Tuesday, March 6, 2012

ERPANGIR KU LAU (Mandi Ritual Pada Masyarakat Suku Batak Karo)


ERPANGIR KU LAU (Mandi Ritual Pada Masyarakat Suku Batak Karo)



This is an ancient cultural practice that has become a sacred activity for the Karo people. Erpangir Ku Lau is a bathing ceremony in the rivet and there is also a ritual of giving offerings so that the Almighty God will bless them. It is still carried out in some places for wedding ceremonies, naming ceremonies, and ceremonies for preventing evil diseases.
*****
Seorang ibu separuh baya memegang mangkuk berwarna putih. Dengan ikat kepala kain yang berwarna putih dia menggerak-gerakkan badannya seiring dengan irama musik gendang telu sedalanen atau gendang kulcapi yang terbuat dari bahan bambu dan kayu. Sesekali dia menyibakkan rambutnya yang terurai panjang yang mulai lusuh, sesekali dia juga menyibakkan kain putih sebagai ikat kepalanya yang terurai mengikuti gerek-gerak langkahnya, bagai menari. Pandangannya jauh, seakan-akan tak mempedulikan orang-orang yang ada disekitarnya. Tatapan matanya tajam. Kelihatannya dia sangat menikmati sekali alunan musik yang dimainkan oleh sierjabaten. Dia berusaha mengkonsentrasikan diri dengan mimik muka yang sangat serius sekali. Sesekali dia melompat-lompat kecil dan melakukan gerakan tangan meliuk-liuk dan pandangannya ke langit. Demikian juga dengan para pemusik memperhatikan gerakan-gerakan wanita tersebut.
Musik itu diawali dengan tempo perlahan-lahan sekali. Kemudian mereka memainkan lagu mari-mari, yang artinya “kemari”. Lagu ini biasa dimainkan untuk memanggl roh-roh yang ada di sekitar tempat tersebut. Lagu ini juga dimainkan untuk memanggil roh moyang mereka agar hadir berbicara melalui medium guru yang akan kesurupan (intrance). Semakin lama semakin cepat. Yaitu lagu odak-odak beralih ke patam-patam dan selanjutnya musik dengan tempo yang sangat cepat sekali, yaitu gendang guru atau disebut juga dengan silengguri. Wanita tua itu pun bertambah semangat. Petikan kulcapi (alat musik berdawai dua) pun semakin lama semakin cepat, sehingga melodi yang dimainkan ada kecenderungan monoton dan konstan, namun temponya semakin cepat. Demikian juga dengan pemain keteng-keteng (alat musik perkusi dari bambu) dimainkan dengan penuh semangat dan diikuti oleh pukulan mangkuk mbentar sebagai pembawa tempo.
Mata semua yang hadir di tempat itu tertuju pada wanita separuh baya tersebut, yaitu wanita sebagai mediator manusia dengan begu, yaitu roh. Wanita tersebut dikenal dengan sebutan guru, yaitu orang seseorang yang mempunyai keahlian khusus. Peserta yang hadir dalam upacara tersebut juga memahami kapan waktunya ketika roh yang diundang masuk ke dalam tubuh sang guru sebagai mediator. Ketika sang guru berjingkrak-jingkrak dengan semangat, gerekan-gerekan tarinyapun berubah yang menggambarkan roh yang masuk ke dalam tubuhnya, maka oleh peserta upacara dipahami bahwa sang guru sudah seluk (kesurupan). Jika yang masuk ke dalam tubuhnya harimau, maka sang guru akan berlaku seperti harimau. Jika roh yang masuk ular, maka sang guru akan melata. Demikian juga biasanya jika yang masuk ke dalam tubuhnya keramat dari Gunung Sibayak, yang biasa disebut dengan Beru Kertah Ernala, [yang artinya kira-kira perempuan dari belerang yang menyala-nyala] maka sang guru pun akan berlaku seperti keramat yang sangat disegani tersebut.

Kemudian melalui guru tersebutlah peserta upacara dapat berkomunikasi dengan keramat-keramat tersebut dengan memohon, meminta kesembuhan, pembersihan diri dengan melakukan keramas dengan air yang ditaruh dalam mangkuk putih. Maka sang guru akan membasuh rambut peserta yang mau ipangiri (berkeramas). Erpangir ini sendiri mempunyai arrti bermacam-macam, tergantung maksud dan tujuan pelaksana erpangir melakukan upacar tersebut. Upacara ini biasa disebut dengan upacara erpangir ku lau, yang dapat diartikan upacara berkeramas ritual.
Lau Debuk-Debuk (hot spring) merupakan salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi oleh orang Karo untuk melakukan ritual erpangir ku lau. Lau Debuk-Debuk ini sendiri terdapat di Desa Daulu, Tanah Karo. Untuk mencapai tempat ini dapat menumpang kendaraan umum jurusan Medan – Kabanjahe, namun bus hingga sampai ke tempat upacara hanya sampai di persimpangan (pos polisi Desa Doulu). Dari situ berjalan kaki sejauh lebih kurang 1 km. Namun bagi yang memiliki kendaraan pribadi dapat terus sampai ke lokasi, hanya perlu jalan kaki lebih kurang 300 m.
Secara harafiah Lau Debuk-Debuk berasal dari dua kata, yaitu Lau yang berarti air, dan Debuk merupakan kata gelembung air panas. Sedangkan Debuk-Debuk merupakan kata ulang yang artinya letusan gelembung air panas yang berulang-ulang. Dapat difahami bahwa tempat ini memang terdapat air panas dengan bau belerang (sulfur) sangat kuat sekali, yang merupakan aliran dari kawah Gunung Sibayak (2.094 meter di atas permukaan laut). Oleh sebab itu tempat tersebut dinamakan sebagai Lau Debuk-Debuk..

Secara administratif pemerintahan, Taman Wisata Lau Debuk-Debuk terletak di Desa Doulu Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Tanah Karo. Kawasan ini sebelumnya berstatus sebagai Cagar Alam, berdasarkan Keputusan Raja Deli tanggal 30 Desember 1924. Kemudian oleh Menteri Pertanian berdasarkan Surat Keputusannya No. 320/Kpts/Um/5/1980 tanggal 9 Mei 1980 statusnya dialihkan menjadi Taman Wisata dengan luas 7 ha
Pada kawasan ini terjadi perambahan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan lahan pertanian sayur mayur seperti kol, wortel, sawi dan lain-lain, serta tanaman buah-buahan. Jenis satwa tidak banyak terdapat, kebanyakan adalah terdiri dari jenis mamalia kecil seperti tikus sawah, bajing, musang, monyet, uylar sawah, kodok merupakan jenis reptelia dan berbagai jenis burung antara lain kutilang, jalak, murai dan sebagainya.
Daya tarik utama kawasan ini yaitu adanya kolam yang sekaligus tempat permandian alam dengan sumber air panas yang mengandung belerang. Dekat dengan kolam tersebut terdapat juga sumur serta kotak-kotak kecil sebagai pemujaan/sesajen. Lokasi Lau Debuk-Debuk merupakan salah satu tempat suci dan keramat terbesar bagi penganut aliran kepercayaan orang Karo. Penganutnya disebut “Kalak Pemena” (Perbegu = animisme). Pada hari-hari tertentu, menurut hari-hari Karo, para penganut aliran kepercayaan “Pemena” ini melakukan acara “erpangir” (mandi bersihkan diri dengan air bunga) di Lau Debuk-Debuk.

Air bunga disebut lau pangiren yang terdiri dari jeruk purut, rimo malem (jeruk biasa) dan bunga rampai. Sebelum erpangir mereka terlebih dahulu menyerahkan sesajen berupa makanan. Kegiatan erpangir ini bagi para penganutnya dianggap sebagai acara sakral. Acara erpangir serta tempat keramat di Lau Debuk-Debuk ini bisa dijadikan sebagai komoditi wisata religi.
Lau Debuk-Debuk ini sendiri terdapat di lereng Gunung Sibayak. Dan di Gunung tersebutlah diyakini tempat beru kertah ernala sebagai roh atau keramat berdiam. Roh ini disembah dengan memberikan sesajen. Roh tersebut dianggap mampu mengobati penyakit, tempat meminta, dan membuang segala macam yang tidak baik pada manusia. Oleh sebab itu para penganutnya melakukan upacara erpangir ku lau pada air yang mengalir dari kawah gunung tersebut. Gunung Sibayak (2094 mdpl) secara administratif terletak di Desa Raja Berneh atau lebih dikenal dengan sebutan Desa Semangat Gunung, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Karo (60 KM dari Kota Medan).

Sebenarnya Lau Debuk-Debuk ini merupakan pemandian air panas yang mata airnya bersumber dari perut bumi dan mengandung unsur belerang. Selain terasa hangat, air panas tersebut juga dapat mengobati penyakit gatal-gatal bagi pengunjung yang datang. Sehingga tidak salah kalau berendam dengan air hangat belerang bisa dijadikan sebagai pengganti mandi sauna. Air panas (hot spring) Lau Debuk-debuk memiliki kekhasan tersendiri dengan yang lainnya. Walau terlihat sederhana, lokasi yang memiliki 5 kolam besar yang dibatasi dengan tembok semen banyak dikunjungi orang. Bukan hanya dari Medan, Langkat atau Deliserdang, pengunjung yang datang berasal dari luar daerah bahkan dari Jawa dan Kalimantan.
Di sekitar pemandian air panas Lau Debuk-debuk, jangan merasa heran jika Anda menemukan banyak tempat untuk meletakkan sajian atau pemujaan. Tidak jauh dari sumber air panas utama akan ditemukan sumur yang dijadikan sebagai tempat pemujaan dan meletakkan sajian. Selain itu pengunjung yang datang juga sering melepaskan ayam putih sebagai bentuk kepercayaan dan niat karena satu permintaan atau permintaan yang telah dikabulkan. Sedangkan air berada di sumur tersebut sering dibawa pulang dengan jerigen sebagai oleh-oleh sekaligus dipercayai untuk obat. Sedangkan pada waktu-waktu tertentu akan dilaksanakan kegiatan ritual seperti Erpangir Ku Lau (bathing ceremony atau ada juga yang menyebut dengan hairwashing ceremony atau mandi ritual). Kegiatan ritual dilaksanakan biasanya bertujuan membersihkan diri dari roh-roh jahat dan niat-niat yang tidak baik.

Selain Lau Debuk-Debuk, sebenarnya tempat untuk melakukan upacara erpangir ku lau dilakukan oleh masyarakat Karo di banyak tempat, tetapi biasanya di sungai, yaitu airnya mengalir. Namun tempat upacara erpangir ku lau yang paling banyak dilakukan oleh masyarakat Karo adalah di Lau Debuk-Debuk. Biasanya guru, yaitu orang yang mempunyai keahlian untuk melakukan upacara ritual tersebut mengetahui tempat-tempat mana saja yang dapat dilakukan upacara tersebut, dan tergantung jenis upacara erpangir yang bagaimana yang hendak dilakukan. Sebagai contoh, jika upacara erpangir yang akan dilakukan untuk menyembuhkan satu penyakit yang diyakini sebagai perbuatan orang lain terhadap seseorang, maka biasanya tempat upacara erpangir yang dilakukan adalah di sebuah sungai yang disebut lau persirang-sirangen, yaitu sungai yang pada suatu tempat membentuk dua buah anak sungai. Kedua aliran sungai tersebut sebagai perlambang memisahkan penyakit dari manusianya.

Jika sungai yang sperti itu sukar ditemukan, maka biasanya di pengaturan air di sebuah irigasi mudah sekali kita menemukan pemisahan air seperti itu. Oleh sebab itu biasanya di tempat-tempat seperti itu juga sangat memungkinkan sekali untuk melakukan upacara erpangir ku lau tersebut. Namun unsur dasar erpangir itu sendiri harus ada, yaitu lau (sungai), pangir (air keramas ritual), guru (pembimbing atau pemimpin ritual), gendang (musik), si man pangiren (orang yang diupacarakan). Dan masalah tempat, meskipun Lau Debuk-Debuk dapat dianggap sebagai sebuah fenomena terkait dengan upacara erpangir ku lau, karena di tempat ini sering sekali ditemukan upacara tersebut, namun di tempat-tempat yang lain juga upacara ini kerap sekali dilaksanakan. Lau Debuk-Debuk sebagai salah satu tempat wisata, karena di daerah ini terdapat air panah (hot spring), maka kegiatan ini lebih terekspos ke masyarakat luas. Namun sebenarnya, di tempat-tempat lain juga amat banyak dilakukan upacar serupa.

Agama dan Kepercayaan
Pada saat sekarang ini masyarakat Karo telah menganut berbagai macam agama, seperti Kristen Protestan, Katholik, Islam, Hindu, dan sebagainya. Menurut data sensus penduduk tahun 1990, penduduk Kabupaten Karo yang berjumlah 257.981 jiwa, terdiri dari 126.848 memeluk agama Kristen Protestan, 42.830 jiwa memeluk agama Islam, 5853 memeluk agama Hindu, 5729 memeluk agama Budha, dan 5.030 memeluk agama lain.

Sebenarnya agama Islam pada sensus penduduk tahun 1983 hanya sekitar 19,03% saja, demikian juga dengan agama Kristen, meskipun agama tersebut telah dibawa oleh missionaries Belanda H. C. Kruyt dari Netherland Zendeling Genoschalf (NZG) dan pembantunya Nicolas Pontoh dari Tomohon, suilawesi Utara pada tahun 1890, namun sampai tahun 1965 orang Karo yang memeluk agama Kristen masihlah sangat sedikit. Data pada tahun 1950 jumlah orang Karo yang memeuk agama Kristen lebih kurang 5.000 jiwa saja. Namun setelah tahun 1965, angkanya relative cepat naik menjadi lebih kurang 25.000 jiwa.
Seiring dengan pertumbuhan penduduk maka keberagaman agama di Tanah Karo meningkat cukup pesat, namun demikian juga dengan kepercayaan pemena juga masih banyak ditemukan di desa-desa. Meskipun pada prinsipnya mereka telah menganut agam besar, namun kepercayaan-kepercayaan lama, yang disebut sebagai pemena masih dijalankan oleh penganutnya. Dan hal ini difahami sebagai adat. Menanggapi hal ini P. Tambun berpendapat, karena orang Karo sangat memegang teguh adat istiadatnya, dan banyak ajaran-ajaran agama yang bertentangan dengan adat. Oleh sebab itu ada semacam situasi yang ambigu dalam masyarakat antara memeluk agama dan mempertahankan adat [kebudayaan].

Masuknya agama Kristen, Islam dan sebagainya ke Tanah Karo membawa dampak bagi orang Karo. Namun di satu sisi masih banak juga pemeluk-pemeluk agama tersebut melakukan kepercayaan lama. Orang Karo tidak dapat dengan cepat melepaskan diri dari kepercayaan lamanya. Oleh sebab itu kegiatan-kegiatan ritual masih sering kita jumpai di perkampungan-perkampungan orang Karo. Hal ini tidak hanya di Kabupaten Karo saja, tetapi juga bagi orang Karo yang tinggal di Kabupaten lainnya, seperti di Deli Serdang, Langkat, Simalungun dan Dairi. Tahun-tahun 1980-an di perkapungan Karo, meskipun sudah berdiri gereja atau mesjid, namun dalam masyarakat masih sering kita lihat upacara-upacara ritual, misalnya erpangir ku lau, muncang atau ngeluncang, persilihi, dan sebagainya.
Kepercayaan dan Kosmologi
Kepercayaan lama orang Karo disebut dengan perbegu yang terdiri dari kata dasar begu yang berarti roh orang yang sudah meninggal. Namun kata begu tersebut sering juga diartikan sebagai hantu (kerajaan maut). Dalam Kamus Karo Indonesia (Ginting, 1995) begu diartikan sebagai bayangan orang mati, rohnya atau setannya, keadaan sesudah mati, akhirat, gelap. Kata awalan ‘per’ dalam kata begu tersebut menyatakan orang [seseorang] yang terkait dengan kata begu itu sendiri. Jadi perbegu dapat diartikan sebagai orang yang masih terkait dengan begu, atau yang mempercayai, menyembah begu. Inilah yang dianggap sebagai kepercayaan lama orang Karo dengan menyebut kebenaran, yaitu penguasa langit dan bumi dengan sebutan Dibata.

Kepercayaan perbegu pada masyarakat Karo sebenarnya tidak monoteisme, meskipun dikenal istilah Dibata. Jika dilihat dalam fungsi dan perannya, maka sebenarnya orang Karo menganut kepercayaan yang bersifat politeisme, yaitu Thei yang lebih dari satu. Sebenarnya sebelum kedatangan agama Kristen dan Islam masuk dalam kehidupan masyarakat Karo, peradapan masyarakat Karo telah mencapai tingkatan transendental yaitu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang menciptakan segala yang ada di bumi dan di alam jagat raya ini. Bukti adanya kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini adalah dilakukannya pemujaan di tempat-tempat tertentu seperti di bawah pohon kayu yang besar, pada batu-batu yang besar. Tingkat kebudayaan yang transdental ini ditandai dengan adanya tiga perwujudan Tuhan (Dibata), yaitu
Dibata Kaci-Kaci (Dibata Datas = Tuhan yang berkuasa di langit). Tuhan yang menguasai alam yang di atas;
Dibata Padukah Ni Aji (Dibata Tengah = Tuhan yang berkuasa di bumi). Tuhan yang menguasai alam bagian tengah yaitu Bumi;
Dibata Banua Koling (Dibata Teruh = Tuhan yang berkuasa di bawah bumi). Tuhan yang menguasai bawah tanah.

Tiga perwujudan Dibata (Tuhan) tersebut yang biasa disebut dengan tri-tunggal, merupakan pembagian kosmos secara vertikal, yaitu garis tegak lurus. Bagi orang Karo [khususnya para guru] penguasa-penguasa tersebut disebut juga dengan Dibata sinurihi buk mecur yang artinya Tuhan yang mampu menghitung rambut, atau sering juga disebut dengan Dibata si mada tinuang, yang artinya Tuhan maha pencipta, yang biasa dipakai untuk menyebutkan pencipta manusia selagi berada di rahim ibu.

Manusia yang mengembangkan kebudayaannya selalu berorientasi kepada alam lingkungan dimana mereka berada. Oleh sebab itu muncul berbagai hal tentang konsep-konsep dan orientasi manusia itu memaknai sesuatu terkait dengan alam dan lingkungannya. Orang Karo meyakini bahwa alam dan lingkungan ini selain sebagai tempat hunian manusia, juga sebagai tempat hunian bagi makhluk-makhluk lain yang hidup bebas tanpa terikat aturan-aturan yang dikembangkan manusia. Oleh sebab itu dibutuhkan aktivitas-aktivitas tertentu untuk menjaga keseimbangan alam, khususnya keseimbangan antara makhluk manusia dengan makhluk-makhluk lain tersebut.

Segala kegiatan yang berhubungan dengan roh-roh gaib dan upacara ritual, suatu kompleks penyembuhan, guna-guna dan ilmu gaib, merupakan sebagian aspek penting dalam kepercayaan tradisional Karo, yang pelaksanaannya terpusat pada Guru[8] yang akan dijelaskan kemudian. Suatu peranan yang mencakup luas dan mempunyain kaitan yang erat sekali dengan konsepsi tentang kosmos dari guru sebagai pelaksana utama, sebab mengingat bahwa titik sentral dan tujuan utama segala aktivitas peranan guru adalah untuk mencapai kembali ‘equilibrium’ atau keseimbangan. Baik itu keseimbangan di antara manusia itu sendir, maupun keseimbangan dengan lingkungannya, yaitu makro kosmos dalam arti yang lebih luas. Oleh sebab itu khusus dalam upacara-upacara ritual peran guru sangat dominant, karena guru dianggap memiliki pengetahuan yang cukup luas dan mendetail tentang berbagai hubungan dengan kehidupan dan kejadian.

Secara horizontal alam juga dikenal dengan sebutan desa si waluh, yaitu tempat-tempat berdasarkan pembagian ke dalam delapan pengelompokan dasar, yaitu arah mata angina. Desa si waluh tersebut adalah purba (timur), aguni (tenggara), daksina (selatan), nariti (barat daya), pustima (barat), mangabia (barat laut), butara (utara), dan irisen (timur laut). Delapan penjuru angina ini dapat lagi dibedakan atas dua pengolongan besar, yaitu dua sifat yang berbeda. Penggolongan ini adalah desa nggeluh dan desa mate. Desa nggeluh berarti arah hidup, yaitu untuk arah mata angin tmur, selatan, barat dan utara, sedangkan desa mate adalah selain arah mata angina yang dikategorikan desa nggeluh. Pengolongan kepada arah hidup dan arah mati ini didasarkan karena desa-desa timur, selatan, barat dan utara dikuasai oleh roh-roh penolong yang memberikan kebahagiaan kepada manusia. Sementara desa mate diyakini sebagai tempat makhluk-makhluk gaib yang dapat mencelakan manusia.
Pada masyarkat Karo ada beberapa peranan yang cukup penting dalam masyarakat, misalnya (1) pande, yaitu tukang yang bisa mengerjakan pekerjaan pertukangan, misalnya membuat rumah adat, perkakas atau peralatan pertanian, pisau dan sebagainya; (2) sierjabaten, yaitu pemusik tradisional dimana kehadirannya sangat dibutuhkan dalam upacara-upacara adat yang dilakiukan oleh masyarakat; (3) guru, yaitu tabib atau dapat juga disebut sebagai orang yang mempunyai keahlian di bidang pengobatan[10]. Guru ini juga mempunyai spesialisasi dengan bidang-bidang keahlian. Ketiga peranan ini bagi masyarakat Karo disebut sebagai ginemgem atau yang disayangi atau dilindungi. Hal ini menyangkut kahlian mereka yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat.

Berkaitan dengan guru, pada masyarakat Karo umumnya dianggap sebagai tabib ataupun sering juga diartikan sebagai dukun. Guru ini berperan besar dalam upacara-upacara ritual dan upacara-upacara tradisional yang diadakan oleh masyarakat. Tidak hanya dalam upacara, tetapi juga menentukan hari baik dan hari buruk. Oleh sebab itu ada juga guru yang khusus mengetahui hari-hari yang disebut dengan guru si meteh wari telu puluh. Artinya guru yang mengetahui apa yang baik dan boleh dilakukan dalam kurun waktu 30 hari Karo (lihat Lampiran tentang Hari-Hari Karo).
Pada masyarakat Karo ada beberapa macam kategori guru, yaitu :
(1) guru mbelin, yaitu guru (dukun) yang mampu mengobati berbagai macam penyakit dalam tubuh manusia, baik penyakit yang datangnya dari ulah manusia ataupun penyakit yang datangnya akibat guna-guna. Seorang guru mbelin biasanya sakti dan sangat disegani oleh masyarakat. Dan pada masyarakat Karo guru inilah yang dianggap paling banyak tahu tentang pengobatan penyakit dan kosmologi. Guru ini memiliki berbagai macam keahlian sekaligus dari beberapa jenis guru yang ada pada masyarakat;
(2) guru penawar, yaitu guru yang dapat mengobati berbagai penyakit dengan membuat obat-obatan dari bahan ramuan tumbuh-tumbuhan, akar-akaran, biji-bijian, minyak dan sebagainya;
(3) guru pengarkari, yaitu guru yang dapat membuat benteng atau perlindungan dari roh-roh atay makhluk-makhluk halus yang ingin mengganggu manusia atau dari teluh yang dibuat oleh orang lain. Benteng atau perlindungan tersebut terdiri dari berbagai macam bentuk, dan bahan. Misalnya jimat dari batu, kain, tumbuhan dan sebagainya;
(4) guru ngulakken, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengobati penyakit yang datangnya dari teluh. Guru ini tidak hanya bisa mengobati penyakit tersebut, tetapi apabila diminta oleh orang yang sedang diobati agar penyakit tersebut ulakken (kembalikan), maka dia juga mampu mengembalikan penyakit tersebut kepada yang mengirimnya, sehingga penyakit tersebut akhirnya menghantam pemiliknya sendiri;
(5) guru persilihi, yaitu guru yang mampu mengobati orang yang sakit dikarenakan birawan, yaitu orang yang sakit karena terkejut, dan diyakini oleh masyarakat karena disapa oleh makhluk halus. Oleh sebab itu agar tidak diganggu oleh makhluk halus tersebut makan diberikan benda-benda sebagai pengganti manusia yang sakit tersebut kepada roh yang menyapanya tersebut. Persilihi artinya memberikan ganti. Dalam upacara persilihi sebagai ganti selain beberapa jenis makanan seperti buah pisang emas, serta beberapa jenis makanan yang disebut dengan cimpa yang diletakkan di sebuah persimpangan yang diyakini sering dilalui oleh makhluk halus tersebut, juga biasanya pohon pisang beserta bonggolnya diukir seperti tubuh manusia, yang disebut dengan gana-gana. Pohon pisang tersebut dengan makanan tersebut diletakkan di persimpangan jalan. Dan benda-benda tersebutlah yang diberikan sebagai pengganti manusia yang diganggu oleh roh atau mahkluk halus tersebut. Namun dalam upacara yang lebih kecil biasanya diberikan cukup manuk sabur bintang (ayam) saja sebagai kahul. Ini biasa digunakan dalam upacara ndilo tendi, yaitu memanggil roh seseorang yang ditahan oleh mahkluk halus di tempat-tempat teertentu. Upacaranya dipimpin oleh guru persilihi ini;
(6) guru siniktik wari, atau disebut juga guru si meteh wari telu puluh, adalah guru yang mempunyai keahlian tentang hari-hari yang baik dan tidak baik. Hari-hari baik dan tidak baik ini menyangkut kepada apa yang baik dilakukan pada hari-hari tertentu dan apa yang tidak baik dilakukan pada hari-hari tertentu. Biasanya untuk melakukan upacara maka terlebih dahulu ditanyakan kepada guru ini kapan sebuah upacara baik diadakan;
(7) guru perdewal-dewal, yaitu guru yang biasa dipakai untuk upacara perumah begu, yaitu upacara untuk memanggil roh orang yang sudah meninggal dunia. Dalam kepercayaan orang Karo, roh orang yang sudah meninggal dapat dipanggil kembali melalui medium sang guru tersebut. Manusia masih dapat melakukan komunikasi dan saling tukar informasi tentang kehidupan orang yang meninggal tersebut. Upacara ini juga biasa dipakai untuk mendamaikan sebuah keluarga yang dilanda konflik. Karena pihak keluarga tidak dapat lagi mendamaikan konflik yang ada maka biasanya dilakukan upacara perumah begu. Maka dipanggil roh orang tua mereka yang yang sudah meninggal dan memberikan nasehat kembali kepada anak-anaknya agar hidup tentram, damai dan jangan bertengkar;
(8) guru si ngoge gerek-gereken, yaitu guru yang mampu meramalkan sipat seseorang, membaca firasat atau apa yang akan terjadi dengan melihat telur ayam atau manuk sangkep, yaitu ayam yang sudah dimasak dicampur dengan kelapa parut. Hal ini biasanya dilakukan pada upacara mukul dalam perkawinan, yaitu ketika pengantin makan daging ayam bersama dan disaksikan oleh sanak famili;
(9) guru si dua lapis pengenen matana, yaitu guru yang mampu melihat mahkluk-makhluk halus;
(10) guru ngeluncang, yaitu guru yang mempunyai keahlian untuk mengusir roh-roh jahat yang sudah sangat mengganggu di sebuah kampung. Hal ini ditandai dengan terlalu sering ada orang yang meninggal di sebuah kampung, penyakit meraja lela, penduduk ketakutan, dan dianggap di kampung tersebut ada roh-roh jahat yang mengganggu. Biasanya dalam upacara ini sang guru akan berlari-lari kesana kemari berperang melawan roh-roh jahat tersebut. Sekali-sekali dia memanjat pohon kelapa dengan cepatnya, demikian juga dia turun dari pohon dengan cepat, sampai pada akhirnya kampung tersebut dinyatakan bebas dari gangguan roh-roh jahat;
(11) guru perjinujung, yaitu guru yang mempunyai roh yang menyertai dirinya, biasanya roh kerabatnya yang sudah meninggal dunia, atau roh di sebuah tempat tertentu yang ingin bersamanya. Secara harafiah jinunjung adalah yang dijunjung, yaitu roh yang menyertai dirinya dan menjadi bagian dari diri seseorang melalui proses penabalan (penntahbisan) oleh guru juga. Orang yang dapat mempunyai jinujung biasanya dikarenakan (a) turun-temurun dari nenek moyangnya, (b) berdasarkan ngguru atau belajar dari pustaka najati atau lak-lak kayu, yaitu tulisan kuno yang terdapat dalam kulit kayu, (c) berdasarkan mimpi, (d) sengget (terkejut), dan (e) begu jabu, yaitu ada roh anggota keluarga yang ingin masuk kepada salah satu saudaranya yang masih hidup. Roh ini biasanya roh orang yang mate sada wari atau mati kontan (satu hari), misalnya karena kecelakaan, bunuh diri dan sebagainya;
(12) guru nendong (tendung), yaitu seseorang yang mempunyai keahlian mengetahui sesuatu, misalnya mengetahui dimana seseorang yang hilang berada dan sebagainya;
(13) guru penggel, yaitu guru yang dapat mengobati orang yang patah tulang;
(14) guru peraji-aji, yaitu guru yang dapat membuat orang lain menjadi sakit;
(15) guru si baso, yaitu guru yang dapat melakukan komunikasi dengan roh-roh atau makhluk halus;
(16) guru purkasih atau percoles-coles, yaitu guru yang dapat menaklukkan seseorang dengan cara-cara tertentu. Misalnya orang akan menjadi sangat kasihan sekali meskipun sebelumnya sangat marah, atau menjadi sangat suka kepada seseorang meskipun tidak ada perasaan cinta sama sekali sebelumnya;
(17) guru kebal, yaitu guru yang mempunyai keahlian tahan daging, misalnya membuat seseorang tidak mempan dibacok dengan benda-benda tajam.
Konsepsi Setelah Kematian
Untuk memahami konsepsi orang Karo tentang kematian maka ada sebuah perkataan yang biasa disebutkan dalam orang mati, yaitu: buk jadi ijuk, dareh jadi lau, kesah jadi angin, daging jadi taneh, tulan jadi batu, tendi jadi begu, yang artinya rambut menjadi ijuk, darah jadi air, napas jadi angin, daging jadi tanah, tulang jadi batu, dan roh menjadi hantu (begu)[12]. Konsepsi ini menyiratkan bahwa tubuh manusia itu setelah mati akan berubah wujud menjadi materi-materi yang ada dalam lingkungan keseharian yang semuanya tergolong benda mati, kecuali tendi jadi begu, yaitu roh jadi hantu. Sebenarnya konsep begu dengan hantu jika ditilik dari beberapa jenis begu yang ada, maka sebenarnya terdapat perbedaan-perbedaan, bentuk, sifat, dan sebagainya. Namun kenyataannya roh orang yang meninggal juga disebut dengan begu.
Dari sifat, proses ukuran dan bentuknya, maka pada masyarakat Karo dikenal berbagai macam begu, yaitu:
(1) begu ganjang
Begu Ganjang begu yang paling tinggi, makhluk berbulu dan berwarna hitam. Begu ini dipercaya sebagai begu suruh-suruhen (yang dapat disuruh) dan pemiliknya adalah manusia. Begu ini dapat disuruh mencelakan orang, membunuh orang dengan mencekik lehernya. Begu ini biasanya apabila ditelantarkan oleh yang empunya, maka dia akan menyakiti atau mebunuh yang empunya itu sendiri;
(2) begu jabu
Begu jabu adalah adalah roh orang yang meninggal dunia yang menjadi pelindung bagi seseorang atau sebuah keluarga. Yang menjadi begu jabu biasanya adalah orang yang meninggal mendadak atau meninggal kontan, misalnya karena kecelakaan, dibunuh dan sebagainya. Begu ini dipercaya sebagai begu yang baik dan melindungi. Roh orang yang meninggal dunia ini biasanya dating dan ingin bersama dengan anggota kerabatnya yang masih hidup. Proses penyatuan roh ini dengan kerabatnya yang masih hidup dilakukan dengan upacara juga yang disebut dengan ngampeken jinujung atau begu jabu yang dipimpin oleh seorang guru.
(3) mandilam
Mandilam, adalah juga begu ganjang, tetapi mandilam diyakini sebagai begu ganjang yang berkelamin perempuan.
(4) begu butara guru
Begu Butara Guru juga merupakan begu yang baik. Begu ini berasal dari roh seseorang yang meninggal ketika usianya masih sangat muda, langa ripen (belum tumbuh giginya). Begu ini juga menjadi pelindung bagi sebuah keluarga.
(5) begu menggep
Sesuai dengan namanya, begu ini adalah begu yang suka bersembunyi dan menakut-nakuti orang yang lewat di suatu tempat. Begu ini suka dating di tempat-tempat dimana manusia sering beraktivitas dan menganggu;
(6) begu naga lumayang
Adalah begu yang tinggal di tempat-tempat tertentu, misalnya di sungai, tempat pemandian umum dan sebagainya;
(7) begu sidang bela
Begu sidang bela adalah roh seseorang yang meninggal dunia karena melahirkan. Begu ini biasa ditakuti karena biasanya sering datang ke kampong. Bagi orang Karo roh orang yang mati satu hari biasa menganggap dirinya belum meninggal;
(8) begu gendek
Begu gendek adalah begu yang bentuk tubuhnya pendek.
(9) Puntianak
Puntianak adalah juga begu perempuan, dimana diyakini mempunyai lobang seukuran paku di lehernya. Jika seorang lelaki bertemu dengan begu ini dan memasukkan paku ke dalam lobang yang terdapat di lehernya, maka begu tersebut dapat menjadi manusia dan dapat dijadikan sebagai istri yang cantik.
(10) begu mentas
Begu mentas adalah begu yang suka lewat pada siang hari. Orang Karo biasanya melarang anak-anaknya mandi pada siang hari ke pemandian umum, biasanya di sungai atau di pancuran. Hal ini dkarenakan jam-jam linge seperti itu diyakini begu berada di tempat tersebut.
(11) Umang
Umang adalah diyakini sebagai mahkluk halus yang suka membawa seseorang atau menyembunyikan seseorang. Bentuknya persis sama dengan manusia, tetapi telapak kakinya terbalik. Biasanya manusia yang disembunyikan oleh umang jika dilepas akan diberi ilmu atau dapat menjadi kaya raya.
(12) dan lain-lain.
Roh orang yang sudah meninggal atau begu ini diyakini sebagai begu yang baik dan begu yang jahat. Ada yang dapat menyakiti manusia dan ada juga yang dapat sebagai pelindung bagi manusia yang memeliharanya. Begu ini juga masih dapat berkomunikasi dengan manusia melalui perantaraan guru atau kadang-kadang lewat orang-orang tertentu yang kesurupan. Demikian dalam upacara erpangir ku lau, kegiatan ini erat kaitannya dengan roh-roh tersebut, yaitu dengan berbagai macam latar belakang, sehingga manusia ingin melakukan upacara ritual dengan tujuan-tujuan tertentu yang terkait dengan berbagai macam konsep kosmologi dan kepercayaan.
Erpangir Ku Lau
1. Latar Belakang Upacara
Erpangir ku lau dilakukan dikarenakan oleh beberapa hal, misalnya :
(1) Buang sial, yaitu untuk membuang hal-hal yang dianggap membawa dampak tidak baik dalam diri seseorang. Untuk membuang hakl-hal yang dianggap sebagai ‘sial’ tersebut maka harus dibersihkan dengan upacara;
(2) Meminta kesembuhan penyakit, seseorang yang dihinggapi satu penyakit diyakini sebagai penyakit yang dibuat oleh manusia lain lewat perantaraan makhluk-makhluk halus, atau bias jadi karena makhlus halus itu sendiri (begu). Untuk penyembuhan salah satu cara pengobatan adalah dengan melakukan ritual erpangir ku lau;
(3) Menabalkan seseorang menjadi guru. Proses menjadi seorang guru juga harus melalui proses erpangir. Oleh sebab itu seseorang menjadi guru harus ditabalkan atau ditahbiskan dengan cara ipangiri oleh seorang guru juga.
(4) Permintaan begu singarak-ngarak seseorang. Seseorang yang mempunyai begu jabu biasa akan diurasi atau dibersihkan dari hal-hal yang tidak baik, caranya adalah dengan erpangir.
(5) Pembersihkan diri dari yang kotor
(6) Perkawinan, dalam upacara perkawinan sebelum perkawinan dilangsungkan biasa juga didahului dengan upacara erpangir ku lau. Hal ini untuk meminta persentabin atau ijin kepada semua makhluk-makhluk agar perkawinan tersebut dapat berlangsung dengan baik, sekaligus membersihkan diri dari hal-hal yang kotor.
(7) Menabalkan nama atau memberikan nama kepada seseorang
(8) Rutin silengguri, adalah berkeramas ke sungai dikarenakan mempunyai jinujung (begu jabu) sebagai salah satu modal kekuatan bagi diri seseorang.
(9) dll.
Biasanya pihak keluarga yang inin melakukan erpangir ku lau adalah karena ada pirasat (gerek) dari seseorang bahwa ada yang tidak beres dalam tubuhnya.
2. Jenis Upacara
Upacara erpangir ku lau dapat dibedakan tiga jenis berdasarkan besar kecilnya upacara tersebut dilakukan. Besar kecilnya jenis upacara ini terkait dengan jumlah peserta upacara atau kerabat yang terlibat dalam upacara tersebut dan jenis hewan yang disembelih. Disamping itu juga berpengaruh kepada tempat pelaksanaan upacara. Meskipun sebenarnya kategori ini tidak sepenuhnya dipakai khusus untuk upacara erpangir ku lau, tetapi biasa kegiatan erpangir ku lau merupakan suatu runtutan dari upacara utama, misalnya kegiatan erpangir ku lau diadakan karena akan dilaksanakan upacara perkawinan, dan sebagainya. Jadi sebenarnya pengelompokan jenis yang dimaksud adalah pengelompokan berdasarkan upacara perkawinan tersebut. Namun khusus untuk upacara erpangir ku lau bisa saja dilakukan dalam bentuk besar sampai bentuk yang paling kecil, yaitu ritual erpangir yang dilakukan oleh pribadi-pribadi. Adapun jenis upacara tersebut adalah:
(1) Kerja Sintua
Kerja (Pesta) sintua merupakan pesta yang paling besar yang ada pada masyarakat Karo. Pada pesta ini harus melibatkan seluruh sangkep nggeluh, yaitu orang-orang yang masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan yang empunya hajatan serta seluruh anak kampung dimana pesta tersebut dilaksanakan. Pada upacara ini biasanya hewan yang disembelih adalah sapi (lembu).
Dalam kerja sintua ini seluruh kerabat yang dikenal dengan sangkep nggeluh, yang terdiri dari tiga unsur yaitu kalimbubu (pihak pemberi wanita), senina (saudara-saudara yang melakukan hajatan), dan anak beru (pihak penerima wanita). Masing-masing pihak dalam tiga status sosial tersebut mempunyai peranan masing-masing serta bagaimana mereka berlaku dalam upacara tersebut. Misalnya anak beru biasanya mempersiapkan segala sesuatunya seperti memasak makanan untuk seluruh peserta upacara tersebut,  dan mengatur segala sesuatunya untuk keberhasilan upacara pihak kalimbubunya. Demikian juga dengan pihak senina dan kalimbubu mempunyai fungsi dan peranan masing-masing.
Meskipun pelaksanaan upacara adat yang terkait dengan erpangir ku lau dilangsungkan di Jambur, namun upacara erpangirnya sendiri tetap diadakan di sungai. Dalam kegiatan ini biasanya tidak hanya menggunakan alat musik yang relatif kecil, yaitu gendang telu sedalanen saja, tetapi juga menggunakan gendang yang lebih besar yang disebut dengan gendang lima sedalanen. Dalam upacara ini juga diadakan landek (menari) sesuai dengan peranannya masing-masing dalam upacara tersebut.
(2) Kerja Sintengah
Kerja sintengah adalah sebutan untuk pesta atau upacara yang sifatnya menengah. Upacara ini merupakan satu tingkat dibawah upacara yang termasuk dalam kategori kerja sintua. Pada upacara jenis ini meskipun juga melibatkan unsur-unsur sangkep nggeluh kerabat, namun tidak selengkap anggota kerabat yang terlibat dalam upacara kerja sintua. Dalam kerja sintua hampir melibatkan seluruh kerabat yang jauh dan dekat, serta penduduk kampung. Namun dalam kerja sintengah unsur-unsur kerabat yang diundang pada umumnya kerabat yang harus memang terlibat dalam kegiatan adat dalam sebuah keluarga tertentu. Oleh sebab itu upacara ini dinamakan kerja sintengah atau pesta/upacara tingkat menengah dalam ukuran adat Karo.

Hewan yang disembelih dalam upacara ini biasanya masih hewan yang berkaki empat, yaitu babi.
(3) Kerja Singuda
Kerja singuda adalah jenis upacara yang lebih kecil lagi dari kerja sintengah. Upoacara ini biasanya cukup dihadiri oleh sangkep nggeluh dari unsur-unsur anggota keluarga yang paling dekat saja, dimana peranan masing-masing individu tersebut dangat penting dalam proses adat yang berlaku bagi masyarakat Karo. Unsur-unsur telu sedalanen seperti kalimbubu, anak beru dan senina, tidak semuanya terlibat. Tetapi menjadi sebuah keharusan dalam setiap upacara adat yang ada ke tiga unsur tersebut memang mutlak harus ada.

Selain ketiga jenis upacara tersebut sebenarnya masih ada dikenal beberapa jenis upacara yang lain yang relatif lebih kecil. Namun istilah tersebut kurang popular dan kurang dikenal dalam upacara erpangir ku lau. Jenis-jenis uipacara tersebut dikenal dalam upacara perkawinan, misalnya jenis upacara jumpa gebuk, yang artinya upacara yang sangat sederhana sekali. Jumpa gebuk berarti ketemu asap, yang melambangkan ketemu sirih dan rokok, karena upacara orang Karo identik dengan belo (sirih) dan rokok. Sirih dan rokok merupakan sarana bagi orang Karo untuk memulai pembicaraan atau disebut dengan ranan adat. Dalam upacara yang peling kecil ini, demikian juga untuk upacara kerja singuda, biasanya hewan yang disembelih cukup hanya binatang yang berkaki dua saja, yaitu ayam.
Selain jenis-jenis upacara tersebut dilakukan dengan melibatkan anggota masyarakat, dalam masyarakat Karo juga biasa juga dikenal erpangir secara pribadi-pribadi. Erpangir jenis ini biasanya karena seseorang mempunyai keahlian khusus dalam berbagai bidang, misalnya sebagai sierjabaten (pemusik tradisional), lit pemetehna (ahli dalam bidang pengobatan, meramal, dan sebagainya). Jenis erpangir seperti ini tidak melibatkan unsur orang banyak, tetapi tergantung kepada hubungan individu-individu dengan roh yang menyatu dengan dirinya. Biasanya ditandai dengan gerek atau pertanda, bahwa roh yang melekat dalam diri seseorang memintanya untuk melakukan mandi ritual tersebut. Lokasi dan tempatnya biasanya sudah dipahami oleh masing-masing individu yang mempunyai kecakapan khusus tentang itu. Hal seperti ini biasanya disampaikan juga lewat nipi (mimpi).
Orang yang erpangir seperti ini biasa juga mandi ketika wari belah purnama raya, yaitu pada hari-hari ketika bulan purnama. Waktunya biasa dilakukan pada malam hari dan sendirian di sebuah sungai atau di tempat pemandian umum pada malam hari. Hal ini untuk menghindari proses erpangir tersebut agar tidak diganggu oleh orang lain.

Upacara-upacara jenis ini juga tidak terlalu membutuhkan perangkat perlengl\kapan upacara yang rumit dan banyak, karena biasanya jenis erpangir seperti ini lebih membina hubungan individu yang mempunyai keahlian tertentu tersebut dengan roh yang ada bersamanya sebagai pembimbing atau sebagai penjaga. Biasanya dilakukan erpangir dan ‘berdoa’ secara pribadi. Perlengkapan yang dibutuhkan adalah pangir berupa jeruk nipis, air dan minyak wangi. Erpangir jenis ini maknanya membersihkan diri dari hal-hal yang kotor yang dianggap tidak berkenan bagi roh pengikutnya yang dilakukan oleh individu tersebut selama ini. Jika tidak dilakukan pembersihan atau erpangir, maka diyakini roh-roh tersebut akan semakin jauh dan meninggalkan individu tersebut. Oleh sebab itu selalu perlu dilakukan upacara erpangir demikian agar roh tersebut dapat tetap hadir dalam dirinya.
3. Perlengkapan Upacara
Perlengkapan yang dibutuhkan untuk melakukan upacara ku lau adalah :

(1) lau (sungai)
Untuk melakukan upacara erpangir ku lau mutlak membutuhkan lau (sungai), karena bagi orang Karo pelaksanaan upacara ini harus di air yang mengalir. Air mengalir ini juga mempunyai makna membawa hal-hal yang tidak baik dalam tubuh seseorang. Sungai ini sendiri berbagai macam bentuknya, ada di sungai yang mengalir tunggal, ada di sungai yang membentuk beberapa anak sungai, dan ada juga yang dilakukan di sungai yang sudah dibangun menjadi tempat khusus sebagai tempat erpangir. Jenis sungai ini juga berdasarkan jenis erpangir yang akan dilakukan.

(2) pangir (air keramas ritual)
Bahan utama pangir ini biasanya adalah rimo mukur (jeruk purut) dan lau (air), dan bahan-bahan dedaunan khusus yang diambil dari hutan, serta minyak wangi. Minyak wangi yang digunakan biasanya adalah minyak wangi cap air mata duyung. Banyaknya air pangir ini tergantung berapa banyak yang hendak ipangiri atau yang mau dikeramasi secara ritual. Biasanya pangir ini ditaruh dalam mangkuk mbentar atau mangkok putih yang terbuat dari bahan porselen dengan ukurannya relative kecil saja. Kira-kira seukuran dengan mangkok bakso. Namun apabila yang hendak erpangir berjumlah banyak, maka jumlah jeruk purut dan air yang dibutuhkan juga cukup banyak, maka tempat pangir ini juga biasa ditaruh dalam ember atau sembong (sejenis tong).

(3) guru (pembimbing atau pemimpin ritual)
Dalam upacara ritual erpangir dalam ketegori jenis upacara yang besar sampaii kecil (kerja sintua, kerja sintengah dan kerja singuda) peran guru sangat penting hadir dalam upacara tersebut sebagai mediator sekaligus pembimbing jalannya upacara erpangir tersebut. Guru atau kadang juga disebut orang sebagai dukun atau tabib adalah orang yang mempunyai keahlian khusus untuk melakukan berbagai macam upacara ritual. Guru inilah yang kemudian berperan sebagai juru pangir atau yang memandikan atau mengkeramasi individu-individu yang terlibat dalam upacara tersebut. Guru diyakini dapat mengobati, menghilangkan hal-hal yang tidak berkenan (kotor), penyakit yang ada pada manusia, atau juga menabalkan seseorang menjadi guru juga. Guru seperti telah dijelaskan berbagai macam keahliannya, maka guru dalam upacara ini bias mempunyai beberapa keahlian sekaligus. Seorang guru sibaso, bias saja sekaligus mempunyai keahlian sebagai guru perdiwel-diwel dan sebagainya.

Dalam erpangir yang relative kecil, misalnya yang hanya dilakukan individu-individu saja, misalnya acara erpangir untuk membersihkan tubuh karena ada roh-roh tertentu yang berdiam dalam dirinya sebagai pelindung, misalnya begu jabu, maka kehadiran guru dalam acara erpangir tidaklah terlalu penting. Acara erpangir cukup dilakukan sendiri saja, karena dia sendiri telah mengerti apa permintaan roh-roh atau spirit yang ada dalam tubuhnya itu. Hal ini juga karena sebelumnya juga dia sudah melalui proses ipangiri oleh guru, sehingga dia juga dapat melakukan erpangir bagi dirinya sendiri.

(4) Gendang Karo (musik)
Gendang Karo yang dimaksud disini adalah perangkat ensambel[14] musik yang dibutuhkan sebagai musik pengiring dalam pelaksanaan upacara tersebut. Orang Karo selalu menyebut yang terkait dengan musik dengan kata gendang. Oleh sebab itu pada masyarakat Karo kata gendang tersebut mempunyai makna jamak. Setidaknya ada lima pengertian gendang tersebut sesuai dengan konteksnya, yaitu: (1) gendang sebagai nama lagu: (2) gendang sebagai ensambel musik; (3) gendang sebagai instrument musik; (4) gendang sebagai repertoar; dan (5) gendang sebagai upacara. Gendang yang dimaksud dalam upacara erpangir ku lau adalah gendang sebagai ensambel musik. Ensambel musik yang digunakan dalam erpangir ku lau adalah gendang telu sedalanen, yaitu sering juga disebut dengan gendang kulcapi. Ensambel musik ini dimainkan oleh tiga orang pemain yang diberi gelar si erjabaten. Ensambel ini terdiri dari tiga buah instrument musik, yaitu (1) kulcapi (long neck lute) sebagai pembawa melodi, yaitu gitar tradisional Karo dengan senar dua buah dengan interval kwint; (2) keteng-keteng (idiokordofon: tube-zhyter), yaitu alat musik bersenar yang dipukul. Alat musik ini terbuat dari satu ruas bamboo betung, dan dari badan bamboo itu sendiri dibuat senar dua buah sebagai pengganti suara penganak (small gong) dan gung (gong); (3) mangkuk mbentar, yaitu mangkok putih yang dipukul sebagai pembawa tempo utama.

Disamping ensambel musik gendang telu sedalanen tersebut, sering juga digunakan gendang blobat. Prinsipnya sebenarnya sama saja dengan gendang kulcapi, hanya saja instrument sebagai pembawa melodi dalam ensambel ini adalah alat musik tiup berbentuk recorder yang disebut dengan balobat (end blown flute). Ensambel musik tersebutlah yang biasanya digunakan sebagai pengiring upacara erpangir ku lau.

(5) si man pangiren (orang yang diupacarakan).
Siman pangiren adalah orang yang hendak dikeramasi. Orang yang hendak dikeramasi ini adalah individu-individu atau kelompok-kelompok masyarakat yang ingin melakukan upcara ritual karena berbagai latar belakang. Namun tujuannya adalah pembersihan dari hal-hal yang kotor atau yang tidak diinginkan, supaya mendapat kemalemen ate.

(6) Belo cawir
Belo cawir adalah sebutan untuk sirih yang sempurna, dalam arti daun sirih yang paling bagus. Sirih yang disebut cawir adalah tidak mempunyai robekan di daunnya, tidak berwarna bintik-bintik hitam, tidak daun sirih muda, tetapi cukup ‘tua’. Sirih yang bagus juga, serat sisi belakang daunnya biasanya berwarna ke merah-merahan, apabila warnanya hijau, maka itu tidak dikategorikan sebagai sirih, tetapi disebut gatap. Selain itu daun sirih ini juga dilengkapi dengan perlengkapan lainnya yang merupakan satu kesatuan, yaitu mbako tabeh (tembakau), mayang (pinang yang sudah dibelah), kapur dan gamber (gambir). Kadang-kadang juga dibutuhkan rokok, rokok ini biasa sebagai persembahan kepada roh-roh yang diyakini dating di tempat upacara. Biasanya rokok tersebut dihisap oleh sang medium atau guru. Dan ini pertanda bahwa roh tersebut telah datang di tempat upacara. Sirih dan rokok seperti inilah yang dibutuhkan sebagai salah satu perlengkapan upacara erpangir ku lau. Orang yang mau dipangiri atau anggota kerabatnya juga biasanya memberikan belo cawir tersebut kepada sang guru untuk meminta tolong agar dibantu dan melaksanakan upacara erpangir tersebut.

(7) Cimpa
Cimpa adalah kue tradisional khas karo yang terbuat dari tepung ketan di campur dengan gula. Cimpa ini biasa sebagai makanan, namun juga dapat dijadikan sebagai persembahan kepada roh-roh tertentu.
4. Waktu dan Tempat Upacara
Untuk melakukan upacara erpangir ku lau, terlebih dahulu harus dirembukkan dengan guru si meteh wari telu puluh, yaitu dukun yang mengetahui hari yang baik dan buruk, yang mengetehaui kapan pelaksanaan upacara tersebut yang paling baik dilaksanakan sehingga hasilnya juga diharapkan baik. Pada masyarakat Karo hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir dapat dilihat berdasarkan sistem penanggalan orang Karo sendiri (lihat lampiran). Tidak semua hari dapat dijadikan sebagai hari untuk melakukan upacara erpangir. Namun ada hari-hari tertentu yang diyakini sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir (berkeramas). Masyarakat Karo mempunyai sistem penanggalan sendiri yang disebut wari-wari Karo. Dalam Sistem penanggalan ini satu tahun dibagi menjadi dua belas bulan, satu bulan (paka) dibagi tiga puluh hari, satu hari dikelompokkan lagi menjadi bagian-bagian terkecil lagi yang tidak hanya mengenal malam, pagi, siang, sore dan malam, namun lebih rinci dari jam per jam. Berdasarkan hari-hari yang ada, maka yang baik untuk melakukan upacara erpangir adalah :
(1) nggara si mbelin
(2) aditia turun
(3) beras pati tangkep
(4) cukera dudu (lau)
(5) belah purnama raya
(6) nggara enggo tula
(7) aditia turun
Ketujuh hari tersebutlah merupakan hari yang baik menurut kepercayaan sidekah sebagai hari yang baik untuk melakukan upacara erpangir ku lau.

Tempat upacara erpangir ku lau tergantung kepada jenis upacara itu sendiri. Jika upacara ini merupakan upacara kerja sintua, maka kegiatan erpangir sendiri biasanya dilaksanakan di sebuah sungai atau di sebuah tempat di luar kampung yang telah ditentukan, tetapi upacara selanjutnua biasanya diadakan di jambur (balai pertemuan) atau loosd yang berada di pemukiman penduduk.

Biasanya di setiap kampung atau desa di Tanah Karo mempunyai loosd atau jambur sebagai tempat pelaksanaan upacara adat. Jarang sekali upacara adat diadakan di rumah-rumah pribadi, tetapi ada kecenderungan diadakan di jambur atau gedung pertemuan.

4. Peserta Upacara
Yang dimaksud peserta dalam kegiatan ini adalah orang-orang yang terlibat dalam upacara erpangir ku lau tersebut. Yang menjadi peserta tentunya adalah tergantung kepada jenis upacara yang dilakukan, besar kecilnya. Ini berdampak kepada siapa-siapa saja yang akan terlibat di dalamnya selain orang yang akan dipangiri. Jika upacara erpangir ku lau upacara kerja sintua maka seluruh kerabat dan orang-orang kampong biasanya akan ikut terlibat dalam kegiatan tersebut. Namun jika erpangir ku lau dalam skala yang relative kecil, misalnya kerja singuda maka biasanya yang terlibat hanya kerabat-kerabat dekat saja. Demikian juga jika erpangir dilakukan oleh individu-individu karena mempunyai silengguri, yaitu jinujung yang hubungannya lebih bersifat pribadi, maka pesertanya cukup individu yang mempunyai jinujung itu sendiri. Dan pelaksanaannya juga cukup singkat saja, bahkan lebih rahasia, dan tidak diketahui oleh masyarakat luas. Pelaksanaannya pun biasanya malam hari pada saat bulan purnama dan sebagainya.
6. Upah Guru
Dulu upah bagi guru yang memimpin upacara erpangir ini diberikan dalam bentuk barang, yaitu ayam kampung dan garam. Namun sekarang terjadi perubahan pengupahan dalam arti penghargaan yang diberikan kepada guru sebagai pemimpin, mediator, dalam pelaksanaan upacara tersebut. Pengupahan yang diberikan saat ini mengalami perubahan yaitu dalamn bentuk uang.
Erpangir Ku Lau dan Perubahan Sosial
Sejak masuknya agama Kristen ke Tanah Karo, yang dimulai pada 18 April 1890 oleh Misionaris NZG dari Belanda, yaitu Pdt. H. C. Kruyth dan pembantunya Nicolas Pontoh dari Tomohon, Sulawesi, maka lambat-laun orang Karo banyak yang memeluk agama Kristen. Upacara-upacara ritual tersebut lambat laun dilarang oleh pihak gereja, karena hal tersebut tidak sesuai dengan dogma atau ajaran Kristen. Meskipun demikian, upacara tersebut masih dapat terus bertahan hingga saat ini meskipun yang melaksanakan relative kecil.

Erpangir ku lau di Lau Debuk-Debuk misalnya sampai saat ini masih kerap kita temukan dilakukan. Yang melakukan upacara tersebut tidak hanya berasal dari desa-desa di sekitar tempat tersebut, tetapi juga dari desa-desa yang relative cukup ‘jauh’. Tidak hanya berasal dari orang-orang Karo yang tinggal di dataran tinggi Karo, tetapi juga dilakukan oleh orang-orang Karo yang tinggal di daerah dataran rendah seperti dari Medan, Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Saya tidak tahu apakah Lau Debuk-Debuk tersebut dapat dikatakan sebagai pusat kegiatan ritual upacara erpangir ku lau. Namun tahun 90-an, beberapa puluh guru Karo pernah melakukan upacara ritual besar di tempat ini.

Perkembangan teknologi juga membuat perubahan tidak hanya berpengaruh dalam pola pikir manusianya, tetapi dalam upacara erpangir ku lau juga berpengaruh dalam tindakan ekonomis dan manipulatif. Hal ini khususnya terjadi dalam ensambel musik pengiring. Jika sebuah upacara erpangir ku lau membutuhkan kehadiran pemain musik sebagai pengiring upacara, maka ada kalanya erpangir ku lau cukup hanya memutar kaset atau cd rekaman saja, dimana musik-musik yang dimainkan di kaset tersebut dapat dipilih sesuai dengan repertoar-repertoar yang biasanya dipakai dalam upacara erpangir ku lau. Hal ini tentunya lebih mengirit biaya pelaksanaan upacara. Faktor-faktor lain yang mendorong hal ini terjadi, adalah juga disebabkan karena minimnya pemusik tradisional Karo. Menurut data dari sebuah majalah local di Karo menyebutkan jumlah seniman tradisional Karo pada tahun 2005 tidak lebih dari 100 orang. Pengunaan rekaman tersebut sebenarnya memang tidak hanya semata-mata karena alas an ekonomis, tetapi juga karena tidak banyak lagi orang Karo yang berprofesi sebagai sierjabaten.

Fenomena lain lagi, penggunaan alat musik modern seperti organ tunggal juga sangat berpengaruh dalam upacara ini, khususnya setelah alat musik kibot (kibor, organ tunggal) masuk dalam pertunjukan kesenian Karo pada tahun 1988. Meskipun pada awalnya alat musik tersebut terjadi pertentangan dalam masyarakat Karo, namun sampai saat ini keberadaannya malah semakin mengukuhkan diri. Dan alat musik tersebut malah dikenal sebagai kibot Karo. Nama ini tidak diberikan oleh orang Karo sendiri, tetapi oleh suku-suku di luar Karo din sumatera Utara yang juga tertarik dengan keberadaan alat musik tersebut. Alat musik ini dapat deprogram sedemikian rupa, sehingga bunyi yang dihasilkan dapat mirip sekali dengan bunyi alat musik tradisional, yaitu gendang telu sedalanen.

Dalam upacara mere suan sinta pada sub-klen Sembiring Kembaren, misalnya alat musik ini sudah pernah digunakan dalam sebuah upacara pada tahun 1995 di daerah Tiga Juhar, Deli Serdang. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat kita lihat dalam bentuk fisik. Misalnya penggunaan instrument, pengupahan (honour) bagi guru, pemusik, dan sebagainya. Namun dalam bentuk pola pikir tentang konsep erpangir pada penganutnya tidak ada perubahan yang progresif. Erpangir masih tetap dilakukan dalam konteks dan makna yang tidak jauh berubah dari ‘aslinya’.

(oleh : Julianus P Limbeng)

Sumber:

No comments:

Post a Comment