Friday, March 9, 2012

Sungai Barumun: ‘Jalan Sutra’ Via Daerah Candi Menuju Sumber Ekonomi di Tapanuli Bagian Selatan


Sungai Barumun: ‘Jalan Sutra’ Via Daerah Candi Menuju Sumber Ekonomi di Tapanuli Bagian Selatan

*Dikompilasi dari berbagai sumber

Sungai Barumum merupakan jalur transportasi melalui sungai yang terpenting di masa lalu dari pantai timur Sumatra di Labuhan Bilik, Kabupaten Labuhan Batu Selatan ke daerah pedalaman di Tapanuli Bagian Selatan (peta Sungai Barumun). Anak Sungai Barumun yang pertama di daerah hilir Sungai Barumun adalah Sungai Bilah. Anak-anak Sungai Barumun di daerah hulu adalah Sungai Kanan (bercabang di Langgapayung), Sungai Batang Pane (bercabang di Binanga), dan Sungai Sihapas (bercabang di Barumen Tengah) dan Sungai Aek Sangkilon. Keempat anak Sungai Barumun di hulu ini bersumber dari daerah pegunungan sepanjang Bukit Barisan.
  • Hulu Sungai Kanan yang melewati Kota Langgapayung di Kabupaten Labuhan Batu Selatan berada di daerah Gunung Tampulon Anjing di Kecamatan Simangambat Kabupaten Padang Lawas Utara.
  • Hulu Sungai Sihapas yang melewati Kecamatan Sosopan, Kabupaten Padang Lawas dan Kota Aek Godang di Kecamatan Hulu Sihapas, Kabupaten Padang Lawas Utara berada di daerah Gunung Sibual Buali di Kecamatan Sipirok Kabupaten Tapanuli Selatan.
  • Hulu Sungai Batang Pane yang melewati Kota Gunung Tua Kecamatan Batang Onang Kabupaten Padang Lawas Utara berada di daerah Gunung Tampulon Anjing di Kecamatan Aek Bilah Kabupaten Tapanuli Selatan. Anak Sungai Batang Pane adalah Sungai Aek Sirumambe yang bercabang di Desa Portibu Julu, Kecamatan Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara.

Hulu Sungai Barumun sendiri berada di daerah Siraisan di Kecamatan Ulu Barumun yang berada di daerah bukit yang memisahkan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Mandailing Natal. Dengan mengikuti garis Sungai Barumun via anak sungai Aek Sihapas yang hulunya berada di Gunung Sibual Buali, maka DAS Sungai Barumun menjadi sungai terpanjang di Sumatra Utara. Menariknya, Sungai Barumun dan anak-anak sungainya di hulu mencakup semua kabupaten di wilayah Tapanuli Bagian Selatan. Sedangkan di hilir, Sungai Barumun melewati Kabupaten Labuhan Batu Selatan.

Jika di zaman dulu, di hilir Sungai Barumun terdapat pelabuhan terkenal yakni Pelabuhan Panai. Nama Panai dikaitkan dengan nama anak Sungai Barumun  yakni Sungai Batang Pane. Di hulu Sungai Barumun ini terdapat sejumlah candi peninggalan Hindu/Budha yang meliputi DAS Barumun dan anak-anak sungainya yakni DAS Batang Pane, DAS Aek Sirumambe, dan DAS Aek Sangkilon. Bangunan-bangunan candi di sepanjang sungai-sungai tersebut sengaja dibangun pada jalur transportasi penting untuk perdagangan. Besar kemungkinan Sungai Barumun pada masa lampau merupakan jalur perdagangan lokal yang cukup ramai. Jalur perdagangan ini menghubungkan daerah pesisir timur Sumatra Utara dan daerah pedalaman di wilayah  Tapanuli Bagian Selatan.


Di dataran yang panas dan kering, yang hanya ditumbuhi ilalang dan beberapa pohon, di sekitar Batang Pane, Sungai Sirumambe, dan Sungai Barumun yang membelah dataran Padang Lawas, tampak pemandangan runtuhan berbagai biaro yang menjulang tinggi. Daerah luas yang sunyi dengan runtuhan biaronya, dahulu kala pernah menjadi pusat agama dalam Kerajaan Panai. Sebuah kerajaan yang kurang dikenal dalam percaturan sejarah kuno Indonesia.


Sebaran Candi di Daerah Aliran Sungai Barumun

Persebaran candi di daerah sepanjang tepian sungai Barumun, terutama dimulai dari Situs Si Pamutung hingga ke muara sungai Barumun. Candi-candi ini dapat dikunjungi melalui jalan darat kecuali untuk beberapa buah situs yang harus menyeberangi sungai, seperti Bara dan Si Pamutung. Peninggalan candi yang terpenting di daerah aliran sungai (DAS) Sungai Barumun adalah kelompok Biaro Si Pamutung. Kelompok bangunan ini terletak di daerah pertemuan Sungai Barumun dan Batang Pane.

Tiga kelompok biaro yang mempunyai sifat buddha tantrik ialah kelompok Biaro Si Pamutung, Biaro Si Joreng Belangah, dan Biaro Si Sangkilon (Schnitger 1937: 23-25). Pada Biaro Si Pamutung banyak ditemukan arca maupun hiasan bangunan (makara) yang merupakan indikator Wajrayāna. Pada halaman biaro ditemukan sebuah arca buaya yang digambarkan dengan wajah yang bengis. Selain itu ditemukan juga dua buah arca raksasi dalam sikap ańjalimudrā di mana dari mulutnya keluar dua pasang taring. Kedua bola matanya digambarkan melotot. Di Si Joreng Belangah ditemukan prasasti yang menggam¬bar¬kan upacara tantris yang bunyinya:        

Wanwawanwanāgī
Bukāngrhūgr
Hūcitrasamasyasā
Tūnhahāhahā
Hūm
Hūhūhehai
Hohauhaha
Omāhhūm

Menurut Stutterheim, bunyi "ha" dan sebagainya adalah bunyi tertawa dan bunyi "hu" adalah bunyi dengusan suara banteng. Bunyi-bunyi ini biasa diucapkan para pemuja pada waktu upacara Tantrik. Selanjutnya, menurut Stutterheim penanggalan prasasti ini dapat ditempatkan dalam abad ke-13 Masehi atau pertengahan abad ke-14 Masehi. Di samping itu ditemukan suatu bukti bentuk tantrisme.

Candi Si Pamutung

Candi Sipamutung berada di Desa Siparau, Kecamatan Barumun Tengah, Kabupaten Padanglawas. Lokasi candi ini berjarak sekitar 40 Km dari ibukota Kabupaten Padanglawas, Sibuhuan. Menuju lokasi candi, jalan aspal  hanya sampai di Desa Binanga dan melewati jalan desa sepanjang  tiga km. Kemudian meniti  jembatan gantung yang berada di atas sungai Barumun. Komplek candi berjarak 250 meter dari pinggir aliran Sungai Barumun.

Beberapa kalangan menyebut Candi Sipamutung merupakan  satu-satunya candi yang didirikan Ummat Budha dan paling megah di antara candi yang terdapat di Kab. Padang Lawas dan Padang Lawas Utara yang umumnya didirikan umad Hindu. Bentuk dan ukurannya  terdiri dari sebuah biara induk menghadap ke timur dengan denah bujur sangkar berukuran 11 X 11 meter, tinggi 13 meter. terdiri dari bagian  kaki, badan, dan atap.  Sedangkan di kedua sisinya terdapat 6 biaro yang lebih kecil, pada bagian bawahnya tersusun 16 buah stupa yang lebih kecil.  Lima buah Biaro dari bata dan sebuah dari batu andesit. Biaro-biaro yang terbuat dari bata adalah Biaro perwara di sebelah timur candi induk berbentuk mandapa berdenah segi empat berukuran 10,25 X 9,9 meter, tinggi 1,15 meter. Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter dengan pintu masuk sejenis gapura.

                       Gambar-1: Candi Sipamutung


Candi Tandihat

Di daerah Joreng Belangah terdapat dua situs yakni Tandihat-I dan Tandihat-II.

Tandihat-I

                                             Gambar-2: Candi Tandihat-I


Tandihat-II

Ekskavasi yang dilakukan tahun 1994 terhadap runtuhan bangunan Tandihat-I dan berhasil menampakkan bentuk dan ukuran denah bangunan Tandihat-II. Bangunan ini menghadap ke arah timur dengan tangga naiknya dihias dengan sepasang makara. Sebuah arca singa yang dibuat dari batupasir (sandstone) ditemukan di antara runtuhan bangunan.

Candi Aek Tunjang

Biaro Aek Tunjang yang masih tersisa sekarang hanya tinggal gundukan bata setinggi 3 meter, panjang 5 meter dan lebar 4 meter. Biaro ini berada di belakang rumah penduduk dan hingga saat ini belum dibebaskan tanahnya oleh instansi yang berwenang. Lokasi biaro ini tepat berada di tanah milik empat orang warga.

Candi Lainnya: Pordak Dolok, Candi Manggis dan Candi Paya


Sebaran Candi di Daerah Hulu Sungai Batang Pane

Peninggalan candi yang berupa kompleks biaro di DAS Sungai Batang Pane antara lain ditemukan di Situs Gunung Tua, Si Topayan, Aek Hayuara, Haloban, Rondaman, Tanjung Bangun, Bara, Pulo, Bahal 1, Bahal 2, dan Bahal 3. Kompleks Biaro ini letaknya tidak jauh dari tepian sungai dengan jarak sekitar 500 meter.

Candi Bahal

Lokasi candi Bahal berada di Desa Portibi, Kabupaten Padang Lawas Utara. Di Desa Bahal, Kecamatan Padang Botak, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, terdapat Candi Bahal. candi Hindu. Kompleks Candi Bahal terdiri dari tiga buah candi, yang masing-masing terpisah dengan jarak sekitar 500 meter. Candi Bahal lokasinya berada di tengah persawahan yang sangat luas. Penduduk setempat sering menyebut kompleks Candi Bahal dengan nama Candi Padang Lawas atau 'candi di padang Iuas'. Nama lain kompleks Candi Bahal adalah Candi Portibi. Keberadaan batu keras hanya digunakan untuk membuat arca. Misalnya, di depan Candi Bahal-I terdapat sebuah Arca Ganesha yang berbadan kurus dari batu. Sampai kini arca batu tersebut masih utuh.

Bahal-I

Pemugaran Candi Bahal-I selesai 16 Desember 1997 dan diresmikan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar.

                                             Gambar-3:  Candi Bahal-I


Bahal-II

Candi Bahal-II diresmikan 18 November 1995 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan prof. Dr. Wardiman Djojo Negoro.

                                             Gambar-4: Candi Bahal-II


Bahal-III

Candi Bahal-III dipugar sejak tahun 1996.


Gambar-5: Candi Bahal-III

Candi Sitopayan
                                           Gambar-6:  Candi Sitopayan


Candi Biaro Pulo

Beberapa kilometer dari Candi Bahal terdapat kompleks Candi Pulo atau Barumun.

                                                  Gambar-7:  Candi Pulo


Candi Lainnya: Situs Gunung Tua, Candi Bara, Aek Haruaya, Tanjung Bangun, Haloban, dan Rondaman.


Sebaran Candi di Daerah Sungai Sirumambe

Survei arkeologi yang dilakukan di daerah sekitar Sungai Sirumambe berhasil menemui beberapa lokasi yang mengandung tinggalan budaya zaman lampau di situs-situs Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Batu Gana, Padang Bujur, Torna Tambang, dan Naga Saribu, Mangaledang.

Candi Batu Gana

                                             Gambar-8:  Candi Batu Gana

Candi Lainnya: Si Soldop, Aek Korsik, Aek Tolong Tonga, Lobu Dolok, Padang Bujur, Torna Tambang, Naga Saribu dan Mangaledang.

Sebaran Candi di hulu Sungai Barumun dan Sungai Sangkilon

Pengeran Bira/Makam Kramat Jiret Mertuah

Di daerah pertemuan Sungai Barumun-Sungai Pane terdapat Makam Kramat Jiret Mertuah, sebagai situs juga disebut Makam Pangeran Bira. Makam ini terletak di Desa Pageran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Kabupaten Tapanuli Selatan. Situs Makam Kramat Jiret terletak di tengah kebun kopi pada sebidang tanah yang dibatasi dengan “pagar” dari batu kali. Pada jarak sekitar 150 meter ke arah barat laut terdapat sungai Sorimangampu yang mengalir dari barat daya ke timur laut. Sungai Sorimangampu ini airnya sangat jernih dan tebingnya curam. 

Di situs ini terdapat dua buah makam kramat, penduduk setempat biasa menyebut makam ‘suami’ dan makam ‘istri’. Kedua tokoh yang dimakamkan merupakan penyebar agama Islam di daerah tersebut. Yang menarik pada situs ini adalah makam kuno yang dibangun di atas bekas candi. Batu-batu candi yang terdapat pada situs ini berupa batu andesit berbentuk umpak, yoni, kemuncak candi atau kemuncak pagar langkan.

Candi Sangkilon
Di Desa Sangkilon, Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas terdapat candi yang dikenal sebagai Biaro Si Sangkilon. Jarak lokasi dengan ibukota kabupaten (Sibuhuan) sekitar 9 km. Runtuhan biaro Si Sangkilon berupa beberapa gundukan tanah yang terletak di tengah areal persawahan. Sekitar 20-30 meter menuju arah utara terbentang Sungai Sangkilon (anak Sungai Barumun di daerah hulu).

                                           Gambar-9:  Candi Sangkilon

Pada areal kompleks yang dibatasi tembok keliling terdapat empat buah runtuhan bangunan, masing-masing sebuah bangunan induk dan tiga buah bangunan yang lebih kecil. Kompleks biaro Si Sangkilon mempunyai tembok pagar keliling yang dibuat dari bata. Runtuhan gerbang pintu masuk halaman kompleks biaro yang masih tersisa terletak di sisi utara menghadap ke arah Sungai Sangkilon. Bangunan Biaro Induk sudah tidak utuh lagi, bagian bangunan yang masih tersisa adalah kaki dan tubuh, sedangkan bagian atapnya sudah hilang. Bagian kaki bangunan tertimbun runtuhan yang bercampur dengan tanah, berukuran 11 x 11 meter dan tinggi 3,1 meter. Tubuh bangunan yang masih tersisa hanya dua sisi, yaitu sisi utara dan sisi barat. Masing-masing sisi berukuran lebar 2 meter dan tinggi 2,6 meter.

Berdasarkan temuan sebuah lempengan prasasti emas berukuran 5 x 14 cm dalam bilik Biaro Induk Biaro Sangkilon diduga dibangun pada abad ke-14 Masehi. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris 6146. Di ujung tangga naik biaro induk terdapat sepasang hiasan makara yang keadaannya sudah rusak (bagian atas belalai sudah patah). Sebagian badannya terbenam di tanah. Hiasan yang terdapat pada makara berupa sulur-sulur daun. Di bagian mulut makara terdapat hiasan makhluk raksasa.

Di halaman kompleks biaro ini terdapat 3 gundukan yang mungkin merupakan runtuhan bangunan. Gundukan-gundukan ini terletak di sebelah barat, utara, dan barat laut Biaro Induk. Temuan lain yang terdapat di halaman biaro berupa 2 buah arca singa, fragmen bangunan, dan lapik. Seluruhnya dibuat dari batu andesit. Arca singa yang ditemukan bagian kepalanya sudah hilang. 


Keunikan Candi di Padang Lawas

Krom, seorang peneliti Belanda menulis tentang Padanglawas pada tahun 1923. Dalam tulisannya itu, ia menyebutkan bahwa peninggalan-peninggalan di Padanglawas disebut "on Javaansch" yang berarti "gaya seni pahat bangunan-bangunan di Padanglawas tidak mirip dengan gaya seni pada bangunan-bangunan di Jawa". Dalam telaahnya ia melihat banyak persamaan dengan pahatan di India Selatan atau Asia Tenggara daratan. Pada tahun 1930 Bosch menulis tentang Padanglawas dan mengajukan suatu teori bahwa masyarakat pendukung biaro di Padanglawas adalah pemeluk agama Buddha aliran Wajrayāna. Anggapannya ini didasarkan indikator artefak yang ditemukannya berupa arca, relief yang menggambarkan wajah-wajah yang menyeramkan dan prasasti singkat yang bertuliskan mantra-mantra aliran Tantris.

Menurut Schnitger biaro-biaro di Padanglawas dibangun bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yaitu pada sekitar abad ke-12 Masehi. Pendapat ini disetujui oleh Suleiman, tetapi lebih lanjut ia menambahkan bahwa biaro-biaro di Padanglawas dibangun pada abad ke-11-14 Masehi (Suleiman 1985: 25). Pendapatnya ini didasarkan atas pembacaan dari pertulisan-pertulisan singkat yang ditemukan di situs.

Setelah sekian lama tidak diteliti, Situs Padanglawas kemudian diteliti kembali pada tahun 1953 oleh tim kecil dari Dinas Purbakala di bawah pimpinan Satyawati Suleiman. Hasil dari penelitiannya itu kemudian diterbitkan dalam Majalah Amerta pada tahun 1954. Dalam tulisannya itu, Suleiman menggunakan istilah "Hindu-Batak" untuk hasil budaya di Padanglawas, karena ada istilah "Hindu-Jawa" untuk hasil budaya dari Jawa. Istilah ini tidak disetujui oleh Damais. Ia lebih suka menyebut dengan istilah "Sumatra Purbakala".

Kelompok-kelompok bangunan di Padanglawas sebagian besar berlokasi dekat dengan aliran sungai pada jarak sekitar 200-500 meter dari tepi sungai. Benda budaya masa lampau yang didata keseluruhannya ada yang masih insitu di Padanglawas (bangunan dan arca), dan ada pula yang ditempatkan di Museum Nasional Jakarta (arca dan prasasti).

Biaro-biaro itu, yang dahulu dicipta sebagai syair pujian dari batu dengan puncaknya menjulang ke langit, kini masih berceritera tentang kemegahan kerajaan itu, tentang agama yang pernah berkembang selama beberapa abad, dan tentang seni bangunan dan seni pahatnya. Semua itu merupakan bukti nyata dari sebuah hasil budaya yang bermutu tinggi. Situs-situs arkeologi di Lembah Sungai Barumun dan Batang Pane ditemukan di sekitar daerah Padanglawas. Kawasan ini meliputi lembah-lembah sungai Barumun, Batang Pane dan sungai-sungai lain yang luas arealnya sekitar 1500 kilometer persegi. Di lokasi ini terdapat sekurang-kurangnya 26 runtuhan biaro yang dibuat dari bata dan beberapa fragmen arca.

Runtuhan bangunan candi di Padanglawas disebut biaro (=vihara dalam bahasa Sanskerta), sebutan yang biasa dipakai masyarakat untuk  menyebut bangunan candi Budha atau Hindu di Sumatra. Tetapi di India, vihara adalah biara yang merupakan tempat tinggal para pendeta atau bhiksu. Padanglawas dengan kompleks biaro-nya merupakan suatu dataran yang kering dan tandus. Bagi ilmu pengetahuan, khususnya arkeologi dan sejarah, tentu saja sangat menarik untuk diteliti.

Di seluruh Pulau Sumatera, hanya ada tiga kompleks candi yaitu kompleks Padang Lawas di Tapsel ini, kompleks Candi Muara Takus di Riau, dan kompleks candi Muara Jambi di Jambi. Candi-candi di Sumatera punya perbedaan khas dengan candi-candi di Jawa dalam hal bahan pembuatnya. Karena di Sumatera tidak tersedia cukup banyak batu gunung, maka semua candi di Sumatera yang sudah ditemukan terbuat dari bata merah. Ini pula sebabnya candi-candi di Sumatera lebih rapuh daripada candi-candi di Jawa sehingga kondisinya hampir rusak total saat ditemukan.

‘Jalur Sutra” Ekonomi Tapanuli Selatan

"Pelabuhan Pane ini dari mana 'banyak kamper bermutu" dikeluarkan, terletak di pantai timur di bawah Perlak dan tidak lain dari Pane." McKinnon, "Research at Kota Cina, a Sung-Yang period trading site in East Sumatra", Archipel, 14, 1977, hal. 19-31. Iskandar Muda dalam suratnya kepada Jacques I, mencatat Pane sebagai jajahan Aceh di pantai timur Sumatra. Sedangkan dalam Negarakertagama terdapat nama Pane. Juga dalam prasasti Rajendra-I di Tanjavur mencatat "Pane di tepi Sungai" di antara kota atau daerah yang diserang oleh tentara Cola pada tahun 1025 M. (Lombard, hal 98-99).

Lokasi Pane ini sebagian pihak menggagap bernama Kuala Pane yang sekarang berada di bagian selatan Labuhan Bilik. Namun hipotesis tentang lokasi ini, sebagaimana sering diusulkan, diragukan karena di bagian hulu sungai Barumun, di dataran tinggi Padang Lawas, terdapat sejumlah candi dan tersebar di sepanjang tepi Sungai Barumun yang juga termasuk anak sungainya yakni Sungai Batang Pane. Berdasarkan epigrafi dan tanda-tanda pada candi-candi tersebut diduga percandian tersebut dibangun dari abad ke-10 hingga abad ke-14 M dan merupakan peninggalan dari sebuah kerajaan besar beragama Buddha dan berpusat di daerah pedalaman di Tapanuli Bagian Selatan.

Muhammad Said dalam buku dijelaskan bahwa dari adanya bangunan bersejarah terdiri dari biaro-biaro di Padang Lawas dapat diyakini pertumbuhan masyarakat yang berbudaya di wilayah itu masih berabad-abad lebih tua dari zaman Prapanca. Serangan Rajendra Gola dari India di tahun 1023 – 24 M, antara lain ke Panai misalnya, menunjukkan perlunya suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan tersebut. Panai diperkirakan lokasinya di hulu sungai Barumun, ditandai dengan adanya nama Batang Pane dan anggota masyarakat yang bermarga Pane di Angkola Sipirok.

Wheatly berpendapat bahwa asal kata nama Pane berasal dari bahasa Tamil yang berarti "ladang". Secara geografis, daerah Padang Lawas lebih dekat dengan pantai barat Sumatra. Ini berarti Pelabuhan Barus bisa jadi merupakan pintu masuk kerajaan Pane yang berpusat di daerah percandian. Dengan demikian, pelabuhan-pelabuhan yang memiliki perdagangan kamper yang terdapat di pantai timur Sumatra (Panai) dan yang terdapat di pantai barat Sumatra (Barus). Posisi strategis Tapanuli khususnya bagian selatan sebagai penghasil kamper di jaman dulu di satu sisi perdagangannya di Barus dan di sisi lain di daerah Pane di Padang Lawas. Dalam perkembangannya, arus perdagangan yang semakin ramai di pantai timur Sumatra penduduk Tapanuli khususnya bagian selatan lebih intens ke arah Padang Lawas daripada ke Barus.

Dalam sumber lainnya tentang Padang Lawas dahulu dikaitkan dengan catatan yang terdapat dalam Negara Kertagama. Sementara itu, dalam prasasti Tanjavur, "Pane terletak di tepi sungai", dan kurang dari seabad kemudian, Pane menjadi sebuah pelabuhan. Keterangan inilah yang mungkin pada abad ke-17 menjadi rujukan dalam sebuah surat dari Iskandar Muda menyebut Pane dalam daftar tempat-tempat di pantai timur, di antara Tanjung Balai dan Rokan. Perpindahan Pane dari pedalaman di Tapanuli Bagian Selatan ke pantai timur Sumatra dimungkinkan karena berbagai sebab, misalnya peperarangan atau erosi yang menyebabkan pendangkalan Sungai Barumun dan anak-anak sungainya seiring dengan semakin bertambahnya tonasi kapal-kapal perdagangan. Sementara perdagangan kamper terus berlanjut di pantai Barat Sumatra.

Dengan hipotesis-hipotesis serupa ini memungkinkan untuk melihat  bagaimana hubungan percandian di Padang Lawas dengan candi yang ditemukan di daerah Mandailing.  Dengan serangan pasukan Majapahit terhadap Padang Lawas besar kemudian pusat pemerintahan kerajaan di bubar dan sebagian dari mereka lari ke daerah Mandailing. Hipotesis ini dibuktikan pada masa silam di daerah Pidoli ini terdapat juga candi-candi purba. Namun demikian bukti ini (candi-candi ini) keburu dihancurkan oleh pasukan Islam di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol ratusan tahun yang lalu. namun reruntuhan candi-candi masih membekas di beberapa tempat seperti di Saba Biaro Pidoli dan Simangambat yakni Pidoli terletak di Panyabungan dan Simangambat di Siabu.

Gambar-10: Candi Siabu

Konon dari cerita legenda yang berkembang di masyarakat Mandailing dipercaya bahwa pada zaman dahulu kala ketika pagi masih berkabut dan langit terlihat remang-remang berselimut awan kelabu dan burung-burung mulai berkicau menyambut sang surya di ufuk timur, saat dimana ibu-ibu dan gadis-gadis pergi ke tepian (sungai) melihat dari jauh sekelompok orang-orang berjalan menyusuri jalan setapak. Bila diperhatikan gaya penampilan dan bahasanya mereka adalah orang-orang asing. Mereka terlihat berjalan kepayahan sebab sudah sangat jauh yang ditempuhnya. Mereka seolah-olah ketakutan. Mereka ada yang membawa barang miliknya, kayaknya seperti orang hendak mengungsi. Penduduk asli Mandailing bertanya-tanya tentang orang tersebut yang belum dikenal mereka.

Sekelompok orang pendatang itu mengenalkan dirinya bahwa mereka berasal dari negeri India Selatan. Datang ke sini untuk menyelamatkan diri. Sebab negeri mereka di Padang Lawas dalam bahaya karena diserang bangsa Aria. Mereka berharap dapat menginap dan orang kampung menyetujuinya. Sekelompok orang tadi senang sekali sebab mereka juga menikmati hal yang sama sebelumnya di sungai Barumun yang jernih dan bersih. Rupanya diantara mereka ada yang menemukan emas sewaktu mereka tinggal sekitar tepian sungai. Mereka pendatang ini memulai mendulang emas dan terus menelusuri tepian sungai Batang Gadis.

Dengan ditemukannya emas di sepanjang Sungai Batang Gadis, maka lambat laun pihak-pihak yang mendulang bukan saja warga pengungsi, tetapi juga warga setempat dan bahkan orang-orang dari Minangkabau mulai ambil bagian. Dari hari ke hari tepian sungai itu pada awalnya banyak berdiri pondok-pondok lalu menjadi bangunan-bangunan sebagai rumah yang akhirnya daerah aliran sungai Batang Gadis tersebut menjadi semakin terkenal. Dengan semakin makmurnya penduduk setempat diduga menjadi asal berdirinya kerajaan-kerajaan kecil (huta) di Mandailing.

Dalam perkembangan dilaporkan bahwa Kerajaan Majapahit datang atas perintah Hayam Wuruk ke daerah Mandailing. Terjadilah peperangan kecil terjadi. Pasukan raja-raja di tepian Batang Gadis menghalau pasukan Majapahit. Mereka sama sama kuat. Sebagian masyarakat lari menyelamatkan diri dan bermukim di tempat yang aman. Orang-orang pendatang sebagai pengungsi tidak terhindar dari gangguan dan mereka juga turut pindah ke tempat lain. Saat itu penduduk asli merasa kehilangan sahabat karib sebab selama ini mereka sering mendulang emas bersama-sama.

Dasar Hukum Percandian
  • UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (BCB)
  • PP No. 10 Tahun 1993 tentang Pelaksanaan UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya



Sumber: (*Akhir Matua Harahap)



No comments:

Post a Comment