Nasionalisme Simbolon
Oleh: Samdy Saragih
| 15 February 2010 | 08:17
Februari adalah bulan penuh cinta dan disimbolkan lewat warna merah muda. Bagi muda-mudi, di bulan inilah mereka merayakan hari spesial untuk pasangannya. Tapi, dalam sejarah republik kita tercinta ini, justru pernah retak hubungan antar sesama anak bangsa. Itu terjadi di bulan februari ini.
Hari ini, tepat 52 tahun yang lalu sekelompok perwira menengah TNI AD bersama beberapa politisi mendeklarasikan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang Sumatera Barat. Pemerintah pusat segera bereaksi dengan mengirim pasukan untuk menumpas apa yang mereka sebut pemberontakan itu. Selama kurang lebih 3 tahun, terjadi peperangan sesama anak bangsa. Pemberontakan itu berakhir dengan pemberian amnesti dan abolisi terhadap pencetus dan pengikut PRRI tersebut.
Salah satu tokoh yang dianggap dalang pemberontakan itu adalah seorang perwira menengah TNI AD bernama Maludin Simbolon. Ketika itu ia perwira berpengaruh di sumatera khususnya Sumatera Utara. Ia menjabat panglima Tentara dan Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang berkedudukan di Medan. Sebagai perwira didikan Jepang, ia juga cukup disegani oleh anak buah dan rekan-rekannya. Saat PRRI dideklarasikan, Simbolon secara de jure tidak menjabat panglima TT I Bukit Barisan lagi. Tapi, deklarasi itu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Simbolon .
Maludin Simbolon lahir di Pearaja, Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara pada 13 September 1916. Tumbuh dan lahir ketika Zending Jerman masih bercokol di Tanah Batak membuat dia akrab dengan pendidikan Jerman. Ia melanjutkan pendidikannya ke Pulau Jawa. Di sana ia menemukan jodoh yang berprofesi sebagai bidan bernama Paniyem.
Pada masa pendudukan Jepang, Simbolon mengikuti pendidikan militer untuk dipersiapkan menjadi pasukan sukarela Jepang, Giyugun ( Jika di Jawa bernama PETA). Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Simbolon berjuang di teritorial komandemen Sumatera. Pasca Belanda mengakui kedaulatan Indonesia ia diangkat menjadi komandan TT Sumatera Utara (kemudian menjadi TT I Bukit Barisan) menggantikan Kolonel Alex Kawilarang.
Pada masa kepemimpinannya inilah terjadi banyak kemelut di negara yang baru saja berdiri termasuk di tubuh angkatan bersenjata . Salah satu kemelut yang terjadi adalah apa yang dikenal sebagai peristiwa 17 Oktober 1952. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi oleh pertentangan 2 kubu di Angkatan Darat sendiri. Namun kemudian parlemen malah turut campur sehingga pimpinan AD Termasuk Simbolon di dalamnya menjumpai Presiden Sukarno dan mendesak beliau untuk membubarkan parlemen. Bung Karno tidak mau sebab dirinya bukan diktator. Peristiwa tersebut juga diwarnai dengan pengarahan moncong meriam ke istana oleh pasukan yang berada di luar.
Selain itu, naiknya PKI sebagi kekuatan politik pasca pemilu tahun 1955 juga merisaukan dirinya. PKI yang dianggap anti-Tuhan dinilai dapat membahayakan ideology negara. Tapi, TNI dan masyarakat antikomunis tidak dapat berbuat banyak sebab pengaruh Bung Karno sangat besar untuk melindungi PKI.
Kemelut 17 Oktober 52, naiknya PKI hanyalah beberapa hal yang menyebabkan ketidakpuasan Simbolon dan teman-emannya kepada pemerintahan pusat. Yang paling berbahaya adalah adanya sentiment kedaerahan yang dibawa-bawa. Pusat dianggap tidak adil dalam ekonomi terhadap daerah. Padahal daerahlah yang paling banyak menyumbang devisa. Itu dialami juga oleh daerah yang merupakan komando Simbolon. Kondisi prajurit di wilayah komandonya juga sangat tragis. Asrama sangat tidak layak. Tapi pemerintah pusat tidak bergeming sedikitpun.
Kondisi tersebut memaksa dirinya untuk mendapatkan pemasukan secara tidak halal. Salah satunya dengan mengadakan perdagangan barter hasil perkebunan dengan Singapura dan Malaysia. Tentu itu dilakukan secara diam-diam, sebab tentara tidak boleh berdagang secara langsung. Walaupun penyelundupan itu bisa menambah pemasukan bagi komandonya, akhirnya kegiatan itu muncul juga ke permukaan. Simbolon diperiksa dalam kegiatan yang dikenal sebagai penyelundupan teluk nibung itu.
Deklarasi PRRI
Melihat gelagat Simbolon itu, Akhirnya pada tahun 1956 Pemimpin AD mengganti Kolonel Simbolon dengan Kolonel Zulkifli Lubis. Tapi, serah terima jabatan tidak pernah dilakukan. Dalam masa itulah terjadi kemudian peristiwa yang merupakan cikal bakal berdirinya PRRI, yaitu reuni Divisi Banteng.
Letnan Kolonel Ahmad Hussein, komandan Resimen 4 yang berkedudukan di sumatera tengah (sekarang meliputi Sumbar dan Riau) mengadakan reuni bersama kawan-kawan seperjuangannya di Divisi Banteng ketika revolusi kemerdekaan dulu. Reuni tersebut diadakan di Padang. Tapi, reuni tersebut bukan reuni biasa. Reuni tersebut dilatarbelakangi keprihatinan atas situasi sosial politik .
Reuni itu menghasilakn keputusan antara lain: 1) Mendesak pemberian otonomi seluas-luasnya, 2) Pembentukan dewan banteng, 3) Penghapusan sistem pemerintahan sentralistik. Kemudian Ahmad Hussein melaporkan hal tersebut kepada atasannya, Kolonel Simbolon. Di Medan, Simbolon medukung pendirian dewan banteng. Malah ia kemudian mendirikan Dewan Gajah. Tidak hanya itu, ia juga mengeluarkan keputusan pada tanggal 22 Desember 1956 yang tidak mengakui kabinet dan mengambil alih komando pusat oleh TT I BB.
Pemerintah pusat bukan tidak merespon kemelut daerah itu. Tapi, peristiwa penggaranatan Cikini terhadap Bung Karno pada 1957mengurungkan penyelesaian secara damai. Pada 10 Februari 1958 tokoh politik yang kebanyakan berasal dari Masyumi dan PSI serta perwira-perwira menengah seperti Simbolon, Ahmad Hussein, Zulkifli Lubis mengadakan pertemuan di sungai dareh Sumatera Barat.
Pertemuan tersebut menghasilkan ultimatum yang berisi: 1) Presiden Sukarno mencabut mandat kabinet juanda paling lama 5 x 24 jam. 2) Menugaskan Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk zeken kabinet. 3) Jika tidak maka akan diambil kebijakan sendiri. Tentu pusat tidak merespon ultimatum tersebut dan membebastugaskan Kolonel Simbolon dan kawan-kawan.
PRRI lalu dideklarasikan pada tanggal 15 Februari. Syafrudin Prawiranegara yang pernah memimpin Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) ketika agresi militer belanda II menjabat Perdana Menteri. Menlu dijabat oleh Simbolon, Menhan oleh mantan PM Burhanuddin Harahap, dan Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri perhubungan. Segera setelah itu di Sulawesi Letnan Kolonel DY Somba menyatakan bergabung dengan PRRI lewat piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta).
Bukan Separatis
Jika kita perhatikan, “pemberotakan” Simbolon dan kawan-kawan itu bukanlah sebagai bentuk tindakan separatisme yang hendak mendirikan negara sendiri dan memecah-mecah NKRI. Apa yang dilakukan itu hanyalah bentuk rasa ketidakpuasan atas situasi politik yang berkembang. Naiknya PKI, pecahnya dwitunggal yang merupakan representasi Jawa-Luar Jawa turut memperburuk keadaan. Bung Karno nyaris tidak bisa berbuat banyak sebab Bung Karno hanya sebgai kepala negara bukan kepala pemerintahan. PRRI sendiri hanyalah pemerintahan, bukan negara. Karena itu tidak ada kepala negara PRRI. Mereka tetap mengakui Bung Karno sebagai Presiden.
Para tokoh PRRI juga bukan sembarang tokoh. Mereka bahu-mebahu memperjuangkan kemerdekaan RI. M. Natsir, Burhanuddin Harahap, Sumitro tidak diragukan lagi komitmennya. Mereka tidak ingin memecah NKRI. Ketika Simbolon didatangi agen CIA dan menyarankan untuk meledakkan ladang minyak Caltex supaya Amerika punya dalih untuk menerjunkan pasukannya ditolak oleh Simbolon. Dia tidak ingin Indonesia pecah seperti korea. Keterlibatan AS hanya sampai pada bantuan persenjataan saja. Hal itu dapat dibuktikan saat operasi tegas di Riau. Pasukan RPKAD yang dipimpin oleh Benny Moerdani mendapati persenjataan Amerika di Bandara Simpang tiga yang belum dipakai.
Simbolon juga tidak hendak memfederalkan Indonesia. Ketika Natsir, Syafruddin, dan Burhanuddin Harahap mengajukan usul pendirian Republik Persatuan Indonesia (RPI) yang federalistik agar mendapat dukungan lebih luas, Simbolon menolak sebab itu hanya akan memecah bedasarkan suku dan agama saja. Akhirnya solusi RPI digugurkan oleh Simbolon.
Akhir PRRI
Kisah PRRI tidak bertahan lama. Situasi politik sudah berubah. Bung Karno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945. Bung Karno menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Untuk mengakhiri PRRI, pemerintah menjanjikan abolisi dan amnesti bagi para pengikut PRRI yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Tokoh politik lebih dahulu menyerah. Simbolon sendiri menyerah pada 12 Agustus 1961 di Balige lewat upacara militer.
Penyerahan diri itu tidak lantas membebaskan mereka. Mereka tetap dihukum sebagai tahanan politik. Masyumi dan PSI dibubarkan lantaran banyak tokoh mereka terlibat PRRI. Bahkan nama mereka tidak pernah direhabilitasi walaupun Orde lama tumbang tahun 1966.
Kita tidak berharap kejadian 52 tahun itu terulang kembali. Beberapa impian mereka dulu sakarang sudah terealisasi. Indonosia sudah menganut sistem desentralisasi yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah. Terucap kata-kata Simbolon di makam sisingamangaraja XII ketika hendak menyerah, “Nunga mulak be hami opung di bagasan hahorason, ala asi ni roha dohot holong-Ni Tuhan pardenggan basa i ( Sudah pulang kami opung dengan selamat, hanya karena kasih dan karunia Tuhan Mahakasih.” Semoga Bangsa ini dalam selalu dalam lindungan-Nya!
Referensi:
- Kolonel Maludin Simbolon, liku-liku perjuangannya dalam pembangunan bangsa oleh Payung Bangun
- Benny Moerdani, Profil Prajurit Negarawan oleh Julius Pour
Sumber:
http://sejarah.kompasiana.com/2010/02/15/nasionalisme-simbolon-74826.html
No comments:
Post a Comment