Barus Seharusnya Jadi Cagar Budaya
29 Desember 2010 13:55:24
Tak mudah mencari tahu tentang sejarah Barus saat kita berada di kota tersebut. Jangankan museum, peta atau informasi tentang kawasan bersejarah itu pun tak ada. Pengunjung yang datang ke sana hanya akan berhadapan dengan masyarakat yang kebanyakan tidak lagi paham dengan sejarah mereka sendiri.
Satu-satunya sumber informasi yang bisa ditemui di Barus adalah sebuah rumah di Pasar Barus yang dijadikan gudang penyimpanan hasil penggalian para peneliti dari Ecole Francaise d‘Extreme-Orient (EFEO), Perancis, bekerja sama dengan peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Namun, sampai kini rumah tersebut masih tertutup untuk umum dengan alasan barang-barang tersebut masih dalam proses penyelidikan.
Kalangan arkeologis, sejarawan, dan tokoh masyarakat Barus berharap, sebagai tempat yang kaya dengan situs arkeologi, kawasan Barus di Kabupaten Tapanuli Utara, Sumatera Utara, seharusnya dijadikan cagar budaya. Di samping untuk melestarikan situs sejarah yang masih tersisa, pembuatan cagar budaya di Barus diharapkan bisa mengenalkan kawasan Pantai Barat Sumatera itu sebagai pusat peradaban Nusantara abad I-XVII Masehi.
"Kawasan Barus sangat layak untuk dijadikan cagar budaya mengingat banyaknya temuan arkeologis dan kekayaan sejarah kota ini," tutur Lucas Partanda Koestoro, Kepala Balai Arkeologi Medan.
Menurut sejarawan Melayu Tengku Luckman Sinar, selama ini pemerintah telah membangun kota-kota tanpa memerhatikan aspek sejarah dan nilai-nilai lokal, tetapi lebih berdasarkan orientasi ekonomi praktis dan kepentingan politik. Akibatnya, kawasan-kawasan yang memiliki sejarah tinggi seperti Barus sering kali diabaikan. "Seharusnya, nilai-nilai sejarah itu bisa digali lagi atau diteruskan sebagai bagian dari identitas kita. Bahaya jika suatu bangsa tidak lagi memiliki identitas," ungkapnya.
Lucas Partanda menyatakan, untuk mengembalikan Barus sebagai kota perdagangan sangatlah sulit. Tetapi, Barus bisa menjadi aset berharga bagi dunia akademik dan wisata. "Jika dikelola dengan baik, kawasan bersejarah seperti Barus bisa juga mendatangkan uang," ujarnya.
MENURUT Lukman, selama ini Barus telah dilupakan dalam penyusunan sejarah nasional. "Sejarah kita hanya berorientasi ke Jawa. Sejarah Barus ini sudah seharusnya dimasukkan dalam buku-buku sejarah untuk anak-anak karena bukti-bukti empirisnya sudah jelas. Dinas Pendidikan hendaknya mengaktualisasikan fakta-fakta sejarah Barus dalam kurikulum pendidikan sejarah di SD-SLTA," paparnya.
Lucas Partanda menambahkan, jika pemerintah mau membangun museum pihaknya siap menyerahkan ribuan artefak hasil penggalian yang kini disimpan di rumah tersebut. "Artefak hasil penggalian tersebut milik Barus dan kini disimpan sementara di rumah penduduk. Idealnya di Barus memang ada museum yang menampung hasil penggalian tersebut sehingga masyarakat bisa ikut belajar," imbuhnya.
Camat Barus Hotmauli Sitompul juga menyebutkan bahwa masyarakatnya kini tidak tahu lagi tentang sejarahnya sendiri. "Sejarah tentang Barus hanya diketahui oleh orang- orang tua saja. Generasi muda, apalagi anak-anak, tidak tahu lagi tentang sejarah kami sendiri karena tidak adanya teks tertulis yang kami miliki," tuturnya.
Literatur tentang Barus sebenarnya sangat banyak dan telah berusia ratusan tahun. Namun, hampir semua literatur itu ditulis dalam berbagai naskah kuno berbahasa asing, mulai dari literatur Yunani, Siriah, Armenia, Arab, India, Tamil, China, Melayu, dan Jawa. Barus juga disebut-sebut dalam literatur Eropa pada periode yang lebih awal.
Menurut Lucas Pratanda, sejarah Barus memang begitu gelap. Keanekaragaman bahasa yang memuat tentang Barus justru mengaburkan informasi yang pasti karena orang-orang dari luar Barus tersebut menyebut nama tempat dan berbagai istilah dengan cara masing-masing. Salah satu sisi gelap yang sampai sekarang belum terjawab oleh para ahli dengan pasti, yaitu kapan kota ini didirikan dan di mana lokasi persis pusat kota Barus seperti yang disebut dalam berbagai literatur kuno.
Berbagai jejak fisik yang tertinggal di Barus juga masih terpendam di dalam tanah dan sebagian telah hilang ditelan abrasi air laut yang dahsyat pada tahun 1970-an sampai 1980-an. Kini, satu-satunya bangunan yang tersisa dari Barus hanya berasal dari era lebih muda, yaitu benteng Belanda yang dilengkapi penjara. (aik)
Sumber : http://www.kompas.com
Sumber : hatorusan.blogspot.com
No comments:
Post a Comment