Thursday, March 8, 2012

Teror Buku di Tanah Batak


Teror Buku di Tanah Batak

Buku Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak karya Mangaraja Onggang Parlindungan maupun Greget Tuanku Rao karya Basyral Hamidy Harahap, muncul pada tahun 2007 dan mengundang kontroversi. Kedua buku itu sama-sama berangkat dari sejarah Islam di Tanah Batak hasil konstruksi colonial dan saling melengkapi antara satu dengan lainnya.
Sumber penulisan kedua buku itu berasal dari data-data colonial yang dikumpul di Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-enVolkenkunde (KITLV), tempat dimana Basyral Hamidy Harahap bekerja sepanjang hidupnya. Sebagian besar fakta yang dikumpulkan lembaga ini berasal dari zaman Residen Vortsman, sedangkan residen yang dipercaya Onggang sebagai ahli Batak ini mendapat data dari zaman Asisten Residen Godon.
Karena itu, mempercayai isi Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak maupun Greget Tuanku Rao, sama dengan membiarkan diri tetap menjadi bangsa yang dijajah Belanda. Fakta-fakta sejarah yang dibuat kolonial tentang Islam di Tanah Batak, sangat politis demi mempermudah Belanda menancapkan kekuasaanya di Tanah Batak. Proses penancapan kekuasaan colonial mendapat tantangan luar biasa dari masyarakat Islam terutama di Tapanuli wilayah Selatan, sehingga kekuatan Islam mesti dipatahkan dengan menyebarkan citra buruk betapa Islam melalui potret Paderi adalah agama yang menghalalkan kekejaman.
Sebagai bukti, nuansa politik sangat kuat dalam buku Mangaraja Onggang Parlindungan, dimana tokoh Pongkinangolngolan diberi marga Sinambela. Bukan tanpa alasan pemberian marga Sinambela, karena marga itu identik dengan trah Raja Sisingamangaraja, yang pada masa penulisan buku sekitar 1920-an hingga 1930-an sangat diakui sebagai leluhur masyarakat Batak. Tapi, bagi masyarakat yang tinggal di Tapanuli wilayah Selatan, kedudukan Sisingamangaraja tidaklah sepenting seperti pandangan masyarakat yang tinggal di Tapanuli wilayah Utara.
Faktor inilah yang melahirkan pro-kontra terhadap identitas kebatakan (habatahon) yang berlangsung dengan tajam antara mereka yang mengaku diri sebagai Batak (diwakili terutama oleh orang-orang Toba) dengan mereka yang menolak disebut Batak (diwakili oleh orang-orang Mandailing). Pro-kontra ini menurut Lance Castles (2001) memuncak dalam perdebatan sengit berkaitan dengan rencana pemerintah membentuk satu groupsgemeenschap ‘komunitas kelompok’ untuk wilayah Keresidenan Tapanuli yang berpusat di Sibolga pada tahun 1930-an. Tapanuli Selatan terbelah: Batak Angkola (Angkola, Sipirok, dan Padanglawas) yang dominan beragama Islam mengaku sebagai orang Batak dan menolak mengikuti Mandailing yang tidak pernah mau mengaku sebagai orang Batak.
Karena itu, buku Mangaraja Onggang Parlindungan kemudian mencitrakan Batak Angkola yang merupakan penganut agama Islam sebagai Islam yang bertentangan dengan agama kaum Paderi, sehingga mudah dihancurkan oleh para pejuang Paderi. Nilai-nilai ke-Islam-an masyarakat Batak Angkola dinilai sangat kendur, sehingga masyarakatnya hidup lebih mengutamakan nilai-nilai warisan budaya ketimbang nilai-nilai agama, yang sangat streotipe dengan masyarakat kuno penganut kebudayaan parmalim atau sipelebegu. Karena itu, masyarakat Islam Batak Angkola menjadi musuh bagi pejuang Paderi, yang dianggap layak untuk dihancurkan.
Pongkinangolngolan Sinambela, yang merupakan representasi Batak Toba, kemudian menjadi Tuanku Rao, dipergunakan Mangaraja Onggang Parlidungan sebagai simbol anti-Batak Angkola. Ada semangat politik mengadu-domba Batak Toba dengan Batak Angkola, yang sudah barang tentu akan menguntungkan posisi masyarakat Mandailing.
Kontruksi Kolonial
Streotipe awal Hindia Belanda bahwa masyarakat Batak Angkola sebagai penganut animisme (parmalim atau pelebegu atau percaya pada roh) karena sejumlah mitos seram tentang “orang makan orang” terlanjur dipercaya terutama karena beberapa penginjil Belanda yang pergi ke wilayah pedalaman di Sibolga dikabarkan meninggal dengan cara yang menyedihkan, gugur dengan sendirinya. Tetapi, laporan Dr. Junghuhn, seorang antropolog yang dikirim dengan brilian menyebut betapa tinggi peradaban masyarakat Batak Angkola, karena mereka punya apa yang disebut bahasa dan aksara, tak dipercaya begitu saja oleh Hindia Belanda.
Laporan itu pun membuat banyak hal yang tak terjawab selama ini, terutama tentang pejuang-pejuang Paderi yang raib dan tidak bisa ditemukan setiap kali lari ke arah Utara (Tapanuli Selatan) dalam drama-drama pengejaran. Bahwa mereka, para pejuang Paderi yang terdesak dan lintang-pukang setelah Tuanku Imam Bonjol dapat ditaklukkan, hidup berdampingan dengan komunitas masyarakat adat Batak yang memiliki budaya tinggi. Komunitas adat ini, dalam logika berpikir kaum antropolog, memiliki struktur social dalam sistem budayanya. Para antropolog acap menganggap struktur sosial adalah satu-satunya perhatian utama dalam antropologi, karena struktur social itu terbentuk dari sistem sosial dan kebudayaan yang merupakan manifestasi berbagai kegiatan manusia pada tingkat kenyataan sosial.
Tetapi Pemerintah Hindia Belanda tetap meyakini asumsi-asumsi awal tentang masyarakat adat Batak Angkola yang tinggal di pedalaman sebagai masyarakat terbelakang dan tidak memiliki peradaban. Sebab itu, Hindia Belanda berkeyakinan kehidupan mereka mesti diselamatkan dan dicerahkan dengan mengabarkan injil. Sebuah simpul yang sangat keliru, karena pada dekade 1800-an—bersamaan dengan terbitnya rencana Hindia Belanda untuk mengirimkan para penginjil ke Tapanuli Selatan– Islam telah lebih dahulu dianut masyarakat Batak Angkola, yang dibawa dengan sangat bersahaja oleh Tuan-Tuan Syeikh dari Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat. Mereka datang sebagai sahabat masyarakat dan mengajari cara merenungkan eksistensi hidup dan kehidupan manusia lewat religiusitas ajaran Islam dengan pendekatan kultural yang kemudian melahirkan idiom “adat do ugari” (adat sama dengan agama) dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Tuan-Tuan Syeikh dari Kesultanan Asahan dan Kesultanan Langkat kemudian membawa pemuda-pemuda Batak Angkola untuk mengikuti pendidikan-pendidikan agama Islam di Tanjung Balai, sebuah kota pelabuhan yang pada zaman itu juga pusat pendidikan agama Islam yang ramai.
Syeikh Sulayman Al-Kholidy, anak Ja Pagar, seorang perajin pande besi di Sipirok, salah seorang dari pemuda-pemuda yang dibawa belajar agama Islam ke Kesultanan Asahan di Tanjung Balai. Setamat pendidikan, Syeikh Sulayman Al-Kholidy beserta pemuda lainnya melanjutkan pendidikan ke Mekkah, kemudian kembali dan menjadi penyebar agama Islam sebagaimana pendahulu mereka melakukannya dengan pendekatan kultural. Syeikh Sulayman Al-Kholidy kini lebih dikenal sebagai syeikh dari Hutapungkut, karena di daerah ini ayahnya, Ja Pagar, menghabiskan masa tuanya. Di daerah ini pula Syeikh Sulayman Al-Kholidy dikenal sebagai tokoh pembaharu sosial dengan ajaran-ajaran tarekat. Sampai saat ini, Tuan Syeikh ini lebih diingat sebagai tokoh utama tarekat naqsabandiyah di Tapanuli Selatan.
Perkembangan Islam yang begitu pesat di lingkungan komunitas adat Batak Angkola sebetulnya sudah disinggung Dr. Junghuhn dalam laporan penelitiannya. Tetapi Hindia Belanda tidak percaya Islam dapat tumbuh begitu leluasa dan pesat, karena pengalaman selama bertahun-tahun menduduki Sumatra Barat mengajarkan bahwa Islam menyebar dari pejuang-pejuang Paderi yang diburu dan lari ke wilayah Utara (Tapanuli Selatan) diyakini mendapat penolakan dari masyarakat setempat. Sebab, Islam yang dibawa pejuang-pejuang Paderi bukanlah Islam yang toleran, tetapi Islam yang frontal dan penuh kekerasan, yang memasak siapa saja masuk Islam dengan jalan pedang. Inilah mitos yang dibangun oleh Hindia Belanda untuk mendeskriditkan pejuang-pejuang Paderi agar tidak diterima masyarakat Tapanuli Selatan sehingga mereka dimusuhi dan akhirnya kembali ke Sumatra Barat.
Sejarah kekejaman pejuang paderi dikonstruksi Hindia Belanda yang kemudian tidak lagi mengendap sebagai mitos dalam diri masyarakat Batak Angkola, melainkan sesuatu yang dinilai sangat nyata. Sejarah hasil konstruksi Hindia Belanda inilah yang melatarbelakangi Mangaraja Onggang Parlindungan menciptakan tokoh fiktif bernama Pongkinangolngolan Sinambela gelar Tuanku Rao. Dalam sebuah roman yang kontroversial dan sangat subjektif dengan judul Tuanku Rao, Terror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak diterbitkan oleh Penerbit Tanjung Pengharapan pada 1964. Hamkah, budayawan dan ulama besar Sumatra Barat, sangat tersingung dengan buku yang dinilai merusak sejarah gemilang para pejuang Paderi seolah-olah nilai-nilai Islam yang meresap ke diri mereka bukanlah agama yang mengajarkan “’amar mahruf nahi munkar”.
Mitos tentang kekejaman pejuang Paderi sebetulnya tak mempengaruhi tingkat penerimaan masyarakat Batak Angkola. Bahkan, di lingkungan komunitas adat Batak Mandailing, ajaran Islam yang dibawa para pejuang Paderi meninggalkan warna yang khas, dimana masyarakat yang menganut Islam kemudian memandang bahwa hal-hal berbau tradisi pantas untuk ditinggalkan karena bertentangan dengan ajaran-ajaran agama Islam. Salah satu ekspresi budaya yang kemudian punah dari kehidupan masyarakat Batak Mandailing adalah Tor-Tor Sirama. Tor-tor atau tarian ini hanya dilakukan untuk menghadapi perang antarsuku sebagai salah satu upacara memangil roh leluhur agar “merasuki” orang-orang yang hendak berperang sehingga mereka memiliki keberanian dan kekuatan mistik guna menghadapi musuh. Tor-tor yang biasanya diiringi dengan tetabuhan gendang (gondang) harus dilakukan oleh seorang pemuka adat (raja) atau datu (dukun) dimana yang bersangkutan mengawali tarian dengan meminum minuman keras (tuak) dari garigit (tabung bambu) yang diikatkan ke pinggangnya. Kondisi dalam keadaan mabuk atau tidak sadar diyakini membuat tubuh si penari (panortor) akan menjadi kosong sehinga roh leluhur lebih mudah merasukinya. Dalam keadaan tak sadar (tras), si penari akan bergerak memimpin peperangan.
Bagi masyarakat Batak Angkola yang sudah lebih dahulu hidup dengan ajaran Islam yang berbasis kebudayaan lewat idiom “adat do ugari” (adat sama dengan budaya), sulit menerima ajaran Islam yang dibawa pejuang-pejuang Paderi. Banyak peneliti sejarah penyebaran Islam yang menyimpulkan bahwa ajaran Islam dari pejuang Paderi tidak pernah sampai ke lingkungan masyarakat adat Batak Angkola, karena mereka sangat puas dengan penerimaan masyarakat adat Batak Mandailing sehingga mencurahkan seluruh perhatian untuk membangun Islam di kawasan tersebut. Islam di lingkungan masyarakat Batak Angkola berkembang pesat akibat murid-murid yang setamat pendidikan agama di Kesultanan Asahan, pulang ke lingkungannya masing-masing dan menyebarkan agama Islam dengan semangat penuh persaudaraan.
Perkembangan Islam yang begitu pesat di lingkungan masyarakat Batak Angkola bukan cuma membuat Islam sebagai agama menjadi dominan dianut oleh masyarakat, tetapi juga nilai-nilai agama samawi itu meresap dalam kehidupan kebudayaan masyarakat. Nilai-nilai budaya dan nilai-nilai agama berjalan berdampingan dan saling melengkapi, sehingga Islam membawa sebuah kemoderenan bagi cara berpikir masyarakat.

Sumber:

No comments:

Post a Comment