Menari di Desa Karo
Ini rupanya Berastagi, ramai sekali. Meriah,” begitu pikirku saat melongokkan kepala dari jendela bus kecil yang membawaku dari Medan. Hawa dingin menyergap. Sementara Sinabung berwarna cerah itu melaju ugal-ugalan, teriakan sopir dalam bahasa Batak di kananku memekakkan telinga. Dia heboh benar mencari penumpang.
Sinabung melaju, melalui areal pertanian yang subur. Kadang terhampar kebun jeruk yang buahnya bergelantungan siap dipanen, kadang kebun kubis, asparagus, bahkan juga kebun bunga. Sesekali kudapati para petani berjalan menuju kebunnya. Yang perempuan mengenakan tudung, kain yang diletakkan di atas kepala dengan bentuk kas. Yang lelaki memikul sabit dan keranjang dari bambu.
Satu dua gereja dengan arsitektur tradisional bermunculan. “Elok nian tempat ini,” pujiku dalam hati. Sudah subur tanahnya asri pula pemandangannya. Nampak kuat penduduknya memegang tradisi. Tak lama kemudian kami memasuki Kota Kabanjahe. Aku turun di depan Masjid Agung sambil menunggu saudara si naga bonar, Edhie Surbakti, datang menjemput.
Begitu tiba, sejenak Edhie menemaniku berkeliling, motret sana-sini, lalu menerangkan seluk-beluk Budaya Karo di sebuah warnet yang dikelolanya. Soal Budaya Karo ini akan kutulis lain hari saja. Tak berapa lama dia memperkenalkan seorang lelaki tinggi besar dan hitam. Bangun Tarigan namanya. Bersama Edhie, alumni etnomusikologi ini sedang melestarikan kembali budaya Karo, baik musik maupun tari.
Bertiga kami lalu menuju Desa Wisata Lingga naik angkot. Ada latihan menari sore itu. “Besok kami mau pentas di sebuah hotel. Hari ini latihan terakhir,” tutur Bangun bersemangat. Tak dihiraukannya mendung menggantung di langit. Gerimis turun tipis tipis.
Lingga terletak di ketinggian 1.200 meter dari permukaan laut, masuk dalam Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo. Lingga merupakan satu dari sedikit desa di Karo yang menyisakan rumah adat Karo. Desa lainnya adalah Dokan, Peceren, Serdang, Barus Jahe, Juhar, Gurusinga dan Cingkes.
Banyak rumah adat yang dirusak dan dibakar orang karo sendiri pada Revolusi Sosial tahun 1946. Ketakutan akan datangnya Belanda kembali, dan kebencian pada Sibayak, menjadi penyebabnya. “Sibayak adalah raja kecil yang diangkat Belanda. Mereka dianggap kaki tangan penjajah, makanya rumahnya dibakar,” jelas Edhie.
Tak berapa lama angkot berhenti di depan bangunan semacam pendopo, Djambur Lingga namanya. Jambur merupakan tempat berkumpulnya para tetua adat dan lelaki. Sore itu jambur yang luas itu nampak sunyi, hanya diisi dua tiga penjaja baju dan dagangannya.
Kami lalu berjalan menuju rumah tempat latihan menari, melewati beberapa waluh jabu atau rumah adat yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Biasanya dihuni lebih dari dua keluarga. Dinding waluh jabu terbuat dari kayu, sementara atapnya dari rumbia. Banyak atap rumbia itu berlumut tebal, menunjukkan betapa tua umurnya. Di bagian atas rumah terdapat anyaman bambu berbentuk segitiga yang disebut ayo.
Biasanya sebuah waluh jabu di Lingga memiliki dua atau empat ayo, menghadap ke arah yang berlawanan. Di atas ayo baru diletakkan kepala kerbau yang berfungsi untuk menolak bala. Sayang banyak rumah adat yang rusak atau kurang perawatan. Umurnya pun sudah tua, puluhan hingga ratusan tahun. Rumah adat paling tua berumur 250 tahun.
Tiba-tiba perjalanan kami dihadang oleh ribuan lebah. Rupanya pasukan penghasil madu ini sedang berpindah tempat dari atap sebuah waluh jabu menuju ke rumah baru. Kami pun berjalan memutar, hingga masuk ke halaman sebuah rumah.
Tiga pasang muda-mudi menunggu. Irama musik karo mengalun dari sebuah DVD player. Irama yang lahir dari sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, gendang penganak, dan gung, alat musik tradisional Suku Karo. Sepintas suaranya mirip gamelan Sunda. Setelah berbincang sejenak, tiga pasang muda-mudi pun mulai menari. Kedua tangannya berayun menggerakkan uis gara, selendang Karo, sedang pinggang mereka dililit abit, semacam kain atau sarung.
Gerakan tari mereka amat perlahan. Tidak sedinamis Tari Kecak di Bali, misalnya, atau segemulai Tari Gambyong di Jawa. Namun gerakan lambat itu tentu membutuhkan keseimbangan tubuh yang mumpuni. Pantas begitu mengakhiri sebuah tarian, seorang penari mengaku kelelahan. “Istirahat dulu Bang, capek,” katanya.
Lepas melihat latihan menari, kami berjalan keliling Lingga. Ada beberapa jenis rumah adat di sini. Ada jambur, waluh jabu, geriten, lesung, dan sapo page. Geriten adalah tempat menyimpan tulang belulang, biasanya bentuknya tertutup. Sedang lesung merupakan tempat menyimpan lesung yang akan digunakan untuk menumbuk padi. Padi disimpan di lumbung yang disebut sapo page.
Seorang lelaki asyik menganyam bambu, membuat keranjang. Pengrajin sagak dia rupanya. Tekun dia duduk di depan waluh jabu miliknya. Seorang bocah perempuan muncul dari ujung tangga. Tersenyum dia memanggil abangnya yang masih di dalam. Tak jauh dari situ dua nenek asyik mengobrol sambil duduk di tanah memandang ayam-ayam. Tak dihiraukannya dua cucunya yang datang. Senja terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja.
Di tempat lain seorang lelaki juga menganyam bambu. Keranjang bambu tinggi berjajar di dekatnya. Selain berkebun, menjadi pengrajin sagak menjadi sumber penghidupan penduduk Lingga. Kami lalu berjalan melewati satu dua toko kelontong yang menjual aneka kebutuhan hidup mulai mie instan, roti, hingga isi pulsa. Parabola menyembul di antara waluh jabu, menandakan bahwa tak semua saluran teve nasional bisa ditangkap di sini.
Puas berkeliling, Edhie mengajakku mengunjungi Museum Karo Lingga. Museum mungil berbentuk rumah adat Karo itu dijaga oleh anak kelas 5 SD. Rupanya dia menggantikan ibunya yang sedang ke ladang. Tak banyak koleksi museum. Hanya pakaian adat Karo, alat musik tradisional, perangkat rumah tangga, dan aneka topeng yang digunakan dalam perayaan tradisional.
Hari mulai gelap ketika kami meninggalkan museum. Berjalan melalui Gereja St Petrus, lumbung padi Ginting, dan kompleks kuburan Sibayak lama. Akhirnya kami keluar dari gapura bertuliskan “Terimakasih Anda Telah Mengunjungi Desa Wisata Lingga”, lalu naik angkot menuju Kabanjahe. Sebelum berpisah, sempat kami menikmati kopi susu di sebuah warung kopi sambil memandang hujan turun.
(sumber:kompas.com)
No comments:
Post a Comment