Monday, March 5, 2012

SEJARAH KERAJAAN NAGUR (BAHGIAN II)


SEJARAH KERAJAAN NAGUR (BAHAGIAN II)


SEJARAH KERAJAAN NAGUR DAN MARGA DAMANIK DI SUMATERA TIMUR, 500-1946 (BAGIAN II)

OLEH: NURDIN DAMANIK DAN KADIM MORGAN DAMANIK
(MASING-MASING KETURUNAN TUAN PANGULUBALANG SIPOLHA RAJA SOSIAR MANGULA DAN KEDUA ADALAH MANTAN KETUA UMUM PMS KABUPATEN SIMALUNGUN)    

SAMBUNGAN———————-

Satu hal yang memperkuat tulisan Jalatua Hasugian tersebut di atas bila disesuaikan dengan tulisan Sutan Martua Radja Siregar bahwa di abad ke-6 Masehi telah ada satu kerajaan yang beribukota di tepi Sungai Bah Bolon dekat kota Pardagangan sekarang bernama Kerajaan Nagur. Di mana rajanya bermarga Damanik. Berdasarkan data-data dan keterangan di atas bahwa marga Damanik bukan berasal dari marga Manik Raja dari Samosir tetapi berasal dari Nagur. Juga sejarah membuktikan yang terjadi di Simalungun semua orang dari Samosir seperti kelompok Parna abad XVII-XIX yang datang ke daerah kerajaan-kerajaan Simalungun semuanya memasuki marga Saragih.

Begitu juga yang terjadi di Kerajaan Siantar di zaman sebelum Belanda yang menyatakan dirinya turunan Silau Raja, seperti :
  1. Gurning : jabatan Tuan Bonani Ari Partuanon Sipolha memakai marga Damanik.
  2. Ambarita: jabatan tuan Ambarita di Kerajaan Sidamanik memakai marga Damanik.
  3. Malau: jabatan jagoraha atau panglima perang Kerajaan Sinaman di Panei menjadi marga Damanik.
  4. Sagala: jabatan jagoraha atau panglima Kerajaan Sidamanik memakai marga Damanik.
Baru sesudah Belanda menguasai kerajaan-kerajaan yang ada di Simalungun awal abad ke-20 Masehi dan dibukanya jalan raya dari Balige ke Pamatang Siantar melalui Parapat tahun 1910 serta masuknya pendatang Batak Toba ke Simalungun, berangsur-angsur marga-marga tersebut di atas kembali lagi ke marga asalnya.
Kalau kita perhatikan data-data dari penulis-penulis Batak Toba seperti :
  1. Sutan Martua Radja Siregar yang menyatakan bahwa sudah ada marga Damanik menjadi raja di Kerajaan Nagur, kelak di kemudian hari disebut Simalungun pada abad ke-6 Masehi.
  2. Jalatua Hasugian dalam tulisannya menyatakan bahwa sudah ada marga Damanik menjadi raja di Simalungun (baca: Nagur) abad ke-6 Masehi.
  3. Tulisan Batara Sangti Simanjuntak bahwa Si Raja Batak baru ada tahun 1305 Masehi.
  4. Tulisan Kondar Situmorang bahwa Si Raja Batak baru ada tahun 1475 Masehi dan Si Raja Batak inilah yang menjadi leluhur Suku Batak Toba.
  5. Saat tulisan ini diterbitkan bahwa manusia di Samosir mengakui masih berkisar 16 sampai dengan 18 generasi, kalau diperhitungkan baru ada 400 atau 500 tahun manusia berada di Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusuk Buhit sesuai dengan tulisan Kondar Situmorang di atas.
  6. Sejarah Nusantara menerangkan bahwa Barus dan pantai barat Pulau Sumatera adalah daerah Sriwijaya dari Palembang, tetapi sesudah Sriwijaya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1337 Masehi, kemungkinan orang-orang dari Barus itu naik ke pegunungan di sekitar Danau Toba dan bermukim di suatu tempat yang subur dan disebut Sianjurmula-mula dan seratus tahun kemudian menyebut dirinya bangsa Batak dan terciptalah Si Raja Batak sebagai leluhur mereka.
Kalau diperhatikan fakta sejarah maka tulisan Kondar Situmorang tersebut di atas agak mendekati kebenaran fakta sejarah, mengenai kapan manusia mulai berada di Sianjurmula-mula di kaki Gunung Pusuk Buhit.
Si Raja Batak inilah menurut orang Batak Toba menjadi leluhur mereka seperti berikut ini :

Sesuai dengan fakta-fakta sejarah tersebut di atas, apa bisa diterima akal sehat bahwa marga Damanik di Simalungun turunan Nagur dahulu kala itu oleh orang Batak Toba mengatakan bahwa Damanik di Simalungun itu berasal dari marga Manik dari Samosir? Sejarah membuktikan bagaimana perkembangan kerajaan-kerajaan marga Damanik sejak tahun 1200 Masehi di Simalungun sejak dari Nagur Pulau Pandan Pardagangan sampai ke Laut Tawar (Danau Toba mengikuti jalur sungai Bah Bolon yang berasal dari antara dua gunung yaitu Gunung Sijambak Bahir an Gunung Simarjarunjung di pantai sebelah timur Laut Tawar (Danau Toba).

Masalah silsilah atau tarombo mereka (suku Batak Toba) bagi penulis tidak jadi masalah sebab sudah menjadi keyakinan mereka, begitulah asal-usulnya. Tetapi penulis tidak dapat menerima jika mereka mengatakan bahwa Damanik salah satu marga asli tertua di Simalungun berasal dari apa yang disebut kelompok Tatea Bulan. Sebab menurut fakta sejarah tersebut di atas bahwa perbedaan adanya manusia Nagur (baca: Simalungun) dan Sianjurmula-mula (baca: Samosir) sangat jauh, seperti berikut : di Nagur (baca: Simalungun) manusia atau kerajaan sudah ada pada tahun 600 Masehi, yaitu Kerajaan Nagur bermarga Damanik, sedangkan di kaki Gunung Sianjurmula-mula menurut penulis tersebut baru ada pada awal abad ke-16 atau tahun 1500 Masehi. Di atas telah diterangkan orang yang mengaku turunan Raja Naiambaton (PARNA) datang ke daerah kerajaan Raja Maroppat di Simalungun sebelum masuknya Belanda di akhir abad ke-19 yang memasuki marga Saragih.

Begitu juga orang yang menyebut dirinya turunan marga Silau Raja yang datang ke daerah kerajaan marga Damanik di Simalungun memasuki marga Damanik; hal ini terjadi dalam abad XVII-XIX, termasuk di dalamnya marga Sagala yang menjadi rajagoraha atau panglima perang Kerajaan Sidamanik sebelum masuknya Belanda memasuki marga Damanik.

Begitu juga soal seni musik, musik khas Samosir zaman dulu itu disebut Gondang Hasapi, tetapi pendatang dari Samosir itu larut dalam seni musik Simalungun asli yang disebut “Gual Arbab”, salah satu seni musik Simalungun asli dan unik. Mereka tidak membawa Gondang Hasapi-nya zaman dulu ke Simalungun, karena mereka sudah menemukan manusia di Simalungun dengan irama dan adatnya, sehingga mereka secara praktis menyebut dirinya orang Simalungun.

Lain halnya dengan orang luar Simalungun yang datang ke Simalungun sesudah berkuasanya Belanda akhir abad ke-19 terhadap raja-raja di kerajaan raja-raja na pitu di Simalungun, mereka tidak mengubah marganya lagi. Sebagai contoh: kelompok marga Tatea Bulan ini masih satu leluhur dengan marga Manik di Samosir dan oleh karena sebutan Manik inilah menurut pengakuan mereka bahwa marga Damanik ini satu leluhur dengan mereka, sebab Manik adalah anak Silau Raja dan Silau Raja adalah anak Guru Tatea Bulan dan Tatea Bulan adalah anak Si Raja Batak, yaitu atas pengakuan mereka adalah leluhur suku Batak Toba (Toba, Humbang Samosir dan Silindung).

Sejak awal abad ke-20 dengan berkuasanya Belanda di Simalungun dari berbagai suku di sekitar Simalungun dan oleh Belanda pendatang-pendatang itu dibeking Belanda dengan memberikan kedudukan penting di pemerintahan dan di onderneming (perkebunan) milik bangsa Eropa, mulailah peradaban suku Simalungun goyah oleh budaya pendatang. Di samping itu mereka giat mempropagandakan sejarah marga-marga bahwa marga Damanik di Simalungun asalnya adalah dari marga Manik Raja dari Samosir.

Terlebih dengan meledaknya apa yang disebut Revolusi Sosial di Simalungun pada 3 Maret 1946 atau setahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI yang menghancurkan sendi-sendi peradaban Simalungun, maka sebagian besar rakyat Simalungun terutama marga Damanik yang tidak pernah mempelajari asal-usul marganya bergabung dengan apa yang disebut kelompok Guru Tatea Bulan (Silau Raja). Maksud penulis bukan mau memisahkan marga Damanik dengan marga Manik yang berasal dari Samosir, sebab istilah Manik ini juga ada di Karo (Ginting Manik), di Dairi (Manik Sikettang), Jawa (Djohar Manik) dan Sumatera Barat (Sumanik). Apa hubungannya dengan istilah gelar Datuk Parmanik-manik dari Malaya 1500 tahun lalu?

Masalah marga Damanik ini perlu dibuka sejarah yang menggelapinya selama ini, sebab menurut Pustaha Batak tulisan W.M. Hutagalung halaman 60 dan halaman 193. soal Manik di Simalungun sangat tidak masuk akal atau boleh dikatakan menggelikan bagi orang yang pernah membaca sejarah.

Sepengetahuan kita bahwa Pustaha Batak tulisan W.M. Hutagalung inilah buku yang pertama dibuat atau diterbitkan di zaman Belanda tahun 1926. Sebagai seorang cerdik pandai dan berpredikat sebagai seorang intelektual pada zamannya, rupanya hanya mendengar masalah Damanik di Simalungun itu dari “panggallung-pangallung” atau “datu-datu” serta “partarombo-partarombo” yang pulang dari Simlaungun, yaitu orang yang tidak mengetahui bagaimana raja-raja Damanik dihormati dan diagungkan oleh rakyatnya, sehingga digelari rakyatnya dengan sebutan “tuhanta” atau “partongah”. Jadi sangat disayangkan tulisan W.M. Hutagalung dalam halaman 60 dan halaman 193 dalam Pusataha Batak terbitan tahun 1926 Masehi mengenai marga Damanik pendiri Kerajaan Siantar abad ke-14 Masehi, yaitu Oppung partiga-tiga Sihapunjung, tapi W.M. Hutagalung menyebutnya Partiga-tiga Sipunjung. Entah dari mana didapat beliau nama Partiga-tiga Sipunjung ini.

Sesuai dengan pengumpulan data-data sejarah mengenai akhir atau lenyapnya Kerajaan Nagur Pulau Pandan dari keterangan orang-orangtua zaman dulu bahwa penerus Kerajaan Nagur Pulau Pandan diketahui namanya Si Pakpak Mularaja dan dari Si Pakpak Mularaja inilah muncul keturunannya menjadi raja marga Damanik di bekas Kerajaan Nagur dahulu kala seperti ditulis di atas.

Memang dalam tulisan ini penulis tidak mencantumkan sejarah secara menyeluruh semenjak serangan India ke Nagur Pulau Pandan tahun 1025 Masehi yang penulis utamakan adalah perkembangan manusia yang keluar dari Pulau Pandan dahulu kala itu yang dipimpin oleh tiga orang pangeran masing-masing :

1.      Marah Silau Damanik
Dan Marah Silau inilah kelak leluhur marga Damanik Bariba.

2.      Soro Tilu Damanik
Soro Tilu kelak menjadi leluhur Damanik Nagur. Salah seorang turunan Soro Tilu ini bernama Malikul Saleh mendirikan Kerajaan Samudera Pasai tahun 1200 Masehi di pesisir Aceh bagian timur Selat Malaka.
  1. 3.      Timo Raya Damanik
Timo Raya denan rakyatnya bergerak ke arah barat dari Pulau Pandan dan sampai di tepi Laut Tawar (Danau Toba) dan memilih satu tempat yang disebut Si Bona-bona dekat Tuktuk Silumonggur (Tanjung Unta sekarang) dan kelak keturunannya disebut Damanik Tomok hingga sekarang.

Dari hasil pengumpulan data-data sejarah mengenai marga Damanik ini di Simalungun bahwa keturunan Damanik dari Nagur ini ada tiga bagian, yaitu :
I. Keturunan Marah Silau yaitu kerajaan :
  1. Manik Hasian
  2. Jumorlang
  3. Siattar
  4. Sipoha
  5. Sidamanik
  6. Bandar
Dan berpuluh-puluh partuanonnya memakai marga Damanik Bariba, tetapi umumnya disebut Damanik.

II. Keturunan Soro Tilu mendirikan Kerajaan Nagur di sebelah timur Gunung Simbolon   dengan nama Kerajaan Nagur Bayu dengan memakai marga :
  1. Damanik Nagur
  2. Damanik Rih
  3. Damanik Rappogos
  4. Damanik Malayu
  5. Damanik Sola
  6. Damanik Sarasan
  7. Damanik Hajangan
  8. Damanik Simaringga
  9. Damanik Usang
  10. Damanik Bayu
  11. Dan lain-lain.
Keturunan Soro Tilu ini menguasai daerah Raya, Raya Kahean sampai ke tepi laut Selat Malaka (Padang-Badagei), tetapi tetap memakai marga Damanik, tidak menonjolkan cabang-cabang marga. Inilah keistimewaan Damanik dari marga Simalungun yang tiga lainnya (Sinaga, Saragih dan Purba).

III. Keturunan Timo Raya yang disebut Damanik Tomok dan berpuluh-puluh partuanonnya pada zaman dahulu tetap memakai marga Damanik. Tuan Dolog Malela adalah bermarga Damanik Tomok dan masih terdapat batu keramat Batu Tomok di sana. Tetapi dengan datangnya Belanda dari luar Simalungun dan mereka melihat dan mengetahui bahwa di antara partuanon-partuanon Damanik ini banyak memiliki perselisihan sesama abang beradik masalah tahta kerajaan; maka di antara yang kurang puas didekati oleh mereka dan mempropagandakan bahwa yang kurang puas tadi adalah bukan satu leluhur dengan mereka, sehingga alhasil turunan ketiga pangeran Nagur dari awal abad ke-11 dahulu kala itu seolah-olah terpisah satu sama lain. Sebagai contoh ada yang mengatakan bahwa leluhurnya turun dari langit, ada yang mengatakan ASAL MA DAMANIK. Maksud penulis dalam hal ini yaitu untuk mengembalikan kesatuan marga Damanik dari satu leluhur Datu Parmanik-manik  atau adakah hubungannya dengan Darmani atau buah horu di Simalungun sekarang yang biasa dipakai orang Simalungun dalam upacara-upacara tertentu? Dan bukankah motto keluarga besar Damanik: “ULANG MARSIPAETEK-ETEKAN NA MARSANINA?”

Keturunan Datu Parmanik-manik inilah yang mendirikan Kerajaan Nagur di Pulau Pandan abad ke-6 dekat Kota Pardagangan sekarang dan dari kata Datuk Parmanik-manik inilah istilah Djahutar Damanik (alm) dipendekkan orang penyebutannya menjadi panggilan atau marga DAMANIK.

Tiga keturunan marga Damanik seperti yang diterangkan di atas atau tiga Damanik bersaudara ini sejak awal abad ke-20 Masehi, seolah-olah terpisah satu sama lain oleh pengaruh tarombo-tarombodari luar, terutama dari pendatang Batak Toba dari Samosir yang mengatakan Damanik di Simalungun ini adalah pecahan dari marga Manik dari Samosir, padahal mereka tidak sadar bahwa mereka yang menyebut dirinya turunan Silau Raja, seperti :
  1. Marga Gurning jabatan Tuan Bonaniari di zaman Kerajaan Sipoha sebelum masuknya Belanda memakai marga Damanik Gurning.
  2. Marga Sagala, jabatan Jagoraha (panglima perang) Kerajaan Sidamanik sebelum zaman Belanda memakai marga Damanik Sagala.
  3. Marga Malau, jabatan Jagoraha (panglima perang) partuanan Sinaman Kerajaan Panei sebelum zaman Belanda memakai marga Damanik Malau.
Melihat perkembangan soal marga-marga tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa sudah lebih dahulu ada marga Damanik di Simalungun, terbukti dengan datangnya marga-marga kelompok Guru Tatea Bulan dan Silau Raja dari Samosir memasuki marga Damanik di daerah kekuasaan “raja maroppat” Simalungun.

Mengenai siapa yang lebih dulu marga Manik di Samosir atau marga Damanik di Simalungun kita harus membuka tulisan-tulisan para peneliti sejarah mengenai keberadaan manusia di sekitar Danau Toba sseperti tulisan :
  1. Batara Sangti menulis dalam harian Sinar Indonesia Baru bahwa Si Raja Batak baru ada tahun 1305 Masehi.
  2. Kondar Situmorang dalam harian yang sama mengatakan bahwa Si Raja Batak baru ada tahun 1475 Masehi.
  3. Sutan Martua Radja Siregar dan Jalatua Hasugian mengatakan bahwa Kerajaan Nagur sudah ada abad ke-5 yang meliputi daerah sebelah timur Danau Toba atau dari Tongging sampai Parapat (Sipiak) dan sampai ke Selat Malaka dan rajanya yang memerintah adalah bermarga Damanik.


UNTUK BAHAN PEMIKIRAN
Banyak sudah pendapat para penulis sejarah mengenai marga Damanik ini, tetapi belum satupun yang dapat menjadi pegangan yang kokoh dan dapat diterima akal sehat, sebagai contoh :
  1. Pernah terjadi dulu entah kapan di daerah Nagur (Simalungun) berkembang penyakit sampar sehingga orang-orang Nagur (Simalungun) mengungsi ke seberang Laut Tawar (Samosir). Sesudah penyakit sampar tidak ada lagi, maka keturunan orang yang mengungsi tadi kemabali ke Nagur (Simalungun). Daerah yang ditempati orang yang berbahasa Simalungun dulunya adalah dari Gunung Simanuk-manuk sebelah selatan; dari Danau Toba sampai Selat Malaka dan sekitar Gunung Simbolon sampai Medan sekarang. Apa semua penghuni daerah tersebut mengungsi ke Samosir ? Hal demikian menurut penulis adalah suatu hal yang dikarang-karang sebab tidak dikatakan kapan itu terjadi dan apa mungkin semua penduduk daerah tersebut mengungsi ke Samosir ?
  2. Ada juga penadapat sebagian orang bahwa Si Manik dari Samosir itu berangkat  ke seberang Laut Tawar dari Samosir, oleh kawannya dikatakan, “HU BARIBA MA HO DA MANIK?” (ke seberanglah kamu yang Da Manik), dan jadilah sebutannya Da-Manik sampai hari ini, tetapi Da-Manik yang mana yang dikatakan orang tersebut sampai hari ini tidak jelas. Sebab seperti tertulis di atas bahwa marga Sagala Raja, Malau Raja, Manik Raja, Gurning Raja, Ambarita Raja di daerah kekuasaan Raja Maroppat (Simaalungun) semuanya memasuki marga Damanik, mengikuti salah satu marga Raja Maroppat (Simalungun), walaupun di abad ke-20 banyak yang kembali ke marga induknya, tetapi masih ada yang memakai marga Damanik sampai sekarang. Di awal abad ke-20 atau jelasnya sesudah masuknya Belanda, pendatang-pendatang dari Toba, Humbang, Samosir, Silindung, Mandailing dan Sipirok (Tapsel), jika ianya bermarga Pasaribu, Lubis, Parapat, Malau, Limbong, Sagala, Manik, Gurning, Ambarita tidak lagi mengubah marganya menjadi Damanik, karena raja-raja Simalungun telah berkurang kekuasaannya karena sudah menjadi pegawai pemerintah Belanda dengan nama zelfbestuuryang memerintah landschap.
            Sejak awal abad ke-20 silisilah tarombo yang dipakai di dalam acara paradaton di sebagian marga Damanik seolah-olah satu leluhur dari Guru Tatea Bulan atau kepada Silau Raja, sedang kenyataan sejarah bukan demikian sesuai dengan hasil penelitian para penulis-penulis yang saya sebutkan di atas, contohnya :
  1. Manusia baru 500 tahun ada di Samosir. Batara Sangti Simanjuntak mengatakan Si Raja Batak baru ada pada tahun 1305.
  2. Kondar Situmorang mengatakan Si Raja Batak baru ada tahun 1475.
  3. Sutan Martua Radja Siregar mengatakan bahwa abad ke-6 Masehi sudah ada Kerajaan Nagur bermarga Damanik.
  4. Jalatua Hasugian juga mengatakan bahwa sudah ada raja Nagur abad ke-6 Masehi bermarga Damanik.  
Melihat kejadian sejarah tersebut di atas bagaimana perkembangan manusia di sekitar Laut Tawar (Danau Toba sekarang), manusia yang datang dari pantai Lautan Hindia menempati kaki Gunung Pusuk Buhit (Sianjurmula-mula) yaitu, asalnya Si Raja Batak, yakni leluhurnya suku Batak Toba (Toba, Humbang, Samosir dan Silindung) menurut Pustaha Batak dohot Turi-turian ni Bangso Batak karya W.M. Hutagalung tahun 1926.

Dan saudara-saudara kita yang datang dari Tapanuli dan Samosir umumnya yang mengatakan mereka turunan Guru Tatea Bulan dan Silau Raja adalah “mardongan tubu” (bersaudara) dengan marga Damanik di Simalungun, masih dapat kita terima; tetapi jika mereka mengatakan bahwa Damanik itu berasal dari mereka (Tatea Bulan dan Silau Raja), hasil penyelidikan sejarah membuktikan klaim mereka itu menyimpang dari fakta sejarah.
Saran kepada generasi muda Damanik untuk masa yang akan datang, supaya mengetahui asal-usul marganya sebagai jalan menunjukkan identitas kita sebagai turunan marga Damanik sejak adanya Kerajaan Nagur abad ke-6 Masehi di Nusantara ini kira-kira bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Kutai di Kalimantan Timur dan Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat menurut buku-buku sejarah nasional Indonesia.

Mengikuti isi tulisan Pdt. Juandaha Raya Purba dalan SKM Suara Simalungun yang mengatakan marga Damanik adalah marga tertua dan asli di Simalungun ada benarnya, tetapi Pendeta tersebut tidak melihat atau mengetahui bagaimana perkembangan kerajaan-kerajaan Damanik di jalur sungai Bah Bolon sejak Kerajaan Nagur Pulau Pandan Pardagangan sampai ke dataran tinggi timur Laut Tawar (Danau Toba) yakni daerah antara Gunung Dolog Simarjarunjung dan Gunung Dolog Sijambak Bahir bahwa sudah berdiri tiga kerajaan[3] marga Damanik abad ke-13 Masehi jauh sebelum berdirinya Kerajaan Siantar di abad ke-15 Masehi, yakni :
  1. Kerajaan Manik Hasian
  2. Kerajaan Jumorlang
  3. Kerajaan Bornou di tepi Laut Tawar.
Berdirinya kerajaan yang tiga ini, penulis menyebutnya zaman kuno Simalungun dan orang-orang dari Toba dan Samosir sesudah datangnya Belanda atau zending Batak (dengan penginjil orang Toba) abad ke-19 mereka menyebut daerah ini Batak Timur Raya karena daerah ini adalah laluan yang terbaik menuju Selat Malaka dari Laut Tawar.

Seperti disebutkan di atas, pada zaman dulu daerah Simalungun adalah pintu masuk dari Tapanuli melalui Danau Toba ke Sumatera Timur (Simalungun). Pendatang dari Tapanuli itu pada masa jayanya kerajaan-kerajaan Simalungun di abad XVI-XIX menyesuaikan marganya dengan marga penguasa raja-raja Simalungun. Setelah Belanda masuk ke Simalungun, maka pada tahun 1906, daerah Simalungun secar resmi (de jure) di masukkan ke dalam wilayah kekuaaan Hindia Belanda dengan Staatblad No. 531 tanggal 12 Desember 1906 dengan nama Afdeeling Simeloengoen en Karolanden yang asisten residennya berkedudukan di Pamatang Siantar. Sejak itulah daerah Batak Timur ini resmi dinamakan daerah SIMALUNGUN.

Perihal Kerajaan Bornou (Tambun Raya Banggal)
Barangkali mengingat sejarah leluhur Timo Raya yang mendirikan Kerajaan Bornou di tepi Laut Tawar di zaman kuno Simalungun dan waktu berdirinya Kerajaan Sidamanik abad ke-17 oleh Raja Sidamanik, salah seorang putra raja Bornou (baca: Tambun Raya) diangkat menjadi punggawa kerajaan (harajaan) di Kerajaan Sidamanik dengan nama jabatan TUAN SIBORNOU.

Semua kerajaan-kerajaan kuno Simalungun ini kalau kita perhatikan peta dimulai dari Pardagangan sampai ke Laut Tawar (Danau Toba) menempati posisi di tepi Sungai Bah Bolon seperti: Pamatang Siantar, Naga Huta, Raja Riahan di tepi Sungai Bah Ilang cabang Sungai Bah Bolon yang terletak di Pamatang Jorlang Huluan (Jumorlang) mendekati Danau Toba terletak di Pamatang Sidamanik, Manik Hasian (Simanjoloi) dan Raya Manik. Hanya Sibona-bona atau Pamatang Huta Bolon Tambun Raya dan Pamatang Sipolha yang terletak di tanah “horisan” (di pinggir pantai Danau Toba). Akibat kehancuran yang ditimbulkan dalam sejarah Perang Rondahaim (Porang ni Raya) pertengahan (1888-1891), maka kerajaan-kerajaan Damanik di jalur sungai Bah Bolon dari Tanjung Tiram Selat Malaka sampai ke tepi Danau Toba di sebelah barat bersatu semuanya di dalam satu kerajaan bernama Kerajaan Siattar untuk menghadapi kepungan Belanda pada awal abad ke-20 yang datang dari tiga jurusan, yaitu: dari Selat Malaka dari timur, dari Deli (Bangun Purba) dari utara dan dari Siborong-borong (Tapanuli) di sebelah barat.

Sesudah Nusantara ini dibagi-bagi bangsa Eropa, hanya daerah Simalungun di awal abad ke-20 yang belum bisa ditaklukkan Belanda, karena perlawanan raja-raja marga Damanik ini, maka Belanda dengan berbagai cara dapat menangkap raja Siantar Tuan Sang Nawaluh Damanik dan membuangnya ke Pulau Bengkalis (Riau) dan karena tidak ada kemungkinan “menang” melawan Belanda maka di bawah pengganti Raja Sang Nawaluh (Tuan Ramahadim dan Tuan Torialam) maka semua partuanon dinasti Damanik, seperti : Sipolha, Tambun Raya, Simanjoloi, Jorlang Huluan, Sidamanik, Bandar, Dolog Malela dan lain-lain menandatangani perjanjian tunduk (Korte Verklaring) dengan Belanda pada tahun 1907. Kalau diperhatikan, maka daerah Batak Timur Raya (baca: Simalungun) hanya 38 tahun saja dijajah oleh bangsa asing (Belanda dan Jepang), sebab tahun 1945 kita sudah merdeka dalam satu Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Berikut ini adalah garis besar keturunan marga Damanik keturunan dari Datuk Ber-Manik-manik dari Nagore (India Selatan) yang masuk ke Sumatera Timur melalui Semenanjung Malaya pendiri Kerajaan Nagur abad ke-5 Masehi di Sumatera Timur dan nama Datuk Ber-Manik-manik ini oleh rakyat dan pengikutnya disebut

DAMANIK.

1.      Marah Silau
  1. Raja Parpandanan Na Bolag
  2. Raja Sormaliat
  3. Si Anas Bondailing
  4. Pakpak Mularaja
Raja Manik Hasian
Raja Jumorlang
Raja Sipolha
Raja Sidamanik
Raja Siantar
Raja Bandar
Susunan kerajaan ini menunjukkan siapa yang sulung dan yang bungsu, umumnya memakai margaDamanik Bariba.

2
Soro Tilu
Nagur Bayu abad ke 11 di sebeleh timur gunung Simbolon. Keturunannya abad ke-12 Masehi bernama Malikul Saleh mendirikan Kerajaan Samudera Pasai pada abad ke-12.
Raja terakhir dari Nagur Bayu bernama Anggaraim Nabolon, keturunannya memakai marga Damanik Nagur Sola (Chola), Rapppogos, Rih, Hajangan, Simaringga, Bayu, Sarasan, Malayu. Umumnya memakai Damanik Raja atau Damanik Nagur.

3
Timo Raya
Ke pantai Laut Tawar mengikuti jalur sungai Bah Bolon sebelah barat Pulau Pandan Pardagangan, mendirikan Kerajaan Bornou abad ke-13 dan keturunannya disebut Si Raja Ula yang menurunkan :
  1. Sosiar Mangula
  2. Raja Na Takkang
  3. Lumban Sambo.
Umumnya memakai marga Damanik Tomok.

Sampai di sini dulu mengenai gambaran asal-usul Damanik namarsanina ini sejak dari Nagur Bayu, sebelah timur Gunung Simbolon yang selama ini kurang mendapat perhatian, terutama dari kita yang mengaku marga Damanik. Satu kebanggaan bagi kita yang memakai marga Damanik, sampai hari ini masih mempunyai perasaan AHAB DAMANIK yang kuat. Istilah Simalungun NAMARSANINA.

Catatan : pernah terjadi upacara di keluarga marga Damanik di Pamatang Siantar tahun 60-an; penulis melihat enam orang perwira berpangkat Kapten TNI umumnya para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945. Sesudah penulis menghampiri keenam perwira tersebut, penulis bertanya siapa yang sulung, tengah dan bungsu. Salah seorang dari perwira tersebut menjawab, “Yang penting, sama-sama Damanik na marsanina!” Hal demikian bisa dimaklumi karena para perwira tersebut adalah orang militer yang menganut sifat disiplin mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia apapun resikonya; tidak terlalu memikirkan soal-soal sejarah asalnya Damanik.

Sesudah penulis mempelajari asal-usul keenam perwira tersebut dapatlah diketahui sebagai berikut :
  1. Kapten Tailam Damanik turunan Raja Manik Hasian.
  2. Kapten Raja Tagor Damanik turunan Tuan Raja Sidamanik.
  3. Kapten Saiman Damanik turunan Raja Sosiar Mangula.
  4. Kapten Jahuala Damanik turunan Raja Jumorlang.
  5. Lettu Muhtaruddin Damanik turunan Partuanan Banggal Sipolha Sosiar Mangula.
  6. Kapten Ulakma Damanik turunan Tuan Sait Buttu Raja Natakkang.
Memang dalam perjalanan sejarah Damanik ini terlebih-lebih dengan meletusnya apa yang disebut Revolusi Sosial di Simalungun pada 3 Maret 1946, keturunan raja-raja dan partuanon di Simalungun menjadi takut atau trauma menyebut leluhurnya dari partuanon mana ia berasal, karena raja-raja dan partuanon-partuanon Simalungun banyak yang menjadi korban/terbunuh akibat Revolusi Sosial tersebut.

Banyak kita lihat dewasa ini pendatang-pendatang ke Simalungun dalam horja/pesta adat mereka menyatakan turunan raja anu, raja ini, entah raja apa lagi mereka sebut, tetapi kita Damanik tidak mau menyebut dari partuanon mana ia datang, karena malu dicap feodal; padahal masalah ini sangat penting untuk diketahui oleh generasi penerus supaya nama leluhur kita itu tidak lenyap. Seperti apa yang dikatakan Pdt. Juandaha Raya Purba, bahwa pegklaiman sepihak oleh orang lain bahwa semua manusia penghuni sekitar Danau Toba dikatakannya berasal dari leluhur mereka.

Penulis bukan anti pembauran atau asimilasi soal kesatuan bangsa, sekali-kali tidak; sebagai contoh, umpamanya pendatang Batak Toba yang menyebut dirinya berasal dari kelompok Tatea Bulan dan Silau Raja yang datang ke Simalungun dan mengaku “mardongan tubu” dengan Damanik. Kita terima dengan tangan terbuka, tetapi kalau mereka mengatakan Damanik hun Simalungun berasal dari mereka, bagaimanapun harus kita tolak, karena kita memang bukan berketurunan dari mereka.

Masalah ini penting diketahui karena menyangkut masalah pelaksanaan “horja-horja adat” di keluarga besar Damanik keturunan Nagur.

Penutup
Panjang lebar sudah tulisan mengenai marga Damanik ini, semoga jadi bahan pemikiran bagi pembaca yang saya hormati, terutama kepada generasi penerus kaum muda marga Damanik, di mana pun berada. Masalah nama-nama partuanon Damanik penulis akan mengusahakan pengumpulan nama-namanya dijadikan buku.
Masalahnya sekarang, untuk generasi penerus marga Damanik kita tidak lagi mencari-cari siapa atau leluhur siapa yang menjadi raja terakhir sebelum merdeka; yang kita utamakan siapa di antara marga Damanik itu yang sulung, yang tengah dan yang bungsu, supaya kita dalam horja adat dalam keluarga besar Damanik indah dan penuh keakraban. Apa yang diturunkan oleh leluhur kita dengan istilah Damanik Namarsanina (Damanik kakak beradik).
Sebagai contoh yang terjadi dari dulu penulis berikan gambaran: Tuan Raja Sidamanik Tuan Ramahadim Damanik memanggil abang kepada Tuan Rondauluan Damanik jabatan Bona i Gonrang Kerajaan Sidamanik zaman dulu, sebab Tuan Rondauluan Damanik ini adalah keturunan Raja Manik Kasian, abang dari Tuan Siantan dari kerajaan yang sama dari Si Pakpak Mularaja putera terakhir dari Si Anas Bondailing atau cucu dari Raja Parpandanan Na Bolag atau Nagur Pulau Pandan dahulu kala.

Sebagai contoh kedua, penulis memberikan gambaran Tuan Pasang Damanik putera Tuan Sait Buttu Na Takkang memanggil abang kepada Tuan Ramahadim Damanik karena Tuan Ramahadim Damanik berasal dari keturunan Marah Silau dan Tuan Pasang Damanik berasal dari keturunan Timo Raya.

Sebagai contoh ketiga, Tuan Getok Damanik keturunan Raja Taun Saribudolog Huta Bayu Sidamanik pendiri Sekolah Rakyat (SD sekarang) di Huta Bayu Sidamanik pada zaman Belanda, memanggil abang kepada Tuan Ramahadim Damanik Tuan Raja Sidamanik, karena Tuan Getok Damanik ini bermarga Damanik Hajangan dari Nagur Soro Tilu atau Nagur Bayu Dolog Simbolon putera kedua dari Nagur Pulau Pandan. Dan kakek dari Tuan Getok Damanik ini turut serta menandatangani Korte Verklaring tanda tunduk kepada Belanda tahun 1907 bersama Tuan Raja Riahata Damanik Tuan Raja Sidamanik karena waktu itu, Tuan Riahata Damanik pernah menjadi raja Siantar dan kakek Tuan Getok Damanik ini bernama Tuan Pinggan Damanik yaitu Tuan Saribudolog Huta Bayu Sidamanik.
Dalam perjalanan sejarah pun Partongah Banggal Kerajaan Sidamanik gelar raja kepada Tuan Sidamanik dan tuan Tambun Raya Banggal, gelar pada penguasa Kerajaan Bornou (baca: Tambun Raya) tetap menjalin “parsaninaon” antara abang beradik sebab tuan Sidamanik keturunan Marah Silau dan tuan Tambun Raya Banggal turunan Timo Raya.

Sepanjang pengetahuan penulis tidak pernah tuan Sidamanik “namarsanina” atau kakak beradik dengan Partuanon Sihaporas bermarga Ambarita, hanya diakui sebagai “dongan tubu”.

Di Kerajaan Sipolha pun sejak zaman dahulu kala bahwa Tuan Pangulubalang adalah adik dari tuan Sipolha, karena tuan Pangulubalang adalah keturunan Raja Sosiar Mangula Timor Raya dan tuan Sipolha keturunan Marah Silau.
Kalau diperhatikan sejarah par-Damanik-on ini, bahwa leluhur-leluhur kita dahulu mengetahui silsilah mereka dengan baik, terbukti dari apa yang mereka lakukan sesama mereka sebagai istilah “na marsanina” atau kakak beradik.
Itu sebabnya penulis menganjurkan kepada marga Damanik, terutama generasi penerus supaya mengetahui dari raja atau partuanon mana ia berasal (marhasusuran) dari perserakan Kerajaan Nagur (baca: Simalungun) dahulu kala itu terutama menyangkut marga Damanik. Sebab menurut sejarah di bekas kerajaan Nagur dahulu kala itu telah muncul empat marga utama yang dipakai raja-raja Simalungun apa yang disebut : SISADAPUR, yaitu : SINAGA, SARAGIH, DAMANIK dan PURBA. Ditambah kemudian marga-marga suku lain yang mengakui dirinya sebagai rakyat raja-raja Simalungun dan mengaku dirinya suku Simalungun yang memakai adat-istiadat, bahasa dan kebudayaan Simalungun dalam kehidupannya sehari-hari, seperti: SIPAYUNG, HALOHO, LINGGA, SEMBIRING, DAHARO, DABUKKE, DASOPANG, DABUHIT (SIDAURUK), DABAHO, SITORUS, SIRAIT, MANURUNG, BUTAR-BUTAR, SEMBIRING, TARIGAN, GINTING.

Tulisan para penulis terdahulu mengenai marga Damanik ini sudah banyak diterbitkan, begitu juga penulis-penulis dari suku Batak Toba, tetapi kalau kita perhatikan sangat simpang siur dan membingungkan, tetapi dengan tulisan ini dari kalangan marga Damanik sendiri, penulis mengharapkan dapat memberikan penjelasan tentang marga kita Damanik. Meski penulis akui masih belum sempurna, tetapi setidaknya sudah dapat menjelaskan sejarah Damanik itu yang sebenarnya.

Sampai di sini dulu tulisan mengenai marga Damanik, mudah-mudahan menjadi pemikiran bagi para pembaca, khususnya marga Damanik; apakah penulis memanggil abang atau adik, sebab penulis berasal dari keturunan Tuan Pangulubalang Sipolha Raja Sosiar Mangula putra ketiga dari raja Nagur Timo Raya, salah satu perangkat kerajaan di zaman Kerajaan Sipolha di zaman sebelum kemerdekaan Indonesia.  Horas. Salam Habonaron do Bona.

Manik Huluan, 01 Mei 2004
Penulis/penyusun


NURDIN DAMANIK


[1] Kalau diperhatikan letak geografis dan letak daerah sekitar Danau Toba yang dikelilingi beberapa gunung dan dataran-dataran tinggi, jika diperhatikan dari arah Selat Malaka, satu-satunya jalan yang terbaik menuju Laut tawar (Danau Toba) adalah melalui tanah datar antara Gunung Dolog Simarjarunjung dan Dolog Sijambak Bahir (lihat peta).

[2] Itu sebabnya waktu Pendeta J. Wismar Saragih sekolah pendeta di Tapanuli (Toba) pendeta tersebut mendengar doa seorang pendeta di tempat ia sekolah bahwa pendeta Jerman mendoakan agar orang-orang yang di Purba dan orang-orang yang di Raya itu terbuka hatinya memasuki Kerajaan Tuhan Jesus, tidak dikatakan supaya orang Simalungun itu percaya kepada Tuhan Jesus Juruselamat. Memang manusia penghuni daerah mulai dari Gunung Simanuk-manuk yang berbatasan dengan Toba dan sekeliling Gunung Simbolon sampai ke perbatasan Deli dan Tanah Karo, Selat Malaka sampai ke Danau Toba orangnya memakai bahasa dan adat yang sama; kelak di kemudian hari oleh orang luar dari daerah tersebut di atas seperti orang Toba, Karo, Melayu dan Mandailing emnyebutnya adat dan bahasa Simalungun.

[3] Pada pertengahan abad ke-19, ketiga daerah kerajaan ini berganti nama, persisnya pada waktu serbuan tuan Raya Tuan Rondahaim Saragih yang membumi hanguskan Sidamanik pada tahun 1886, adapun perubahan nama ketiga kerajaan ini adalah sebagai berikut :
  1. Kerajaan Manik Hasian berubah menjadi menjadi Partuanan Simanjoloi.
  2. Kerajaan Jumorlang berubah menjadi Partuanan Jorlang Huluan.
  3. Kerajaan Bornou berubah menjadi Partuanon Tambun Raya Banggal (Agung).


Sumber:
http://simalungunonline.com/sejarah-kerajaan-nagur-bahgian-ii.html

No comments:

Post a Comment