Wednesday, June 20, 2012

Museum Batak Tak Bertuan Di Desa Tomok


Museum Batak Tak Bertuan Di Desa Tomok

Sumatera Utara adalah salah satu negeri dengan koleksi museum kebudayaan terbanyak di Indonesia. Gimana nggak mau banyak coba, untuk museum berkategori “Batak” sendiri saja ada beberapa dan tersebar di beberapa kota dan kabupaten di Sumatera Utara ini. Sebut saja, Museum Batak Tomok, Museum Batak Tuk-Tuk Siadong, Museum Batak Huta Bolon Simanindo, T.B. Silalahi Center, Museum Simalungun, Museum Karo Lingga, Balai Budaya Batak Arjuna (koq namanya Arjuna sich?) dan Museum Rumah Bolon Pematang Purba. Ini sendiri masih di luar Museum Negeri Sumatera Utara yang memiliki koleksi kebudayaan Nias dan Melayu, serta Museum Pusaka Nias yang terletak di seberang lautan sana. Buat penjelajah dan penikmat kebudayaan Batak, rasanya kurang banget yach kalau berkunjung ke Tano Batak tapi nggak mencoba setidaknya satu museum kebudayaan Batak yang ada disini. Salah satu yang bisa dikatakan boleh (dan wajib) kunjung adalah Museum Batak yang terletak di Desa Tomok.
Di Desa Tomok, sebenarnya ada tiga objek wisata yang wajib kunjung, terutama buat para turis yang waktunya sempit dan terburu-buru. Secara berurutan dari belakang Pasar Tomok, mereka adalah Museum Batak, Makam Raja Sidabutar, dan Pertunjukkan Patung Sigale-Gale. Nah, biar nggak terlewat, sebaiknya kunjungi Museum Batak dahulu baru ke depan ke arah jalan raya. Tadinya saya mau berjalan dengan rute ini. Namun, karena terpesona oleh musik Batak yang mengalun di pertunjukkan Sigale-Gale, saya kepincut dan bergerak ke depan dulu dech. Hahaha.
Tahun 2007, saya melewatkan Museum Batak Tomok ini karena keterbatasan waktu dan lebih memilih untuk ke utara, ke Ambarita. Namun, disinilah saya sekarang, berkunjung ke Museum Batak Tomok. Museum ini terletak di ujung perlintasan Pasar Tomok ke arah dalam Makam Sidabutar. Siapkan senyum dan tolakan kalau anda nggak berminat membeli sesuatu. Hehehe. Niscaya, dijamin anda akan terus menerus diberondong oleh penawaran oleh-oleh sepanjang jalan kenangan ini. Hahaha. Museum ini merupakan bentuk utuh dari sebuah Ruma Bolon, bukan Sopo seperti yang tampak pada lokasi pertunjukkan Sigale-Gale yach. Bedanya? Ruma adalah untuk tempat tinggal, namun Sopo biasa dipergunakan sebagai balai pertemuan atau gedung serbaguna. Dari segi fisik, keduanya tidak begitu berbeda namun pintu masuk Ruma biasanya tertutup celah bangunan sementara pintu masuk Sopo lebih terlihat jelas dari luar. Di depan Ruma Bolon yang besar ini, ada empat buah gazebo yang lengkap dengan tempat duduk yang terbuat dari batu. Di sisi seberangnya, ada miniatur Batu Parsidangan yang terbuat dari batuan andesit, tanpa kursi, dengan batu pemancungan dan kepala sang terdakwa yang dihukum pancung di atas meja. Untung saja, semua itu terbuat dari batu dan tidak asli, hanya diorama saja. Yang aslinya ada di Ambarita, Desa Siallagan sana.
Ruma Bolon ini berukuran besar, lengkap dengan gorga dan ornamen khas Batak seperti empat payudara, cicak (atau tokek?) dan ornamen singa pada setiap ujung sudut gorga. Sayang, ini sudah bukan Ruma Bolon yang benar-benar asli sebab bagian bawahnya sudah berupa semen dan di sisi bangunan ada sayap yang merupakan bangunan tambahan. Walaupun dalamnya masih asli kayu, namun banyak bagian dari ruma ini sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Mungkin untuk mengantisipasi dari terpaan cuaca dan kerusakan kali yach? Makanya seiring perjalanan, renovasi dan “modernisasi” terus dilakukan. Buat yang penasaran seperti apa sich interior sebuah Ruma Bolon itu, kenapa nggak mencoba saja masuk ke dalam museum ini?
Hal pertama yang mengejutkan adalah, Museum Batak Tomok ini tidak membebankan tiket masuk sama sekali. Malah, tidak tampak ada batang hidung penjaganya sama sekali. Nggak takut koleksinya akan hilang dicuri kah? Atau sudah ada mistis dan magis tertentu agar benda-benda ini tidak dapat dicuri? Hihihi. Saya tidak tahu, namun yang jelas, pada saat kunjungan, saya hanya menemukan sebuah buku tamu dan kotak sumbangan sukarela bagi setiap pengunjung yang datang. Di depan saya ada sepasang turis lokal yang sedang mengenakan pakaian adat Batak Toba dan difoto oleh seseorang yang nampaknya pemandu wisata mereka. Tak lama, mereka menanggalkan pakaian adat tersebut yang ternyata berasal dari museum ini dan pergi keluar. Akhirnya, hanya tinggal kami saja di ruangan museum yang tidak terlalu lebar tersebut. Kalau sendirian, ruangan yang remang-remang tersebut mungkin agak terasa menyeramkan. Terutama dengan pencahayaan seadanya dan koleksi-koleksi yang sangat eksotis tersebut. Untungnya, saya berdua dengan teman saya. Saya jadi punya kesempatan untuk melihat ini itu dan bahkan, mencoba berpose dengan pakaian adat Batak Toba yang tersedia! Hore!
Jangan dibayangkan bahwa Museum Batak Tomok ini benar-benar merupakan museum yang lengkap dengan penjelasan dan koleksinya bervariasi yah. Jauh panggang dari api, koleksi yang ada di museum ini bisa dikatakan menyedihkan. Selain ditata dengan sembarangan di atas meja particleboard (kayaknya merek olymp*c dech), setiap benda koleksi yang dipajang hampir tidak memiliki keterangan apapun yang memuaskan. Jangankan keterangan, nama benda tersebut pun tidak disebutkan sama sekali. Sejumlah benda seperti topeng-topeng yang banyak dipergunakan dalam ritual Batak Toba, hingga gerabah, peralatan rumah tangga dari batu, tungkot, dan patung-patung dari batuan andesit tampak memenuhi sebagian besar koleksi Museum Batak Tomok ini. Di bagian depan, terdapat untaian beberapa kain Ulos. DI bagian tengah, ada sejumlah benda ukiran dan koleksi uang Rp. 1.000 tahun 1987 yang bergambar Sisingamangaraja XII dan uang Rp. 1.000 tahun 1992 yang bergambar Danau Toba serta di baliknya ada Lompat Batu Pulau Nias yang bersetting di Bawomataluo, Nias Selatan.
Di bagian sayap kanan bangunan, ada tambahan yang tampaknya difungsikan sebagai lokasi penjualan cenderamata khas Batak Toba. Lagi-lagi, koleksi cenderamata ini nggak ada yang menjaga sama sekali. Padahal, kalau dilihat dari bentuknya, saya jauh lebih tergiur dengan cenderamata karena warnanya terang serta dipelitur dengan halus untuk beberapa benda. Benda-benda di bagian cenderamata ini cenderung lebih rapih, lebih teroganisir, walaupun tidak ada keterangan sama sekali juga. Benda-benda yang dipajang disini sebagian besar adalah patung-patung Batak. Namun anda juga bisa menemukan aksara Batak, kalender Batak, tungkot, dan ukir-ukiran kreatif. Etalase tempat memajang benda-benda ini pun tetap unik : meja belajar (entah, kayaknya memang merek Olymp*c dech) yang terbuat dari particle board. Hihihihi. Saya sengaja agak lamaan berdiam di bagian ini, termasuk megang-megang benda jualan, ketawa-ketiwi, dan berpose sambil memegang barang jualan, kali-kali yang punya akan datang. Sayang, itu nggak terwujud. Sampai saya sudah bosan di dalam museum pun, kurator, penjaga keamanan, atau bagian tiketing dan panjual souvenir pun tidak ada yang datang. Hmm...benar-benar museum yang sangat percaya sekali terhadap turis yang berkunjung yach? Atau, apakah mereka berpikir nggak bakalan ada turis yang akan membeli souvenir di museum ini lantaran sudah tersaring oleh para penjual yang berderet di sepanjang jalan? Bisa jadi...
Usai berkunjung, jangan lupa untuk membubuhkan nama anda pada buku tamu sebagai tanda bahwa anda pernah berkunjung ke tempat ini. Jangan lupa, berikan sedikit donasi untuk membantu biaya perawatan museum ini. Nah, kalau cape, duduklah dahulu di gazebo-gazebo yang berderet tepat di depan museum ini sambil menikmati semilir angin (kalau ada minuman dingin sich lebih pas lagi). Ada seekor monyet yang dirantai di depan gazebo ini yang tampaknya dimiliki oleh orang yang menjaga Museum Batak Tomok ini. Sembari saya menunggu dan memfoto sang monyet dalam berbagai pose pun, orang yang seharusnya berkepentingan dan bertanggung jawab untuk Museum Batak Tomok ini tidak tampak sama sekali. Hmm... saya jadi bingung. Museum ini bertuan apa nggak sich?


Sumber:

No comments:

Post a Comment