.. tulisan ini adalah seri keempat
dari rangkaian catatan perjalanan saya di Sumatera Utara
22 – 25 Maret 2012, bersama Komunitas Jejak Kaki ..
IMG_7490
Sabtu, 24 Maret 2012 ..
Semalaman saya tidur cukup nyenyak, entah karena kamar 1325 Danau Toba International Cottage yang begitu nyaman atau memang karena sehari sebelumnya kelelahan menempuh perjalanan super panjang, dari Bukit Lawang ke Parapat. Lagi-lagi bangun kepagian, gara-garaalarm masih setelan ala Jawa. Ya, 04.45 di Sumatera Utara belum masuk waktu Subuh. Fiuhhh .. Kesempatan malas-malasan sejenak di atas kasur, sampai adzan Subuh terdengar. Lepas sholat, saya dan Mba Ellis keluar kamar dan Danau Toba terhampar di depan mata, berpagar bukit-bukit hijau, ditingkahi warna langit yang membiru semu jingga. Subhanallah .. Namun, bagaimanapun, saya merasa aneh, selama ini, hamparan air selalu diiringi hawa panas khas dataran rendah, karena air yang saya lihat adalah laut. Kali ini tidak ! Berbeda ! Hamparan air terlihat, sementara hawa dingin menyengat. Jelas saja, karena Parapat termasuk dataran tinggi, yang terletak kurang lebih 900-an MDPL ..
IMG_7506
Pukul 7 pagi, sesuai waktu yang disepakati, saya dan teman-teman JK’ers sudah siap di restoran hotel untuk sarapan. Lepas sarapan, rombongan pun diberangkatkan menuju dermaga mungil milik penginapan. Jadwal hari ketiga ini adalah jelajah Pulau Samosir, dataran vulkanik yang terletak di tengah Danau Toba. Untuk mencapainya, kami memanfaatkan fasilitas kapal penyeberangan bernama Toba Cruise 07. Bukan kapal besar sih, hanya semacam perahu nelayan yang dimodifikasi sedemikian rupa, hingga bagian belakang dan atas kabin nahkoda dapat digunakan sebagai tempat duduk penumpang. Alhamdulillah-nya, JK menyewa Toba Cruise 07 ini, jadi rombongan leluasa berbuat anarkis, tanpa mengganggu rombongan lain. Haha .. ;)
IMG_7502
Tujuan pertama adalah Desa Simanindo, disana, saya dan teman-teman JK’ers akan menyaksikan pertunjukan Sigale-Gale di Museum Huta Bolon Simanindo. Butuh waktu kurang lebih 1 jam dari Parapat sampai kami merapat di dermaga Desa Simanindo. Pemandangan selama melintasi Danau Toba cukup menakjubkan, airnya tenang tanpa gelombang, langit biru cerah sempurna ..
IMG_7548
Museum Huta Bolon Simanindo merupakan warisan Raja Sidauruk, yang berkonsep museum terbuka. Huta memang merupakan bentuk kampung khas Batak, yang hanya memiliki 1 gerbang masuk dan dikelilingi dengan deretan pohon bambu yang rapat. Rumah-rumah adat berderet, bersisihan dengan rumah Raja, sementara sebuah lumbung padi berdiri di hadapannya. Tanah lapang yang berada di antara rumah-rumah digunakan untuk menyelenggarakan upacara adatMangalahat Horbo, di bagian tengahnya terdapat tonggak dan ditumbuhi pohon suci ..
IMG_7563
Pertunjukan Sigale-Gale dimulai dengan diperdengarkannya alat musik tradisional Batak. Sebuahharmoni kuno menyergap indera pendengaran saya, seperti mesin waktu, rasanya saya tengah benar-benar berada di lingkungan kehidupan masa lalu. Beberapa orang penari pria dan wanita memasuki tanah lapang. Terdapat 12 bagian dalam setiap pertunjukan Sigale-Gale, masing-masing memiliki kisah yang berbeda. Babak pertama diawali dengan adegan seorang penari paling tua berjalan masuk pelataran, sambil membawa seekor kerbau hitam, kemudian ditambatkan di tonggak dan pohon suci. Dalam kepercayaan mereka, tingkah laku kerbau merupakan petunjuk terjadinya hal buruk, oleh karena itulah kerbau diikutsertakan dalam upacara adat ..
IMG_7575
Tiga selanjutnya adalah Gondang Lae-LaeGondang Mula-Mula dan Gondang Mulajadi, inti dari babak-babak tersebut adalah ungkapan syukur kepada Tuhan tentang berbagai hal baik yang mereka alami. Selanjutnya adalah Gondang Mahata Sangaliat, dalam upacara adat yang sebenarnya, kerbau hitam yang ditautkan pada tonggak dan pohon suci disembelih, dagingnya dibagi-bagikan kepada peserta ritual. Gondang MarsiolopanGondang Sibori dan Gondang Sidoli merupakan babak berikutnya, bercerita tentang pertemuan seorang pria dan wanita, mulai dari perjumpaan di sebuah pesta, menentukan pilihan dan pemberian uang sebagai tanda keseriusan. Berlanjut ke babak berikutnya, yaitu Gondang Pangurason, yang menceritakan tentang roh leluhur merasuki raga salah seorang penari. Beranjak ke kisah heroik, Gondang Habonaran, dimana pada babak ini digambarkan pertarungan pedang antara dua pemuda. Kemenangan salah seorang diantaranya menggambarkan kebenaran, hal ini dirayakan dalam Gondang Tor-Tor Tunggal Panaluan, pada babak ini para penari mengajak pengunjung menari bersama. Pengunjung dapat ikut menari asalkan mendapatkan ulos, kain kebanggaan masyarakat Batak ..
IMG_7587
Babak terakhir adalah Gondang Sigale-Gale ..
Bagian ini menceritakan tentang kesedihan Raja saat putra tunggalnya mendadak meninggal karena sakit. Raja sangat berduka dan merasa kehilangan. Untuk mengobati kerinduan, Raja membuat patung kayu menyerupai Sang Putra. Dulu, patung ini digerakkan dengan mengundang roh, namun sekarang hanya sebatas ditarik dengan tali tersembunyi ..
Bagi saya, pertunjukan Sigale-Gale yang berlangsung kurang lebih 45 menit ini menakjubkan dan sakral ! TOP !
Menjelang tengah hari, rombongan meninggalkan Desa Simanindo, menuju Desa Tuk-Tuk. Dari beberapa informasi yang saya dapatkan, Tuk-Tuk adalah pusat keramaian di Pulau Samosir. Disana banyak terdapat cottage mewah ataupun sekedar penginapan sederhana, yang banyak dituju oleh wisatawan. Saya dan teman-teman JK’ers merapat di dermaga kecil milik Hotel Silintong, kami akan makan siang dan istirahat sejenak disini, sebelum melanjutkan perjalanan keDesa Ambarita dan Desa Tomok ..
IMG_7621
Lepas makan siang, rombongan kembali bergerak menuju Desa Ambarita. Disana, saya dan teman-teman JK’ers hendak mengunjungi situs Batu Kursi Raja Siallagan, yang terletak dalam sebuah lingkup Huta. Kalau boleh saya bilang, situs ini merupakan sebentuk pengadilan purba. Beberapa rumah adat berjejer di sebelah kiri gerbang Huta, salah satu diantaranya adalah Rumah Raja Siallagan. Di depan Rumah Raja, terdapat sebatang Pohon Kebenaran dan satu set meja kursi melingkar. Meja kursi itulah yang terbuat dari batu, hingga menjadi penanda nama situs ini ..
IMG_7623
IMG_7626
Berdasar informasi guide kami, Pak Sukarman, pada masa itu, Huta Siallagan memang telah menerapkan sistem pengadilan bagi setiap anggotanya yang melakukan kesalahan. Oknum yang bersalah dibawa dan disidang di Batu Kursi, dihadapkan pada para sesepuh Huta. Disanalah oknum tersebut diputuskan, apakah akan dihukum mati di Meja Pancung atau hanya sekedardikurung dalam penjara di bawah Rumah Raja. Jenis hukuman tersebut didasarkan pada kesalahan yang diperbuat ..
Jika memang hukuman mati yang menjadi keputusan, oknum yang bersalah dibawa ke Meja Pancung, yang terletak terpisah tidak jauh dari kompleks Huta. Ada 2 tahap hukuman, yang pertama adalah siksaan untuk membuktikan bahwa tersangka tidak dilindungi kekuatan gaib, yang kedua adalah hukuman pancung itu sendiri. Algojo bersiap dengan senjata tajamnya, sekali tebas, kepala pun terlepas. Oknum yang bersalah pun meninggal seketika, namun prosesi belum selesai, jantung dan hati Si Terhukum diambil, dicacah, kemudian dimakan oleh seluruh warga Huta. Astaga, seketika saya mual membayangkan tradisi kanibal ini ! Maksud dari prosesi ini adalah untuk menambah kekuatan magis masing-masing orang. Selanjutnya, kepala Si Terhukum dikubur di suatu tempat yang jauh dari Huta, sementara badannya dibuang ke danau. Oleh karena itu, sesepuh Huta melarang seluruh warga meminum air danau selama beberapa waktu, karena dipercaya barang siapa meminum air danau selepas hukuman pancung dilaksanakan, ia pun akan meninggal ..
Hmm .. Mendengar runtutan kisah pengadilan ala Raja Siallagan membuat saya mengawang. Orang jaman dulu mampu menyusun sebuah sistem kemasyarakatan yang begitu rapi dan adil. Siapapun yang melakukan kesalahan, tidak peduli kerabat Raja ataupun orang biasa, sama-sama tidak dapat melepaskan diri dari hukuman. Sungguh ironis dengan kondisi sekarang ..
Tujuan kami selanjutnya adalah Desa Tomok, disana kami akan mengunjungi Kubur Batu Raja Sidabutar. Begitu kapal merapat di dermaga Tomok, saya langsung menyimpulkan, desa ini jauh lebih ramai dan lebih mempersiapkan diri sebagai tujuan wisata dibanding Simanindo dan Ambarita. Keramaian warga lokal begitu kentara lewat sarana perdagangan. Macam-macam yang mereka jual, mulai dari souvenir, hingga aneka jenis makanan. Kios-kios mereka berjejer di kanan kiri jalan setapak yang menghubungkan dermaga hingga kompleks kubur batu. Menggoda .. ;)
Di pintu kompleks Kubur Batu Raja Sidabutar, rombongan diminta melampirkan sehelai ulos di bahu sebelah kanan, sebelum memasukinya. Sedikit melalui beberapa anak tangga, hingga saya menemukan beberapa sarkofagus atau kubur batu, yang bentuknya mirip peti mati : ada wadah dan tutup, disana. Kubur batu yang berusia paling tua adalah milik Raja Sidabutar I (Raja Opung Sori Buntu Sidabutar),  selanjutnya kubur batu milik Raja Sidabutar II (Raja Ujung Barita Naibatu Sidabutar). Raja Sidabutar merupakan penganut kepercayaan asli masyarakat Batak, yaituParmalim. Kepercayaan ini lebih condong ke aliran Animisme, yaitu memohon berkat kepada arwah-arwah leluhur dan tokoh-tokoh yang dihormati ..
IMG_7653
Legenda lain yang beredar di tengah masyarakat Tomok adalah tentang hobi berperang yang sangat digemari Raja Sidabutar II. Pun, dia memiliki sahabat akrab bernama Teuku M. Said, seorang bangsawan Aceh, yang kala itu menemani Raja Sidabutar II berperang. Saat kondisi terdesak, Teuku M. Said nekat mengangkat pakaiannya, hingga auratnya terlihat. Strategi itu terbilang sukses, bagi orang Batak, melihat aurat orang lain dapat dianggap sebagai pertanda kesialan, jadi saat melihat aurat Teuku M. Said, mereka lari kocar kacir. Raja Sidabutar II pun menang. Sosok Sang Sahabat tersebut diabadikan dalam perwujudan patung dan terletak di bawah kubur batu Raja Sidabutar II . Selain patung Teuku M. Said, sebuah patung lain juga menempel di kubur batu Raja Sidabutar II, yaitu penggambaran sosok wanita cantik jelita bernamaAnting Malela Br. Sinaga. Dia adalah kekasih Raja Sidabutar II, yang menghilang menjelang hari pernikahannya ..
Beberapa kubur batu lain yang terdapat di kompleks Tomok antara lain adalah milik Raja Sidabutar III (Raja Opung Solopuan Sidabutar) dan beberapa prajurit-prajurit yang gugur dalam pertempuran ..
IMG_7654
Tuntas menjelajah, saya dan beberapa teman sempat menuju Museum Batak, yang terletak hanya sekitar 100 meter dari kompleks kubur batu. Tidak sempat masuk, karena keterbatasan waktu, hanya bisa berfoto di depan plang namanya saja. Lagipula, cuaca lumayan menggoda, sebentar hujan, sebentar reda. Menjelang pukul 5 sore, kami pun kembali ke dermaga, karena Toba Cruise07 sudah menunggu. Saatnya kembali ke Parapat !
Bye, Samosir .. Pesona budayamu sungguh membuat hati saya berdesir .. ;)