Thursday, June 21, 2012

KASUS BAHASA BATAK (2)

Kasus Bahasa Batak

Bagian II (Tamat)
Ucapan atau kata  yang terkait dengan animisme tidak lagi digunakan Batak muslim karena ucapan itu bertentangan dan menurunkan kadar ajaran Islam
Sibeth (1991: 11) membagi bahasa yang digunakan orang Batak ke dalam tiga kelompok utama, yakni kelompok Angkola/Mandailing dan Toba di selatan, Pakpak/Dairi dan Karo di utara dan Simalungun di timur laut.  Pengelompokan ini lebih bersifat geografis daripada lingustik.  Berdasarkan kesalingterpahamannya sebagai kriteria linguistik bahasa yang digunakan oleh subsuku Batak dapat diurutkan dalam satu kontinum yang menunjukkan bahasa itu dapat merupakan dialek sampai bahasa yang berdiri sendiri.
Di satu ujung kontinum itu terletak bahasa Angkola/Mandailing dan di ujung yang satu lagi bahasa Pakpak/Dairi seperti ditampilkan pada Figura 1.  Tidak terdapat kesalingterpahaman antara penutur bahasa Angkola/Mandailing dan Pakpak/Dairi.  Fakta ini meyakinkan bahwa kedua bahasa itu merupakan bahasa yang berbeda.
Di antara kedua ujung kontinum itu terletak bahasa subsuku Toba.  Sesudah itu terletak bahasa Simalungun dan kemudian bahasa subsuku Karo yang dekat dengan bahasa Pakpak/Dairi.  Terdapat kesalingterpahaman antara penutur bahasa Angkola/Mandailing, Toba dan Simalungun.
Dengan kata lain, jika penutur bahasa Angkola/Mandailing mengatakan sesuatu makna ucapannya masih dipahami orang Toba dan Simalungun.  Hal ini berarti bahasa ketiga subsuku itu masih merupakan dialek bahasa yang sama.  Terdapat kesalingterpahaman antara orang Simalungun dan Karo, yang menguatkan bahwa bahasa Simalungun dan Karo masih berkerabat.
Dengan kata lain, kedua bahasa itu merupakan dialek.  Selanjutnya, penutur bahasa Karo juga dipahami oleh orang Pakpak/Dairi.  Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Karo dan Pakpak/Dairi masih merupakan dialek.  Akan tetapi, jelas hampir tidak tedapat kesalingterpahaman antara Angkola/Mandailing atau Toba di satu sisi dan Karo atau Pakpak/Dairi.
Hal ini menguatkan bahwa bahasa Angkola/Mandailing atau Toba sudah merupakan bahasa yang terpisah dari Karo atau Pakpak/Dairi.  Kontinum seperti ditampilkan dalam Figura 1 juga menunjukkan jarak relatif bahasa yang digunakan subsuku Batak berdasarkan kesalingterpahaman.
Dua faktor berdampak terhadap kebertahanan bahasa orang Batak.  Pertama terkait dengan karakter atau temperamen subsuku Batak itu dan yang satu lagi amalan keyakinan atau agama.  Sementara faktor pertama bersifat sosial, yang satu lagi bersifat individu.
Karakter dan temperamen mempengaruhi intensitas ikatan kelompok, yang akhirnya berdampak pada pemertahanan amalan warisan budaya, termasuk kebertahanan bahasa.  Walaupun memiliki dasar budaya yang sama, masing-masing subsuku Batak memiliki karakter dan temperamen sendiri.  Subsuku Angkola/Mandailing dan Toba yang tekait erat secara budaya dan geografis memiliki ikatan kelompok yang kuat.
Dengan kata lain, kedua subsuku itu memiliki kebersamaan kelompok yang kuat.  Hal ini membuat mereka mempertahankan warisan budaya termasuk kebertahanan bahasa.  Akan tetapi, keduanya berbeda juga dalam karakter dan temperamen.  Subsuku Angkola/Mandailing dikenal sebagai orang yang lembut dan berbicara berirama sementara subsuku Toba cenderung keras dan berterus terang.  Orang Toba dikenal berbicara apa adanya sementara Angkola/Mandailing cenderung menyembunyikan sesuatu di balik ucapannya yang halus.
Subsuku Simalungun, Karo dan Pakpak/Dairi dikenal sebagai sentimental dan tenang.  Ketiganya memiliki ikatan kelompok yang kurang kuat.  Hal ini membuat mereka lentur dan penuh toleransi kepada yang lain.  Subsuku Simalungun merupakan yang paling lemah dalam ikatan kelompoknya di antara ketiganya dengan urutan sebagai Karo—Pakpak/Dairi—Simalungun berdasarkan intensitas dari terkuat ke yang terlemah.  Wilayah permukiman Simalungun telah dimasuki Toba.  Juga dipahami bahwa lebih banyak orang bukan Simalungun, seperti Toba dan Jawa berdiam di daerah Simalungun daripada orang Simalungun sendiri.  Simalungunlah yang paling adaptif dari ketiga subsuku itu.
Toleransi, kelenturan dan keteradaptasian orang Siamalungun terealisasi dalam sikap mereka terhadap pendatang.  Misalnya, ketika orang Toba datang ke daerah Simalungun, orang Simalungun menggunakan Bahasa Batak Toba bukannya Bahasa Simalungun.  Karena hormatnya kepada tetangganya (Toba dan Karo), orang Simalungun biasanya menguasai Bahasa Toba, Karo, dan Simalungun.
Sejumlah orang Simalungun juga dapat menggunakan dialek Angkola/Mandailing. Karakter dan temperamen subsuku Batak itu telah mempengaruhi sikap mereka terhadap bahasa mereka.  Secara khusus sikap itu telah berdampak terhadap kebertahanan terhadap bahasa mereka.  Tingkat kebertahanan bahasa subsuku Batak diringkas dan ditampilkan dalam Figura 2.
Seperti ditampilkan dalam Figura 2 Toba terletak di satu ujung kontinum, yang menunjukkan Toba memiliki kebertahanan bahasa yang sangat kuat.  Simalungun dengan kebertahanan bahasanya yang sangat lemah terletak di ujung yang lain kontinum itu.  Di antara kedua ujung kontinum itu terletak Pakpak/dairi, Karo dan Angkola/Mandailing.
Orang Karo memiliki kebertahanan yang lebih kuat dari Pakpak/Dairi.  Fakta menunjukkan bahwa permukiman Karo dan Pakpak/Dairi telah dimasuki Toba.  Orang Toba di daerah Pakpak/Dairi cenderung menggunakan bahasa mereka sendiri tetapi yang tinggal di Karo menggunakan Bahasa Karo.  Subsuku Mandailing cenderung eksklusif dalam budaya dan sering mengatakan mereka bukan orang Batak lagi tetapi orang Mandailing saja.  Kebanyakan Mandailing adalah muslim dan dengan begitu mereka menyebut diri mereka bukan Batak.
Grenoble and Whaley (2006: 41) menyatakan bahwa agama berperan penting dalam revitalisasi bahasa.  Peran agama juga sangat penting dalam hal kebertahanan Bahasa Batak.  Orang Batak adalah pemeluk tiga agama atau keyakinan yakni agama/keyakinan tradisional atau agama asli orang Batak, Islam dan Kristen.  Pada awalnya orang Batak adalah animisme.  Yang dimaksud dengan agama tradisional dalam makalah ini adalah agama asli orang Batak selain Islam dan Kristen.  Sampai saat ini terdapat lebih dari 6000 pemeluk keyakinan ini (diskusi dengan pakar Parmalim Prof. Ibrahim Gultom, PhD—dosen Unimed).
Ada dua keyakinan tradisional yang utama, yakni Pelbegu yang didasarkan pada ajaran animisme dan Parmalim yang banyak persamaan dengan ajaran Islam.  Upacara dan ajaran agama tradisioanl ini berlangsung dalam Bahasa Batak.  Jadi, penganut agama tradisional ini kukuh mempertahankan pemakaian Bahasa Batak.  Dengan kata lain, pengikut agama ini mempertahankan pemakaian Bahasa Batak dalam acara keagamaan mereka.
Perbandingan pengikut agama tradisional ini dari subsuku Batak diringkas dalam Figura 3 berikut.  Mayoritas orang Batak adalah muslim.  Tetapi proporsinya bervariasi di antara subsuku Batak itu.  Subsuku Angkola/Mandailing paling banyak dalam jumlah pemeluk agama Islam dari kelima subsuku itu.  Toba memiliki jumlah muslim yang paling sedikit.  Subsuku Batak dapat diurutkan dalam satu kontinum berdasarkan jumlah pemeluk Islam seperti diringkas dalam Figura 4.
Angkola/Mandailing dan Toba terletak pada kedua ujung kontinum itu; Angkola/Mandailing dengan jumlah terbanyak dan Toba dengan jumlah yang paling sedikit dalam pemeluk Islam.  Di antara kedua ujung kontinum itu terletak Simalungun, Karo dan Pakpak/Dairi. Orang Batak muslim cenderung kurang bertahan atau kurang mempertahankan budaya dan resam Batak.  Mereka cenderung kompromi dalam pelaksanaan warisan Batak termasuk dalam kebertahanan Bahasa Batak.  Ada dua sebab mengapa hal ini terjadi.  Pertama orang Batak yang sudah masuk Islam cenderung kuat dan ingin memurnikan ajaran Islam dalam hidup mereka.  Mereka sangat meyakini Allah Subahana Wataala, Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengesakan Allah.  Dampaknya adalah mereka tidak lagi melaksanakan budaya dan warisan Batak jika amalan budaya dan warisan itu bertentangan dengan ajaran atau aqidah Islam.
Dengan kata lain, mereka melaksanakan budaya Batak hanya jika tindakan budaya itu sejalan atau mendukung ajaran Islam termasuk dalam pemakaian bahasa.  Ucapan atau kata  yang terkait dengan animisme tidak lagi digunakan Batak muslim karena ucapan itu bertentangan dan menurunkan kadar ajaran Islam.
Kedua, Islam di Sumatra disampaikan dan disebarkan dalam Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia.  Pelajar di madrasah, maktab, atau sekolah Islam diajari Islam dalam Bahasa Indonesia.  Dengan demikian, anak-anak dan remaja fasih menggunakan Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia dan kurang lancar berbahasa Batak.  Karena mereka nampak enggan menggunakan Bahasa Batak, sering dikatakan di kalangan orang Batak bahwa Batak muslim itu bukan lagi orang Batak karena mereka cenderung mengamalkan budaya Melayu dan berbahasa Melayu atau berbahasa Indonesia.
Batak Kristen dan pemeluk agama tradisional menyindir saudara mereka yang muslim sudah menjadi orang Melayu.  Hal ini diperkuat lagi dengan perbuatan mereka yang sering tidak terkait lagi dengan budaya Batak.  Misalnya, Batak muslim cenderung bernama atau memberi nama anak mereka dengan nama Arab atau bernuansa Arab.  Beberapa orang Batak muslim bahkan tidak mencantumkan marga mereka lagi.  Jadi, dampak agama pada penutur Bahasa Batak yang bergama Islam adalah menurunnya kebertahanan Bahasa Batak.
Orang Batak juga pemeluk agama Kristen.  Perbandingan orang Batak Kristen bervariasi di antara subsuku Batak itu seperti diringkas dan dicantumkan dalam Figura 5.  Di satu ujung kontinum terletak Toba dengan jumlah penganut Kristen terbesar sedangkan Mandailing dengan jumlah penganut Kristen terkecil di ujung lain kontinum itu.  Di antara kedua ujung kontinum itu terdapat Karo, Pakpak/Dairi dan Simalungun.
Berlawanan dengan keadaan Batak muslim, Batak Kristen memiliki kebertahanan bahasa yang lebih kuat.  Kebertahanan Bahasa Batak yang terkuat di antara Batak Kristen disebabkan oleh dua hal.  Pertama, banyak amalan budaya dan ritual Batak tidak bertentangan dengan ajaran Kristen atau tidak dilarang dalam ajaran Kristen dan terus diamalkan oleh orang Batak Kristen.  Sebagai contoh, menari dalam pesta adat untuk orang meninggal yang dikenal sebagai pesta adat sayur matua, yang biasa dilakukan ketika orang Batak masih animisme, terus dilakukan orang Batak Kristen.
Dengan kata lain, ajaran Kristen memfasilitasi amalan dan kegiatan budaya termasuk penggunaan Bahasa Batak.  Tari ritual dan sakral seperti itu bertentangan dengn ajaran dan aqidah Islam dan oleh karena itu ditinggalkan.  Kedua, ajaran Kristen, hutbah dan doanya dilakukan orang Batak Kristen dalam Bahasa Batak.
Berlainan dengan itu, terjemahan kitab suci Alquran untuk bacaan orang Batak muslim dalam Bahasa Indonesia dan bukan dalam Bahasa Batak.  Karena terjemahan kitab suci Alquran dan amalan agama Islam dilakukan dalam Bahasa Melayu atau Bahasa Indonesia, orang Batak muslim secara tidak langsung sudah diajari bahasa Indonesia.
Dari ketiga keyakinan atau agama itu, pemeluk agama tradisional Batak memiliki tingkat kebertahanan Bahasa Batak yang terkuat.  Ini diikuti oleh Batak Kristen.  Batak muslim memiliki kebertahanan bahasa yang paling rendah.  Dengan demikian amalan dan praktik agama memiliki dampak terhadap kebertahanan Bahasa Batak seperti diringkas dan ditampilkan dalam Figura 6.
SIMPULAN Satu dari 746 bahasa daerah di Indonesia adalah Bahasa Batak.  Kebijakan bahasa nasional menetapkan secara seimbang atau proporsional fungsi dan peran tiga kelompok bahasa, yakni Bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.
Bahasa Batak memiliki kebertahanan yang tingkatnya bervariasi berdasarkan ciri budaya, karakter, dan temperamen subsuku Angkola/Mandailing, Toba, Simalungun, Karo and Pakpak/Dairi.  Amalan agama juga mempengaruhi kebertahanan Bahasa Batak.
Orang Batak yang memiliki kebertahanan bahasa yang kuat terhadap Bahasa Batak cenderung enggan dan menampik implementasi kebijakan bahasa nasional.  Sebaliknya, orang Batak dengan tingkat kebertahanan Bahasa Batak terendah cenderung mendukung dan bermanfaat untuk kebijakan bahasa nasional.
Akan tetapi, mereka yang tinggal di kota cenderung moderat dan merupakan harapan untuk mendukung kebijakan bahasa nasional secara proporsional.  Kedua kelompok dengan kebertahanan Bahasa Batak yang terkuat atau terlemah memiliki resiko penurunan sikap positif terhadap kelompok bahasa yang lain.
Yang diharapkan adalah orang Batak yang moderat dan proporsional dalam mendukung pengembangan ketiga kelompok bahasa itu sesuai dengan kebijakan bahasa nasional.  Disarankan agar Pusat Bahasa mempertimbangkan tingkat kebertahanan bahasa ini dalam menerapkan kebijakan bahasa nasional. ***** (Prof Amrin Saragih, PhD, MAPenulis adalah Kepala Balai Bahasa Medan dan Guru Besar Universitas Negeri Medan)

Sumber:

No comments:

Post a Comment