Tuesday, March 6, 2012

Persepsi Akademis Penamaan Simalungun


Persepsi Akademis
Penamaan Simalungun
Oleh:
Erond Litno Damanik, M.Si.


Pengantar
Berdasarkan peta Tanah Batak(Nordlichen Battalander) yaitu sebuah peta tulisan tangan yang dibuat berdasarkan perjalanan harian (nach eigenen compassaufnehmend und tagebuchaufzeihnungen) yang dilakukan oleh missionaries Jerman, D.B. Hagen pada tahun 1883 yang mengelilingi kawasan Sumatera Utara, nama‘Simalungun’ tidak diketemukan. Hagen yang mengelilingi kawasan Sumatera Utara pada saat itu mengajukan pertanyaan yang sama pada setiap orang yang ditemuinya yakni pada dua hal tentang nama kawasan mereka dan identitas mereka seperti nama kesatuan kelompoknya (sukunya) untuk keperluan penyebaran agama khususnya Kristen.

Dari peta tersebut terlihat bahwa nama seperti Toba Pulo (Samosir), Danau Toba (Toba see, Laut Daur), gebiet der (kediaman) orang Karo, gebiet der (kediaman) orang Pak-pak, Nias, serta Aie Silalahie jelas tertera di dalamnya. Namun, khususnya tentang nama Simalungun tidak terdapat secara khusus kecuali mencantumkan nama kawasan seperti: kediaman orang Rajah(gebiet der orang Rajah), oerang Timoer, Tanah Djawa dan Si-Onggang yang pada saat ini masuk dalam teritori kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dapat dipastikan pada tahun 1883, penamaan Simalungun belum ada, atau paling tidak belum satupun yang menyebut dirinya sebagai orang ‘Simalungun’ (Suku Simalungun).

Jika demikian, pertanyaanya adalah: darimanakah penamaan Simalungun itu lahir?, atau apakah nama itu merupakan bentukan pemerintah colonial dalam upaya penertiban administrative jajahan?

Minimnya Literatur dan Pengkajian
Dapat dipahami bahwa minimnya literature dan pengkajian mendalam kearah tradisi tulis menyoal masalah itu, menjadi persoalan utama dalam pelurusan dan penguraian aspek sosiohistoris yang sebenarnya. Faktanya adalah bahwa hingga kini, pembahasan aspek sosiohistoris dan cultural Simalungun belum pernah tuntas dilakukan. Akibatnya, dalam berbagai tulisan yang terdapat di Simalungun, penulisnya selalu menghindar dari masalah itu dan lebih mengambil cara praktis yakni dengan mengutip pendapat orang lain pendahulunya. Oleh karena itu, hingga kini belum diketemukan kesesuaian pendapat menyoal berbagai aspek histories dan kulturalnya. Implikasi negatifnya adalah bahwa akibat ketiadaan consensus itu telah mengakibatkan bahwa orang Simalungun ‘tampaknya’ sering mengalami fluktuasi identitas sebagai dampak ketiadaan pegangan yang dapat diterima secara umum oleh seluruh pendukung kebudayaan itu.

Meskipun demikian, suku Simalungun itu sendiri adalah suku yang memiliki ikatan kesukuan yang relative longgar dan adaftif. Artinya adalah bahwa batasan objektif kesukuan tidak dipertegas secara nyata sehingga tidak pula menghalangi batasan subjektif personnya serta lebih fleksibel.Yakni suku yang tidak dibatasi secara objektif semata namun lebih merupakan equilibrium tatanan budaya yang universal. Tatanan itu adalah moralitas yakni semacam etika umum yang azasi yang bersifat universal. Etika itu adalah “ahap” (sense of Belonging) yang menjadi identitas utama suku Simalungun dewasa ini. Tatanan yang universal ini berfungsi sebagai jembatan antar aspek seperti budaya tradisi dan agama, atau pula antara anggota potensial maupun dalam pelaksanaan ritual adat istiadat.

Keberadaan literature yang menyinggung soal penamaan Simalungun tidak begitu banyak jumlahnya diketemukan. Kecuali dalam Konfrensi Kebudayaan Simalungun se Indonesia yang pertama pada tahun 1971, dimana lebih banyak merupakan upaya inventarisasi dan revitalisasi kebudayaan Simalungun. Dalam konfrensi itu, juga tidak diketemukan ksesepahaman pendapat tentang asal usul nama Simalungun dan justru lebih mengumandangkan aspek phisikologis nama itu sesuai dengan kharakteristik dan tipikal orang Simalungun.

Pioner GKPS, (awalnya HKBPS), Rev August Theis (1903) dan juga Rev. H. Guilamme, tidak menuliskan uraian rinci tentang kawasan yang Ia gembalakan. Sama halnya dengan Anderson (1918), juga tidak menyebut nama spesifik tentang kawasan ini kecuali menyebut “Negeri Timur’. Dalam beberapa literature yang ditulis oleh kalangan penulis dari Batak Toba, dikemukan bahwa kawasan ini disebut dengan ‘Negeri Timur” (Timur Landend) serta “orang Timur’ sebagai sebutan penghuninya. Hal yang sama juga terlihat dalam literature Melayu, khususnya Melayu Serdang yang lebih banyak menyebutnya sebagai ‘Dusun Timur’. Dalam buku karangan J. Tidemann (1922) yang berkuasa di ‘Negeri Timur’ itu menuliskan nama ‘Si-baloengoen’ dalam laporan resminya, yang secara lebih lanjut berubah nama menjadi Simalungun. Darimana Tideman mengetahui nama itu?. Tidak jelas!

Begitu pula dalam perubahan nama HKBP(S) menjadi GKPS yakni gereja kesukuan orang Simalungun di kawasan ini tidak terdapat secara rinci yang menjelaskan penamaan suku itu, kecuali mengurai panjang lebar tentang pengaruh kekristenan di Simalungun. Yang secara lebih lanjut, dengan kerangka berfikir melepaskan diri (manjae) dan mandiri, maka perluasan agama Kristen dapat dioptimalkan. Oleh karenanya, nyatalah bahwa Missionaris Hagen yang membuat peta Tanah Batak pada tahun 1883 itu tidak mencantumkan nama Simalungun, karena pada saat itu nama Simalungun belum dikenal.

Kepentingan Administratif Kolonial.
Semenjak Sumatera Timur masuk menjadi area perusahaan Nederland Maschapaij yaknicuulturgebiet (perkebunan) maka untuk menunjang usaha tersebut berbagai perbaikan dilakukan, mulai dari mendatangkan kuli kontrak (Jawa, China dan India), Perluasan tanah (konsesi) sampai pada penataan kota serta pendirian berbagai kantor penunjang keberhasilan upaya itu.

Demikian dilaporkan Tideman dalam laporan resminya selama berkuasa di Si-baloengen: Siantar dinaikkan deradjatnya menjadi Kotapradja (Kotamadya), jalan-jalan dibuka untuk menghubungkan serta menelusuri keterisoliran, kantor pos, bank, kereta api dan bahkan hotel serta pemberian nama-nama jalan. Tentulah Tideman mengalami kesulitan dalammenentukan nama daerah yang tengah dikuasainya itu karena ketiadaan nama yang jelas untuk menunjuk kawasan serta penghuninya, kecuali sebutan umum seperti ‘negeri timur’ dan ‘orang timur’ yang menunjuk pada nama kawasan dan orang yang berdomisili didalamnya, yang secara topografi berada di sebelah timur kawasan Toba.

Dapat dipahami bahwa, untuk keperluan administrative, nama adalah sedemikian penting karena terkait dengan pengelolaan tanah jajahan (luas), potensi sumber daya alam, maupun untuk keperluan militer. Paling tidak, sebutan Si-Baloengen dalam catatan Tideman itu adalah berdasarkan uraian pejabat pemerintahannya pada saat itu adalah orang Batak (Toba dan Mandailing) yang telah mengecap pendidikan ala Barat sewaktu I.L. Nommensen bekerja disana. Mereka ini juga telah banyak menduduki pos penting dalam kerangka pemerintahan colonial di Sumatera Timur sehingga tidak salah apabila peran mereka juga banyak menentukan.. Lagi pula, pemerintah colonial dengan orang Batak (Toba) sangat dekat yakni disamping untuk membantu pengkristenan ‘orang timur’ , juga sebagai penyelia beras bagi tenaga kerja di perkebunan.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nama itu lahir dan muncul berdasarkan argument kompromistis antara pemerintah colonial (Tideman) dengan orang pejabatnya itudalam lingkaran adminsitraturnya. Oleh karenanya, penamaan terhadap Si-Baloengen tersebut tidak memiliki korespondensi sama sekali dengan aspek phsikologis orang Simalungun, sebagaimana yang banyak dikupas oleh Henry Guntur Tarigan ataupun J. Wismar Saragih, MD. Purba, TBA Purba Tambak maupun Jahutar Damanik, atau juga dalam tulisan lain terkaitpenamaan itu.

Nama ‘Si-Baloengen’ sesungguhnya tidak memiliki arti khusus dan hanya merupakan sebutan administrative semata. Sama seperti sebuatan Melayu, Toba atau Pak-pak, Karo dan bahkan Jawa sekalipun yang tidak memiliki arti. Peralihan nama ‘Si-Baloengen’ menjadi ‘Simalungun’ adalah hal lazim dalam perubahan pelafalan bahasa sama seperti perubahan ‘Niha’menjadi ‘Nias’ atau juga sebutan “Batta’ (sebutan singkat dewa tertinggi orang Batak) menjadi‘Batak’, yakni ‘Dibata’ (Karo dan Pakpak), Debata (Mandailing dan Toba) serta Naibata(Simalungun). Oleh karena kemiripan pemanggilan tersebut, maka untuk urusan administrative maka dibentuklah nama mereka ‘ Batak’ yang menunjuk kawasan serta rumpun etnik yang ada/tergabung didalamnya. Sedang nama seperti Simalungun, Pakpak, Toba, Karo, Mandailing/Angkola adalah nama sub etnik yang dikelompokkan menjadi bagian etnik Batak sebagaimana lazim dituliskan dalam literature Antropologi

Peralihan konsonan ‘b’ pada kata Si-Baloengen menjadi konsonan ‘m’ pada kataSimalungun telah mengakibatkan kata yang kedua ini terdiri dari dua jenis kata, yakni kata depan dan kata sifat. Kata depan ‘si’ menunjuk pada objek benda seperti Si-Anu. Sedangkan kata sifat ‘Malungun’ bermakna sepi, sedih dan sunyi. Perpaduan kedua jenis kata tersebut melahirkan interpretasi bahwa Simalungun adalah orang yang sedih?. Analisis seperti ini banyak ditemukan, misalnya Henry Guntur Tarigan, ahli filologi pada salah satu PTN di Jawa. Walter Lemp (1967) menulis bahwa orang Simalungun adalah orang yang lebih halus, tidak meledak walau sakit hati, serta lebih menghindar dari konflik. Keadaan ini berdasarkan pengamatan Lemp ketika menulis buku “Benih Yang Tumbuh” berdasarkan perbandingan dengan etnik Batak lainnya. Singkatnya, penamaan Simalungun bukan terletak pada unsure phisikologis yang pada kemudian hari bernama Simalungun. Tetapi nama itu adalah sekedar sebutan dalam urusan administrative colonial, yang meski dikemudian hari dapat ditafsirkan secara etimologis.

Lantas, bagaimana pula pendapat Uli Kozok (1992) Profesor filologi USU kebangsaan Jerman yang mengemukakan bahwa bahasa Simalungun adalah bahasa yang lebih dulu terbentuk (Tua) jika dibanding dua rumpun bahasa lainnya yakni rumpun Selatan (Mandailing/Angkola) dan rumpun Utara (Pak-pak, Toba dan Karo)?. Benarkah?. Andai pendapat ini dapat diterima secara umum, maka etnik Simalungun adalah etnik yang lebih dulu ada, kemudian disusul oleh etnik Batak lainnya. Pertanyaan berikutnya adalah apa mungkinetnik Simalungun belum memiliki nama pada saat itu?. Tulisan ini adalah awal pencarian kearah itu.!


Penulis: Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Medan


Sumber:
Persepsi Akademis
Penamaan Simalungun
Oleh:
Erond Litno Damanik, M.Si.
Pengantar
Berdasarkan peta Tanah Batak(Nordlichen Battalander) yaitu sebuah peta tulisan tangan yang dibuat berdasarkan perjalanan harian (nach eigenen compassaufnehmend und tagebuchaufzeihnungen) yang dilakukan oleh missionaries Jerman, D.B. Hagen pada tahun 1883 yang mengelilingi kawasan Sumatera Utara, nama‘Simalungun’ tidak diketemukan. Hagen yang mengelilingi kawasan Sumatera Utara pada saat itu mengajukan pertanyaan yang sama pada setiap orang yang ditemuinya yakni pada dua hal tentang nama kawasan mereka dan identitas mereka seperti nama kesatuan kelompoknya (sukunya) untuk keperluan penyebaran agama khususnya Kristen.
Dari peta tersebut terlihat bahwa nama seperti Toba Pulo (Samosir), Danau Toba (Toba see, Laut Daur), gebiet der (kediaman) orang Karo, gebiet der (kediaman) orang Pak-pak, Nias, serta Aie Silalahie jelas tertera di dalamnya. Namun, khususnya tentang nama Simalungun tidak terdapat secara khusus kecuali mencantumkan nama kawasan seperti: kediaman orang Rajah(gebiet der orang Rajah), oerang Timoer, Tanah Djawa dan Si-Onggang yang pada saat ini masuk dalam teritori kabupaten Simalungun. Oleh karena itu, dapat dipastikan pada tahun 1883, penamaan Simalungun belum ada, atau paling tidak belum satupun yang menyebut dirinya sebagai orang ‘Simalungun’ (Suku Simalungun).
Jika demikian, pertanyaanya adalah: darimanakah penamaan Simalungun itu lahir?, atau apakah nama itu merupakan bentukan pemerintah colonial dalam upaya penertiban administrative jajahan?
Minimnya Literatur dan Pengkajian
Dapat dipahami bahwa minimnya literature dan pengkajian mendalam kearah tradisi tulis menyoal masalah itu, menjadi persoalan utama dalam pelurusan dan penguraian aspek sosiohistoris yang sebenarnya. Faktanya adalah bahwa hingga kini, pembahasan aspek sosiohistoris dan cultural Simalungun belum pernah tuntas dilakukan. Akibatnya, dalam berbagai tulisan yang terdapat di Simalungun, penulisnya selalu menghindar dari masalah itu dan lebih mengambil cara praktis yakni dengan mengutip pendapat orang lain pendahulunya. Oleh karena itu, hingga kini belum diketemukan kesesuaian pendapat menyoal berbagai aspek histories dan kulturalnya. Implikasi negatifnya adalah bahwa akibat ketiadaan consensus itu telah mengakibatkan bahwa orang Simalungun ‘tampaknya’ sering mengalami fluktuasi identitas sebagai dampak ketiadaan pegangan yang dapat diterima secara umum oleh seluruh pendukung kebudayaan itu.
Meskipun demikian, suku Simalungun itu sendiri adalah suku yang memiliki ikatan kesukuan yang relative longgar dan adaftif. Artinya adalah bahwa batasan objektif kesukuan tidak dipertegas secara nyata sehingga tidak pula menghalangi batasan subjektif personnya serta lebih fleksibel.Yakni suku yang tidak dibatasi secara objektif semata namun lebih merupakan equilibrium tatanan budaya yang universal. Tatanan itu adalah moralitas yakni semacam etika umum yang azasi yang bersifat universal. Etika itu adalah “ahap” (sense of Belonging) yang menjadi identitas utama suku Simalungun dewasa ini. Tatanan yang universal ini berfungsi sebagai jembatan antar aspek seperti budaya tradisi dan agama, atau pula antara anggota potensial maupun dalam pelaksanaan ritual adat istiadat.
Keberadaan literature yang menyinggung soal penamaan Simalungun tidak begitu banyak jumlahnya diketemukan. Kecuali dalam Konfrensi Kebudayaan Simalungun se Indonesia yang pertama pada tahun 1971, dimana lebih banyak merupakan upaya inventarisasi dan revitalisasi kebudayaan Simalungun. Dalam konfrensi itu, juga tidak diketemukan ksesepahaman pendapat tentang asal usul nama Simalungun dan justru lebih mengumandangkan aspek phisikologis nama itu sesuai dengan kharakteristik dan tipikal orang Simalungun.
Pioner GKPS, (awalnya HKBPS), Rev August Theis (1903) dan juga Rev. H. Guilamme, tidak menuliskan uraian rinci tentang kawasan yang Ia gembalakan. Sama halnya dengan Anderson (1918), juga tidak menyebut nama spesifik tentang kawasan ini kecuali menyebut “Negeri Timur’. Dalam beberapa literature yang ditulis oleh kalangan penulis dari Batak Toba, dikemukan bahwa kawasan ini disebut dengan ‘Negeri Timur” (Timur Landend) serta “orang Timur’ sebagai sebutan penghuninya. Hal yang sama juga terlihat dalam literature Melayu, khususnya Melayu Serdang yang lebih banyak menyebutnya sebagai ‘Dusun Timur’. Dalam buku karangan J. Tidemann (1922) yang berkuasa di ‘Negeri Timur’ itu menuliskan nama ‘Si-baloengoen’ dalam laporan resminya, yang secara lebih lanjut berubah nama menjadi Simalungun. Darimana Tideman mengetahui nama itu?. Tidak jelas!
Begitu pula dalam perubahan nama HKBP(S) menjadi GKPS yakni gereja kesukuan orang Simalungun di kawasan ini tidak terdapat secara rinci yang menjelaskan penamaan suku itu, kecuali mengurai panjang lebar tentang pengaruh kekristenan di Simalungun. Yang secara lebih lanjut, dengan kerangka berfikir melepaskan diri (manjae) dan mandiri, maka perluasan agama Kristen dapat dioptimalkan. Oleh karenanya, nyatalah bahwa Missionaris Hagen yang membuat peta Tanah Batak pada tahun 1883 itu tidak mencantumkan nama Simalungun, karena pada saat itu nama Simalungun belum dikenal.
Kepentingan Administratif Kolonial.
Semenjak Sumatera Timur masuk menjadi area perusahaan Nederland Maschapaij yaknicuulturgebiet (perkebunan) maka untuk menunjang usaha tersebut berbagai perbaikan dilakukan, mulai dari mendatangkan kuli kontrak (Jawa, China dan India), Perluasan tanah (konsesi) sampai pada penataan kota serta pendirian berbagai kantor penunjang keberhasilan upaya itu.
Demikian dilaporkan Tideman dalam laporan resminya selama berkuasa di Si-baloengen: Siantar dinaikkan deradjatnya menjadi Kotapradja (Kotamadya), jalan-jalan dibuka untuk menghubungkan serta menelusuri keterisoliran, kantor pos, bank, kereta api dan bahkan hotel serta pemberian nama-nama jalan. Tentulah Tideman mengalami kesulitan dalammenentukan nama daerah yang tengah dikuasainya itu karena ketiadaan nama yang jelas untuk menunjuk kawasan serta penghuninya, kecuali sebutan umum seperti ‘negeri timur’ dan ‘orang timur’ yang menunjuk pada nama kawasan dan orang yang berdomisili didalamnya, yang secara topografi berada di sebelah timur kawasan Toba.
Dapat dipahami bahwa, untuk keperluan administrative, nama adalah sedemikian penting karena terkait dengan pengelolaan tanah jajahan (luas), potensi sumber daya alam, maupun untuk keperluan militer. Paling tidak, sebutan Si-Baloengen dalam catatan Tideman itu adalah berdasarkan uraian pejabat pemerintahannya pada saat itu adalah orang Batak (Toba dan Mandailing) yang telah mengecap pendidikan ala Barat sewaktu I.L. Nommensen bekerja disana. Mereka ini juga telah banyak menduduki pos penting dalam kerangka pemerintahan colonial di Sumatera Timur sehingga tidak salah apabila peran mereka juga banyak menentukan.. Lagi pula, pemerintah colonial dengan orang Batak (Toba) sangat dekat yakni disamping untuk membantu pengkristenan ‘orang timur’ , juga sebagai penyelia beras bagi tenaga kerja di perkebunan.
Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa nama itu lahir dan muncul berdasarkan argument kompromistis antara pemerintah colonial (Tideman) dengan orang pejabatnya itudalam lingkaran adminsitraturnya. Oleh karenanya, penamaan terhadap Si-Baloengen tersebut tidak memiliki korespondensi sama sekali dengan aspek phsikologis orang Simalungun, sebagaimana yang banyak dikupas oleh Henry Guntur Tarigan ataupun J. Wismar Saragih, MD. Purba, TBA Purba Tambak maupun Jahutar Damanik, atau juga dalam tulisan lain terkaitpenamaan itu.
Nama ‘Si-Baloengen’ sesungguhnya tidak memiliki arti khusus dan hanya merupakan sebutan administrative semata. Sama seperti sebuatan Melayu, Toba atau Pak-pak, Karo dan bahkan Jawa sekalipun yang tidak memiliki arti. Peralihan nama ‘Si-Baloengen’ menjadi ‘Simalungun’ adalah hal lazim dalam perubahan pelafalan bahasa sama seperti perubahan ‘Niha’menjadi ‘Nias’ atau juga sebutan “Batta’ (sebutan singkat dewa tertinggi orang Batak) menjadi‘Batak’, yakni ‘Dibata’ (Karo dan Pakpak), Debata (Mandailing dan Toba) serta Naibata(Simalungun). Oleh karena kemiripan pemanggilan tersebut, maka untuk urusan administrative maka dibentuklah nama mereka ‘ Batak’ yang menunjuk kawasan serta rumpun etnik yang ada/tergabung didalamnya. Sedang nama seperti Simalungun, Pakpak, Toba, Karo, Mandailing/Angkola adalah nama sub etnik yang dikelompokkan menjadi bagian etnik Batak sebagaimana lazim dituliskan dalam literature Antropologi
Peralihan konsonan ‘b’ pada kata Si-Baloengen menjadi konsonan ‘m’ pada kataSimalungun telah mengakibatkan kata yang kedua ini terdiri dari dua jenis kata, yakni kata depan dan kata sifat. Kata depan ‘si’ menunjuk pada objek benda seperti Si-Anu. Sedangkan kata sifat ‘Malungun’ bermakna sepi, sedih dan sunyi. Perpaduan kedua jenis kata tersebut melahirkan interpretasi bahwa Simalungun adalah orang yang sedih?. Analisis seperti ini banyak ditemukan, misalnya Henry Guntur Tarigan, ahli filologi pada salah satu PTN di Jawa. Walter Lemp (1967) menulis bahwa orang Simalungun adalah orang yang lebih halus, tidak meledak walau sakit hati, serta lebih menghindar dari konflik. Keadaan ini berdasarkan pengamatan Lemp ketika menulis buku “Benih Yang Tumbuh” berdasarkan perbandingan dengan etnik Batak lainnya. Singkatnya, penamaan Simalungun bukan terletak pada unsure phisikologis yang pada kemudian hari bernama Simalungun. Tetapi nama itu adalah sekedar sebutan dalam urusan administrative colonial, yang meski dikemudian hari dapat ditafsirkan secara etimologis.
Lantas, bagaimana pula pendapat Uli Kozok (1992) Profesor filologi USU kebangsaan Jerman yang mengemukakan bahwa bahasa Simalungun adalah bahasa yang lebih dulu terbentuk (Tua) jika dibanding dua rumpun bahasa lainnya yakni rumpun Selatan (Mandailing/Angkola) dan rumpun Utara (Pak-pak, Toba dan Karo)?. Benarkah?. Andai pendapat ini dapat diterima secara umum, maka etnik Simalungun adalah etnik yang lebih dulu ada, kemudian disusul oleh etnik Batak lainnya. Pertanyaan berikutnya adalah apa mungkinetnik Simalungun belum memiliki nama pada saat itu?. Tulisan ini adalah awal pencarian kearah itu.!


Penulis: Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial
Lembaga Penelitian
Universitas Negeri Medan









Sumber:

No comments:

Post a Comment