Wednesday, June 6, 2012

Sebuah Buku, Sipirok Nauli


Sebuah Buku, Sipirok Nauli


Sipirok , tempat penelitian ini dilakukan, terletak di bagian selatan dari Provinsi Sumatra Utara, sebuah kota kecil di cekungan Bukit Barisan yang membentuk sebuah kuali besar. Matahari selalu terlambat terbit di kota kecil itu, karena cahayanya terhalang punggung Gunung Sibualbuali yang memiliki ketinggian 4.500 meter dari permukaan laut. Inilah gunung terakhir dalam jejeran Bukit Barisan yang memanjang di Pulau Sumatra bagian Utara.

Pada pagi, sebelum matahari muncul, kabut tebal merangkak turun dari lereng-lereng gunung itu, ditiup oleh angin yang berembus dari sebelah Barat. Dari puncak Gunung Sibualbuali, menatap ke sebelah Barat, akan tampak bentangan hutan kawasan yang menghijau sejauh mata memandang sampai menghilang di pesisir Barat. Jika sore tiba, meski hari sebetulnya masih sekitar pukul 17. 00 Wib, segalanya tampak meremang. Matahari cepat sekali tenggelam, meninggalkan berkas-berkas cahaya warna senja yang membuat puncak-puncak bukit barisan itu seperti menyala.

Kabut tebal itu terkadang bertahan di permukaan jalan raya, membuat jarak pandang para pengemudi sangat pendek, dan mesti ekstra hati-hati melintasi jalur dengan kelokan dan patahan yang tajam. Kabut itu meninggalkan udara dingin yang memaksa para penghuninya membungkus diri rapat-rapat dalam kain sarung hingga menutupi kepala. Mereka berjalan dan beraktivitas dengan tubuh terbungkus kain sarung, sehingga kain sarung mengandung banyak makna filosofi bagi masyarakatnya --- baca bab tentang Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung. 

Dengan tubuh dibalut kain sarung sampai kepala, masyarakat mulai keluar rumah untuk menjalankan aktivitasnya yang paling umum ketika hari masih gelap. Kaum bapak akan berangkat ke masjid untuk menyalakan tape recorder, memutar kaset mengaji, dan menggemakan asmah-asmah Allah itu lewat corong-corong mikrofon yang ada di menara-menara setiap masjid. Kabut tebal, udara dingin, dan lantunan ayat-ayat Alquran menggema dari corong-corong mikrofon yang ada pada setiap masjid di kota itu, menjadi hal yang paling umum—baca bab tentang Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon. 

Gema ayat-ayat Alquran itu memenuhi ruang-ruang udara yang ada, membuat suasana kota menjadi riuh, dan setiap penduduknya akan terbangun untuk segera keluar rumah menjalankan ibadah sholat Subuh berjamaah. Sehabis ibadah Subuh, tak seperti kaum perempuan yang langsung ke rumah untuk menanak nasi dan mengurus anak-anak, kaum laki-laki akan mendatangi lopo (warung) kopi di lingkungan mereka. Lopo kopi bagi masyarakat bukan sekedar tempat untuk menikmati secangkir kopi--karena secangkir kopi bisa didapat di rumah--tetapi sebuah arena untuk berdiskusi tentang persoalan-persoalan krusial yang terjadi di lingkungannya. Tidak jarang mereka membicarakan situasi politik dalam negeri, yang sering berakhir menjadi acara saling mengejek di antara mereka dalam semangat bergurau—baca bab tentang Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.

Kain-kain sarung itu baru dilepas dan dibelitkan di pinggang manakala cahaya matahari mulai menusuk gumpalan kabut, membentuk batang-batang cahaya yang terang. Bersamaan dengan itu, dari hutan-hutan di Gunung Siabualbuali akan terdengar raung Siamang sahut-bersahutan. Ada tiga kelompok siamang, masing-masing kelompok memiliki daerah territorial, dan setiap ketua kelompok siamang merupakan pemimpin kelompok yang akan meraung member tahu kelompok lain mengenai keberadaan mereka. Tapi, bagi masyarakat kota suara Siamang adalah sebuah isyarat yang selalu dibaca sebagai jadwal untuk memulai aktivitas mencari nafkah: sebagai petani, pedagang, penderes nira aren, buruh, penarik becak, pegawai negeri sipil, pengawai swasta, buruh tani, tukang kayu, pengrajin, datu (dukun), ustad, guru, dan lain sebagainya.

Selalu sekitar pukul 8.00, desa-desa di Sipirok akan terlihat sepi: para orang tua berangkat bekerja, anak-anak pergi sekolah. Bukan cuma pada Siamang, masyarakat juga sangat perduli dengan hal-hal berbau mistis terkait gejala-gejala alam semesta. Berbagai aktivitas kehidupan, sekalipun mereka sudah hidup di era modern dengan penguasaan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sama seperti daerah-daerah lain, kesadaran mistis mereka tetap bertahan. Dalam hal menjemur padi hasil panen, masyarakat sangat percaya bahwa cabai merah yang diletakkan di atas padi yang sedang dijemur mampu menjaga matahari untuk tetap menyala —baca bab tentang Mistik, dari Begu Ganjang sampai Sirungguk. 

Dengan Ibu kota Kelurahan Pasar Sipirok, kota ini memiliki luas 577,18 km per segi dan dihuni 30.554 jiwa yang tinggal di 100 desa. Tingkat kepadatan penduduk 52,94 meter per segi. Komposisi penduduk dominan (90%) merupakan halak (orang) Batak dari sub etnik Angkola, Mandailing, Toba, Simalungun, dan Karo. Sebanyak 10% merupakan masyarakat keturunan Padang, mereka biasa disebut halak (orang) Daret. Setiap masyarakat memiliki kegiatan komersial yang khas. Halak Batak dari sub-etnik Angkola, merupakan warga dominan dan pembuka kampong yang disebut panusunan bulung, mengandalkan sektor pertanian berupa budidaya padi. Budidaya padi baru dilakukan masyarakat sekitar akhir abad ke-19 setelah pengaruh Pemerintah Hindia Belanda masuk, dan awalnya bukan kegiatan komersial melainkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Di kota ini sebagain besar lahan pesawahan merupakan lahan tadah hujan. Masyarakat mengelola lahan-lahan sawahnya hanya sekali dalam setahun, sedang total lahan yang dikuasai masyarakat sangat sedikit, tak sampai satu hectare per keluarga. Sebagian besar lahan yang ada merupakan lahan keluarga, warisan-warisan keluarga yang sudah dibagi-bagi oleh para ahliwarisnya. Para ahli waris yang sebagian besar tidak tinggal lagi di kota itu, memberikan hak kelola atas lahan miliki kepada orang lain—lebih banyak terhadap orang yang tidak ada kaitannya dengan ikatan persaudaraan sedarah—dengan system bagi hasil—baca bab tentang Hak Waris dan Perpecahan Keluarga (Paulak Sondukki).
Pada awalnya, kegiatan komersil masyarakat di kota ini berupa budidaya tanaman keras seperti cengekih, kopi, kulit manis, dan hasil-hasil hutan seperti rotan, meranti, dan lain sebagainya. Setiap keluarga memiliki perkebunan dengan luas paling minimal 5 hektare. Perkebunan-perkebunan itu dikelola dengan sistem tanam heterogen—segala jenis tanaman budidaya ditanami--meskipun selalu ada tanaman budidaya yang menjadi pilihan dominan. Selain cengkih, kopi juga menjadi pilihan utama masyarakat.

Sebab itu, pada decade 1920-an, Kota Sipirok dikenal sebagai kota penghasil cengkih dan kopi. Produksi cengkih dari kota ini dijual kepada para pedagang pengumpul yang datang dari berbagai pelosok, terutama pada hari Kamis, saat berlangsung pasar pekanan. Sebagian besar cengkih-cengkih itu dibawa ke Sibolga, membuat kota pelabuhan di pesisir batar Provinsi Sumatra Utara itu menjadi kota dagang yang selalu ramai. Popularitas cengkih membuat kota ini tumbuh pesat dan penduduknya identik sebagai penduduk yang kaya raya. Ditambah hasil kopi yang tidak sedikit, secara ekonomi tingkat kesejahteraan masyarakat kota ini lebih bagus dibandingkan masyarakat dari kota-kota lain di sekitarnya. Inilah alasan logis kenapa dari kota ini bisa melahirkan banyak generasi yang bisa duduk di posisi tertinggi birokrasi pemerintahan Negara seperti menteri: Arifin M. Siregar (dari Desa Simaninggir), Bismar Siregar (dari Desa Baringin), H.M. Ritonga (dari Desa Paranjulu), Hasjrul M. Harahap (dari Desa Bunga Bondar), Lapran Pane (pendiri HMI dari Desa Pangurabaan), dan lain sebagainya —baca bab tentang Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.

Masyarakat dari luar kota ini menyebut masyarakat Kota Sipirok sebagai masyarakat sombong karena memiliki kualitas perekonomian yang lebih baik. Hal itu menyebabkan mereka merasa memiliki nilai lebih dibandingkan masyarakat lain. Ciri yang paling khas dari masyarakat kota ini, setiap kali berada di kota lain, selalu mengedepankan berbahasa Melayu. Para perantau dari Sipirok sering tak mau berbahasa Batak. Mereka seakan-akan tidak mengerti bahasa Batak, sehingga banyak yang mengejek perilaku dan mentalitas kultural masyarakat Kota Sipirok dengan syair:

Sipirok banggo-banggo
Halak Sipirok inda taranggo


Ejekan ini berarti halak Sipirok tak memiliki bekas sebagai orang Batak setiap kali berada di luar daerahnya. Tafsir lain menyebutkan, ejekan itu sebuah penegasiaan tas keberadaan halak Sipirok di kota-kota lain, karena mereka sendiri mengaburkan asal kotanya.

Halak Sipirok memiliki tradisi khas yakni merantau (mangaratto). Hasil cengkih dan kopi menyebabkan halak Sipirok menjadi lebih sejahtera, sehingga mereka memiliki cukup banyak uang untuk mewujudkan tiga hal yang menjadi filosofi hidup masyarakat Batak dari sub-budaya Angkola ini: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kesehatan), hasangapon (kekayaan). Untuk mencapai tiga hal itu, masyarakat akan melakukan apa saja, termasuk memamerkan kemampuan ekonominya kepada orang lain. Sebab itu, ada tradisi lain dari masyarakat yang disebut tu doli. Awalnya kata doli mengacu pada kata Deli, yakni sebutan lain dari Tanah Deli atau Deliserdang atau Kota Medan. Mereka yang sering berangkat ke doli, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki uang. Di doli, mereka tak melakukan banyak hal, hanya berbelanja dan pulang membawa banyak oleh-oleh untuk dibagikan kepada tetangga. Setiap kali seseorang pulang dari doli, biasanya para tetangga akan menyambut dan mengerubukinya agar kebagian oleh-oleh, meskipun hanya sepotong dodol—baca bab tentang Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.

Kelurahan Pasar Sipirok merupakan pusat segala dinamika penduduk kota. Sebagai pasar, sebagian besar bangunan di kelurahan ini merupakan perumahan toko berlantai dua. Dibangun pascabencana kebakaran pada tahun 1988, di masa Gubernur Raja Inal Siregar, putra asli dari Kelurahan Bunga Bondar, salah satu desa di Sipirok. Awalnya, rumah-rumah di kelurahan ini merupakan bangunan dari kayu bergaya arsitektur khas rumah masyarakat Melayu dengan lantai yang ditinggikan, dan dibangun sekitar dekade 1950-an dan 1960-an. Disamping sebagai tempat tinggal, rumah-rumah ini berfungsi sebagai toko. Bagian depan rumah disekat untuk memajang berbagai jenis barang dagangan, sedangkan bagian belakang merupakan tempat tinggal.

Sebagian besar penduduk di Kelurahan Pasar Sipirok bekerja sebagai pedagang, terutama dagang kelontongan, berbagai jenis sembilan bahan pokok, rumah makan, dan lain sebagainya. Para pedagang ini dominan merupakan profesi halak Daret, meskipun ada juga halak Batak yang memilih profesi ini. Tapi, jumlah halak Batak yang berdagang jauh lebih sedikit dibandingkan orang Daret. Sebab itu, orang Daret identik sebagai pedagang. Sejarah kehadiran mereka di Sipirok, diawali dari keinginan para leluhur orang Daret untuk berdagang—baca bab tentang Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.

Karena semua rumah di Kelurahan Pasar Sipirok merupakan rumah toko, maka geliat perekonomian di pasar ini mulai terasa sejak Subuh. Tapi geliatnya sebagai pasar makin hebat setiap hari Kamis. Pada hari Kamis, Kelurahan Pasar Sipirok akan menjelma sebagai hypermarket tradisional, dimana seluruh warga Sipirok dari 100 desa akan berkumpul di pasar ini. Sebagian besar dari mereka datang membawa berbagai jenis hasil pertanian dan perkebunan untuk dijual, kemudian hasil penjualan akan dibelanjakan membeli berbagai kebutuhan hidup untuk satu pekan ke depan, terutama barang-barang yang tidak bisa mereka dapatkan di desa masing-masing seperti ikan laut.

Karena seluruh warga Sipirok berkumpul, pedagang dari berbagai kota juga berkumpul, membuka lapak-lapak di pinggir jalan dan di kawasan tanah lapang yang dipersiapkan untuk menampung mereka. Kelurahan Pasar Sipirok akan menjadi sesak setiap hari Kamis, keriuhan para pedagang menjajakan berbagai jenis dagangannya menjadi pemandangan yang khas. Tapi kemudian semua kembali pada kondisi semula, tenang dan nyaman, pada malam hari. Hanya sisa sampah yang tertinggal.

Pada empat sisinya, Sipirok dikelilingi oleh bukit barisan yang merupakan kawasan hutan lindung. Di sisi Selatan, membentang ribuan hektare hutan tanam industri barang-barang ya nberupa pohon pinus dan kayu putih. Ini kawasan reboisasi yang dihijaukan secara bergotong-royong oleh masyarakat Sipirok bersama Departemen Kehutanan pada decade 1950-an dengan bibit sumbangan dari PT Toba Pulp, pabrik bubur kertas di kawasan Siborong-Borong, di sekitar areal Danau Toba. Kawasan hutan pinus ini menjadi sabuk hijau yang senantiasa mampu menjaga kesegaran dan keasrian iklim di Sipirok, meskipun pada awal reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menebanginya untuk membangun kompleks Markas Brigadir Mobil Polres Tapanuli Selatan—baca bab tentangGotong Royong: dari Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk.

Kebijakan Departemen Kehutanan mengizinkan penebangan hutan-hutan pinus oleh Polri, dicontoh oleh masyarakat sekitar yang merasa memiliki hak atas lahan-lahan areal kawasan hutan. Pada decade 1950-an dan 1960-an, sebelum berubaha menjadi kawasan hutan negara, lahan-lahan tersebut merupakan tanah-tanah adat yang disumbangkan masyarakat karena pemerintah pusat menginginkannya. Sebagai ungkapan kesediaan masyarakat untuk memberikan hak atas tanah adatnya untuk ditanami pinus dan kayu putih, masyarakat Sipirok bergotong-royong menanam bibit-bibit di areal tanah adatnya masing-masing. Tapi, ketika Polri membuka areal itu untuk Markas Brimob, para ahli waris pemilik tanah adat tidak mau kalah, mereka ikut membuka kawasan hutan pinus tersebut—baca bab tentang Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami.

Akhir-akhir ini Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mengurus izin membuka 200 hektare areal di sabuk hijau Kota Sipirok itu untuk lokasi pertapakan Kantor Bupati Tapanuli Selatan. Ketika Polri yang merupakan penjaga stabilitas keamanan dan ketertiban masyarakat—termasuk di dalam mengatasi segala bentuk upaya perambahan hutan dalam rangka menertibkan tindak melawan hokum berupa illegal logging—para ahli waris tanah-tanah adat itu merasa diajari. Konon lagi jika Pemda Tapanuli Selatan membuka areal itu, sangat pasti akan menimbulkan konflik berkepanjangan terkait pengambilan kembali hak tanah adat masyarakat—baca bab tentang Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
Di sisi Timur, ada bukit-bukit yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Padang Lawas. Di kaki-kaki bukit yang merupakan kawasan hutan lindung ini, terdapat banyak perkampungan yang biasa disebut luat harangan (kampong dalam hutan). Kampung-kampung luat harangan identik sebagai perkampung yang terisolasi, miskin, dan terbelakang. Sebut saja Desa Gadu, Liang, Aek Sialan, Pargarutan, Parmanoan, dan lain sebagainya. Kampung-kampung ini berjarak sekitar 5—15 km dari Kelurahan Sipirok, hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki atau naik kuda.

Anak-anak dari luat harangan hanya mengenyam pendidikan sampai bangku SD. Karena jarak antara satu kampong dengan kampong lain berjauhan, institusi pendidikan yang ada di lingkungan mereka hanya sampai tingkat sekolah dasar. Untuk mengenyam pendidikan di bangku SD, tidak sedikit anak-anak yang mesti berjalan kaki 5 sampai 10 km, bertelanjang kaki melintasi hutan dan menyeberangi sungai-sungai deras. Para siswa di SD Negeri Gadu, misalnya, berasal dari empat desa di luat harangan. Setiap pagi, anak-anak berseragam SD akan terlihat berjalan kaki membentuk barisan. Mereka menjinjing sepatu, ujung celana atau rok sudah basah oleh bekas embun, tetapi mata mereka memancarkan semangat untuk belajar di local-lokal kelas yang sering tak member rasa nyaman dan aman—baca bab tentang Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.

Jika ingin melanjutkan ke jenjang SMP, mereka harus keluar dari kampungnya dan tinggal di kampong-kampung lain yang memiliki SMP. Sebagian besar anak-anak yang melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dari luat harangan, lebih memilih sekolah yang ada di Kota Padang Sidempuan ketimbang di Kota Sipirok. Jarak yang harus mereka tempuh jauh lebih dekat, karena mereka bisa memotong jalur melintasi hutan dan keluar di Desa Tabusira, sebuah desa di pinggir Jalan Lintas Sumatra. Dari Desa Tabusira, mereka memilih menaik kendaraan umum yang bisa ditempuh sekitar setengah jam untuk sampai ke Kota Padang Sidempuan.

Di Kota Padang Sidempuan, banyak alternatif SMP yang bisa dipilih, disesuaikan dengan kemampuan ekonomi keluarga masing-masing. Sedangkan di Kota Sipirok, altenatif SMP sangat terbatas. Untuk bisa bersekolah di SMP, anak-anak dari luat harangan ini terpaksa tinggal sendiri di rumah-rumah kontrakan dan hidup tanpa pengawasan orang tua. Mereka biasa disebut anak dagang. Mereka tumbuh dan belajar sendiri hanya mengandalkan pengawasan dari guru di sekolah, bermodalkan beras yang dibawa dari rumah masing-masing setiap pekan, dan tanpa uang saku. Kapasitas gizi mereka tidak memadai. Tidak jarang mereka makan hanya dengan nasi putih butiran garam, sekali-sekali dengan lauk-pauk ikan asin yang dibakar—baca bab tentang Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.

Selepas SMP, mereka akan terus melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Selama itu pula, mereka akan hidup seorang diri. Selepas SMA, mereka akan memilih ke jenjang pendidikan tinggi. Sebagian tetap di Kota Padang Sidempuan, tak sedikit yang memilih meratau ke kota-kota besar yang ada di Indonesia.
Di sisi Utara, Sipirok berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara, dibatasi kawasan hutan lindung yang mulai tidak terlindungi. Di dalam kawasan hutan lindung ini, ada banyak perkampungan yang juga disebut luat harangan. Seperti juga masyarakat dari luat harangan di sebelah Timur, anak-anak dari perkampungan ini pun banyak yang meninggalkan kampungnya untuk mengenyam pendidikan di jenjang lebih tinggi dari SD. Perkampungan di luat harangan sebelah utara ini seperti Desa Bulu Mario, Desa Paske, Desa Dano, dan lain sebagainya.

Untuk sampai di Kota Sipirok, dari Kota Medan, kota terbesar di Provinsi Sumatra Utara, butuh waktu delapan jam melalui jalan darat. Dalam hitungan waktu delapan jam, Sipirok dapat ditempuh dari Kota Padang, ibu kota Provinsi Sumatra Barat. Waktu yang hampir sama juga bisa ditempuh via Kota Sibolga di sebelah Barat atau lewat jalur Kota Rantauprapat di sebelah Timur.

Sepanjang perjalanan mengikuti alur aspal Jalan Lintas Sumatra (Jalinsum), sering menikung mengikuti lekuk-lekuk kontur tanah perbukitan, kita disuguhi pemandangan asri berupa hutan lindung, hutan kawasan, dan sungai-sungai mengalir. Semilir angin menggiring aroma kesegaran dan kesejukan alam yang belum tersentuh polusi udara. Terkadang menguap aroma sulfur dari akar urat vulkanik yang bermuara di kepundan gunung berapi sepanjang barisan bukit, menandakan bentangan pesawahan yang membentuk tangga-tangga di lereng bukit-bukit memiliki kesuburan alamiah dari timbunan humus tanah. Tapi, semua pesona alam itu tidak bisa dinikmati karena kualitas jalan sangat buruk.

Jalan di kota ini sepanjang sekitar 255 km, terdiri dari 80,90 km berupa aspal, penuh lobang, mengingatkan pada kubangan kerbau; sebanyak 53,10 km merupakan jalan onderlag, tetapi tidak terawat, bak muka penuh bopeng bekas jerawat; sebanyak 37,90 km merupakan jalan kerikil yang diperas, tetapi batu-batunya tercerabut keluar, membuat siapa saja terantuk dan terjatuh; serta 81,01 km merupakan jalan tanah yang lebih terlihat seperti tumpukan lumpur di musim hujan dan sering menahan mobil-mobil yang lewat sehingga tenggelam dam kubangan—baca bab tentang Mobilitas yang tak Mobile.

Jika jalur darat dari Kota Medan maupun Kota Padang terlalu banyak memakan waktu tempuh dan mendesak untuk segera tiba, ada alternatif jalur udara. Dengan pesawat Fokker 27 milik Maskapai Susi Air yang take off dari Bandar Udara Polonia, kita bisa mendarat di landasan pacu sepanjang 42.000 meter per segi di Bandara Udara Aekgodang dalam waktu sekitar dua puluh menit. Terbang di atas Kabupaten Tapanuli Selatan yang membentang seluas 4.367,05 km2 (436.705 hektare), tumpukan kabut tipis tampak serupa kapas menggumpal di pucuk-pucuk bukit barisan yang berjajar seolah memagari. Pemandangan petak-petak sawah dengan kelokan sungai yang memanjang, ditambah bentangan perkebunan sawit dan padang rumput menghijau menambah kenyamanan perjalanan—baca bab tentang Bisa Terbang, Bisakah….

Bandara Udara Aekgodang memang dibangun sebagai alternatif transportasi bagi mereka yang menghendaki perjalanan dalam waktu singkat. Terletak di perbatasan Kabupaten Tapanuli Selatan dengan Kabupaten Padang Lawas, bandara ini baru melayani satu penerbangan setiap hari dengan pesawat berkapasitas 12 kursi. Jadwal penerbangan itu belum memadai mengingat banyak calon penumpang yang tak terlayani. Dari Bandara Aekgodang menuju Kota Sipirok, perjalanan memakan waktu sekitar 20 menit. Di Kota Sipirok, yang merupakan salah satu kawasan kunjungan wisata di Provinsi Sumatra Utara, Hotel Tor Sibohi standar internasional dapat menjadi tempat istirhat yang nyaman. Berdiri di kaki Gunung Sibuahbuali, di kawasan Tor (Gunung) Sibohi, para pengunjung akan disuguhi bentang daerah pengunungan yang menghadap ke Kota Sipirok.

Dengan fasilitas 70 bungalow yang didesain serupa rumah adat, dibangun dalam jajaran yang rapih dan asri, sewa kamar berkisar Rp150.000—Rp500.000 semalam. Sejumlah biro perjalanan wisata di Kota Medan dan di DKI Jakarta merekomendasi para pelanggannya untuk singgah di Hotel Tor Sibohi, lalu menikmati ragam tradisi dan karya seni khas Kota Sipirok. Ada juga objek wisata yang didesain para pengelola biro perjalanan sebagai paket wisata, mulai dari Pemandian Air Panas Sosopan, Pemandian Air Panas Padangbujur, seni kerajinan tangan manik-manik di Kelurahan Hutasuhut, kain tenun adat yang disebut abit godang dan parompa, dan banyak alternative obyek wisata lainnya—baca bab tentang Wisata, Wiiiiih …Tak Nyata

Para pengunjung, apalagi bagi wisatawan yang punya selera tinggi terhadap sejarah, bisa menikmati selera ilmiahnya di Kota Sipirok. Kota Sipirok pertama sekali dikenal di zaman Belanda sebagai daerah awal di Provinsi Sumatra Utara, dimana Gereja pertama dibangun. Di Desa Parausorat, sekitar lima kilometer dari pusat Kota Sipirok, sejarah masuknya agama Kristen dan sejarah pembaptisan akan memenuhi selera tentang histori. Ada juga masjid yang menyimpan sejarah yakni Masjid Sri Alam Dunia di Kelurrhan Bagas Nagodang, yang awalnya bukan saja sebagai tempat ibadah melainkan pusat segala kegiatan beragama di wilayah Kota Sipirok. Bahkan, di era 1930-an masjid ini menjadi pusat aktivitas politik para kiyai untuk mentang kolonialisme Belanda yang berkedok penyebaran agama Kristen —baca bab tentang Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama

Dibangun pada tahun 1926, Masjid Sri Alam Dunia menjadi simbol dari perlawanan atas penjajahan Belanda yang juga melancarkan kristenisasi. Namun, pertentangan antara pengelola Masjid Sri Alam Dunia dengan Belanda tidak melibatkan masalah agama, karena pertentangan antaragama Islam dan Kristen tidak pernah terjadi di kawasan ini. Pertentangan itu hanya terjadi pada tingkat wacana, ketika Belanda mendeskriditkan masyarakat penganut agama Islam dalam berbagai dinamika kehidupan bermasyarakat, dan lebih memberi tempat kepada masyarakat Kristen—baca bab tentangMarjambar, Toleransi Agama.

Inilah sejarah yang luhur, yang buktinya dapat dilihat dari pembangunan Masjid Sri Alam Dunia yang bersebelahan dengan gereja. Kedua rumah ibadah yang berdekatan itu menjadi symbol betapa semua lapisan masyarakat di Kota Sipirok menjaga kerukunan antarumat beragama, dan bisa hidup secara social tanpa kontradiksi yang dipicu oleh perbedaan pemahaman agama tersebut.

Jika alternative wisata sejarah ini belum memenuhi selera para wisatawan, masih ada sejumlah objek wisata di Kabupaten Tapanuli Selatan yang tak kalah dengan objek wisata di daerah lain. Sebut saja Aek Sijornih, air terjun yang menjadi tempat hiburan rakyat ini, menyuguhkan pesona alam yang asri dengan kesegaran butiran air sungai yang dapat dipakai untuk mandi. Ada juga Danau Siais yang merupakan danau terbesar kedua di Provinsi Sumatra Utara, dapat menjadi wisata ilmiah bagi para peneliti yang ingin mengetahui kekayaan flora dan fauna di kawasan danau yang terbentuk dari patahan aliran Aek (Sungai) Batangtoru tersebut..........................



Judul Buku : Sipirok, Banua Nasoli
Penulis : Budi P. Hatees
Tebal : xvii + 350 halaman
Penerbit : MataKata, 2009
ISBN : 975-456-2345-23

Daftar Isi
Pengantar Penerbit
Prolog

1. Halak Sipirok dan Kearifan Kain Sarung
2. Masojid, Geliat Pagi, dan Gema Mikrofon.
3. Lopo, Kombur, dan Masyarakat Lisan.
4. Mistik: dari Begu Ganjang sampai Sirungguk
5. Hak Waris: Paulak Sondukki.
6. Mangaratto, Sekolah, dan Jangan jadi Oto.
7. Tu Doli, Tradisi Pamer Ekonomi.
8. Halak Daret, Ditarik Magnet Ekonomi.
9. Gotong Royong: dari Daun Ubi Tumbuk sampai Sambal Tuktuk
10. Hak Adat, Dimana Tanah Leluhur Kami
11. Guru Kencing Berlari, Kami Mengencingi Guru.
12. Sekolah Kami, Mereka Lupa Merehabnya.
13. Betahun-Tahun Terisolasi, Kami Belum Merdeka Barangkali.
14. Mobilitas yang tak Mobile.
15. Bisa Terbang, Bisakah….
16. Wisata, Wiiiiih …. Tak Nyata
17. Politik di Aras Tradisi: Dari Serikat Islam Hingga Nahdlatul Ulama
18. Marjambar, Toleransi Agama.
19. Geliat Ekonomi Rakyat, Kenapa Kami Masih Melarat?
20. Dilarang Sakit Pada Hari Minggu.

Epilog


Sumber:
http://jurnalismstudy.blogspot.com/2011/02/sebuah-buku-sipirok-nauli.html

No comments:

Post a Comment