Laskar-laskar di Sumatera Utara
November 25, 2008
Sebagaimana telah disebutkan di atas, di berbagai daerah, banyak perwira yang pernah mendapatkan pendidikan militer. Di Pulau Jawa, misalnya, di samping perwira-perwira yang dididik Jepang, terdapat banyak juga perwira yang lulus dari Akademi Militer Kerajaan, seperti T.B. Simatupang, A.H. Nasution, A.E. Kawilarang. Sementara di Sumatera Selatan ada calon-calon perwira hasil didikin Jepang seperti Pangeran Emir M. Noor, Maludin Simbolon, Alamsyah Ratu Prawira Negara, Ryacudu dan Harun Sohar.
Hal yang sama terjadi juga di Sumatera Barat. Di daerah ini, minat untuk mengikuti pendidikan militer begitu besar, hingga ada keluarga yang puteranya mengikuti pendidikan militer tiga orang sekaligus. Misalnya, keluarga Jambek, tiga puteranya Dahlan Jambek, Majid Jambek dan Zainal Abidin Jambek, mengikuti pendidikan militer dalam waktu bersamaan. Begitu besarnya minat tersebut sehingga dari keluarga Mustafa, seorang puteranya, bernama Alwi Mustafa, yang meninggal ketika sedang mengikuti pendidikan, langsung digantikan oleh adiknya Kemal Mustafa. Hal ini menunjukkan betapa besar minat masyarakat setempat untuk mengikuti pendidikan militer tersebut.
Namun, hal yang berbeda terjadi di Sumatera Utara. Sebenarnya, di Medan, menjelang kejatuhan Jepang, gyugunjuga didirikan. Akan tetapi, di antara delapan belas siswa yang di wisuda dalam angkatan pertama, hanya dua orang di antaranya berasal dari Sumatera Utara, yaitu Achmad Thahir dan Hotman Sitompul. Sisanya adalah putera-putera yang berasal dari Aceh. Belakangan, banyak juga berminat untuk mengikuti pendidikan militer tersebut, seperti Ricardo Siahaan, Jamin Gintings, Pandapotan Sitompul, Nip Xarim, dan Boyke Nainggolan. Namun, pendidikan belum mereka selesaikan, Jepang sudah lebih dulu bertekuk lutut.
Miskinnya Sumatera Utara dengan perwira yang mempunyai latar belakang pendidikan militer, menyebabkan banyak laskar dipimpin oleh pentolan-pentolan partai politik. Aliran partai politik banyak mewarnai pembentukan laskar, seperti yang dilakukan oleh Saleh Umar dengan gelar Surapati, Marzuki Lubis, Selamat Ginting, Jacob Siregar, D. Egon dan Timur Pane, yang beraliran nasionalis.
Ada juga laskar yang dibentuk berdasarkan aliran sosialis/komunis, seperti yang didirikan oleh A Karim Ms danSarwono Sastrosoetardjo. Ada lagi laskar yang beraliran Islam, seperti yang dibentuk oleh Abdurrachman Asyihab dan M. Junan Nasution dan laskar yang beraliran Kristen Protestan yang dipimpin oleh Melanton Siregar. Akan tetapi banyak laskar yang dibina oleh para jagoan, seperti, Liberty Malau, Matheus Sihombing, Bunga Simanungkalit, Rajin Simamora, Achmad Boyan, Maliki. Mereka tadinya adalah “jagoan-jagoan” kota Medan, yang memilih turut berjuang, sebagai suatu pilihan terbaik dan terhormat. Maliki sempat menjabat Komandan Brigif VII dan menyandang pangkat Kolonel.
Lain halnya dengan Bejo, yang namanya cukup fenomenal. Beliau merasa terpanggil untuk menjadi militer dan kesempatan untuk itu memang ada. Bejo tadinya adalah pekerja di sebuah bengkel senjata Jepang. Setelah Jepang menyerah, dia memperoleh banyak senjata dari orang-orang Jepang yang menjadi sahabatnya. Juga di sini ada faktor keberuntungan, karena seorang temannya, yang bernama Suparman, mengetahui di mana ditimbun senjata-senjata Jepang yang sudah rusak. Senjata-senjata ini kemudian diperbaiki dengan cara kanibal, sehingga dapat digunakan kembali dengan baik. Dengan modal senjata-senjata ini, Bejo akhirnya membentuk satu pasukan yang persenjataannya memadai. Bahkan, di dalam pasukan Bejo terdapat beberapa serdadu Jepang yang mau bergabung dengannya. Serdadu-serdadu Jepang ini memilih untuk bergabung daripada dijadikan sebagai POW (prisoner of war¾tawanan perang).[1]*)
Karena dipimpin oleh aktivis-aktivis partai dan para jagoan, pada awalnya laskar-laskar rakyat ini belum mengetahui tanda-tanda pangkat. Tidak heran apabila pangkat-pangkat militer ini mereka sandang dengan sesuka hati. Timur Pane, misalnya, tanpa sungkan menabalkan diri sebagai jenderal mayor, suatu pangkat yang merupakan milik Panglima Komandemen Sumatera. Begitu juga, Bosar Sianipar memakai pangkat jenderal dan, karena tidak mempunyai pasukan yang memadai, akhirnya “Jenderal” Bosar Sianipar digelari sebagai “Jenderal mundar-mandir.” Bahkan, ada juga tentara yang mengira, pangkat sersan mayor lebih tinggi daripada mayor sehingga komandan pasukannya berpangkat sersan mayor, sementara ada anak buahnya berpangkat mayor.
Walaupun penataan pasukan dan pangkat masih belum diatur, ciri khas yang sama, ditemukan dalam setiap pasukan, guntingan kain “merah-putih” yang dilekatkan di bahu atau di dada kemeja. Guntingan kain merah-putih ini menjadi benda yang dicari karena ada rasa bangga bagi pemakainya. Laskar yang tidak memilikinya berupaya dengan segala cara untuk memperolehnya. Tidak heran apabila, pada pagi hari, ada laskar yang berteriak-teriak: “Mana merdekaku….; manamerdekaku…, merdekaku hilang !” hanya karena guntingan kain merah-putihnya hilang entah dicuri teman. Hal-hal seperti inilah yang sering terjadi pada awal-awal revolusi.
Namun, pasukan laskar ini makin hari makin membenahi diri dan kekuatannya tampak makin besar, jauh melebihi pasukan Tentara Republik Indonesia, yang merupakan tentara resmi pemerintah. Pasukan Bejo, misalnya, sejak awal sudah sangat disegani, selain karena mereka telah mempunyai senjata yang memadai, juga karena mereka memperoleh pasokan bahan makanan yang cukup dan secara sembunyi-sembunyi dilatih oleh desertir serdadu Jepang. Juga, Pasukan Halilintar yang dipimpin oleh Selamat Ginting mempunyai persenjataan yang cukup yang dibeli oleh Selamat Ginting dengan cara barter dan mereka mendapat pasokan bahan makanan dari penduduk yang umumnya mendukung perjuangan.
Pasukan Liberty Malau, dengan nama Banteng Negara,pada awalnya adalah pasukan kecil. Akan tetapi, pasukan ini kemudian menjadi besar karena banyak pemuda pendatang dari Tanah Batak Utara ingin mengambil bagian dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Pasukan Timur Pane, dengan nama Naga Terbang, juga mempunyai anggota yang cukup banyak karena, dalam pasukannya, bergabung sejumlah perwira yang telah lulus dari pendidikan perwira angkatan pertama di Parapat. Nama pasukannya, yang pada awalnya bernama Pasukan Naga Terbang, diubah menjadi Legiun Penggempur Komandemen Sumatera. Sekadar untuk membuktikan kehebatannya, pasukan ini menggulung pasukan Pesindo yang dianggap terkuat pada waktu itu. Komandannya Sarwono Sastrosoetarjo ditangkap. Sarwono Sastrosoetardjo, tadinya sudah akan di eksekusi mati tanpa alasan yang jelas. Untungnya, pada waktu itu, Wakil Presiden Mohammad Hatta berada di Pematang Siantar. Beliau langsung memanggil Timur Pane dan memerintahkan agar Sarwono Sastrosoetardjo dibebaskan. Pasukan yang dikenal dengan nama Barisan Harimau Liar, pimpinan Saleh Umar. Banyak anggotanya adalah bekas Talapeta yang dilatih serdadu Jepang, sehingga mereka disegani. Pemimpinnya yang terkenal dan dianggap sangat buas adalah Elkana Saragih Ras. Dia memimpin satu grup eksekutor terhadap para golongan feodal pada waktu revolusi sosial.
Setelah penyerahan kedaulatan, banyak pentolan-pentolannya kembali terjun dan aktif di partai politik. M. Junan Nasution misalnya memilih aktif di Partai IslamMasyumi, Melanton Siregar bergabung dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Selamat Ginting masuk ke Partai Nasional Indonesia (PNI). Ketiganya pernah duduk di parlemen dan bahkan Melanthon Siregar pernah menjabat Wakil Ketua MPR(S). Sementar banyak tokoh yang lain, bergabung dengan Partai Nasional Indonesia, seperti Adullah Eteng, Marzuki Lubis, Abdullah Yusuf, Adnan Noor Lubis dan TD Pardede.
Akan tetapi ada juga yang karirnya terkubur, baik dibidang politik dan militer akibat kesalahan sendiri. Mengambil contoh penggerak revolusi sosial seperti Nathar Zainuddin, Sarwono Sastro Sutarjo dari aliran sosialis/komunis dan Saleh Umar, Payung Bangun, Elkana Saragih Ras dari aliran Nasionalis. Pada awal kemerdekaan, karir mereka begitu cemerlang. Akan tetapi, berhubung peranan mereka dalam revolusi sosial, nama mereka terkubur bersama nama-nama para korbannya. Saleh Umar misalnya, walau telah diangkat sebagai anggota Konstituante, akan tetapi tetap ditahan oleh Let.Kol. A.E. Kawilarang.
Revolusi sosial merupakan satu “tragedi berdarah” di Sumatera Utara. Para korban berikut keluarganya, setelah ditangkap dan hartanya dijarah, dikirim ke Raya (Simalungun) yang waktu itu dijadikan pusat tahanan, dipimpin oleh Elkana Saragih Ras. Ditempat ini banyak yang dieksekusi dengan sadis, menyebabkan nama Saragih Ras menjadi momok yang menakutkan. Korban-korban Revolusi sosial tersebut antara lain, sastrawan Amir Hamzah dari Langkat, Sultan SerdangSyariul Alamsyah, Sultan Kota Pinang, Tk Mustapha Perkasa Alamsyah, Sultan Bilah, Tk. Adil Bidar Alamsyah bersama kedua adiknya Tk Harun dan Tk Murad, Sultan Pane Tk Machmud Mangedar Alamsyah bersama Tk Hamlet dan Tk Husin. Sultan Langkat Abd. Jalil Rachmatsyah (ditahan tidak di eksekusi karena sakit) sementara Sultan Asahan Tk. Syaibun, selamat karena sempat melarikan diri.
*). Waktu penulis masih kecil merasakan benar jasa dari desertir ini. Seorang diantaranya bernama Mousha, mengiringi keluarga penulis waktu mengungsi dari Simalungun kembali ke kampung halaman di Laguboti-Toba. Dalam perjalanan yang begitu jauh dengan berjalan kaki lewat Harangan Ganjang, penulis berada diatas pundaknya.
Sumber:
http://sibaranifamily.wordpress.com/