Pertempuran ‘Benteng Huraba’ di Padang Sidempuan: Peran Laskar dan Rakyat Tapanuli Selatan dalam Mempertahankan Kemerdekaan Republik Indonesia
Bagian kedua dari Artikel:: Laskar 'Pelangi' Sipirok, Letnan Sahala Muda Pakpahan dan Benteng Huraba di Padang Sidempuan: Lahirnya Tokoh-Tokoh Militer dari Tapanuli Bagian Selatan
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
Prakondisi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Pembentukan pemerintahan dan pertahanan Republik Indonesia terjadi hampir bersamaan waktunya. Ini sangat mungkin, karena Indonesia merebut kemerdekaan dari tangan penjajah (Jepang) dalam suasana euphoria pasukan Sekutu, dimana Belanda yang dikalahkan Jepang yang bernafsu kembali untuk menjajah telah datang kembali dengan memanfaakan kehadiran pasukan Inggris ketika tengah melucuti pasukan Jepang dan membebaskan tawanan perang yang ada di Indonesia. Dengan situasi dan kondisi tersebut, maka pembentukan dan penyusunan struktur pemerintahan RI dilaksanakan dari pusat ke daerah-daerah (top down), tetapi tidak demikian dalam proses terbentuknya struktur pertahanan RI, justru pertahanan rakyat sudah dimulai dan terbentuk dari kalangan rakyat (bottom up) yang kemudian disempurnakan dan dilegitimasi oleh pemerintah pusat..
Pada awalnya, inisiatif membentuk pertahanan rakyat muncul sporadis. Mereka yang dulunya eks pasukan militer/polisi penjajah (Jepang/Belanda) dan rakyat--pihak yang paling menderita selama penjajahan spontan mengangkat senjata dan mempersenjatai rakyat. Semua yang disebut para ‘pentolan’ rakyat ini bercermin pada pahlawan-pahlawan pendahulu dan tentu saja karena di depan mata adanya potensi ‘chaos’ karena kurang jelasnya estafet kaum penjajah, yang mana pasukan penjajah Jepang sudah ‘lesu darah’ sementara pasukan Inggris mewakili sekutu tampaknya kurang berminat terhadap keelokan bumi Indonesia—mungkin dengan dalih untuk menjaga rasa hormat terhadap mantan penjajah Belanda yang boleh jadi terus ‘merayu’ atau ‘dirayu’ untuk masuk kembali ke Indonesia. Situasi dimana Belanda ingin menjajah kembali dan pasukan Jepang sudah mati kutu di markas masing-masing, maka kesempatan inilah yang ingin diraih oleh rakyat untuk membentuk kekuatan bersenjata dimana-mana.
Dalam situasi begini ini, boleh jadi pemimpin atau mantan pemimpin partai atau organisasi, pengetua adat, para pejuang sejati dan rakyat jelata yang ingin memiliki dan mengangkat senjata secara bersama-sama atau sendiri-sendiri ingin tampil ke permukaan, bermaksud mengamankan asset atau kaumnya, mempertahankan hasil kemerdekaan, melanjutkan karir militer/polisinya dan jangan juga lupa untuk tujuan untuk merampok atau bermotif ingin menindas (revans) terhadap anak bangsanya sendiri yang diuntungkan pada masa penjajahan Belanda dan pendudukan pasukan Jepang. Akibatnya disana sini terbentuk atau dibentuk komando-komando, laskar-laskar, kelompok-kelompok, dan bahkan gerombolan-gerombolan yang visi misinya sebagian cukup jelas dan sebagian yang lain tidak jelas. Pada masa transisi yang kritis itu, potret situasi dan kondisi ala ‘wild west’ yang dirasakan oleh rakyat di hampir seluruh bumi nusantara.
Sementara itu, di pihak lain, untuk menata kembali nusantara menjadi Indonesia (NKRI), pemimpin-pemimpin politik atau militer di pusat (di Jakarta, Yogyakarta, atau Bukit Tinggi) bersepakat (mulus atau tidak) untuk membingkai pemerintahan dengan baju birokrasi baru dan menetapkan NKRI dengan cara menyusun struktur pemerintahan, pertahanan dan keamanan ataupun untuk mengadopsi sebagian dari bentuk-bentuk laskar rakyat atau kelompok-kelompok yang sudah memiliki senjata baik yang dirampas dari pasukan Jepang atau yang dihibahkan atau yang justru dengan sengaja mempersenjatainya (politik etik kontemporer) ala Jepang yang tengah menunggu nasib atas kedatangan pasukan Sekutu..
Pada masa itu, ibukota Negara sudah ditetapkan, tetapi anak-anak kandungnya kewilayahan sebagian sudah dalam pangkuan ibu pertiwi, sebagian yang lain masih status adopsi dan yang lainnya dalam status quo oleh Belanda, Inggris atau Portugis. Karena itu, wilayah-wilayah pemerintahan belum lengkap. Dalam tahap awal pembentukan NKRI, beberapa wilayah dikumpulkan dalam satu 'rumah besar' yang disebut provinsi atau teritorium. Misalnya, di Jawa dibagi menjadi tiga wilayah dan di Sumatera hanya satu wilayah pemerintahan yang dikepalai oleh seorang Gubernur/Ketua Komisaris Pemerintah Pusat yang membawahi sejumlah keresidenan. Di Sumatera bagian Utara pada awalnya ada tiga keresidenan: Aceh (termasuk Langkat dan Karo); Sumatera Timur; dan Tapanuli. Residen Sumatera Timur adalah Mr. Luat Siregar.Keresidenan Tapanuli ditetapkan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan Residen Dr Ferdinand Lumban Tobing dan Wakil Residen Abdul Hakim Harahap. Pada permulaan masa kemerdekaan, Keresidenan Tapanuli pada awalnya berkedudukan di Tarutung lalu kemudian pindah ke Sibolga.
Secara khusus, pengaturan dan ijin (legalitas) pemangku pertahanan dari pemerintah pusat dimulai dengan pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah komando Presiden Soekarno pada tanggal 5 Oktober 1945. Pada awalnya penataan komando pertahanan hanya Tentara Keamanan Rakyat di Jawa dan Sumatera saja. Hal ini dikaitkan dengan wilayah ekonomi yang sewaktu-waktu dapat ‘dianeksasi’ oleh negara pemburu kemakmuran yang berlabel penjajah. Di pulau Jawa ditetapkan 10 divisi dan di Sumatera sebanyak enam divisi. Pada tanggal 13 Desember 1945 dibentuk Komando Tentara dan Teritorium di Jawa (Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Panglima) dan satu lagi di Sumatera. Untuk Komando Tentara dan Teritorium khusus Sumatera (bagian) Utara (KOTT-SU) wilayahnya meliputi Aceh, Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Barat,dan Riau yang markasnya berada di kota Medan. Komando Tentara dan Teritorium di Sumatera Utara ini terbagi lima brigade (Brigade-A di Aceh, Brigade-B di Sumatera Timur, Brigade-C di Tapanuli, Brigade-D di Riau, dan Brigade-E di Sumatera Barat) dan empat resimen infantri (Resimen I-IV). Untuk sekadar diketahui, dikemudian hari (27 Desember 1956) resimen-resimen tersebut dikembangkan menjadi Komando Daerah Militer (KODAM): Kodam I/Iskandar Muda di Banda Aceh (DI Aceh), Kodam II/BB di Medan (Sumatera Utara) dan Kodam III/17 Agustus di Padang (Sumatera Barat).
Dalam perkembangan awal, TKR diubah menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) pada tanggal 25 dan tanggal 26 Januari 1946 di Sumatera, termasuk Sumatera Timur dan Tapanuli. Penyesuaian ini dimaksudkan untuk menjadikan TRI sebagai satu-satunya organisasi militer yang mempunyai tugas khusus dalam bidang pertahanan darat, laut, dan udara. TRI ini kemudian dibiayai oleh negara atas pertimbangan banyaknya perkumpulan atau organisasi laskar pada masa itu yang mengakibatkan perlawanan tidak dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Akhirnya tanggal 3 Juni 1947 diubah dan disahkan menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Khusus anggota laskar yang yang berasal dan bagian dari ‘underbow’ partai, dan setelah dilakukan proses rasionalisasi dan rekonstruksi menjadi sah sebagai anggota TNI. Proses inilah salah satu cara rekrutmen prajurit pada awal pembentukan TNI.
Pasukan Sekutu dengan Membonceng Pasukan Belanda/NICA Mendarat di Sumatera Timur
Pada tanggal 15 September 1945, pasukan Inggris mendarat di Jakarta. Pasukan Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti pasukan Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan para tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu pasukan Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda--sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Pendaratan kedua di Indonesia terjadi di kota Medan pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinanBrigjen T.E.D Kelly. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Awalnya pasukan Sekutu diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Entah sengaja atau tidak, sebuah insiden kecil terjadi di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Ketika itu seorang penghuni hotel dari pasukan Belanda/NICA merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai seorang pemuda Indonesia. Kejadian itu mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan Belanda/NICA. Lantas kemudian, Inggris mengeluarkan ultimatum kepada warga kota agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini nyatanya tidak pernah dihiraukan. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu menjadi tantangan bagi para rakyat di kota Medan khususnya pemuda.
Sementara itu tentara Sekutu juga telah mulai membangun kekuatan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda yang pernah dirampas oleh Jepang. Pihak Inggris yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban malah terkesan lebih berpihak kepada Belanda. Menghadapi situasi semacam itu, rakyat di Medan melakukan taktik perimbangan, yang akhirnya terjadilah perlawanan dari gabungan beragam organisasi/kelompok perjuangan di sana sini melawan Sekutu yang berada di seputar kota. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Napindo (PNI), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Mujahidin (Masyumi) yang didatangkan dari Aceh. Selain itu ada lagi Marechaussee (kepolisian), Tentara Republik Indonesia (TRI), TRIP (TRI Pelajar), Brigade Tapanuli, dan berbagai laskar rakyat. Kelompok-kelompok ini didukung Divisi-X pimpinan Kolonel Hoesin Yoesoef yang bermarkas di Bahjambi (dekat Pematang Siantar). Akhirnya, pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran di dalam kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Oleh karena para pejuang yang kebanyakan masih partikelir, tidak berpengalaman, dan belum tahu strategi dan doktrin perang lalu mundur untuk menyelamatkan diri.
Pendaratan kedua di Indonesia terjadi di kota Medan pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinanBrigjen T.E.D Kelly. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Awalnya pasukan Sekutu diterima secara baik oleh pemerintah RI di Sumatra Utara sehubungan dengan tugasnya untuk membebaskan tawanan perang (tentara Belanda). Entah sengaja atau tidak, sebuah insiden kecil terjadi di sebuah hotel di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 Oktober 1945. Ketika itu seorang penghuni hotel dari pasukan Belanda/NICA merampas dan menginjak-injak lencana merah putih yang dipakai seorang pemuda Indonesia. Kejadian itu mengundang kemarahan para pemuda. Akibatnya terjadi perusakan dan penyerangan terhadap hotel yang banyak dihuni pasukan Belanda/NICA. Lantas kemudian, Inggris mengeluarkan ultimatum kepada warga kota agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini nyatanya tidak pernah dihiraukan. Selanjutnya pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang bertuliskan "Fixed Boundaries Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu menjadi tantangan bagi para rakyat di kota Medan khususnya pemuda.
Sementara itu tentara Sekutu juga telah mulai membangun kekuatan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda yang pernah dirampas oleh Jepang. Pihak Inggris yang seharusnya menjadi penjaga ketertiban malah terkesan lebih berpihak kepada Belanda. Menghadapi situasi semacam itu, rakyat di Medan melakukan taktik perimbangan, yang akhirnya terjadilah perlawanan dari gabungan beragam organisasi/kelompok perjuangan di sana sini melawan Sekutu yang berada di seputar kota. Kelompok-kelompok tersebut antara lain Napindo (PNI), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Mujahidin (Masyumi) yang didatangkan dari Aceh. Selain itu ada lagi Marechaussee (kepolisian), Tentara Republik Indonesia (TRI), TRIP (TRI Pelajar), Brigade Tapanuli, dan berbagai laskar rakyat. Kelompok-kelompok ini didukung Divisi-X pimpinan Kolonel Hoesin Yoesoef yang bermarkas di Bahjambi (dekat Pematang Siantar). Akhirnya, pada tanggal 10 Desember 1945, pasukan Sekutu dan NICA melancarkan serangan besar-besaran di dalam kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah pihak. Oleh karena para pejuang yang kebanyakan masih partikelir, tidak berpengalaman, dan belum tahu strategi dan doktrin perang lalu mundur untuk menyelamatkan diri.
Pasukan Belanda dengan cepat menduduki Binjai, Deli Tua, Pancur Batu, Tembung dan Tanjung Morawa. Situasi dan kondisi tersebut mengakibatkan adanya gelombang arus penduduk yang mengungsi dari berbagai daerah konflik di Sumatera Timur menuju wilayah republik di Tapanuli. Dalam gelombang pengungsian yang bergerak panik dan tidak terkendali, selain masyarakat sipil yang berusaha menyelamatkan diri, juga terdapat sejumlah laskar yang terpukul mundur, antara lain Brigade-A dipimpin Mayor Malau dan Brigade-B Mayor Bejo. Mereka adalah orang-orang yang tidak sudi berdiam di daerah-daerah pendudukan Belanda, dan berbondong-bondong meninggalkan Binjai, Tanjung Pura, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Rampah, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kabanjahe mengungsi menyelamatkan diri ke berbagai daerah republik untuk mencari perlindungan. Kemudian, pada bulan April 1946, pihak Sekutu telah berhasil sepenuhnya menguasai kota Medan.
Pasukan Inggris dan NICA mengadakan pembersihan terhadap unsur Republik yang berada di kota Medan. Pasukan Sekutu berhasil mendesak pemerintah republic untuk keluar dari wilayah kota Medan. Dengan terpaksa Gubernur, Markas Divisi TKR dan Walikota dipindahkan ke Pematang Siantar. Hal ini jelas menimbulkan reaksi para pemuda dan TKR untuk melawan kekuatan asing yang mencoba berkuasa kembali. Sementara, untuk melanjutkan perjuangan di Medan, pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komando ini berdungsi untuk terus mengganggu dan mengadakan serangan terhadap pasukan Sekutu di wilayah Medan.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan pertemuan antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. Pertemuan tersebut memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Pada tanggal 27 Oktober dilakukan serangan umum Laskar Rakyat Medan Area. Pertempuran ini cukup lama dan baru tanggal 3 November 1946 dihentikan sementara yang telah berhasil menguasai lebih dari separuh wilayah kota Medan dari penguasaan sebelumnya oleh pasukan Sekutu. Pada tanggal 15 Februari 1947, keluarlah perintah dari markas pertempuran Komando Medan Area (KMA) untuk mengadakan penyerangan serentak terhadap pertahanan musuh di dalam kota. Komando ini dibentuk untuk menyatukan semua laskar dalam pertempuran yang dilakukan terhadap pasukan Sekutu/NICA. Dalam masa menjelang penentuan garis demarkasi dengan Belanda di Medan Area tahun 1947, pasukan-pasukan bersenjata dari Aceh yang terdiri dari Tentara Rakyat Indonesia (TRI) yang tergabung dalam Resimen Istimewa Medan Area (RIMA) dikerahkan ke Medan.
Di seluruh Medan Area dan seluruh laskar telah siap sedia menjalankan perintah itu dan penyerangan umum adalah merupakan jawaban tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terus menerus dilakukan oleh pihak Belanda. Untuk masing-masing sektor telah ditentukan Komandannya yakni pertempuran di fron Medan Barat dipimpin oleh Mayor Hasan Achmad dari Resimen Istimewa Medan Area atau RIMA. Pertempuran di front Medan Area Selatan dipimpin oleh Mayor Martinus Lubis dan pertempuran di front koridor Medan Belawan berasal dari pasukan Yahya Hasan dan Letnan Muda Amir Yahya dari Kompi-II Batalyion-III RIMA.
Belanda akan melancarkan agresi militernya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia kian semakin dekat. Operasi militer ini merupakan bagian dari 'Politionil Actie' yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran oleh Belanda sendiri atas hasil Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia yang diwakili oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin Harahap (yang juga merangkap Menteri Pertahanan), menganggap operasi ini merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati. Fokus serangan pasukan Belanda ditujukan pada tiga wilayah penting, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Agresi Militer Belanda-I: Pasukan dan Rakyat Sumatera Timur Mengungsi ke Tapanuli dan Aceh
Puncaknya, pagi tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area. Serangan “Politional Actie” ini sebenarnya suatu agresi militer terhadap Republik Indonesia yang usianya baru mendekati dua tahun. Pada waktu kejadian itu Wakil Presiden Muhammad Hatta berada di Pematang Siantar dalam rencana perjalanannya ke Banda Aceh. Di Pematang Siantar beliau mengadakan rapat dengan Gubernur Sumatera Mr. Tengku Muhammad Hasan. Dilanjutkan pada tanggal 23 Juli 1947 di Tebing Tinggi. Pada arahannya dengan para pemimpin-pemimpin perjuangan, wakil presiden memberikan semangat untuk terus bergelora melawan musuh dan memberi petunjuk dan arahan menghadapi agresi Belanda yang sudah dilancarkan dua hari sebelumnya. Namun Wakil Presiden membatalkan perjalanan ke Aceh dan memutuskan kembali ke Bukittinggi, setelah mendengar jatuhnya Tebing Tinggi, pada tanggal 28 Juli 1947. Perjalanan Wakil Presiden berlangsung di tengah berkecamuknya pertempuran akibat adanya serangan-serangan dari pasukan Belanda.
Di Brastagi, Wakil Presiden masih sempat mengadakan resepsi kecil ditemani Gubernur Sumatera Tengku Muhammad Hasan, Bupati Karo Rakutta Sembiring dan dihadiri Komandan Resimen-I Letkol Djamin Ginting, Komandan laskar rakyat ‘Napindo Halilintar’ Mayor Selamat Ginting, Komandan laskar rakyat ‘Barisan Harimau Liar’ Payung Bangun dan para pejuang lainnya yang diadakan di Grand Hotel Brastagi. Dalam kesempatan itu kepada beliau ditanyakan bagaimana rencana selanjutnya sehubungan dengan posisi pasukan Belanda yang sudah dekat dan menduduki Pematang Siantar dan dilaporkan akan menduduki Kabanjahe dan Brastagi. Wakil Presiden selanjutnya menjawab: “Jika keadaan masih memungkinkan, saya harap supaya saudara-saudara usahakan supaya saya dapat ke Bukittinggi”. Rute yang akan dilalui Wakil Presiden adalah Brastagi, Merek, Sidikalang, Siborongborong, Sibolga dan Padang Sidempuan serta seterusnya ke Bukittinggi. Saat mau keberangkatan Wakil Presiden, Gubernur Sumatera dan pejabat-pejabat gubernuran di Pematang Siantar, sayup-sayup sudah terdengar tembakan dari arah Saribudolok. Rupanya di daerah tersebut telah terjadi tembak-menembak antara pasukan Belanda dengan pasukan-pasukan RI yang bertahan di sekitar Gunung Sipisopiso. Untuk mengawal perjalanan pulang/pindah rombongan Wakil Presiden ini, Mayor Maraden Panggabean diminta Komandan Divisi-VI (Tapanuli). Tidak lama kemudian tentara Belanda menguasai semua wilayah Sumatera Timur yang mencapai ke Stabat, Kabanjahe, Tanjung Balai dan Pematang Siantar.
Mayor Jenderal Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur
Agresi militer Belanda yang pertama sesungguhnya telah dimulai tanggal 12 Mei 1947, karena di pantai Barat pulau Sumatera, kapal perang JT-1 dari Angkatan Laut Belanda telah memasuki teluk Sibolga dan menghujani ibukota keresidenan Tapanuli itu dengan tembakan meriam dari laut 45 menit lamanya yang menyebabkan kebakaran besar di kota itu. Penduduk Sibolga lalu berbondong-bondong meninggalkan ibukota Tapanuli itu menuju pedalaman untuk menyelamatkan diri, menyebabkan kota pelabuhan itu berubah menjadi kota mati.
Sementara itu, agresi militer Belanda bulan Juli ini membuat wilayah Tapanuli menghadapi masalah besar oleh aliran ratusan ribu pengungsi dari Sumatera Timur, termasuk laskar dan tentara yang terus menerus terpukul mundur oleh tekanan Brigade-Z pimpinan Mayor Scholten. Panitia penampung pengungsi pun lalu di bentuk di berbagai kota di Tapanuli, seperti: Sipangan Bolon, Sidikalang, Tarutung, Balige, Padang Sidempuan dan lainnya; mendirikan Palang Merah, dan kantor-kantor pendaftaran, serta penerimaan pengungsi gawat darurat. Guna menyediakan kebebasan bergerak kepada pemerintah republik pada keadaan darurat, oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) Tapanuli, jumlah kabupaten yang terdapat dalam Keresidenan Tapanuli dikembangkan dari empat menjadi di Sembilan kabupaten dan ibukota keresidenan lalu dipindahkan dari Tarutung. Langkah pemecahan wilayah ini diambil untuk menghindarkan kemungkinan lumpuhnya pemerintahan republik di Tapanuli, apabila serdadu-serdadu Belanda dalam agresi selanjutnya berhasil menduduki salah satu kabupaten di Tapanuli.
Setelah Wakil Presiden tiba di Bukittinggi dan melihat kenyataan yang terjadi menyebabkan Wakil Presiden mengeluarkan keputusan penting mengenai pembagian daerah dan status daerah di wilayah Sumatera Utara. Pembentukan Gubernur Militer ini dimasudkan untuk menyatukan antara pemerintahan dan militer di tangan satu orang untuk mengantisipiasi kemungkinan serangan yang semakin hebat dari pasukan Belanda. Isi keputusan tersebut yang berbunyi sebagai berikut:
….Dengan surat ketetapan Wakil Presiden tanggal 26 Agustus 1947 yang dikeluarkan di Bukittinggi, maka daerah-daerah Keresidenan Aceh, Kabupaten Langkat, Kabupaten Tanah Karo dijadikan satu daerah pemerintahan militer dengan Teuku Mohammad Daud Beureuh sebagai Gubernur Militer. Sedangkan daerah-daerah Keresidenan Tapanuli, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Asahan dan Kabupaten Labuhan Batu menjadi sebuah daerah pemerintahan militer dengan Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer. Masing-masing Gubernur Militer itu diangkat dengan Pangkat Mayor Jenderal…
Kemudian ibukota keresidenan Tapanuli dipindahkan dari Tarutung ke Sibolga pada tanggal 10 Oktober 1947. Dalam situasi yang tidak menentu, tidak ada lagi jalan berita dari Sumatera Timur, karena telah diblokade Belanda seluruhnya. Tidak banyak yang tahu di Tapanuli bahwa tanggal 25 Desember 1947 Negara Sumatera Timur telah berdiri. Orang-orang republik yang masih berdiam di berbagai kota pendudukan banyak menolong warga masyarakat di pedalaman dalam meneruskan kabar dan perkembangan terbaru. Hal ini juga dilakukan oleh kurir Kantor Residen Sibolga yang sering menyebarkan berita terbaru kepada warga RI di pedalaman. Surat kabar Waspada yang terbit di Medan hanya tirasnya sampai ke Rantau Prapat. Akibatnya, semakin jauh daerah distribusi kran ini, maka selembar surat kabar ini dari tempat penerbitannya berada akan semakin mahal harganya.
Sementara itu, dengan situasi dan kondisi di Sumatera Timur (termasuk Tanah Karo), di wilayah Tapanuli menjadi begitu banyak pasukan pada waktu itu, lebih-lebih pasukan Belanda sudah menguasai Pematang Siantar dan bahkan telah merangsek pula hingga sampai di Parapat. Akibatnya antar pasukan RI (Sumatera Timur dan Tapanuli) terjadi gesekan-gesekan yang diantara pasukan sampai terjadi pertikaian dan bahkan pertempuran antar sesama pasukan. Kemudian tidak terhindarkan, pasukan-pasukan yang terbilang paling kuat dari Sumatera Timur tersebut berselisih paham di Tapanuli. Pasukan-pasukan tersebut adalah pasukan Kesatuan Banteng yang dipimpin oleh Mayor Liberty Malau, pasukan Brigade-B yang dipimpin Mayor Bedjo dan Brigae-A yang dipimpin oleh Mayor A.E. Saragih (Saragih Ras). Pasukan Brigade-A yang merupakan eks laskar 'Barisan Harimau Liar ini sebelumnya sangat terkenal di Sumatera Timur (khususnya Simalungun) dalam memusi kaum bangsawan yang cenderung memihak Belanda dibandingkan Republik. Mayor Bejo sendiri dulunya adalah pemimpin laskar rakyat yang pernah menyerang gudang senjata Jepang di Paulau Brayan.
Menumpuknya berbagai pasukan dan laskar rakyat di Tapanuli akibat eksodus pasukan dari Sumatera Timur. Pada waktu itu, pasukan Brigade-A (eks laskar rakyat 'Barisan Harimau Liar' pimpinan Jakub Siregar, Saragih Ras, dan Payung Bangun yang mundur ke perbatasan Simalungun dan Karo semakin terdesak. Karena itu, Mayjen Dr. Gindo Siregar selaku Gubernur Militer Daerah Tapanuli/Sumatera Timur, pasukan ini dibolehkan pindah ke daerah Sipirok. Padahal, di Sipirok Batalyon pimpinan Kapten Koima Hasibuan dari Brigade-B telah menempatkan sebuah kompinya yang dipimpin Letnan I August Marpaung. Dalam perkembangannya, kompi ini lebih disukai rakyat Sipirok dalam pergaulan sehari-hari dibandingkan Brigade-A. Sementara itu, barisan bersenjata di Sumatera Timur yang berada di kantung-kantung Deli Serdang dan Asahan mengungsi ke Labuhan Batu. Sebagian dari Brigade-A pimpinan Mayor Timur Pane, yang terpaksa mundur dan masuk ke Tapanuli Selatan lewat Asahan dan Labuhan Batu lalu menetap di Gunung Tua.
Perselisihan mulai muncul pada saat Brigade-A yang baru datang rupanya tidak memberitahu kedatangannya kepada Brigade-B yang saat itu sudah berada lebih dahulu dan bermarkas di Padang Sidempuan. Hal ini menyebabkan kompi Brigade-B pimpinan Letnan Sutan Muda Harahap yang bermarkas di Gunung Tua harus meninggalkan pos tempatnya bertugas, dan melapor kepada pimpinan batalyon di Padang Sidempuan yang dipimpin Kapten Koima Hasibuan. Brigade-B (Tapanuli) sendiri adalah eks Brigade-B (Sumatera Timur) pimpinan Mayor Bejo yang pindah posisi dan berkedudukan di Padang Sidempuan yang kemudian menjadi bagian bagian dari resimen yang dipimpin Mayor Maraden Panggabean. Lalu perpindahan pasukan kemudian disusul oleh laskar rakyat 'Naga Terbang' pimpinan Habiaran Pane yang mundur dan kemudian bergerak dari Tarutung dan Pahae untuk bergabung dengan induk pasukannya dari Brigade-A yang telah mengambil posisi di Sipirok dan Padang Lawas. Lantas kemudian, puncak perselisihan terjadi antara pasukan Brigade-A dan Brigade-B. Sumber masalah ini timbul dari hal nok teknis pertempuran yang mana para pasukan Brigade-A tampaknya kurang menghargai rakyat tuan rumah yang dikaitkan dengan sopan-santun adat setempat yang seharusnya menghormati orang tua oleh orang muda. Puncaknya terjadi ketegangan yang berajung pada pertempuran antara Brigade-A dan Brigade-B di Sipirok yang lamanya bahkan sampai tujuh hari.
Selanjutnya, di tempat lain tersiar kabar telah terjadi pula pertempuran sesama pasukan yakni antara pasukan Kesatuan Banteng dan pasukan Brigade–B. Lokasi kejadian awalnya di Batangtoru, kemudian berlanjut di Pandan dan hingga sampai di Sibolga. Setelah banyak memakan korban akhirnya kedua pasukan diadakan perundingan di Sibolga. Dalam perundingan ini juga dihadiri oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta yang ketika itu dalam perjalanan dari Pematang Siantar menuju Bukittinggi. Selesai perundingan maka Brigade–B kembali ke Tapanuli Selatan, sementara pasukan Kesatuan Banteng kembali ke Tapanuli Utara. Wilayah Tapanuli Tengah sendiri diserahkan kepada Brigade-XI Tapanuli yang kedudukannya sebelumnya di Padang Sidempuan. Brigade-XI akan didukung pasukan Angkatan Laut Indonesia yang sudah lama berada di Sibolga.
Dengan jatuhnya ibukota Tapanuli itu, pemerintah RI memutuskan untuk melebur semua pasukan dan laskar yang ada. Pemerintah republik menugaskan pasukan republik dibawah pimpinan Mayor Bejo menahan serangan serdadu Belanda yang tengah menuju Padang Sidempuan dari arah Sibolga. Pada tanggal 28 Desember 1948, pasukan Belanda telah tiba di jembatan Batangtoru. Jembatan sepanjang hampir 100 meter sebelah timur kota Batangtoru itu telah terlebih dahulu dirusak pasukan MBK agar tidak dapat dimanfaatkan pasukan Belanda. Sementara itu Brigade-B yang posnya berada di Padang Sidempuan menyongsong menuju Batangtoru. Penghadangan terhadap pasukan Belanda dilakukan di jembatan Batangtoru. Dalam pertempuran yang tidak sebanding itu pasukan Belanda yang dibantu dengan pesawat tempur dari bandara Pinangsori akhirnya dapat memukul mundur pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli. Kedua pasukan ini akhirnya mundur ke Padang Sidempuan.
Selanjutnya, di tempat lain tersiar kabar telah terjadi pula pertempuran sesama pasukan yakni antara pasukan Kesatuan Banteng dan pasukan Brigade–B. Lokasi kejadian awalnya di Batangtoru, kemudian berlanjut di Pandan dan hingga sampai di Sibolga. Setelah banyak memakan korban akhirnya kedua pasukan diadakan perundingan di Sibolga. Dalam perundingan ini juga dihadiri oleh Wakil Presiden Muhammad Hatta yang ketika itu dalam perjalanan dari Pematang Siantar menuju Bukittinggi. Selesai perundingan maka Brigade–B kembali ke Tapanuli Selatan, sementara pasukan Kesatuan Banteng kembali ke Tapanuli Utara. Wilayah Tapanuli Tengah sendiri diserahkan kepada Brigade-XI Tapanuli yang kedudukannya sebelumnya di Padang Sidempuan. Brigade-XI akan didukung pasukan Angkatan Laut Indonesia yang sudah lama berada di Sibolga.
Pada pertengahan tahun 1948, pasukan Mayor Malau dari Brigade-A melakukan serangan terhadap pasukan batalyon-VI dan menghalaunya meninggalkan Sipirok. Batalyon ini lalu mundur, dan melapor kepada induk pasukannya di Padang Sidempuan. Setelah beberapa hari Mayor Malau dan pasukannya menduduki Sipirok, Mayor Bejo (Brigade-B) bersama pasukannya lalu datang dari Padang Sidempuan untuk membebaskan Sipirok. Setelah bertempur hampir seharian ditengah kota, pasukan Mayor Malau kemudian melarikan diri, dan meninggalkan kota itu dalam keadaan kacau balau. Berkat campur tangan Residen Tapanuli, Mayjen Dr. Gindo Siregar saat itu, perseteruan antar pasukan lebih lanjut dapat dihindari. Keputusan yang dibuat dari kejadian itu, Mayor Timur Pane dinonaktifkan, dan Brigade 'Naga Terbang' dibubarkan. Pelucutan persenjataan mereka itu dilakukan sendiri oleh pasukan Kapten Koima Hasibuan. Dengan begitu, maka keamanan dan ketertiban di Tapanuli Selatan pulih kembali dan tanggungjawab diberikan kepada Komandan resimen Mayor Maraden Panggabean.
Perselisihan nyatanya belum pulih sepenuhnya. Pada suatu malam setelah berdiam di Sipirok selama empat bulan lamanya, pasukan Brigade-A menyelenggarakan suatu rapat rahasia untuk melakukan makar di Padang Sidempuan--tempat dimana pasukan Brigade-B bermarkas. Rapat yang dihadiri pimpinan dan staf Brigade-A bermaksud menghancurkan resimen Mayor Maraden Panggabean dan batalyon Kapten Koima Hasibuan. Hasil pertemuan lalu dibocorkan oleh seorang ibu kepada Wedana Sipirok. Menyadari malapetaka yang akan ditimbulkannya, sang pamong mengutus seorang kurir dalam jalur pemerintah untuk bertemu langsung dengan Mayjen Dr. Gindo Siregar sebagai Gubernur Militer dan Soetan Doli Siregarsebagai Bupati Padang Sidempuan yang dimaksukan agar berita segera mendapat tanggapan dari kedua puncak pimpinan. Sayangnya, laporan kurir tersebut tidak memperoleh tanggapan serius karena para pimpinan itu menganggap tidak akan sampai hati pasukan Barigade-A untuk melaksanakan perbuatan semacam itu.
Tidak lama setelah pertemuan rahasia di Sipirok berlangsung, maka pada tanggal 10 Februari 1948, pasukan Brigade-A berangkat menerobos keheningan malam menuju ibukota Padang Sidempuan. Menjelang subuh mereka telah sampai di dekat kota lalu pada pukul 05.00 secara diam-diam menyusup lalu melancarkan serangan ke batalyon pimpinan Kapten Koima Hasibuan. Oleh karena pasukan ini tengah tidur lelap di tangsi militer, dan dengan sendirinya tidak dapat memberikan perlawanan. Pasukan Brigade-A berhasil melumpuhkan batalyon Padang Sidempuan dan Kapten Koima Hasibuan sendiri tewas dalam serangan tersebut. Anggota pasukan yang hidup kemudian dilucuti. Komandan resimen Mayor Maraden Panggabean tidak dapat berbuat apa-apa dan kemudian ia juga ditawan Brigade-A dan dibawa ke Sipogu dekat Sipirok. Sementara kompi yang dipimpin Letnan I August Marpaung, anak buah Kapten Koima Hasibuan yang sedang bertugas di Sipirok, samasekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi. Ia pun lalu ditawan anggota pasukan Brigade-A yang kembali dari Padang Sidempuan menuju induk pasukannya di Sipirok.
Singkat cerita, dalam situasi genting menjelang agresi militer Belanda kedua, Gubernur Militer Mayjen Dr. Gindo Siregar yang bertindak mewakili pemerintah pusat, lalu mengeluarkan pegumuman yang mengatakan: Tapanuli Selatan berada dibawah Brigade-A, dan semua anggota pasukan resimen Mayor Maraden Panggabean termasuk batalyon Kapten (Anumerta) Koima Hasibuan dinonaktifkan. Kemudian Wakil Presiden Drs. Muhammad Hatta, mengeluarkan surat keputusan melalui Panglima Sumatera Jenderal Soeharjo Hardjowardjo, memerintahkan seluruh tawanan Brigade-A di Sipogu dipindahkan ke Bukittinggi. Ini berarti telah berlangsung pengambilalihan kekuasaan (coup d’etat) militer oleh Brigade-A terhadap Brigade-B di Tapanuli Selatan.
Dr. F. Loemban Tobing menjadi Residen Tapanuli dan Brigade Mobil pindah Ke Padang Sidempuan
Selanjutnya, menjelang datangnya agresi militer Belanda kedua perubahan drastis dilakukan pemerintah pusat. Pemerintah RI lalu membebastugaskan Mayjen Dr. Gindo Siregar dan digantikan oleh Dr. F. Loemban Tobing yang sekaligus merangkap Residen Tapanuli untuk mengkonsolidasi perlawanan terhadap Belanda. Salah satu strategi yang diambil dalam menghadapi agresi militer Belanda kedua adalah bahwa jika sebuah kabupaten jatuh ke tangan Belanda, maka kabupaten yang belum jatuh akan dengan sendirinya menjadi pusat pemerintahan republik di Tapanuli Selatan. Oleh karena itu, wilayah Tapanuli Selatan kemudian dibagi menjadi tiga kabupaten, yaitu:
- Kabupaten Padang Sidempuan, dengan ibukotanya: Padang Sidempuan (terdiri dari kewedanaan Padang Sidempuan dan kewedanaan Sipirok)
- Kabupaten Batang Gadis, dengan ibukotanya Panyabungan (mencakup seluruh Mandailing, Ulu, Pakantan dan Batang Natal)
- Kabupaten Padang Lawas dan Barumun, dengan ibukotanya Gunung Tua (mencakup Padang Lawas dan Barumun)
Sementara itu, karena adanya perselisihan antar pasukan yang ada di Tapanuli yang mengakibatkan gabungan kekuatan senjata yang termasuk Brigade-XI menjadi pecah dan masing-masing membawa jalannya sendiri-sendiri. Puncak perselisihan yang menyebabkan kekuatan di Tapanuli dalam menghadapi rencana agresi militer Belanda menjadi melemah karena salah satu pasukan melakukan penyerangan ke asrama Bataliyon Brigade–XI di Padang Sidempuan, dimana komandan batalyonnya meninggal dunia. Akibat adanya krisis antar pasukan di Tapanuli, Kepala Mobile Brigade Keresidenan (MBK) Tapanuli dan Kepala Polisi Keresidenan Tapanuli diminta melaporkan situasi dan kondisi kepada Residen Tapanuli, Dr. Ferdinand Lumban Tobing. Anehnya, Kepala MBK Tapanuli Komisaris Polisi Mas Kadiran dengan tegas memihak kepada Brigade-B pimpinan Mayor Bedjo yang sudah berada di Tapanuli Selatan. Atas permohonan Kepala MBK tersebut, Residen Tapanuli mengabulkan untuk membawa pasukannya ke Padang Sidempuan yang maksudnya untuk menghindari kemungkinan terjadinya lagi bentrokan antar pasukan.
Agresi Militer Belanda-II: Aksi Bumi Hangus di Padang Sidempuan
Dalam perkembangan selanjutnya, pasukan Belanda yang semakin menguat di Parapat lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai ibukota Keresidenan. Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan. Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali. Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949). PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Agresi Militer Belanda-II: Aksi Bumi Hangus di Padang Sidempuan
Dalam perkembangan selanjutnya, pasukan Belanda yang semakin menguat di Parapat lambat laun berhasil menguasai Tapanuli bagian utara seperti Porsea, Balige dan Tarutung. Dengan semakin derasnya aliran pasukan Belanda yang dikerahkan di Sumatera Timur dan Tapanuli, pihak Belanda tampaknya ingin segera menguasai seluruh wilayah Keresidenan Tapanuli terutama Sibolga sebagai ibukota Keresidenan. Pasukan Belanda berharap jika Sibolga sudah dikuasai, sementara Padang (Sumatera Barat) sudah lebih dahulu dikuasai, maka pasukan Belanda merasa mudah menguasai Padang Sidempuan dan wilayah Tapanuli Selatan. Pasukan Belanda berharap Dengan dikuasainya Padang Sidempuan dan sekitarnya, maka terbuka lebar untuk menjepit salah satu pasukan terkuat RI yang ada di Bukittinggi. Ini jelas, suatu rencana yang sangat taktis dan strategis. Selanjutnya, pasukan Belanda melancarkan agresi militer kembali. Dalam agresi militer Belanda yang kedua ini yang dimulai pada 19 Desember 1948 dengan melakukan serangan terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik Indonesia. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap dan dibuang ke Brastagi. Akibatnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Bukittinggi dengan dibentuknya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada tanggal 22 Desember 1948 (dan berakhir tanggal 13 Juli 1949). PDRI yang berkedudukan di Bukittinggi dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara. Sementara, di Tapanuli pasukan Belanda melakukan serangan ke Sibolga baik dari laut, darat dan maupun udara. Akhirnya kota Sibolga jatuh ke tangan pasukan Belanda pada tanggal 20 Desember 1948.
Meriam pasukan Belanda di Benteng Huraba |
Setelah Batangtoru berhasil direbut, selanjutnya pasukan Belanda mengebom kota Padang Sidempuan dengan dua pesawat tempur. Pasukan Brigade-B dan MBK Tapanuli menyingkir dan mundur ke Penyabungan. Untuk menahan masuknya pasukan Belanda dari arah Sibolga, pasukan dan para laskar diperintahkan melakukan taktik rintangan dan bumi hangus. Seluruh jembatan yang menuju ke Padang Sidempuan diruntuhkan, pohon-pohon besar yang tumbuh sepanjang jalan-raya ditumbangkan ke tengah jalan, permukaan jalan yang rata diberi berlobang dimana-mana. Semua itu dilakukan agar kendaraan militer pasukan Belanda tidak dapat melewatinya atau paling tidak untuk membuatnya bergerak tersendat-sendat. Sementara itu, bangun-bangunan dan gedung yang masih berdiri yang kemungkinan akan digunakan Belanda untuk markasnya dibakar atau diruntuhkan. Pasukan Belanda akhirnya memasuki Padang Sidempuan pada tanggal 1 Januari 1949. Pasukan Belanda mendapati ibukota Angkola itu sudah habis di bumi hangus yang ditinggalkan warganya.
Pemerintah RI Kabupaten Tapanuli Selatan pimpinan Bupati, Sutan Doli Siregar, Patih, Ayub Sulaiman Lubis, dan Wedana Maraganti Siregar dan kepala persediaan makanan rakyat Kalisati Siregar juga telah meninggalkan Padang Sidempuan menuju Sipirok. Lantas mereka ini meneruskan perjalanan ke Panyabungan. Di Sipirok, perlawanan terhadap serangan pasukan Belanda dilakukan oleh AGS (Angkatan Gerilya Sipirok) pimpinan Sahala Muda Pakpahan yang bertugas sebagai komandan dengan wakilnyaMaskud Siregar. AGS ini baru dilantik oleh Wedana sekaligus PPK (Pimpinan Pertahanan Kewedanaan) Sipirok pada tanggal 3 Januari 1949 dibawah komando Brigade-B pimpinan Mayor Bejo. Anggota AGS ini diantaranya bekas para laskar yang terpukul mundur dari Sumatera Timur dalam agresi militer Belanda yang pertama antara lain: bekas pasukan Naga Terbang, bekas anak buah Kapten Koima Hasibuan, anggota kepolisian Sipirok yang seluruhnya dipersenjatai dengan senapan locok yang ada ketika itu. Pada tanggal 5 Januari 1949 pasukan republik melancarkan serangan terhadap Belanda yang menduduki Padang Sidempuan dari Sipirok, dan berhasil masuk ke dalam kota. Akan tetapi balasan mortir yang bertubi-tubi dihamburkan pasukan Belanda bukan imbangan pasukan republik. Pasukan republik ini harus mundur dan kembali ke Sipirok dengan membawa serta anggota yang gugur dan terluka.
Pada tanggal 21 Januari 1949 kota Sipirok diserang oleh pasukan Belanda dan Pemerintahan RI di kota itu terpaksa mengungsi ke Arse dan markas AGS terpaksa dipindahkan ke Bukit Maondang (tiga kilometer dari Sipirok). Pada tanggal 30 Januari 1949, Binanga Siregar selaku Wakil Residen Tapanuli mengunjungi Bukit Maondang dan Arse di Tapanuli Selatan untuk menyaksikan dari dekat pertahanan republik di garis depan. Keesokan harinya Wakil Residen bersama Wedana Sipirok berpidato dihadapan rakyat tentang isi surat Residen Tapanuli ketika itu yang mengutip berita-berita yang disiarkan: “All Indian Radio” dan “Radio Australia”, bahwa rakyat Indonesia telah berhasil melalui diplomasi di PBB. Juga tentang akan adanya penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) oleh pemerintah Belanda di Den Haag.
Pada tanggal 1 Februari 1949 Ayub Sulaiman Lubis dan Kalisati Siregar berangkat ke Angkola Jae untuk melanjutkan perjalanan ke Mandailing. Keesokan harinya jalan yang sama dilalui pula oleh Binanga Siregar, Sutan Doli Siregar, Sutan Hakim Harahap, dan Maraganti Siregar guna mengabarkan keberhasilan bangsa Indonesia di PBB untuk bidang diplomatik kepada masyarakat di pedalaman. Mengetahui pemerintah Tapanuli Selatan telah meninggalkan Sipirok, maka pada tanggal 17 Februari 1949 pasukan Belanda melanjutkan serangannya ke Bunga Bondar. Pada tanggal 8 Mei 1949, serdadu-serdadu Belanda berikut kendaraan lapis baja mereka meneruskan penyerangan ke Arse. Meski dalam setiap langkah agresi yang dilakukan pasukan Belanda, pasukan Republik menunjukkan perlawanan. Akhirnya pemerintah Tapanuli Selatan terpaksa mengungsi meninggalkan Arse menuju Simangambat.
Pertempuran Benteng Huraba: Merebut Kembali Padang Sidempuan
Dengan jatuhnya kota Padang Sidempuan ke tangan pasukan Belanda dan kekalahan yang dialami pasukan dan laskar rakyat, maka di wilayah pertahanan RI ini di Huta Goti diadakan perundingan yang melibatkan berbagai komponen pertahanan yang berada ada di luar kota Padang Sidempuan. Tujuan diadakan perundingan ini untuk menyusun strategi dalam merebut kota Padang Sidempuan dari tangan pasukan Belanda. Kekuatan perlawanan terhadap pasukan Belanda tersebut meliputi pasukan yang terdiri dari MMB-I Sumatera pimpinan Iptu Ibnu, pasukan MBK Tapanuli dan Kompi Brigade-B yang dipimpin Kapten Robinson Hutapea serta laskar rakyat yang dipimpin Letnan Sahala Muda Pakpahan dengan dukungan masyarakat. Dalam pertempuran yang direncanakan secara matang dan terkoordinasi dengan baik terjadi cukup alot. Pertempuran yang berlangsung selama tiga hari akhirnya dapat merebut kembali kota Padang Sidempuan.
Setelah kota Padang Sidempuan direbut, pasukan Belanda mundur ke Batangtoru. Namun baru berselang enam jam kota Padang Sidempuan ke pangkuan ibi pertiwi, tiba-tiba secara mendadak muncul dua pesawat tempur di langit Padang Sidempuan dan menembaki kota yang disusul dengan pasukan Belanda yang melakukan putar balik di Batangtoru. Suasana panik dan serangan darat dari pasukan Belanda dari arah Batangtoru tidak mampu ditahan oleh gabungan pasukan dan terpaksa harus mundur secara bertahap ke Huta Goti, Huta Pijorkoling, Huta Pintu Padang dan akhirnya konsolidasi untuk bertahan di Huta Huraba.
Peta Padang Sidempuan - Huraba |
Posisi Benteng Huraba yang diduduki pasukan Belanda ini sangat strategis dan menjadikannya garis front utama untuk mempertahankan wilayah Padang Sidempuan. Karena itu pasukan Belanda waktunya untuk melakukan pertahanan di Benteng Huraba. Sementara itu, di Huta Tolang, Komandan MBK yang datang dari Panyabungan mengumpulkan seluruh pasukan yang ada dan melakukan konsolidasi untuk penyerangan balasan terhadap pasukan Belanda yang sudah bertahan di Benteng Huraba. Dalam pertempuran di Benteng Huraba ini pasukan gabungan memulai penyerangan pada saat fajar dengan menggunakan mortir. Pertempuran ini terjadi sangat heroik dan membuthkan waktu. Baru pukul 16.30.WIB pasukan gabungan berhasil memenangkan pertempuran dan Benteng Huraba dapat direbut kembali. Pasukan Belanda yang dikalahkan mundur ke Padang Sidempuan. Dalam pertempuran ini ditaksir cukup besar kerugian yang dialami oleh pihak pasukan gabungan baik jiwa maupun materi. Dari anggota pasukan MBK Tapanuli sendiri yang gugur terdapat sebanyak 11 orang dan dari pasukan Brigade–B sebanyak 16 orang. Sementara dari barisan laskar dan rakyat yang tergabung dalam pertempuran itu tidak pernah tercatat berapa orang yang sudah gugur dalam pertempuran yang heroik itu.
Pada tanggal 3 Agustus 1949 gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia disepakati. Kemudian dilanjutkan perundingan yang disebut Konferensi Meja Bundar, sebuah pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasil perundingan itu antara lain dan yang terpenting bahwa kedaulatan NKRI akan diserahkan selambat-lambatnja pada tanggal 30 Desember 1949.
***
Benteng Huraba adalah pertahanan terakhir dari perlawanan rakyat di wilayah Provinsi Sumatera Utara terhadap pasukan Belanda dalam agresi militer Belanda kedua. Suatu benteng yang pada masa ini berada di dekat Kota Padang Sidempuan di Kecamatan Batang Angkola, Kabupaten Tapanuli Selatan. Benteng ini lokasinya sangat strategis yang berada di jalur lintas Padang Sidempuan ke Bukittinggi. Pada masa dulu, Benteng ini tidak bisa ditembus pasukan Belanda hingga terjadinya penyerahan kekuasaan dan pengakuan Belanda terhadap NKRI (27 Desember 1949). Kini, benteng ini tidak hanya sebagai simbol perjuangan masyarakat Sumatera di kancah nasional dalam pertempuran sealama Perang Kemerdekaan, tetapi benteng ini juga dulu telah menyelamatkan kota Penyabungan sebagai ibu kota pengganti Tapanuli Selatan setelah kota Padang Sidempuan di kuasai pasukan Belanda. Juga, Benteng Huraba ini telah turut serta dari sisi utara dalam mengamankan ibukota Republik Indonesia di Bukittinggi. Bravo lascar dan rakyat Tapanuli Bagian Selatan.
Monumen Benteng Huraba |
Untuk menghormati para pahlawan yang gugur dalam mempertahankan kemerdekaan di Benteng Huraba dan untuk menunjukkan betapa pentingnya perjuangan rakyat Tapanuli bagian Selatan bersama-sama dengan TNI dan Polri maka dibangunlah monumen Benteng Huraba. Bangunan benteng yang bentuknya layaknya ‘kastel’ dalam permainan catur ini diresmikan oleh KapolriJenderal Awaloedin Djamin pada tanggal 21 November 1981. Ketika peresmian ini saya (tingkat Pramuka Penegak) dan kawan-kawan dari Dewan Kerja Cabang Gerakan Pramuka Kwarcab Tapanuli Selatan (Saka Bhayangkara) bertindak sebagai bantuan keamanan untuk Polres Tapanuli Selatan untuk memastikan kelancaran acara peresmian tersebut.
Demikianlah eksistensi Benteng Huraba di Padang Sidempuan (sekarang masuk wilayah Tapanuli Selatan), sebuah benteng yang mampu menjaga pertahanan rakyat dalam perang melawan pasukan Belanda pada tanggal 5 Mei 1949. Skak mat! Pasukan Belanda kemudian keluar dari bumi pertiwi dan akhirnya mengakui kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Merdeka!
Sumber: Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
http://borutapanuli.blogspot.com/
http://maskadirancs.blogspot.com
www.wikipedia.org
http://www.karo.or.id
Foto (patuandolok.blogspot.com)
Bersambung.....
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber:
http://akhirmh.blogspot.com/2012/06/pertempuran-benteng-huraba-di-padang.html
No comments:
Post a Comment