Friday, June 15, 2012

Budaya Marga Nasution


Budaya Marga Nasution

 1. Awal Keturunan Pertama Marga Nasution

Orang-orang Mandailing bermarga Nasution meyakini mereka adalah keturunan Si Baroar yang pada masa bayinya ditemukan di tengah hutan oleh Sutan Pulungan raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Versi lain mengatakan bahwa "Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyong (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.

Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak itulah yang kemudian ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutan ketika ia sedang berburu.

Kisah tentang Si Baroar sangat meyakinkan bagi masyarakat Mandailing karena sekitar pertengahan abad yang lalu kisah tersebut telah dituliskan oleh Willem Iskander (1840-1876) dalam buku karangannya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk. Buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Mandailing dipakai untuk bacaan di sekolah-sekolah sampai pada masa awal kemerdekaan Indonesia.

2.  Tarombo atau Silsilah

Satu-satunya data yang dapat dipergunakan untuk menghitung usia marga-marga yang terdapat di Mandailing ialah tarombo kerana ia mencatat setiap generasi marga dari nenek moyang masing-masing. jurai keturunan itu terkadang meragukan kerana beberapa tarombo dari marga tertentu sering berselisih jumlah generasi yang tercatat di dalamnya.

Jika diperhitungkan berdasarkan tarombo marga Nasution memiliki 19 sundut atau keturunan, maka dapat ditaksirkan bahwa marga Nasution sudah bertempat di Mandailing selama kira-kira 475 tahun. Perkiraan ini didasarkan pada taksiran 25 tahun untuk satu generasi. Sejak marga Nasution mulai berkuasa di Mandailing Godang, tidak dapat dipastikan.

Sementara tarombo marga Lubis memiliki 22 sundut. Ini menunjukkan bahwa keturunan Namora Pande Bosi telah bertempat tinggal di Mandailing selama kira-kira 550 tahun, yakni sejak abad ke 15, jika  diperhitungkan 25 tahun satu generasi. Bagaimanapun sejak bila marga Lubis mula berkuasa di Mandailing Julu tidak diketahui dengan pasti.

3. Dalian Na Tolu

suku Mandailing di mana pun mereka berada di Tanah Mandailing atau di rantau mengamalkan sistem kekrabatan Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabt pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Banua atau Huta asal mereka.

Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis.

Dahulu kala, orang Mandailing yang merantau ke Minangkabau, Sumatra timur atau Semenanjung, apabila mereka bertemu satu sama lain, pertama-tama mereka ìsorehî atau bertanya kampung asal dan marga masing-masing. Dengan cara itu mereka sudah tahu siapa orang itu dan apa gerangannya.


4. Penyabungan Tonga-tonga

Gambar: makam Marga Nasution di penyabungan tonga-tonga mandeling godang



Tempat yang dipandang terpenting di Mandailing Godang sejak dahulu ialah Panyabungan yang berkembang dari sebuah desa tertua menjadi kota kecil. Sementara bagian yang dipandang terpenting daripada Panyabungan ialah Panyabungan Tonga-Tonga kerana menurut kepercayaan orang-orang Mandailing di tempat itulah dahulu kala pertama kali bermukim Si Baroar, yakni tokoh yang dipandang sebagai nenek moyang orang-orang Mandailing marga Nasution.

Setelah diangkat oleh penduduk menjadi raja, Si Baroar digelar Sutan Diaru. Dari Panyabungan Tonga-Tonga, keturunannya bertebaran dan menjadi raja-raja di berbagai tempat di Mandailing Godang. Sampai sekarang terdapat Bagas Godang (Rumah Besar) dan sebuah balai sidang adat yang dinamakan Sopo Godang (balai agung) di Panyabungan Tonga-Tonga. Dalam jarak yang tidak begitu jauh di sebelah selatan kedua bangunan tersebut terletak makam Si Baroar.

5.  Marga

Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu mengikut nasab atau keturunan sebelah Ayah. hanya anak lelaki yang menyambung atau memakai marga untuk keturunan berikutnya sedangakan wanita hanya memakai marga tidak dapat menyambung marga.

Nama marga atau clan name orang-orang Mandailing, lelaki dan wanita tetap memakai marga ayah jika menikah. Dia tidak memakai marga suaminya seperti wanita  Barat yang mengambil surname (nama keluarga) suami sesudah menikah .

Seperti orang Arab dan Tionghua, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian diperturunkan secara bertulis.

Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20 Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, seperti yang telah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali  Ini tidak bermakna karena marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.

Biasanya di dalam sesebuah kampung di Mandailing terdapat dua atau tiga marga utama dan marga-marga ini saling kahwin mengahwini. Adat Mandailing melarang perkahwinan sesama marga, misalnya Nasution dengan Nasution  pasangan yang melanggar aturan ini akan dihukum.


Sumber:
http://mandelingbatak.blogspot.com/2012/03/budaya-marga-nasution-awal-keturunan.html

No comments:

Post a Comment