Friday, June 15, 2012

Lomang (Bukan Ketupat!), Makanan Khas Lebaran di Tapanuli Selatan


Lomang (Bukan Ketupat!), Makanan Khas Lebaran di Tapanuli Selatan

Ciri khas Lebaran sebenarnya bukan hanya ketupat. Banyak sekali ragam kuliner yang menjadi makanan khas perayaan Idul Fitri di berbagai daerah, namun tidak diketahui oleh mayoritas warga Indonesia, lantaran media massa nasional terlalu jawa sentris.

Lomang, misalnya, adalah makanan khas dan bahkan sudah menjadi ikon Lebaran di kalangan etnis Batak yang beragama Islam, khususnya di Tapanuli Selatan. Lomang jauh lebih lezat– dan harum pula, dibandingkan dengan ketupat; seperti yang digambarkan dengan penuh cinta dan kerinduan oleh Halida Srikandini boru Pohan, dalam artikelnya yang terbaru ini.
Selamat menikmati,
Raja Huta

Lomang (kanan). foto : tatianak2.wordpress.com
Dan, buat kami yang memiliki keluarga dengan agama yang berbeda, ada nuansa lain yang membuat kebersamaan itu terasa lebih indah, sebab mereka juga datang dan turut membantu kami. Bahkan saat hari masih pagi sekali, saudara-saudara kami yang beragama Kristen sudah datang, dengan semangat gotong-royong ikut menyiapkan perayaan Idul Fitri…
kulinerkita.com
LOMANG. foto : kulinerkita.multiply.com



Oleh : Halida Srikandini boru Pohan

Huaaaaaaaaaa…. lebaran bentar lagi...Baju baru… sepatu baru… kue sopit… kombang loyang…Semua sudah siap….
Tapi, ada satu hari yang penuh kenangan di hari terakhir puasa di Sipirok na soli banua na sonang….

Ach… rasanya ingin segera datang tanggal 27… biar bisa segera menghirup aroma khas Sipirok … oiiss leh Sipirok.. ama na lungun hulala mulak tu sadun…( ooohhh sipirok… rindu banget kurasa kembali kesana… )
Setiap menjelang Lebaran, ada dua kegiatan seru di Sipirok (Sumatera Utara) yang pasti selalu dikenang oleh anak rantau, yaitu mangalomang atau memasak alomang (lemang), dan marbante (baca : marbatte)
Mangalomang

Berbeda dengan tradisi umum di Indonesia, di mana hari raya idul fitri identik dengan ketupat/lontong, Lebaran di Tapanuli Selatan lebih identik dengan alomang (Sipirok)/lomang (Mandailing). Perayaan Idul Fitri di sana tidak lengkap rasanya, jika tanpa alomang/lomang.

Selain karena kelezatannya, alomang/lomang menjadi spesial banget dan selalu dirindukan lantaran kentalnya kebersamaan waktu membuatnya. Sejak merencanakan, sampai kemudian mencicipi alomang/lomang hasil kolaborasi mereka, keluarga-keluarga–dan kadang-kadang ikut juga tetangga—menikmati kebersamaan yang langka dalam suasana penuh canda.

Sejak subuh, para ibu dan anak gadisnya sudah marhutintak(sibuk dan heboh) di dapur, mulai dari urusan manghurhur harambir (memarut kelapa), mamoro santan (memeras kelapa menjadi santan), marsege sipulut ( menampi ketan), dan lain-lain. Sedangkan para bapak dan anak laki-laki mengerjakan bagian mereka di luar rumah; menyiapkan bulu alomang (sejenis bambu dengan ruas yang panjang dan tidak terlalu tebal ataupun terlalu tipis); membuat tungku; dan menyalakan api untuk memanggang lomang.

Seusai menyiapkan semua itu, biasanya para bapak dan anak laki-laki yang sudah mulai dewasa (poso-poso) berangkat ke poken/onan-bahasa Toba (pasar) untuk urusan marbante. Kaum perempuan merampungkan pembuatan alomang/lomang, mulai dari memasukkan daun pisang ke dalam tabung bambu, mengisinya dengan sipulut dan santan, sampai memanggang bambu tersebut di atas bara. Supaya matangnya tepat dan benar-benar gurih, lamanya lomang dipanggang sekitar setengah hari.

Cara menikmati alomang/lomang ini yang paling mantafffff adalah dimakan bersama tangguli (cairan kental yang rasanya manis dibuat dari air nira/tuak) atau lebih nikmat lagi dimakan bersama rondang (rendang)… hmm… nyammmmmyyyyyyy…. alaaahhh lehhhh gabe manetek doma dongdong hu mambayanghonna (jadi menetes deh air liurku membayangkannya)

Selain dengan tangguli dan rondang, ternyata, alomang/lemang enak juga dimakan dengan selai srikaya. Aku mengetahui resep ini pas kami tidak pulang kampung ke Sipirok dan berlebaran di Jambi… molo on dabo malo malo ni halak kota ma on gorar na hehehe…( kalo yang ini sih pintar-pintarnya orang kota ajalah)
Setelah menikah dengan marga NASUTION dari Mandailing, baru kutahu kalau alomang/lomang nikmat juga disantap dengan sirup merah produk Sumut–kalo tak salah mereknya Kurnia. Ach ternyata… alomang ini nikmat disantap dengan apa saja… tangguli, rondang, selai srikaya, sirup merah; semuanya klop…
Yang paling kusuka dari alomang/lomang ini adalah bagian ujung yang paling lunak, rasanya gurihhhh…karena di situ sari santan berkumpul. Dari dulu sampai sekarang, tiap makan alomang/lomang… bagian itu pasti jatahku …tak boleh diganggu gugat, walopun sekarang marlebaranna di rumah mertua, bukan di rumah ompung lagi hehehehe…
Marbante

Marbante ini kalo diIndonesiakan artinya (mungkin) berbantai. Seremmm yahhhhh…
Marbante adalah tradisi lama di luat Tapanuli Selatan, biasanya dilaksanakan sehari menjelang Lebaran. Beberapa sumber yang “kuinterogasi” memastikan, tradisi marbante terdapat di seluruh wilayah Tapanuli Selatan ( Sipirok, Padangbolak, Angkola, Sidempuan dan Mandailing).
Kenangan marbante biasanya lebih dinikmati kaum laki-laki (para ayah dan angka poso-poso i Sipirok). Tapi, kalo kuingat cerita uda sepulang dari marbante; bayangannya sangat menyenangkan dan seru; entah karena suasananya memang seperti itu atau karena udaku itu pandai bercerita–penuh semangat, sehingga aku terpesona…

Husttt… jangan berpikir macam-macam dulu tentang urusan bantai-berbantai ini. Sangat jauh dari urusan kekerasan ataupun kerusuhan. Malahan, supaya untung dalam berbantai, harus jeli dan pintar menaksir. Penasaran kan….?
Sebenarnya, marbante ini adalah urusan niaga, yaitu jual beli daging kerbau/sapi. Tapi, berbeda dengan di daerah lain yang umumnya menjual daging kerbau/sapi per kilogram, di Tapanuli Selatan daging sapi atau kerbau dijual utuh 1 ekor atau minimal 1 paha.

Nah, di sinilah keahlian taksir-menaksir benar-benar diandalkan, karena biasanya harga 1 paha itu sama semua atau harga 1 ekor itu sama semua. Jadi, kalo kita pintar menaksir berat daging itu, bisa lebih murah daripada harga pasaran yang diukur pakai timbangan. Namun, bisa juga sebaliknya, menjadi lebih mahal.
Kalo sampai kejadian salah taksir, misalnya lebih banyak tulang daripada daging, siap-siaplah diomelin sa-ompu (keluarga besar) begitu sampai di rumah. Kebayang kan kek mana diomelin sama boru Siregar … (rata-rata pria di Sipirok istrinya boru Siregar lho… ) Rasanya gatal-gatal mulai dari kuping sampai ke jempol … wakakakakakak. maaf mama… please jangan melototin aku kek gitu yahhhhh …

Karena marbante ini membeli dagingnya dalam jumlah besar, biasanya untuk keperluan beberapa keluarga yang masih satu ompung, maka setelah tiba di rumah para lelaki dalam keluarga besar itu langsung gotong-royong mengurusnya. Mereka memotong-motong daging itu dan memilah-milah mana yang untuk irondang (direndang), isambolon (disambal) ataupun isop (disop).

Selagi kaum laki-laki membereskan daging-daging itu, kami yang perempuan pun sibuk menyiapkan bumbu-bumbu; mulai dari menggiling bumbu untuk rendang, cabe, manghurhur harambir, mambaen (membuat) ombu-ombu, mamoro santan dan lain-lain.

Biasanya, masing-masing sudah punya semacam spesialisasi… Mamaku paling jago urusan bikin bumbu rendang dan sop, nanguda urusan sambal daging. dan para ujingku (adik perempuan ibu-etek(Mandailing)) langsung ambil jurus manghurhur harambir, mamoro santan, mambaen ombu-ombu.
Ombu ombu adalah kelapa parut yang digongseng sampai coklat keemasan lalu ditumbuk halus sampai mengeluarkan minyak. Biasanya ini jadi bumbu pelengkap masakan yang menggunakan santan, misalnya rendang atau gulai ayam.

Setelah beres memilah dan memotong-motong daging, biasanya kaum laki-laki menyiapkan dalihan (tungku) dan soban (kayu bakar) untuk memasak. Oh yah, kegiatan memasak rame-rame ini dilakukan tidak di dalam rumah, tapi di halaman samping atau halaman belakang.
Selain urusan menyiapkan dalihan, kaum laki-laki juga bertanggung jawab menjaga api, dan mengaduk-aduk masakan sampai matang.

Islam-Kristen gotong-royong
Suasana saat memasak terasa sangat indah. Kerukunan keluarga nyata terlihat. Dan, buat kami yang memiliki keluarga dengan agama yang berbeda, ada nuansa lain yang membuat kebersamaan itu terasa lebih indah, sebab mereka juga datang dan turut membantu kami. Bahkan saat hari masih pagi sekali, saudara-saudara kami yang beragama Kristen sudah datang, dengan semangat gotong-royong ikut menyiapkan perayaan Idul Fitri…

Sambil memasak, senda gurau tak pernah berhenti… dan kadang saling mengingat kenangan masa kecil bersama, yang kemudian dijadikan bahan saling marsiarsakan (saling goda). Dari situlah aku jadi tahu, kek mana amang tua waktu muda…kek mana uda waktu muda.. hahahah jadi pada terbuka kartunya
Masih seperti inikah di Sipirok sekarang ?

Semoga keindahan seperti ini tak lekang oleh waktu…
======================================================

www.tobadreams.wordpress.com
http://tobadreams.wordpress.com/2008/09/29/lomang-bukan-ketupat-makanan-khas-lebaran-di-tapanuli-selatan/

No comments:

Post a Comment