Monday, November 10, 2014

Timur Pane (2)

KISAH LEGIUN PENGGEMPUR NAGA TERBANG, DOA DI BAWAH RUMPUN BUNGA MATAHARI (2)

Dr Midian Sirait*
Tak ada lagi JenderalBarulah pada akhir Nopember hingga awal Desember, Mohammad Hatta datang bersama Letnan Kolonel Alex Kawilarang dan Mayor Ibrahim Adjie, untuk mencoba mengatasi pertikaian. Seluruh komandan pasukan dipanggil oleh Bung Hatta, dan untunglah Wakil Presiden ini masih punya wibawa. Seluruh komandan mematuhi panggilan dan bersedia menerima pengaturan-pengaturan dari Bung Hatta. Pola pengaturan seperti di Pulau Jawa dengan pembagian wilayah menjadi beberapa Wehrkreise dijadikan contoh dengan penamaan sebagai Sektor-sektor. Bagian selatan Tapanuli ditetapkan sebagai Sektor I, terdiri dari Brigade A dan Brigade B, dengan Bejo sebagai komandannya, berkedudukan di Sidempuan. Bagian utara Tapanuli yang bersinggungan dengan wilayah yang diduduki pasukan Belanda, menjadi Sektor II yang terdiri dari eks Divisi Banteng Negara dan eks Brigade XI yang untuk sebagian juga sempat dilucuti oleh Brigade B. Posisi Komandan Sektor II diserahkan kepada Liberty Malau dan berkedudukan di Tarutung. Pada Sektor II bergabung Kapten AE Manihuruk, Kepala Staf Batalion III, karena luka-luka yang dideritanya untuk beberapa lama ia diperlakukan ‘istimewa’ seperti Jenderal Sudirman, kemana-mana ditandu. Sementara itu Sektor III meliputi wilayah bagian utara Karo dan Dairi, komandannya adalah Slamet Ginting bekas komandan Laskar Halilintar, berpusat di Sidikalang. Seluruh komandan sektor ini diberi pangkat mayor. Sektor IV  mencakup daerah pantai sisi barat Sumatera Utara di Tapanuli Tengah, dengan Sibolga sebagai pusat. Untuk sementara komandannya adalah Ricardo Siahaan yang dulu adalah Panglima di Medan Area, sebelum Maraden Panggabean tiba dari Bukittinggi. Adapun Maraden Panggabean, dilepaskan dari tahanan di Bukittinggi ketika Belanda menduduki kota itu. Maraden Panggabean dengan berjalan kaki akhirnya tiba di Sibolga dan menjadi komandan Sektor IV itu. Masih ada satu sektor lagi yang disebut Sektor S, meliputi pantai barat dari Barus sampai ke Natal, yang komandonya diserahkan kepada Angkatan Laut, dipimpin oleh Simanjuntak. Secara keseluruhan gabungan sektor-sektor ini disebut Sub Tertorial VII di bawah komando Letnan Kolonel Kawilarang, karena situasi saat itu tak memungkinkan diangkatnya Komandan yang dipilih dari antara perwira-perwira setempat yang telah terlibat konflik bersenjata. Sementara itu ‘Jenderal’ Timur Pane, yang memudar namanya pasca pertempuran Medan Area, tak ada lagi kabar beritanya. Tak ikut jadi Komandan Sektor hasil ‘reformasi’ Tapanuli.
Natal ala tentara BelandaKeberhasilan Bung Hatta mendamaikan pertikaian di Tapanuli, membuat semua pihak bisa bernafas lega. Tapi tak lama-lama, karena hanya dua minggu setelah pengangkatan Kawilarang sebagai Komandan Sub Tertorial VII, Belanda menyerbu ke wilayah republik, menuju ke arah Balige dan Tarutung, pada tanggal 23 Desember 1948, hanya sehari menjelang malam Natal. Belanda rupanya tidak mempertimbangkan lagi untuk jangan bertempur di hari-hari menjelang Natal. Barangkali juga sengaja dengan alasan taktis atau memang karena ‘ingin’ berhari Natal di wilayah Tapanuli yang penduduknya kebanyakan beragama Kristen. Sebelum penyerbuan, Belanda sudah menguasai wilayah sejak garis pantai Selat Malaka, Tebing Tinggi hingga Prapat di pantai timur Danau Toba. Tatkala Belanda memasuki Tapanuli, Komando Sektor II sebaliknya juga membentuk satu batalion khusus masuk bergerilya ke daerah-daerah yang sudah diduduki Belanda. Satuan yang masuk bergerilya di Simalungun dipimpin oleh Bunga Simanungkalit yang menjelajah melakukan serangan-serangan sporadis sampai ke Sumatera Timur. Selain itu, untuk keperluan logistik, ada penyelundupan-penyelundupan dengan perahu melalui Danau Toba, tanpa perlu melintasi garis demarkasi Belanda di wilayah daratan, khususnya demarkasi Prapat yang memang sulit dilewati, menuju Sumatera Timur. Waktu itu pantai-pantai Danau Toba dekat di wilayah Simalungun diduduki Belanda, sedang pantai selatan danau masih dikuasai pasukan Republik.
Pagi hari 23 Desember, saya membawa pasukan kecil tentara pelajar, sepulang dari Pulau Samosir, memasuki kota Tarutung. Kami yang terdiri dari 10 orang, baru selesai menjalankan tugas untuk memberi penerangan kepada rakyat di pulau itu, bagaimana caranya membantu pasukan pejuang yang akan datang ke pulau itu dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 5 orang per kelompok, bila ada serangan Belanda. Dari radio memang kita sudah mendengar tentang penyerbuan Yogya pada 19 Desember 1948, sehingga sudah bisa memperkirakan bahwa Tapanuli juga akan diserbu lagi. Tanggal 22 kami kembali dari Samosir dengan kapal kecil ke Balige, lalu melanjutkan perjalananan ke Tarutung untuk melapor kepada Komandan Sektor II. Sekaligus untuk memenuhi instruksi bahwa seluruh tentara pelajar menjelang serbuan Belanda agar kembali ke kampung halaman masing-masing dan bergabung dengan satuan-satuan setempat. Kami tidak bisa melapor kepada Komandan Sektor II Mayor Liberty Malau. Sang komandan sudah meninggalkan kota untuk menyiapkan tempat pengungsian. Para pimpinan militer kita pada waktu itu memang menggariskan untuk tidak melakukan perlawanan frontal terhadap Belanda. Keputusan itu sangat beralasan, karena akibat benturan fisik habis-habisan antar pasukan sebulan sebelumnya, persediaan peluru hampir terkuras habis, dan setiap pasukan amat banyak kehilangan anggota gugur dalam pertempuran sesama pejuang. Semua pasukan telah compang-camping dan baik di atas kertas maupun di lapangan takkan mungkin mampu bertempur lagi, kali ini melawan Belanda.
Puluhan tahun kemudian, jauh setelah usainya perang, Pangeran Bernhard, suami Ratu Belanda datang ke Danau Toba. Ia terpesona akan keindahan danau ini, tetapi juga sekaligus cemas akan kelestariannya. Pada kedatangannya yang ketiga kali ke Danau Toba, ia mengatakan, “Kelestariannya harus dijaga”, dan merelakan namanya –ia adalah Presiden pertama World Wild Fund– ‘dijual’ demi pelestarian danau itu. “Sebetulnya saya paling tidak suka nama saya dibawa-bawa untuk urusan apapun, tapi untuk keindahan Danau Toba, silahkan  jual nama saya ke manca negara”, ujarnya.
Doa di bawah rumpun bunga matahariSerangan Belanda ke Tapanuli memang terjadi pada tanggal 23 Desember. Kota Tarutung yang sebagian adalah perbukitan dan sebagian lain adalah lembah, dibom dan dihujani peluru mitraliur dari udara oleh pesawat-pesawat Belanda, pada pukul satu siang, bertepatan saat saya dan kawan-kawan akan memasuki kota itu. Sewaktu akan melintasi sebuah jembatan yang membentang di atas sungai di bagian lembah, di pintu masuk kota Tarutung, sekitar pukul tiga sore, pesawat Belanda datang lagi menghujani dengan tembakan. Dengan cepat kami semua turun ke tebing sungai di bawah jembatan. Tapi tak lama kemudian, muncul pasukan Belanda yang mengendarai puluhan jeep yang masing-masingnya terdiri dari 5 orang, menuju ke arah jembatan. Melihat itu, tanpa pikir panjang kami semua melompat ke sungai Sigeaon yang sedang banjir dan berenang sampai belasan meter jauhnya. Lalu saya dan seorang teman, Victor Napitupulu, yang berenang berdekatan melihat di salah satu sisi sungai ada rimbunan pohon bunga matahari yang merunduk condong ke air karena menyongsong arah terbit matahari. Dengan cepat kami berdua menepi dan bersembunyi di sana di bawah rimbunan pohon bunga matahari itu. Saya menggigil kedinginan. Saya mengajak Victor untuk berdoa bersama, “Bapa kami di Surga, berilah kami keselematan. Izinkanlah kami hidup lebih lama, supaya dapat berbuat kebaikan kepada orang tua, saudara dan orang-orang lain dan bangsa kami, dengan penuh kasih”. Jalan keselamatan seakan membuka perlahan bagi kami berdua. Perhatian tentara Belanda teralih ke arah jembatan lain yang berlawanan arah dengan tempat kami. Tentara Belanda menembaki truk-truk pasukan republik yang sedang melintas di jembatan kedua itu. Perhatian mereka tersita seluruhnya ke sana. Kami aman karenanya di bawah rimbunan bunga matahari yang sedang mekar itu, berendam selama 4 jam dalam air sebatas leher hingga pukul 7 malam. Lalu kami mendengar suara ibu-ibu yang datang berombongan kurang lebih 20-an orang dari arah gereja HKI. Dengan cepat saya dan Victor Napitupulu, merangkak naik dari sungai, memungut buntalan pakaian kami dan segera menggabung di tengah ibu-ibu itu. Rombongan kaum ibu itu, rupanya menuju ke arah jembatan untuk melintasi sungai, apa boleh buat kami terpaksa terus ikut karena tak ada lagi pilihan lain. Pasukan Belanda, yang seluruhnya terdiri dari orang Belanda asli dan tidak tercampur dengan tentara ‘sawo matang’ seperti biasanya, lebih tertuju perhatiannya ke arah jembatan kedua di bagian lain sungai, dan seorang perwiranya malah memberi isyarat sambil berkata “Kom…. kom…”, menyuruh ibu-ibu itu segera melintas jembatan dengan cepat. Demikianlah, kami berdua pun ikut lolos. Perilaku tentara-tentara Belanda saat itu kepada kaum ibu merupakan hal yang menarik, setidaknya untuk saat itu. Mereka tidak menunjukkan sikap ganas, tidak membabi buta, dan tidak merasa perlu bersikap keras dan kejam kepada kaum sipil. Sungguh ironis bahwa seperti yang terlihat pada masa pertempuran di Medan Area, tentara-tentara Belanda keturunan Indonesia berkulit sawo matang, berperilaku lebih bengis dan berangasan. Asal melihat ada pemuda, entah sipil entah gerilya, langsung diberondong tembakan. Terhadap para tangkapan, mereka juga main tendang dan popor. Mungkin begitulah mental orang bayaran.
Washington itu bermarga SitorusKira-kira pukul 8 malam saya masuk ke sebuah desa di sisi lain Tarutung. Di desa itu ada sebuah seminari milik HKBP (Huriah Kristen Batak Protestan). Salah seorang pendeta yang mengajar di seminari itu, bermarga Sirait juga, tapi tak saya kenal. Ketika saya memberitahu nama ayah saya, dengan segera ia ingat bahwa mereka dulu teman sekelas semasa Sekolah Dasar. Di situlah saya dan Victor menginap. Ikut berhari Natal. Barulah pada tanggal 27 Desember saya berjalan kaki 90 kilometer jauhnya hingga ke tempat kelahiran saya. Ternyata ayah dan keluarga telah mengungsi lebih jauh beberapa kilometer, dan hanya mengetahui mengenai saya dari berbagai kabar yang simpang   siur,   sudah    bertempur   entah  di mana. Tetapi, akhirnya baik, kami berkumpul kembali.Setelah segala urusan perjumpaan dengan keluarga usai, baru saya berkesempatan melapor kepada komandan tentara di tempat itu, Kapten Washington Strouwsky yang memimpin Kompi IV dari Batalion II yang tergabung dalam Sektor II. Nama sang kapten sebenarnya sempat menimbulkan tanda tanya bagi para tentara Belanda. Kedengarannya seperti nama orang Rusia, jangan-jangan memang Rusia menempatkan perwira di daerah itu. Tapi nama  depannya itu, kenapa  Washington, yang mengingatkan orang kepada nama Jenderal pemimpin perjuangan kemerdekaan yang diabadikan namanya untuk ibukota Amerika Serikat ? Duduk perkaranya, adalah sebagai berikut ini: Nama marga asli Strouwsky sebenarnya adalah Sitorus. Karena ia komandan Kompi yang biasa diringkas Ki, maka dia disebut Sitorus Ki, artinya Sitorus yang komandan kompi. Inilah yang kemudian menjelma menjadi Strouwsky. Lalu bagaimana ceritanya dengan nama depan Washington –yang ditulis meleset sebagai Washinton– wah, itu tidak jelas bagi saya. Mungkin asli pemberian orang tua. Sesudah perang berakhir, Strouwsky melanjutkan karir militernya dan mencapai pangkat terakhir sebagai kolonel. Saya sangat terkesan kepada keberanian dan kepemimpinannya, sehingga puluhan tahun kemudian, untuk mengenangnya saya memprakarsai pembuatan sebuah monumen untuknya di wilayah perjuangannya tempo dulu.
*Dr Midian Sirait. Doktor rerum naturalum sekaligus doktor filsafat lulusan Jerman (Barat). Pernah menjadi Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan DepKes, tetapi lebih dikenal sebagai aktivis gerakan pembaharuan politik Indonesia pada paruh kedua tahun 1960-an. Semasa mudanya, sebagai tentara pelajar, berjuang dalam perang kemerdekaan Indonesia di front pertempuran Medan Area, Sumatera Utara. Jumat 13 Agustus 2010 mendapat anugerah Bintang Mahaputera Utama. Tapi tak hadir di Istana, karena sedang terbaring tak sadarkan diri di RS, di Singapura maupun di Indonesia, sejak beberapa lama karena berbagai penyakit yang dideritanya di usia menjelang 82 tahun.



Sumber:
http://socio-politica.com/2010/08/16/kisah-legiun-penggempur-naga-terbang-doa-di-bawah-rumpun-bunga-matahari-2-2/

No comments:

Post a Comment