Wednesday, November 26, 2014

'Berpetualang' Ke Dunia Roh [2]

10/25/2013

 'Berpetualang' Ke Dunia Roh [2]


Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!

Negeri roh leluhur



Dari Pasar Tedong, dengan mobil sewaan, kami beranjak ke luar kota, menuju Desa Londa. Mungkin inilah yang dimaksud Gibson 'bertualang di dunia roh'. Dari kejauhan,  tampak perbukitan yang dikelilingi hutan dan sawah.  Bukit itu sepintas  terlihat seperti 'apartemen' bertingkat dengan sejumlah 'balkon' di tebing-tebingnya, di mana sejumlah anggota keluarga tampak sedang duduk-duduk santai.
  
Bukit Londa memang bukan bukit biasa, melainkan sebuah kompleks 'pemakaman' keluarga dari marga Tolengke, salah satu keluarga terkemuka di Tana Toraja. Yang terlihat seperti balkon-balkon rupanya adalah pemakaman. Setelah diupacarakan, jenasah dimasukkan ke dalam peti mati, lalu dikerek ke atas tebing untuk disemayamkan di ketinggian yang bisa mencapai 70 meter dari permukaan tanah. Sejumlah boneka dari kayu (tao-tao) –dipahat menyerupai dan seukuran manusia, pria dan wanita-- dijejerkan di 'balkon' tebing, lengkap dengan pakaiannya yang diganti setahun sekali, tentunya dengan upacara tertentu.
  
Tak hanya di tebing-tebing bukit, jenasah juga disemayamkan di dalam relung-relung gua di kaki bukit. Dengan bantuan lampu petromaks dan pemandu setempat, saya menyusuri gua yang gelap, terjal, dan lembap itu. Meski cukup siap mental –karena sudah diberitahu oleh Gibson-- tak urung saya terkaget-kaget juga saat memasukinya. Tak perlu masuk jauh ke dalam, di depan mulut gua pun sudah bergeletakan puluhan peti mati –yang masih baru maupun yang sudah lapuk.



  
Yang lebih dahsyat, dari peti-peti mati yang sudah hancur dimakan usia itu, bergeletakan tengkorak dan tulang belulang manusia. Ada yang 'nyangkut' di ceruk dinding gua, ada pula yang tergeletak begitu saja di lantai gua. Di salah satu sudut, saya melihat dua tengkorak diletakkan berdampingan. Menurut pemandu, itu adalah tengkorak sepasang pengantin baru yang terpaksa kawin lari karena tidak direstui adat, dan keduanya bunuh diri.


  
Tapi, anehnya, meski suasananya gelap dan dikelilingi tulang belulang manusia, saya tak merasa takut sedikit pun. Pasalnya, tidak seperti di Jawa yang doyan memistikasi hal-hal seperti itu, di Toraja hal itu dianggap biasa saja. Tidak ada kesan suwung, tak ada kuncen, tak ada bau dupa atau orang bersemedi, juga tak ada syarat-syarat khusus yang harus ditaati pengunjung untuk memasuki gua tersebut. Misalnya harus mengenakan pakaian tertentu. Bahkan, saya melihat sekelompok anak muda ribut dan cekikikan sembari berpose di antara tengkorak-tengkorak. Satu-satunya yang saya takutkan adalah kalau secara tak sengaja kaki saya menginjak atau menendang tulang belulang itu.
  
Meski umumnya masyarakat Toraja adalah jemaat Gereja Kristen Toraja –gereja ada di hampir setiap satu kilometer-- dalam kehidupan sehari-hari banyak di antara mereka, terutama kalangan tua, yang masih menganut kepercayaan lama, yaitu Aluk Tao Dolo (pemujaan terhadap roh leluhur). Bagi mereka, para roh leluhur itu adalah bagian dari mereka dan ada di sekitar mereka. Tak heran bila di depan tulang belulang itu umum terlihat sesajen berupa rokok, air mineral dalam botol atau gelas, serta biskuit.
  
Bahkan, bila ada anggota keluarga yang meninggal dan belum sempat dimakamkan (karena biayanya belum cukup), maka jenasahnya –sudah diawetkan dengan formalin--  disemayamkan di dalam rumah. Lamanya bisa 1-2 tahun. Karena belum dikuburkan, almarhum dianggap masih hidup, hanya sedang sakit. Karena itulah, setiap hari, tiga kali sehari, jenasah 'diberi' sepiring nasi plus lauk pauk, segelas kopi atau teh, sirih, serta rokok. Nah, kalau disuruh samen leven bersama jenasah kayak gitu, mungkin saya langsung mati berdiri!
   


Berkeliling Desa Deri adalah tujuan kami selanjutnya, lagi-lagi untuk 'berburu' kuburan, yang kali ini berupa kuburan batu yang unik. Dari kejauhan, di sepanjang jalan atau di tengah ladang, saya melihat banyak onggokan batu alam seukuran mobil. Bila Anda menemukan batu-batu yang di depannya ada salib, karangan bunga imitasi, foto-foto dalam bingkai, cuplikan doa dari Injil, dan batang-batang lilin yang sudah meleleh, dapat dipastikan itu adalah kuburan.
  
Menurut Gibson, di Tana Toraja nyaris tidak ada area pekuburan khusus seperti di daerah lain di Indonesia. Orang Toraja dari kalangan kebanyakan, bila meninggal, biasanya cukup dikuburkan di dalam batu-batu alam yang banyak berserakan. Caranya, batu itu 'dibolongi' dengan ditatah, ukurannya bisa sebesar kamar 3 X 3 meter, tergantung ukuran batunya. Konon, untuk membuat satu ruangan perlu waktu 6 bulan hingga satu tahun!
  
“Mungkin ini kebijaksanaan leluhur tentang penghematan lahan. Kalau dipakai buat kuburan seperti di daerah lain, bisa-bisa habis lahan kami untuk bertani,” ujar Gibson. Sayangnya, belakangan ini mulai bermunculan kuburan-kuburan modern dari semen dan beton. Tak jarang makam model baru itu didesain sangat mewah, lengkap dengan pilar-pilar dari batu pualam. Makam beton ini biasanya dibangun oleh orang-orang Toraja yang tinggal di Jakarta atau kota-kota besar lain. Mungkin demi alasan praktis, tapi kabarnya juga demi gengsi dan modernitas.


  
Satu kuburan batu biasanya berisi jenasah satu keluarga atau sekitar 6-8 orang. Anak perempuan dari suatu keluarga, meskipun sudah bersuami, jenasahnya tetap digabung dalam kuburan keluarga dari pihak ayah. Begitu pentingnya arti kuburan bagi masyarakat Toraja, sehingga dianggap sebagai 'rumah kedua' (tongkonan tang merambu = rumah tak berasap) mereka.
  
Bahkan, meski meninggalnya di luar negeri sekalipun, jenasah putra asli Toraja wajib dibawa pulang dan dimakamkan di kampung halamannya. Inilah salah satu yang membuat biaya kematian di Toraja sangat mahal.  


  

(bersambung)



Tina Savitri



Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=81

No comments:

Post a Comment