Thursday, May 3, 2012

Menyusuri “Kota Tua” Barus


Menyusuri “Kota Tua” Barus


Posted on 4 Maret 2011
Satu Hari cukup singkat waktu yang dilalui untuk mengetahui lebih dekat cerita tentang “Bandar Tua” (Kota Tua – red) Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah yang kaya dengan situs makam-makam kuno tempat beristirahat-nya jasad para Aulia’ yang konon kabarnya sebagai penyebar pertama Agama Islam di Nusantara.

Kedatangan Penulis bersama rombongan jurnalis asal Kota Tebingtinggi ke daerah yang konon dulunya dikenal para pedagang dari seantero jagad dengan sebutan “Negeri Fanshury” ini terasa bagai berpacu dengan waktu. Bagaimana tidak? Minimnya fasilitas dan sempitnya waktu mengharuskan rombongan 14 jurnalist kota Lemang yang tiba di Barus pada pukul 10.00 Wib hari Jum’at pekan lalu harus segera merampungkan perjalanan liputan pada pukul 15.00 Wib sore, mengingat pada hari itu juga rombongan harus segera bertolak pulang. Cukup singkat memang, namun bekal informasi yang ingin diungkap bagai tak kunjung habis.

Cerita tentang “Bandar Tua Barus“ ternyata tidak sebatas pada kemasyuran kapur barus, kemenyan dan rempah-rempahnya saja. Menurut beberapa catatan ahli sejarah, “Kota Tua Barus” yang telah dikenal ribuan tahun sebelum Masehi ini sebagai “Bandar Perdagangan” terbesar dikawasan Samudera Hindia, tercatat bahwa kapur barus yang berasal dari daerah ini telah menjadi rebutan para pedagang baik dari belahan benua Eropah dan Afrika, sebab buktinya, (masih menurut catatan sejarah dan cerita) bahwasan-nya kapur barus yang berasal dari daerah ini telah dipergunakan kerajaan Mesir untuk membalsem jasad Raja Fir’aun.

Sementara itu, hasil pengamatan para sejarawan dan catatan para pemerhati sejarah yang melakukan penelitian di negeri tercinta nusantara sendiri menyatakan, bahwa BARUS merupakan kota tertua di Sumatera Utara dan kemungkinan besar daerah ini juga merupakan kota tertua di Nusantara, di daerah ini masih terdapat bukti-bukti sejarah dan legenda yang memperkuat argumentasi itu.

“Kota Tua Barus” yang dimaksud bisa jadi bukan yang kini dikenal sebagai Kecamatan Barus – Kabupaten Tapanuli Tengah dengan luas lebih kurang 53.766 km2 berjarak lebih kurang 417 km dari Kota Medan, akan tetapi adalah Kota Pelabuhan yang pernah disinggahi para pedagang-pedagang manca negara yang berasal dari Benua Afrika, Asia dan Eropah pada masa lampau.

“Barus adalah daerah awal masuknya agama Islam di Indonesia”, argumentasi yang diciptakan para pengamat sejarah itu kemungkinan benar adanya, hal ini bisa dilihat berdasarkan bukti yang ada ditambah lagi dengan masih terdapatnya situs makam – makam kuno bergaya Islami yang masih utuh hingga kini, meski terkesan kurang terawat dan diperhatikan, sepertinya Kota Barus masih banyak lagi menyimpan bukti-bukti sejarah yang belum terjamah para peneliti dan pemerintah.

Barus yang sekarang ini (Kecamatan) tepatnya disebuah wilayah pada jalur darat menuju Kecamatan Sorkam ataupun Pakkat, Maduamas hingga Singkil (Aceh), terdapat beberapa makam-makam kuno, dan peninggalan yang tidak mungkin disebutkan satu-persatu.
Letak makam-makam kuno tersebut, beberapa diantaranya temukan di lereng-lereng gunung atau bukit-bukit, mulai dari Desa Patupangan sampai ke arah Barat yakni Desa Lobutua. Warga setempat lebih mengenal makam-makam ini dan makam lainnya dengan sebutan makam “Aulia 44 ” (empat puluh empat), sayangnya tidak banyak catatan tentang keberadaan para aulia tersebut yang tertinggal untuk dijadikan pegangan bagi generasi saat ini.

Hanya catatan-catatan kecil yang terdapat pada batu nisan makam – makam “Aulia” yang dijadikan pedoman bagi penziarah, tulisan beraksara Arab yang berisikan potongan ayat suci dalam Al-Qur’an pada batu nisan makam-makam kuno tersebut sering dianggap sebagai tempat yang memiliki nilai religius tinggi khususnya bagi penganut Agama Islam di kawasan itu maupun yang datang dari luar daerah.

Tidak hanya masyarakat Tapanuli Tengah, masyarakat dari luar kawasan ini bahkan dari luar negeri khususnya penganut Agama Islam, sengaja datang ke kota ini, mulai dari sekedar melihat makam kuno, hingga berniat berziarah bahkan ada yang “berkaul“ (memasang niat / harapan tertentu – red) meski para orang-orang tua disana sering mengingatkan bahwa makam tersebut bukan tempat keramat yang harus dipuja.


Situs Makam-Makam Kuno Sebagai Bukti Sejarah.
Makam Papan Tinggi.
Tidak mudah untuk bisa mencapai ke lokasi pemakaman yang terletak di Desa Pananggahan Kecamatan Barus ini, dinamakan MAKAM PAPAN TINGGI sebab berada dipuncak sebuah bukit yang tingginya lebih kurang 200 meter dari atas permukaan laut, sesuai dengan namanya, Situs Makam Papan Tinggi yang memiliki rincian prasasti lumayan lengkap ini dianggap lebih banyak menyimpan “misteri” dan menyita banyak perhatian serta menarik minat untuk di kunjungi para penziarah, makam ini merupakan satu diantara makam “Aulia 44”.

Sebagaimana disampaikan Tajuddin Batubara (59) selaku Tokoh Masyarakat yang juga Pemandu Wisata di Kecamatan Barus, konon gunung tersebut dahulunya adalah tempat masyarakat mengambil papan, jadi mengambil papan ke Gunung Tinggi, yang lama kelamaan namanya berubah menjadi Makam Papan Tinggi.

Para sejarawan berpendapat bahwa yang dimakamkan disini adalah Syeikh Al-Alam Almuchtazam Syeikh Machmud Qadasjahlahu Rohanu Alamatarach al Yamani yang lebih dikenal dengan sebutan Makam Syech Machmud, beliau berasal dari Hadratul Maut Arab. Menurut seorang pemerhati sejarah (Alm) Dada Meuraxa, Syeikh Machmud wafat diperkirakan pada tahun “Dal Mim” atau 44 Hijriyah, pendapat ini didukung oleh ulama pengarang sejarah yakni Abdullah Abbas Nasution, dan disesuaikan dengan tulisan pada batu nisan yang ada. Disamping itu juga pada batu nisan terdapat tulisan ayat-ayat Al-Quran dan hadist Nabi Muhamad SAW.

Ayat tersebut berbunyi “Fakullu Syaiun Halikun Illa Wajhah” (Maka tiap sesuatu itu binasa selain Allah) dan hadist Nabi SAW yang berbunyi “Qolannabiyu SAW, Al-Mu’minu Haiyyun Fiddaroini“ (Berkata Nabi SAW, orang yang beriman hidup pada dua negeri).

Makam Papan Tinggi ini, merupakan makam terpanjang dan mempunyai batu nisan yang besar dan tinggi, situs makam kuno yang satu ini dianggap sebagai makam keramat dan selalu diziarahi orang. Tidak jarang penduduk sekitar Barus dan penziarah yang datang dari luar daerah mengkaitkan cerita mistis yang selama ini berkembang dari mulut ke mulut, bahwa setiap keinginan penziarah kemungkinan akan terkabul bila membisikkan permintaan atau keinginannya di batu nisan makam ini, dan bila permintaan tersebut telah disampaikan, penziarah harus menyimpul selembar daun lalang di batang pohon yang ada di sekitar makam tersebut. Bila suatu saat permintaannya terkabul, maka penziarah dimaksud harus datang kembali ke makam ini untuk melepaskan simpul daun lalang dan membawanya pulang.

Anggapan bahwa makam ini adalah “Makam Keramat“, sekalangan warga BARUS justru menganggap ini suatu hal yang mustahil dan tidak perlu dikembangkan, karena dikhawatirkan akan menimbulkan kesan yang kurang baik terhadap “kesucian“ makam itu.

Panjang makam papan tinggi diperkirakan sekitar 7 meter lebih, dan didalam lokasi makam yang seluruh tepiannya berpagar besi ini juga terdapat 5 makam lain yang menurut ceritanya makam – makam itu adalah makam para pengikutnya. Hanya saja panjang makam ini biasa-biasa saja sebagaimana layaknya makam lain pada umumnya.

Ditumpuan arah kaki makam tersebut terdapat sebuah guci (tempayan). Menurut ceritanya bahwa guci tersebut mempunyai keajaiban yakni tetap berisi air walaupun pada musim kemarau panjang dan airnya tidak melimpah walau hujan lebat. Guci asli tersebut kini sudah rusak dan terbuang, sedang guci yang sekarang adalah guci tiruan sumbangan dari salah seorang penziarah.

Untuk mencapai (berziarah) ke lokasi makam ini, sebelumnya di kaki bukit terdapat pancuran air untuk membersihkan diri atau mengambil air wudhuk. Setelah itu, kita menaiki tangga yang sudah dibuat secara permanen sebanyak lebih kurang 710 anak tangga atau sekitar 145 meter.

Diperlukan niat yang ikhlas untuk mengunjungi makam ini agar bisa mencapai puncak gunung tersebut, disamping itu kekuatan fisik juga harus benar-benar prima serta tehnik khusus saat menaiki tangga sangat diperlukan, sebab tangga-tangga tersebut sangat curam dan terjal.

Namum setelah sampai diatas (dilokasi makam) para penziarah umumnya mengaku ada rasa kepuasan tersendiri. Apalagi setelah usai memanjatkan doa di hadapan makam tersebut, Makam Papan Tinggi ini seakan menyimpan keajaiban yang tak bisa dicerna oleh akal sehat.

Dari atas Gunung Papan Tinggi ini kita bisa melihat, perkampungan dan desa yang ada dibawahnya, bentangan garis pantai yang terhampar kearah laut lepas Samudera Hindia merupakan pemandangan yang sangat menakjubkan bagi para pengunjung yang bisa mencapai keatas bukit ini..


Makam Mahligai.
Di Desa Dakka Kecamatan Barus, terdapat makam-makam kuno lainnya yakni Makam Mahligai, lokasi pemakaman ini luasnya sekitar 3 Ha dan letaknya juga diatas perbukitan. Konon nama makam ini diambil dari kata “Mahligai” yang artinya sama dengan “istana kecil” di zaman dahulu. Letaknya tidak jauh dari lokasi Makam Papan Tinggi hanya berkisar 3 km.

Makam Mahligai (Istana Kecil) ini, didirikan oleh Tuan Syech Siddiq, setelah dirinya mangkat jenazahnya juga dikebumikan di kompleks pemakaman ini. Terdapat banyak makam dengan batu nisan yang besar dan kecil dengan ukiran bergaya arab, bahkan mengingatkan kita akan bentuk-bentuk makam para Syekh di Pulau Jawa.

Salah satu makam di kompleks ini terdapat sebuah nisan yang bertuliskan Tuan Syech Rukunuddin, wafat malam 13 Syafar, Tahun 48 Hijriah (48 H) abad ke 7 M, dalam usia 102 Tahun, 2 Bulan, 10 Hari atau Ha Min Hijratun Nabi. Batu nisan Syech ini hanya tinggal sebelah yakni hanya bagian kepala saja sedangkan yang satunya lagi kini berada di Museum Propinsi Sumatera Utara, Medan . Menurut Tajuddin Batubara, pada tahun 1963, salah satu nisannya di bawa ke Medan dalam rangka seminar masuknya Agama Islam di Indonesia.

Dari berbagai ukiran dibatu nisan tersebut, banyak tulisannya yang sudah tidak terbaca, aksara Arab kuno, aksara Parsi dan lain-lainnya bercampur baur di nisan setiap makam. Masyarakat Islam Barus pada umumya berkeyakinan bahwa pada sekira abad ke-7 M, Agama Islam telah ada di “Kota Tua Barus” dan sekaligus berpendapat bahwa di Barus inilah awal mulanya Islam masuk ke Indonesia.
Tidak ada bukti yang dapat memastikan hal itu, Karena catatan dan riwayat hidup para “Aulia” yang ada di makam ini pun tidak diketahui pasti, hanya didasari cerita ke cerita dan catatan kecil pemerhati sejarah, namun pastinya, menurut ceritanya kedatangan Syech ini ke Barus awal mulanya berdagang. Disamping itu mereka juga mengembangkan Agama Tauhid sebagai faham ber-Tuhan kepada Allah SWT. Konon buku dan tulisan tentang ke-tauhid-an.yang mereka bawa masih banyak berupa ayat Makkiyah (ayat suci Al-Qur’an yang turun sebelum Nabi SAW melakukan Hijrah ke Madinah – red).

Di makam Mahligai ini juga terdapat makam Syech Imam Khotil Muazamsyah Biktibai Syech Samsuddin Min Biladil Fansury (dari negeri Fansyuri) dan Syech Zainal Abidin, Syech Ilyas, Syech Samsuddin, serta makam-makam lainnya yang juga disebut-sebut sebagai pengikutnya.

Dari cerita dan cuplikan catatan para pemerhati sejarah tersebut memperkuat anggapan dan keyakinan bahwa daerah bukit-bukit itu mulai dari Desa Lobu Tua yang mula-mula menjurus ke arah Utara, kemudian kearah Selatan sampai ke ujung bukit tempat Makam Mahligai ini, kemudian terus ke Timur sampai Desa Patupangan melalui Desa Pananggahan merupakan lintasan kedatangan dan tempat pengembangan ajaran Tauhid yang mereka bawa serta dijadikan kediaman para Syech tersebut.


Makam Tuan Batu Badan.
“Tuan Batu Badan” demikian sebutan masyarakat di Barus pada salah satu pemilik makam kuno disana, Padahal nama aslinya adalah Soltan Ibrahim Syah Bin Soltan Muhammadsyah, berasal dari kerajaan Melayu Inderapura. Bahkan ada juga yang berpendapat bahwa beliau berasal dari Tarusan Sumatera Barat. Riwayatnya berkaitan dengan cerita orang Barus diserang “Todak” (sejenis ikan yang berparuh runcing dan panjang).

Makam-makam tua di kompleks perkuburan ini menurut tradisi di Barus, sejak dahulu disebut “Aulia 44 Negeri Barus” yaitu makam-makam yang dianggap keramat. Makam Tuan Syech Badan Batu ini terdapat di Simpang Tiga Bukit Desa Patu Pangan, berdekatan dengan Makam Papan Tinggi dan berjarak hanya berkisar 300 meter.

Diatas makam ini, ada batu papan yang memanjang dari arah kepala hingga ke kaki, dengan kata lain panjangnya kuburan tersebut diatasnya ada batu untuk menghimpit makam tersebut.
Menurut keterangan penjaga makam, Aminul Tanjung (39) yang bekerja disana sejak tahun 1991 mengatakan, bahwa makam Ibrahim Syah wafat pada tahun 825 Hijrah, merupakan raja pertama di Barus. Menurut ceritanya, beliau wafat karena dibunuh musuhnya dan didalam makam tersebut sengaja dihimpitkan sebuah batu supaya jangan di bongkar orang usil dan iseng.

Ada “hikayat“ di kalangan masyarakat disana yang mengatakan bahwa di makam itu tersimpan barang berharga dan ada juga yang mengatakan kalau di makam tersebut hanya menyimpan badan Syech tersebut, sedang kepalanya disimpan di tempat lain, sedangkan cerita lain yang lebih membuat merinding bulu kuduk, mengatakan bahwa, bila kepala dan badannya bersatu, Tuan Syeck Badan Batu akan hidup kembali, walaupun telah dinyatakan wafat sejak ratusan tahun yang lalu.

Konon cerita yang hingga sekarang masih ada, Tuan Syech ini dibunuh musuhnya dengan cara dipenggal, akan tetapi jasadnya tidak mati, walaupun kepalanya sudah terpisah dengan badannya, kepalanya di bawa ke Kota Raja (Aceh). Oleh “orang pintar“ di negeri tersebut pada masa itu menganjurkan agar kepala Tuan Syech Batu Badan dibawa kembali ke Barus, bila kepala tersebut di kuburkan di Kuta Raja, maka negeri tersebut akan mengalami banjir besar, karena berbagai pertimbangan akhirnya kepala Tuan Syech Batu Badan di bawa kembali ke Barus, namun ketika di dekatkan antara badan dan kepala saat akan disatukan kembali, menurut ceritanya Tuan Syech Batu Badan dikatakan mereka hidup kembali.

Berdasarkan keyakinan itu, musuh yang memenggalnya kemudian memisahkan badan dan kepala Soltan Ibrahim Syah Bin Soltan Muhammadsyah dengan cara menghimpitkan sepotong batu panjang didalam makam ini guna memisahkan kepala dan badan jenazah Syech ini, akhirnya lama – kelamaan cerita itu melahirkan sebutan bagi makam ini dengan nama “Makam Syech Batu Badan“.


Makam Tuan Syech Machdun.
Tak jauh dari makam Tuan Syech Batu Badan, sekitar 500 meter kearah pantai menuju pusat Kecamatan Barus terdapat makam Tuan Syekh Machdun, masih dikawasan Desa Patu Pangan. Untuk menuju makam ini kita juga harus menaiki sekitar 80 anak tangga. Di makam ini juga terdapat makam lainnya yang disebut-sebut sebagai para pengikutnya.

Seperti halnya makam-makam kuno lainnya, Makam Tuan Syech Machdun juga memiliki kisah tersendiri, namun catatan untuk memperkuat keberadaannya tidak lengkap, demikian juga dengan makam-makam lainnya seperti makam Tuan Kayu Bungo, Makam Tuan Kayu Anang, Makam Tuan Kayu Api-Api, Makam Tuan Kayu Arang di desa Kedai Gedang, Makam Tuan Pulau Pane di desa Sosor Gadong, Makam Tuan Kampung Solok di desa Kampung Solok.

Sejumlah nama makam-makam yang disebutkan diatas merupakan sebahagian dari situs makam-makam kuno di Kota Tua Barus yang sering di kunjungi dan masih bernuansakan ke Islaman, masih banyak lagi makam-makam kuno sebagai bukti sejarah masuknya Islam ke Indonesia melalui Kota Barus yang belum sempat terkunjungi, selain itu juga masih ada situs sejarah lainnya yang belum tergali di kawasan Barus hingga daerah sekitarnya, namun beberapa situs makam kuno yang disebutkan diatas kiranya cukup mewakili argumentasi bahwa “Barus adalah daerah awal masuknya Islam di Indonesia”.

Sebagaimana harapan warga Kecamatan Barus Tapanuli Tengah khususnya, kita sebagai warga masyarakat Sumatera Utara pada umumnya juga berharap, agar sedikit mau peduli tentang keberadaan makam para “Aulia“ yang kini terkubur ditanah Barus.

Diharapkan juga pemerintah daerah setempat agar lebih membuka mata dalam menggali, mencatat serta meluruskan sejarah bahwa masuknya Agama Islam ke Indonesia melalui Kota Tua Barus, sebab disamping sebagai bukti sejarah yang harus dilestarikan keberadaannya, situs makam-makam kuno ini juga dapat dijadikan sebagai objek wisata yang dapat menambah pendapatan daerah,- (Junjungan Saragih)


No comments:

Post a Comment