pemandu yang kutemui (hei Bang, maaf aku lupa namamu hehe), batu kursi pertama ini terdiri dari Kursi Raja dan permaisuri, Kursi Para Tetua Adat, Kursi Raja dari huta tetangga dan para undangan, juga Datu atau Pemilik Ilmu Kebathinan. Ditempat inilah diputuskan dan ditetapkan peraturan “pemerintahan, kemasyarakatan” dan hukum yang tegas bagi yang melanggarnya. Artinya Raja Huta Siallagan menjalankan pemerintahannya tidak berdasarkan kekuasaannya semata, tapi juga musyawarah, mendengarkan pendapat, dan usul serta pertimbangan dari para tetua adat yang diundang hadir untuk kemudian menetapkan keputusan secara jujur, adil dan bijaksana.

Selain untuk musyawarah dan sosialisasi peraturan hukum adat-istiadat, Batu Pertama ini juga dipergunakan untuk menetapkan hukuman bagi orang-orang yang melakukan tindakan kriminal (pembunuhan, pencurian), pelecehan/pemerkosaan, dsb. Setelah melalui proses investigasi dan interogasi kepada terdakwa, maka Para Pengetua Adat dan Raja dari huta tetangga memberikan usul jenis hukuman yang harus diberikan kepada terdakwa dan oleh Raja Siallagan (dikenal sebagai Raja yang adil dan tegas) ditetapkan menurut peraturan “kerajaan” Siallagan yakni Hukuman Denda, Hukum Penjara (dihukum pasung) dan Hukum Mati (hukum pancung/dibunuh) tergantung derajat kesalahannya.

Nah, untuk hukum mati inilah lokasi kelompok Batu Kedua. Lokasi Batu Kedua ini lokasinya tidak terlalu jauh dari Batu Pertama. Disini terdapat juga Kursi untuk raja, para penasehat raja dan tokoh adat, termasuk masyarakat yang ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman mati. Penjahat dibawa oleh hulubalang raja ke tempat eksekusi dengan mata tertutup menggunakan Ulos. Setelah raja, para penasehat, dan masyarakat telah berkumpul, penjahat dengan bertelanjang dada ditempatkan diatas meja batu besar. Menurut si abang pencerita, baju ditanggalkan untuk mengetahui dan menghilangkan kekuatan gaib yang dimiliki oleh penjahat.

Jika memang si penjahat memiliki kekuatan gaib, maka tubuhnya disayat dengan pisau tajam, sampai darah keluar dari tubuhnya. Bila perlu pada tiap sayatan diberikan air jeruk purut hingga sang eksekutor yakin sang penjahat tidak lagi memiliki kekuatan gaib di tubuhnya.
Selanjutnya tubuh sang penjahat diangkat dan diletakkan ke atas batu pancungan dengan posisi telungkup dan leher persis berada disisi batu, sehingga dalam sekali tebas kepala terpisah dari tubuhnya. Untuk memastikan apakah benar penjahat sudah mati, sang Datu kemudian menancapkan kayu “Tunggal Panaluan” ke jantung penjahat, lalu mengeluarkan jantung beserta hatinya untuk dicincang. Sedangkan darahnya ditampung dengan cawan.

Cincangan jerohan bersama darah tersebut kemudian dimakan dan diminum oleh sang raja sebagai bukti kekuasaan dan untuk menakuti pihak musuh. Selain itu ketika itu memakan bagian tubuh penjahat dipercaya dapat menambah kekuatan dari mereka yang memakannya.
Masih menurut cerita, bagian kepala penjahat dibungkus dan dikubur ditempat yang jauh dari Huta Siallagan. Sedangkan bagian badannya dibuang ke danau. Dalam suasana seperti itu Sang Raja memerintahkan agar masyarakat tidak boleh menyentuh air danau selama satu sampai dua minggu, karena air masih najis dan berisi setan.

Abad 19 pertengahan Agama Kristen ke tanah Batak dibawa oleh Pendeta Jerman Dr.I.L.Nommensen. Penerapan hukuman pancung tak lagi dilakukan, bahkansudah dihapuskan termasuk ilmu-ilmu gaib dan kebatinan semakin ditinggalkan. Berikutnya bila terjadi kejahatan dan kriminal, selain mempergunakan hukum adat juga dipergunakan hukum negara.
Boleh percaya, boleh tidak. Tapi kisah yang berlangsung hingga awal abad 19 ini masih beredar dan bahkan masih disampaikan oleh pemandu tamu Huta Siallagan.


Sumber:
http://sosbud.kompasiana.com/2011/04/12/menjenguk-peradaban-masa-lalu-suku-batak-di-huta-siallagan/

No comments:

Post a Comment