Saturday, March 10, 2012

Etnik Tamil di Kota Medan


Etnik Tamil di Kota Medan
Oleh: Siwa Kumar, S.Sos (Antropolog Tamil Kota Medan)


Sejarah Kedatangan Etnik Tamil
Datangnya etnik Tamil dalam jumlah yang cukup besar, yang hingga sekarang menetap dan membentuk suatu komunitas diberbagai wilayah Sumatera timur dan khususnya di Kota Medan, baru terjadi sejak pertengahan abad ke 19 yaitu sejak dibukanya industri perkebunan di tanah Deli. Namun berdasarkan penemuan arkeologi yang dilakukan oleh Daniel Perret dari Ecole Francaise d Extreme-Orient (EFEO) membuktikan pada abad ke 8 sampai ke 12 di Lobu Tua, Barus1 telah terdapat perkampungan multi etnik terdiri dari etnik Tamil, Cina, Arab dasn sebagainya.

Pada situs Lobu Tua juga ditemukan prasasti dengan tulisan Tamil oleh pejabat Belanda GJJ Deatz tahun 1872. setelah diterjemahkan oleh Prof. Dr. KA Nilakanda dari Universitas Madras India pada tahun 1931. menurutnya batu bertulis itu bertahun Saka 1010 atau 1088 Masehi di zaman pemerintahan Raja Cola yang menguasai wilayah Tamil di India Selatan. Tulisan itu antara lain menyebutkan tentang perkumpulan dagang etnik Tamil sebanyak 1500 orang di Lobu Tua yang memiliki pasukan keamanan aturan perdagangan dan ketentuan lainnya. Prasasti Lobu Tua itu berisi tentang aktivitas perdagangan kumpulan Tamil yang dikenal dengan nama “Mupakat Dewa 1500”. Anggotanya terdiri dari berbagai aliran Brahmana, Wisnu, Mulabhadra dan lain-lain.

Semakin memperkuat bahwa etnik Tamil telah lama masuk ke Sumatera Utara. Lobu Tua ditinggalkan secara mendadak oleh penghuninya pada awal abad ke 12. Sesudah kota tersebut diserang oleh kelompok yang dinamakan Gergasi. Komunitas multi etnik ini kemudian bergeser ke daerah lainnya di Sumatera Utara.

Tengku Luckman Sinar yang menulis buku “Orang India di Sumatera Utara” (2008) menyebutkan bahwa bersama para pedagang tersebut turut serta pula seniman-seniman pengukir yang mahir mengukir prasasti dan pendeta Hindu, dan terjadi perkawinan dengan wanita-wanita batak. Menurut Hikayat di Sianjur Mula-Mula diciptakan aksara Batak yang berasal dari pengaruh aksara Sanksekerta. Oleh DATU TALA DIBABANA marga Borbor, seperti pada nama-nama hari. Sebagai contoh soma=suma di toba, brhaspati=boraspati, Wisnu=Bisnu, Brahma=Borma, dan lain-lain.

Pada etnik Karo terdapat marga (Maha, Meliala, Brahmana, Depari, Pandia, Colia, Pelawi, dan lain-lain) semua masuk dalam grup Sembiring yang secara fisik sama dengan etnik Tamil, juga terdapat dalam upacara adat misalnya “Pekualuh” (Menghanyutkan abu jenazah di sungai).Ternyata masih ada terdapat sisa-sisa kepercayaan etnik Tamil itu pada mereka (Sinar, 2008).

Pada kedatangannya sekitar abad ke 18 dan awal abad ke 19 etnik Tamil kemudian menyebar di beberapa daerah di Sumatera Utara antara lain Binjai, Langkat, Medan, Lubuk Pakam, Tebing Tinggi, dan Pematang Siantar. Daerah-daerah tersebut yang dikenal memiliki potensi besar perkebunan.
Awalnya etnik Tamil bekerja sebagai buruh dan kuli angkut atau sais kereta lembu di perkebunan. Secara perlahan terjadi peralihan mata pencaharian. Dari awalnya yang bekerja sebagai kuli di perkebunan beralih menjadi pedagang, supir pengangkutan barang dagangan, karyawan swasta dan pemerintahan. Hal ini mengakibatkan sebagian etnik Tamil mulai berpindah ke kota-kota yang dekat dengan sentra perdagangan dan pusat kota (Medan).

Pada umumnya etnik Tamil hidup secara berkelompok. Biasanya mereka membuat perkampungan sendiri. Daerah pemukiman etnik Tamil yang dapat dikenal adalah kampung Keling atau sebahagian orang menyebutnya “ Kampung Madras ”. Lokasi perkampungan mereka terletak di pinggir sungai Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan yang menjadi jalur utama transportasi dimasa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih terdapat situs-situs yang menandakan keberadaan etnik Tamil, misalnya Shri Mariamman kuil di jalan Zainul Arifin sebagai kuil tertua bagi komunitas Tamil di kota Medan, yang dibangun tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya. Kawasan Kampung Keling terletak di kota Medan tepatnya di sekitar Kecamatan Medan Petisah dan Kecamatan Medan Baru. Selain itu komunitas Tamil juga terdapat di kampung Anggerung di Kelurahan Anggerung Kecamatan Medan Polonia.

Kampung Keling diperkirakan telah ada sejak tahun 1884. ini dibuktikan dengan dibangunnya Shri Mariamman Kuil sebagai tempat ibadah etnik Tamil yang beragama Hindu pada tahun 1884. kampung keling ini memang bukan perkampungan Tamil tertua di Sumatera Utara, pemukiman tertua etnik Tamil terdapat di Kota Binjai, hal ini dibuktikan dengan adanya kuil Shri Mariamman Binjai yang direnovasi pada tahun 18802.

Ada sekitar lebih dari 16 daerah yang didiami etnik Tamil diantaranya Kuala, Langkat, Selayang, Tanjung Jati, Binjai, Namu Ukur, Buluh Cina, Sei Semayang, Glugur Rimbun, Medan Tuntungan, Helvetia, Saintis, Sampali, Batang Kuis, Lubuk Pakam dan di daerah perkebunan Bekala (Kwala Bekala).
Kampung Madras termasuk salah satu daerah yang terbesar jumlah komunitas Tamil di Medan. Kini ada sekitar 1530 jiwa etnik keturunan Tamil di daerah tersebut.
Konsep Keling
Etnik Tamil termasuk bangsa Dravida dari India bagian Selatan. Masyarakat umum menyebutnya dengan sebutan “orang keling”. Istilah ini berawal dari kerajaan Kalingga. Ketika buruh-buruh Tamil dipekerjakan di perkebunan Sumatera Utara ditanya tentang asal daerahnya. Mereka hanya menjawab nama kerajaan dimana rajanya dari India yaitu Kalingga. Akan tetapi karena lidah orang Belanda sulit untuk mengucapkan Kalingga, maka terucap Kalinggen dan oleh masyarakat pribumi yang menginginkan kemudahan atau menyingkatnya yang kemudian mengucapkannya dengan sebutan keling.

Kata “Keling” bila dilihat dari sejarah merujuk kepada Benua Keling yang kini bernama India. Sebagaimana pula yang disebut dalam sejarah Melayu dan hikayat Hang Tuah mengenai pelayaran ke benua Keling, Kampung Keling dan lain-lain. Sebutan “Keling “ ini kemudian menjadi lazim diseluruh tanah Melayu.

Versi lain (pengakuan informan lapangan) mengatakan bahwa sebutan orang keling dimulai ketika seorang buruh perkebunan dari etnik Tamil membunuh seorang Belanda, karena peristiwa tersebut maka orang Belanda menyebut orang Tamil dengan sebutan “Killing man” yang akhirnya berubah menjadi “Keling”.

Penggunaan sebutan “ Keling “ ini pernah ditujukan kepada semua orang-orang Tamil yang berasal dari India. Namun penggunaan sebutan ini perlahan berubah. Di beberapa negara seperti Malaysia dan Indonesia, istilah ini sering dianggap suatu kata makian yang digunakan dengan hati-hati.
Kemungkinan perubahan itu disebabkan oleh orang Tamil sendiri yang memandang rendah mereka yang berasal dari India bagian Selatan. Mereka tidak mau dikaitkan dengan panggilan “Keling”.

Kemungkinan lain adalah dari sejarah, bahwa kebanyakan pendatang dari India yang awalnya bekerja di ladang yang kemudian dikenal sebagai Orang Keling” adalah mereka yang suka mabuk-mabukkan, dan membuat keributan pada perkebunan-perkebunan tempat mereka dipekerjakan. Oleh karena itu, apabila mereka mencapai taraf ekonomi yang lebih tinggi, mereka akan menjauhkan diri dari sebutan yang memiliki stigma atau anggapan negatif yang berarti kelas bawahan, pemabuk, hina dan kotor. Istilah keling ini hanya ditujukan kepada etnik Tamil yang berkulit hitam. Sehingga panggilan ini apabila disebutkan maka etnik Tamil merasa diejek atau terhina yang lama kelamaan menjadi label negatif bagi etnik Tamil itu sendiri.

Bebagai versi muncul dari masyarakat yang memberi sebutan bagi etnik Tamil tersebut seperti adanya stigma bahwa ada duit tidur di parit dan tidak ada duit tidur di rumah. Hal tersebut yang membuat etnik Tamil merasa di lecehkan karena etnik Tamil di konotasikan sebagai pemabuk dan selalu membuat keonaran atau keributan. Namun bagi masyarakat Tamil sendiri sebutan orang Tamil dianggap lebih tepat. Alasannya karena sebutan itu langsung mengarah pada identitas budaya mereka sebagai etnik Tamil.

Merujuk pada konseptual mengenai istilah etnik Tamil yang dikenal dengan sebutan Keling, penulis beranggapan bahwa kata Keling berasal dari kata Kalingga yang mengalami keausan bahasa dalam konteks antropologi linguistik3
Ciri-Ciri Fisik
Etnik Tamil yang merupakan kelompok etnik bangsa Dravida dan pendukung kebudayaan Tamil yang berasal atau mempunyai daerah kebudayaan dari India Selatan. Mereka dapat dengan mudah dikenali dari ciri-ciri fisiknya seperti memiliki kulit yang berwarna hitam atau gelap, dengan jambang atau bulu dada, di samping memiliki gigi yang putih bersih dan juga hidung mancung, berkumis lebat merupkan ciri khas etnik Tamil.

Bagi perempuan Tamil ada ciri-ciri lain yaitu adanya potte (tanda bulat yang diletakkan di dahinya dengan warna seperti kuning, merah, hitam, biru dan lain-lain). Pemakaian Wallewi (gelang plastik berwarna merah, hijau, biru atau kuning tercampur warna emas), pemakaian sari dan manggal sutra (Manjakaure atau Thalli), tanda kawin yang telah menikah. Tanda kawin ini terbuat dari tali yang biasanya digantung pada leher. Namun seiring perkembangan zaman dan meningkatnya taraf hidup etnik Tamil, tanda kawin ini diganti dengan kalung emas khusus bagi mereka yang taraf hidupnya menengah ke atas. Bagi perempuan Tamil yang sudah tidak bersuami (ditinggal mati suaminya) tanda kawin ini tidak lagi bisa dipergunakan, kepada mereka ini dikhususkan hanya boleh memakai potte (tanda bulat didahi) yang berwarna putih dan tidak dibenarkan memakai wallewi atau gelang plastik yang berwarna-warni. Mereka hanya boleh memakai apabila telah bersuami lagi.

Namun saat ini ciri-ciri tersebut tidak begitu tampak. Seiring berjalannya waktu terjadi pula perubahan pada diri etnik Tamil. Penyebabnya antara lain karena terjadinya perkawinan campuran pada etnik lain, proses adaptasi sosial agar bisa berbaur dengan komunitas di luar Tamil dan lain sebagainya.
Organisasi Sosial Budaya Etnik Tamil Di Kota Medan
Menjadi bagian dari bangsa Indonesia merupakan satu pilihan yang secara sadar dijalankan oleh etnik Tamil di Kota Medan dan Sumatera Utara pada umumnya. Banyak dari kaum tua etnik Tamil ikut berjuang menegakkan kemerdekaan Indonesia dan banyak pula dari etnik Tamil yang berstatus sebagai pegawai negeri.

Organisasi sosial etnik Tamil di kota Medan untuk seluruh Sumatera yang bernama “Deli Hindu Sabha” yang disahkan oleh Gubernur Sumatera Timur pada tahun 1913. organisasi ini dipimpin untuk pertama kali oleh Ramasamy Sanma, Senemuthu, Ponasami, Dillay Dallph Singh, Hinder Singh, dan Wally Samy. Sebagai ketua Ramasay Sanma dan sekeratris Ponasamy Dillay. Dalam tahun ini juga dibuka kantor di jalan Darat Medan. Organisasi ini bertujuan mempromosikan kebudayaan dan pendidikan Tamil.

Keberadaan organisasi etnik Tamil di Kota Medan tidak terbatas pada etnik Tamil semata, melainkan juga mencakup seluruh etnik yang berada di India, seperti : Sikh, Punjab, Telegu.

Tokoh D. Kumaraswami
Salah satu tokoh etnik Tamil yang terkenal adalah D. Kumaraswami yang lahir pada tahun 1906 asal dari Pondicherry dimana keluarganya bermigrasi ke Medan. Dia juga yang membangkitkan kembali kegiatan organisasi “Deli Hindu Sabha” yang sudah mulai melemah pada tahun 1918. D.

Kumaraswami juga menjabat sebagai ketua dari organisasi ini sampai tahun 1941. pada tahun 1949 sudah dibuka konsulat India di Medan sehingga organisasi itu terhenti. Maka pada tahun 1954 organisasi ini bergerak pada bidang pers dengan menerbitkan majalah bulanan berbahasa Tamil. Beliau juga mengarang nyanyian penguburan dan menyederhanakan upacara perkawinan tanpa dipimpin oleh pendeta Brahmin. Tetapi pada tahun 1954 beliau menganut agama Budha dan meninggal dunia pada tahun 1979 (Sinar,2008).

Keberadaan tokoh tersebut membawa perubahan mendasar dalam pelaksanaan tata upacara etnik Tamil di Kota Medan, hal ini didasarkan pada tata urutan pelaksanaan upacara yang kompleks dan berbiaya besar sehingga tokoh tersebut mengambil suatu inisiatif untuk meringkas tata urutan upacara tanpa menghilangkan rasa dan suasana kesakralan dari upacara tersebut, perubahan ini lambat laun diterima oleh masyarakat etnik Tamil di Kota Medan mengingat tingginya tingkat pelaksanaan upacara.

Pada masa sekarang organisasi sosial tersebut sudah tidak aktif lagi, sebuah keprihatinan muncul dikalangan generasi muda. Mereka fasih berbahasa Tamil secara pasif (dalam artian mereka memiliki kemampuan untuk mengerti terhadap bahasa Tamil tanpa memiliki kemampuan untuk mengucapkan secara oral).
Adat Istiadat Etnik Tamil Di Kota Medan
Sebagaimana etnik lainnya, etnik Tamil juga memiliki serangkaian upacara sendiri untuk merayakan berbagai peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Upacara tersebut biasanya berhubungan dengan tingkat kedudukan seseorang dalam masyarakat. Upacara tersebut pada dasarnya berfungsi untuk memaparkan sistem atau tataran yang ada (pengetahuan lokal etnik Tamil yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Hindu dan budaya Tamil).

Menurut etnik Tamil pelaksanaan upacara-upacara sepanjang lingkup hidup itu sudah banyak yang berubah dari aslinya. Sebagai contoh dapat dilihat pada pesta perkawinan. Adanya suatu kebiasaan yang dilakukan para leluhur mereka yaitu dengan menempatkan si pengantin dan kerabat dekat para undangan lainnya pada tikar. Kemudian pada saat acara makan mereka tidak menggunakan piring, tetapi menggunakan daun pisang. Menurut mereka hal tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan sangat merepotkan. Untuk itu mereka menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Si pengantin sudah diberikan tempat duduk khusus (pelaminan). Para undangan dapat dengan tenang duduk dikursi disediakan dan mereka pun tidak perlu harus repot lagi menyantap hidangan yang beralaskan daun pisang itu, karena telah disediakan piring.

Pada suatu bentuk kehidupan dengan ritus daur hidup yang biasa disebut dengan “rites of passages”, yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai suatu prosesi perjalanan hidup manusia dalam menjalani tiap tingkatan dalam hidup, seperti : lahir, bayi, remaja, dewasa, menikah, tua dan meninggal (mati). Etnik Tamil mengenal proses daur hidup tersebut dengan memberikan upacara atau prosesi seremonial yang terkait dengan tingkatan dalam daur hidup, seperti upacara kelahiran, kematian dan lain sebagainya.
Upacara Kelahiran
Upacara kelahiran ini terdiri dari 2 bagian yaitu:
  1. Upacara Walai Kappu
Upacara ini dilaksanakan pada seorang wanita yang telah menikah pada kehamilan 7 bulan atau 9 bulan. Dalam pelaksanaannya akan diundang kerabat-kerabat dekat saja.
Tujuan dari upacara ini adalah untuk mengundang kekuatan baik yang berfungsi untuk memberikan perlindungan kepada calon bayi dan menjauhkan diri dari pengaruh-pengaruh buruk.
  1. Upacara Pathinaru
Upacara Pathinaru ini disebut juga upacara buang sial. Upacara ini dilaksanakan pada bayi pada hari ke 16 setelah kelahirannya, dan inti dari upacara ini adalah pensucian sang bayi serta memohon untuk keselamatan bagi sang bayi semasa hidupnya. Pada upacara ini juga sekaligus menjadi upacara untuk pemberian nama bagi sang bayi.
Upacara Sadengesathe atau Waisuki Wanthepenn
Upacara ini dilakukan pada seorang gadis remaja yang baru pertama kali memasuki masa akil baligh. Para kerabat dan teman akan hadir pada upacara ini. Si gadis biasanya menerima hadiah dari para undangan. Namun demikan hadiah yang paling diperhatikan dari sekian banyak adalah hadiah yang diberikan oleh saudara perempuan dari bapak si gadis.

Biasanya saudara perempuan dari Bapak si gadis yang dipanggil Atteh akan membawa berbagai macam jenis-jenis barang, makanan dan buah-buahan yang diletakkan dalam talam yang berisi sari, perlengkapan kosmetika untuk si gadis dan hadiah yang lazim diberikan adalah berupa emas (cincin atau kalung). Mereka akan merasa bangga bila seorang Atteh mampu memberikan hadiah tersebut.
Inti dari upacara ini merupakan suatu tradisi atau kebiasaan yang dilakukan etnik Tamil untuk memohon kekuatan atau restu atau perlindungan untuk menjauhkan si gadis dari pengaruh-pengaruh buruk.
Tata Cara Perkawinan Etnik Tamil
Kata perkawinan dalam bahasa Tamil disebut Thirumanam. Terdiri dari dua kata “thiru” dan “manam”. Kata Thiru berarti tentang, berasal dari atau berhubungan dengan Tuhan, sedangkan kata Manam berarti menyatukan. Jadi kata Thirumanam dalam agama Hindu adalah penyatuan kedua jenis manusia atau kehendak Tuhan Yang Maha Esa.
Pelaksanaan perkawinan terdiri dari :
  1. Upacara Melamar (Niscchayam)
  2. Upacara Tunangan (Parisam)
  3. Upacara Perkawinan (Thirumanam)
  • UPACARA MELAMAR (NISCCHAYAM)
Sebelum upacara melamar, wakil dari laki-laki akan mendatangi pihak perempuan untuk menanyakan apakah bersedia memberikan anak gadisnya untuk dijadikan menantu. Apabila pihak perempuan setuju maka pihak laki-laki akan datang ketempat pihak perempuan untuk membicarakan masalah-masalah selanjutnya, seperti kapan pelaksanaan upacara akan diadakan dan lain-lain.

Upacara melamar akan diadakan ditempat perempuan, selanjutnya akan dibicarakan pula tahap kedua akan dilangsungkan yaitu: Parisam, jangka waktu antara melamar dan upacara tunangan biasanya antara 3-6 bulan. Tenggang waktu ini sengaja diberikan untuk persiapan upacara selanjutnya, sekaligus memberikan kesempatan kepada pihak wanita untuk berpikir apakah si laki-laki cocok untuk anak gadis mereka. Jadi, walaupun Niscchayam sudah dilangsungkan.
  • UPACARA TUNANGAN (PARISAM)
Inti dari upacara Parisam adalah penyerahan mas-kawin dan pengumuman kepada kerabat, dan teman mengenai pelaksanaan upacara puncak. Upacara parisam biasanya dilangsungkan di Kuil, namun dapat juga dilaksanakan di rumah. Bila upacara tersebut dilakukan dengan cara sederhana maka pelaksanaannya cukup di rumah saja. Pada upacara ini pihak laki-laki harus membawa seperangkat barang-barang untuk keperluan sigadis (tunangannya), barang-barang tersebut merupakan hantaran yang dibawa oleh pihak laki-laki yang terdiri dari 5, 7, 9 talam, dalam talam-talam tersebut antara lain :
  • Talam Pertama: berisikan bubuk cendana, kumkum (kungemam:tanda merah didahi), kembang, sirih 2 lembar, pinang 2 potong, kunyit kering 1 potong dan sebuah jeruk nipis
  • Talam kedua: berisikan pakaian (sari dan baju), perhiasan, sisir, cermin, dan alat hias lainnya.
  • Talam ketiga: berisikan sirih, pinang, kunyit kering
  • Talam keempat: berisikan gula pasir, gula batu, permen
  • Talam kelima: berisikan jeruk nipis (orange)
  • Talam keenam: berisikan apel
  • Talam ketujuh: berisikan anggur
  • Talam kedelapan: berisikan pisang 5, 7, atau 9 sisir
  • Talam kesembilan: berisi kelapa 5, 7, atau 9 sisir
Kesemua talam tersebut dibawa dengan meletakannya di pundak kawan wanita dari pihak laki-laki menuju ketempat upacara. Upacara tersebut nantinya akan dipimpin oleh pandita, dengan membacakan ikrar dari pihak laki-laki dan pihak perempuan dengan memegang talam no 1, selanjutnya talam no 2 akan diberikan pada pihak perempuan untuk dipakaikan oleh calon pengantin kepada pihak laki-laki. Talam 4 dan talam 8 disediakann bagi tamu yang hadir untuk disantap, sebagian lagi dikembalikan kepada pihak laki-laki.

Calon pengantin wanita setelah dihias akan dibawa ketempat upacara untuk mendapatkan restu dari para hadirin. Pihak laki-laki memberikan 1 buah kelapa, 2 lembar sirih, 2 potong pinang dan kunyit 1 potong kepada calon pengantin wanita. Pada upacara ini, santapan atau hidangan yang disediakan merupakan dari pihak perempuan.
  • UPACARA PERKAWINAN
Adapun urutan upacara perkawinan sebagai berikut:
  1. Mapillai Thol (h) an (pendamping mempelai pria, yang biasanya saudara laki-laki mempelai pria, yanang biasanya saudara laki-laki mempelai wanita) akan menuntun mempelai pria kemimbar pernikahan.
  2. Sesudah mengelilingi mimbar pernikahan sekali searah jarum jam, mempelai pria duduk
  3. Mempelai pria dan Thol (h) an-nya akan diberi Vibuthi Prasadam (tanda bubuk putih didahi)
  4. Thol (h) an akan mengalungi mempelai pria dengan “Seeyakkai Maalai” (kalung bungan yang agak sederhana)
  5. Mempelai pria akan diberi “pavitram” (yaitu cincin yang terbuat dari rumput dharpai) untuk dikenakannya di jari manis tangan kanannya.
  6. Upacara Pillaiyar Pooja untuk menyingkirkan semua rintangan, dilakukan pendeta.
  7. Mempelai wanita akan tiba dengan dituntun oleh pendamping mempelai wanita (yang biasanya adalah saudara perempuan mempelai pria)=bride’s maid.
  8. Sesudah mengelilingi mimbar pernikahan satu kali, maka mempelai wanita akan duduk di depan mimbar (pelaminan)
  9. Pendeta yang memimpin upacara akan memberikan Vibuthi Prasadam baik kepada mempelai wanita maupun pendampingnya
  10. Pendamping mempelai wanita akan mengalungi mempelai wanita dengan “seeyakkai maalai”
  11. Akan dilakukan lagi ritual Pillaiyar Pooja
  12. Ritual Mahalakshmi Pooja guna memperoleh berkat dari bunda Mahalakshmi akan diadakan.
  13. Upacara “Manggalaya” (benang suci) Pooja dimulai
  14. Orang tua kedua mempelai akan diminta untuk duduk dihadapan anak-anak mereka.
  15. Pendeta yang memimpin upacara akan memberikan Vibuthi Prasadam kepada orang tua kedua mempelai.
  16. Thaali yang suci akan dililitkan pada kelapa dan dibawa mengelilingi para undangan untuk mendapat restu.
  17. Pendeta yang memimpin upacara akan membacakan undangan perkawinan.
  18. Pendeta yang memimpin upacara akan menyerahkan Thaali kepada mempelai pria, yang akan mengalungkan dan mengikatkan di leher mempelai wanita sebanyak tiga ikatan, mengikuti bunyi “ketti melam” (diiringi irama musik). Selama upacara ini , saudara perempuan mempelai pria harus berdiri di belakang mempelai wanita sambil memegang lampu minyak yang sudah dinyalakan (Kamachi Villaku).
  19. Mempelai pria akan mengoleskan tepung cendana dan kungguman pada ketiga ikatan
  20. Mempelai pria dengan tangan kanannya memutar leher mempelai wanita dan memalingkan wajah mempelai wanita kearahnya dan mengoleskan kungguman pottu di dahi mempelai wanita (sebagai photu pertama)
  21. Upacara “Paanikkiragam” akan dilakukan. Pasangan pengantin akan berdiri sedangkan mempelai pria masih memegang tangan mempelai wanita.
  22. Kedua mempelai kini akan bertukar kalung bunga
  23. Kerabat dan masyarakat akan mengalungi kedua mempelai (kalung ditukar antara mempelai pria dan mempelai wanita)
  24. Tiga orang yang sudah bersuami akan melakukan upacara aarathi
  25. Akhirnya mempelai wanita akan diberi kelapa yang dibungkus dengan kain kuning untuk dibawa pulang
  • PAKAIAN PENGANTIN
Mempelai wanita diwajibkan memakai sari sepanjang 18 cubit (1 cubit= 1 lengan yaitu jarak antara ujung jari tengah sampai siku), sedangkan mempelai pria diwajibkan memakai wheti dan baju jipa.
  • KALUNG BUNGA DAN EMAS
Ritual perkawinan Hindu mengharuskan mempelai pria dan wanita bertukar kalungan bunga, dimana pertukaran kalungan bunga ini memiliki makna:
  • Bahwa seorang suami dan istrinya tidak dianggap sebagai individu yang terpisah
  • Disatukan menjadi satu keluarga oleh upacara perkawinan
Emas atau Thaali dalam upacara perkawinan adalah yang dikaitkan di leher mempelai wanita oleh mempelai pria. Thaali sebagai simbol bahwa wanita telah menikah dan berfungsi mengikat si wanita dirinya telah menjadi istri seseorang. Thaali dilambangkan sebagai wanita yang sudah mempunyai suami. Thaali terbuat dari seuntai benang yang didalamnya terdapat sebuah emas yang melambangkan bahwasanya seorang wanita sah menjadi istri seseorang. Selain itu Thaali harus diikat sebanyak 3 x. makna dari 3 ikatan itu adalah:
  • Ikatan pertama diikat dan terikat kepada pasangan (suami/istri)
  • Ikatan kedua diikat dan terikat kepada orang tua kedua belah pihak
  • Ikatan ketiga melambangkan terikat kepada Tuhan YME
  • PESTA MAKAN
Setelah selesai acara perkawinan, diadakan santapan siang yang dihidangkan bagi setiap undangan yang hadir, dimana makanan yang dihidangkan tersebut terdiri dari beraneka jenis makanan, baik berupa vegetarian maupun yang tidak vegetarian.
Pada pesta perkawinan, biasanya mengharuskan menghiasi lokasi pesta perkawinan, biasanya mengharuskan menghiasi lokasi pesta dengan pohon pisang yang menyimbolkan bahwa semoga kehidupan pasangan yang baru menikah akan memiliki keturunan yang baik dan sehat.
  • WANITA TINGGAL DI RUMAH PRIA
Setelah selesai acara perkawinan, kedua mempelai akan kembali ke rumah mempelai wanita untuk memohon doa restu kepada kedua orang tua mempelai wanita dan meninggalkan mempelai wanita, setelah itu mempelai wanita dijemput kembali ke rumah mempelai pria dan tinggal selamanya di rumah mempelai pria.
  • POHON PISANG
Tradisi etnik Tamil mengharuskan untuk menghias rumah atau tempat lain dimana upacara yang membawa keberuntungan seperti festival keagamaan, perkawinan, dll. Dilengkapi oleeh dua buah pohon pisang yang sedang berbuah dan diletakkan pada kedua sudut pintu masuk. Ada dua alasan pokok mengapa etnik Tamil menggunakan pohon pisang, yang pertama didasarkan pada nama pohon pisang itu sendiri dalam bahasa Tamil yang berarti Val(h)ai Maram, kata val berarti memelihara atau menjaga dan maram berarti besar dan kokoh, sehingga dapat diartikan sebagai penjaga dan memelihara hidup dengan kokoh, yang kedua, pohon pisang berakar jumlah pohon ini akan terus berlipat ganda dan dengan segera akan ada sebuah hasil dari keluarga (anak), yang diharapkan keluarga tersebut memiliki keturunan yang baik dan sehat.
Upacara Kematian
Rangkaian upacara terakhir yang dilakukan pada setiap individu ialah upacara kematian. Sesuai dengan ajaran agama Hindu yang dianut etnik Tamil bahwa sebenarnya di dalam badan manusia memiliki roh atau yang disebut dengan atma. Roh atau atma ini akan tetap kekal dan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa dan tinggallah jasad atau badan yang sudah tidak memiliki roh atau atma. Karena selama hidup telah banyak melakukan pengorbanan maka kelurga yang ditinggalkan merasa sangat perlu menghormati mereka yang telah meninggal.

Pada umumnya ada dua upacara yang dilakukan apabila seseorang telah meninggal dunia. Pertama dibakar dan kedua adalah di kebumikan. Hal ini dilakukan atas permintaan mereka yang telah meninggal pada semasa hidupnya, yang lazim dilakukan adalah dibakar, karena etnik Tamil meyakini badan manusia terbentuk dari 5 unsur alam yaitu api, air, udara, tanah, gas sehingga apabila dibakar maka akan mempercepat proses kembalinya atma (jiwa) mereka kepada unsur-unsur tersebut.

Serangkaian upacara sehubungan dengan kematian itu adalah:

a. Penguburan atau kremasi (di Perabukan) yakni serangkaian upacara dilakukan kepada jenazah yang telah dimandikan, diberi pakaian yang rapi (menggunakan wetti dan baju putih). Jika yang meninggal tersebut laki-laki maka didahinya diletakkan Thiruniru (abu suci) dan jika yang meninggal tersebut wanita maka diberi pakaian sari, di dahinya diletakkan Thiruniru, Shanthanam (Sandal Wood Paste). Serta kalungan bunga Malligai (Jasmine Flower) kemudian jenazah tersebut diletakkan di ruang tamu yang mana kepala jenazah tersebut harus berada di arah selatan. Sedangkan disamping kepala jenazah diletakkan Nalwilaku (lampu yang menggunakan minyak), Bathi (dupa)
Bila suaminya yang meninggal maka pada saat jenazah dimandikan, istri yang berpakaian sari dan duduk di samping jenazah tersebut juga dimandikan. Potte di dahi di hapus, gelang-gelang yang ada di tangan di pecahkan atau di buka serta tanda perkawinan (Manjakaure atau thali) dengan perantara wanita yang lebih tua di buka dan diletakkan kedalam sebuah wadah yang berisikan susu. Dengan demikian istri menjadi janda serta istri tidak diperkenankan memakai tanda Potte di dahi yang bewarna warni tidak boleh dipakaikan di dahi mereka hanya boleh dipergunakan Potte yang berwarna putih. Kemudian tidak boleh lagi memakai Wallwi (gelang plastik yang berwarna-warni) dan tanda perkawinan tersebut.

b. Paal Thetital yakni upacara mengumpulkan tulang-tulang sesudah 3 hari dari jenazah tersebut dibakar. Tulang-tulang serta abu di masukkan kedalam periuk tanah. Sebelum pengambilan tulang-tulang dan abu terlebih dahulu disucikan dengan menyiram susu dan air kelapa muda. Kemudian tulang yang telah disucikan denga susu di masukkan didalam guci sedangkan abunya dimasukkan di dalam goni. Setelah disembayangkan agar Atma mendapat kedamaian pada Paramatma (Tuhan Yang Maha Esa). Guci dan goni (yang berisi tulang dan abu) tersebut di bawa oleh yang melaksanakan upacara untuk dilepaskan di sungai atau laut. Untuk penguburan juga dilaksanakan upacara Paal yakni pada saat selesai penguburan maka seorang pendeta akan meletakkan sebuah periuk tanah yang berisi susu yang kemudian dipecahkan oleh anak laki-laki dari yang meninggal tersebut.

c. Upacara Yeddhe yakni melakukan pengiriman doa kepada yang meninggal dunia setelah 7 hari kematiannya. Biasanya dalam upacara ini keluarga dan kerabat terdekat saja yang datang dengan membawa bermacam-macam jenis buah dan kue serta bagi keluarga yang berhalangan hadir pada hari kematian, maka pada hari tersebut mereka dapat bersembahyang Atma shanti untuk mengirim doa bagi yang sudah meninggal.

d. Upacara Karmadi yaitu upacara mensucikan diri bagi keluarga setelah 16 hari kematiannya. Upacara ini biasanya dipimpin oleh seorang pendeta dilakukan pada pagi hari sebelum terbitnya sinar matahari. Biasanya dilakukan di pinggir sungai agar segala barang-barang yang diperlukan dalam upacara tersebut juga dibuang ke sungai, setiba di rumah dilakukan pembacaan doa agar rohnya memperoleh kedamaian di akhirat.

e. Upacara Kawehci yaitu upacara memberikan makanan pada keluarga yang ditinggalkan. Makanan tersebut berasal dari keluarga para kerabat orang yang meninggal tersebut dengan maksud untuk menghibur anggota keluarga yang ditinggalkan agar tidak larut dalam kesedihan.

f. Doa Atma Shanti yaitu upacara yang dilakukan pada setahun setelah meninggalnya seseorang. Inti dari upacara untuk mengirim doa pada yang telah meninggal tersebut agar atmanya diterima di akhirat.
Sistem Pengendalian Sosial
Pada dasarnya norma-norma sosial mengandung harapan-harapan tertentu bagi masyarakatnya. Hal ini menyebabkan terjadinya keseragaman berprilaku dalam kehidupan bersama. Bila norma-norma sosial itu tidak lagi memberikan harapan atau sulit untuk di laksanakan bagi individu-individu yang di kenakan oleh norma-norma tersebut dalam kehidupan bersama, maka akan terjadi pelanggaran terhadap norma-norma sosial tersebut.

Untuk mempertebal keyakinan agar tidak melakukan tingkah laku yang menyimpang, etnik Tamil di sugesti dengan ajaran Karmaphala, hukum karma atau ajaran Karmaphala adalah ajaran yang mengajarkan tentang hubungan antara perbuatan atau tingkah laku manusia itu sendiri. Apabila berbuat jahat atau berfikiran jahat maka akibat buruk yang akan didapat.
Sistem Pelapisan Sosial
Sistem pelapisan sosial pada etnik Tamil bersifat tertutup (closed social stratifications), hal ini jelas terlihat dalam sistem perkastaan mereka yang didasarkan pada jenis pekerjaan. Sistem kasta mereka tersebut memiliki ciri-ciri antara lain : bahwa keanggotaan digolongan tersebut berdasarkan kelahiran, perkawinan dengan orang diluar golongan tersebut dilarang dan pergaulan dengan golongan terendah dilarang. Kemudian setiap golongan memiliki kedudukan sosial yang sangat tajam batasan-batasannya, sehingga etnik Tamil lahir dan mati dalam golongannya dan sepanjang hidupnya tidak dapat dirubah (kodrati).

Sistem perkastaan pada etnik Tamil, pada umumnya timbul akibat perbedaan asal dan warna kulit, ketika pada tahun 1500 SM4 bangsa Arya memasuki India. Kulit mereka lebih putih dibandingkan dengan penduduk asli. Dari sinilah timbulnya kasta agar keturunan dan warna kulit bangsa Arya tetap terjaga dan tidak bercampur-baur dengan penduduk asli, yaitu bangsa Dravida. Bangsa Arya ini merupakan golongan Brahmana atau Brahmin yang termasuk dalam golongan bangsawan dan pendeta. Dalam masyarakat Tamil golongan tersebut lebih dikenal dengan sebutan Pahpah.
Konsep kasta pada etnik Tamil dianalogikan sebagai tubuh manusia (kepala, badan, perut dan kaki). Kepala merupakan saluran buah pikiran, hal ini berarti bahwa golongan ini merupakan Guru dari rakyat yang dianggap sebagai golongan yang tertinggi, mereka inilah yang merupakan golongan Brahmana atau Brahmin. Badan diasumsikan sebagai golongan yang memiliki kewibawaan, cinta tanah air serta memiliki bakat untuk memimpin dan mempertahankan negara dan umat manusia berdasarkan Dharmanya, golongan ini disebut Ksatria yang berhak memimpin pemerintahan. Perut merupakan golongan yang memiliki watak tekun terampil, cermat dan keahlian serta bakat kelahirannya untuk menyelenggarakan kemakmuran negara dan kemanusiaan. Tugas-tugas mereka yang utama adalah mengusahakan pertanian, peternakan dan perdagangan. Mereka ini disebut golongan Waisya, sedangkan kaki merupakan golongan pelayan atau pekerja kasar, kuli. Golongan ini biasanya menjadi pelayan bagi golongan-golongan lainnya, mereka disebut Shudra.

Dalam Manawa Dharmasastra atau Weda Smrti (Compendium Hukum Hindu) mengatakan bahwa : “Lokanam tu wiwrddyartham mukhababu rupadatah, brahmanam ksatriyam waisyam sudram sa nirawartayat”, yang berarti sesungguhnya untuk tujuan kesejahteraan Loka (masyarakat), “Ia” tetapkan fungsi Brahmana, Ksatria, Waisya dan Shudra serupa fungsi kepala, badan, perut dan kakiNya5, selain keempat golongan diatas, sebenarnya masih ada golongan dalam perkastaan etnik Tamil yang tidak masuk kedalamnya. Mereka ini disebut dengan golongan Outcaste yang sering disebut golongan Paria. Mereka adalah pemukul tambur yang terbuat dari kulit sapi. Golongan ini merupakan golongan terendah pada etnik Tamil.

Sistem pelapisan sosial yang didasarkan pada jenis pekerjaan6 merupakan aneka warna dalam ajaran agama Hindu ini berarti beragam golongan yang muncul berdasarkan jenis pekerjaannya seperti, contoh : kaum Chettiars yang berprofesi sebagai pembunga uang dan pedagang disebut golongan Chetti, yang berprofesi sebagai tukang pangkas disebut Pariari, golongan Bhattar merupakan golongan yang mempunyai keahlian dalam pembuatan aksesoris atau perhiasaan dari emas. Velllalars dan Mudaliars merupakan golongan petani yang terlibat dalam usaha dagang. Pada etnik Tamil pada golongan-golongan sosial tertentu yang berhasil dalam perekonomian maka golongan tersebut dapat naik ketingkatan
atau golongan sosial yang lebih tinggi, seperti golongan Kallen, Marrewen dan Agemudien7yang merupakan golongan petani, pedagang mereka bisa naik ke level yang lebih tinggi bila berhasil dalam tingkat perekonomian mereka dan akan berubah menjadi golongan Wellalen atau golongan yang setara dengan Pillay (Golongan Bangsawan).

Golongan Paria pada etnik Tamil merupakan golongan terdiskriminasi dan termajinalkan oleh bangsa Arya. Mereka ini adalah Adi-Dravida (unseeable) untuk mengelakkan perbedaan kasta yang mencolok maka banyak dari mereka yang pindah ke agama Kristen Katolik dan Budha. Pada masa sekarang sebagian dari golongan ini sudah lebih baik taraf hidupnya dibandingkan dengan golongan-golongan lain yang terdapat dalam etnik Tamil, seperti diterimanya mereka bekerja pada instansi pemerintah maupun swasta.

Sistem pelapisan sosial pada etnik Tamil pada masa sekarang secara perlahan dalam kehidupan sehari-hari sudah tidak diterapkan lagi. Meskipun ada golongan-golongan tertentu yang masih menjalankan sistem perkastaan tersebut. menurut mereka itu sudah tidak sesuai lagi dimasa sekarang, bukti bahwa sistem perkastaan itu sudah tidak diterapkan lagi terlihat dari banyaknya individu etnik Tamil yang melakukan perkawinan antar golongan atau diluar golongan mereka sendiri, selain itu, golongan Brahmin sudah tidak banyak lagi di masyarakat Tamil, hal ini terlihat dari banyaknya pendeta yang tidak berasal dari golongan Brahmin, melainkan setiap individu Tamil bisa dan mampu menjadi seorang pendeta.


1 Barus adalah sebuah nama daerah terpencil di pesisir pantai Barat Sumatera Utara. Sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolomeus, seorang gubernur dari kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke 2, disebutkan di peisir Barat Sumatera Utara terdapat sebuah Bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilakan wewangian dari kapur barus.

2 Informan di lapangan mengungkapkan tentang sejarah etnik Tamil di Kota Binjai dan Langkat sebagai data pendukung penelitian.

3 Lihat Uli Kozok, Surat Batak; Sejarah Perkembangan Tulisan Batak Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII, Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Kepustakaan Populer Gramedia, 2009 serta James T. Collins, Bahasa Sansekerta dan Bahasa Melayu, Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Kepustakaan Populer Gramedia, 2009.

4 Wikipedia.co.id/istilah_dan_sejarah_Tamil Diakses pada 23 Maret 2009.

5 Pembagian masyarakat menjadi kelompok kerja itu bukanya hanya dikenal dizaman itu (Kertayuga), karena dalam masyarakat modern pun pembagian tugas kerja itu sebagai satu keharusan yang tidak dapat dielakkan dan perlu. Penunjukkan tiap-tiap warna pada tiap organ tubuh itu dari seluruh tubuh, dan karena itu tidak berarti kepala lebih mulia daripada badan dan tidak berarti lebih mulia dari kaki.
14 Jenis kasta tidak terbatas pada beberapa jenis saja melainkan jenis kasta berdasar pada jenis pekerjaan yang dilakukan


6.
7 Berdasarkan informasi dari informan di lapangan, yaitu Bapak Sundram, 78 tahun, pendeta.




DAFTAR PUSTAKA
Barth, Frederick
  1. Kelompok Etnik dan Batasannya: UI Press


Bungin, Burhan
  1. Penelitian Kualitatif. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Collins, James T.
2009 Bahasa Sansekerta dan Bahasa Melayu
Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Kepustakaan Populer
Gramedia


Endraswaras, Sumardi
  1. Metode Teori, Teknik Penelitian
Kebuadayaan.Yogyakarta: pustaka Widyatama

Haviland, William A
  1. Antropologi Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga


Ihromi, T.O
  1. Pokok-pokok Antropologi Budaya: Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.


Kobalen, A.S
2001 Tata Cara Sembahyang: Surabaya, Paramita
  1. Idealnya Sebuah Perkawinan Hindu Tamil: Jakarta, Pustaka Mitra Jaya
Koentjaraningrat
  1. Sejarah Teori Antropologi I: UI Press. Jakarta
  1. Masalah-malasah Pembangunan Bunga Rampai Antropologi
Terapan.
LP3ES
  1. Metode-metode Penelitian Masyarakat: Jakarta, Gramedia.
  1. Pengantar Antropologi I: Jakarta, PT. Rineka Cipta.
  1. Pengantar Antropologi Pokok-pokok Etnografi II: Jakarta, PT Rineka Cipta.
  2. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan:Jakarta


Kozok, Uli
2009 Surat Batak; Sejarah Perkembangan Tulisan Batak
Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap
Si Singamangaraja XII
Ecole francaise d’Extreme-Orient dan Kepustakaan Populer
Gramedia
Lubis, Zulkifli
  1. Kajian Awal Tentang Komunitas Tamil dan Punjabi Di Medan
USU Medan


Meuraxa, Dada
  1. Hari Lahirnya Kota Medan 1 Juli 1590: Medan


Nasikun
2000 Sistem Sosial Indonesia. Rajawali Press


Nurhabsyah
  1. Rekonstruksi Identitas Etnik Pada kelompok Komunitas Etnik Mandailing di Kota Medan: Pasca Sarjana UNIMED


Rusli Amran


1981 Kota Barus dan Kebudayaan asal India Selatan. Cetakan pertama, Penerbit Sinar Harapan

Spradley, James
  1. Metode Etnografi:Yogya, PT. Tiara Wacana


Sinar, Luckman
2007 Sejarah Medan Tempo Doeloe: Medan, Perwira
2008 Orang India di Sumatera Utara: Medan, FORKALA



Sumber Lain:


-WWW.forumkami.com/sikh/429-India-indonesia.html,37k/Kamis/20-11-08/14.20 Wib


-WWW.Google.com/412-Tamil-Sumatera Utara/selasa/18-11-08/ 13.30 Wib
-WWW.karoweb.or.id/2008/01/14/marga-sembiring-pada-masyarakat-karo-ii/ - 67k -/kamis/20-11-08 Wib



No comments:

Post a Comment