Wednesday, November 26, 2014

'Berpetualang' Ke Dunia Roh [1]

10/11/2013

 'Berpetualang' Ke Dunia Roh [1]





Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!

Setelah sekian lama menjadi cita-cita, akhirnya pada liburan long weekend Agustus lalu, saya bersama suami berhasil menginjakkan kaki di Tana Toraja, meski waktunya terhitung sangat mepet –hanya tiga hari dua malam pulang-pergi– dengan risiko tubuh bonyok kecapekan.
  
Soalnya, untuk mencapai Tana Toraja, tak ada cara lain kecuali lewat darat. Waktu tempuh minimum tujuh jam dari Makassar, ibu kota Sulawesi Selatan –menggunakan kendaraan pribadi, sewaan, atau naik bus umum. Saya memilih naik  bus yang hampir setiap jam berangkat dari terminal Makassar. Ada beberapa perusahaan bus yang melayani trayek Makassar-Tana Toraja,  dari patas non-AC hingga yang AC dan berhenti di setiap tempat.



  
Ternyata, perkiraan tujuh jam hanya di atas kertas, dengan asumsi jalanan lancar, kondisi kendaraan tokcer, dan hari cerah. Berangkat pukul 8 pagi, melewati beberapa kota dan kabupaten, antara lain  Pangkajene, Pare Pare, dan Enrekang, perjalanan kami berkali-kali terhambat oleh lomba gerak jalan menyambut 17 Agustusan. Bahkan, di Enrekang, jalan utama ditutup sampai sore untuk gerak jalan, sehingga semua kendaraan harus lewat jalan alternatif yang memutar.  Untunglah kami cukup terhibur dengan pemandangan indah berbukit-bukit di sepanjang perjalanan, terutama saat melewati Pegunungan Nona yang sore hari tampil dengan lekuk-lekuk lerengnya yang sempurna.
  
Alhasil, hari sudah lewat senja ketika bus memasuki wilayah Tana Toraja. Dan, ternyata perjalanan belum berakhir. Berhenti sebentar di Makale (ibukota Kabupaten Tana Toraja), baru pukul 19.30 kami tiba di Rantepao, ibukota Kabupaten Toraja Utara, yang merupakan  pusat budaya suku Toraja. Jika ditotal, lama perjalanan kami mencapai 11,5 jam!
  
Namun, semua kelelahan terbayar lunas pada keesokan harinya. Meski termasuk dingin –Rantepao dikelilingi pegunungan-- kami disambut pagi yang cerah tanpa kabut. Apalagi, pagi itu kami ditemani oleh Gibson Danga, pria asli Toraja yang sehari-hari bekerja sebagai guide. “Siap bertualang ke dunia roh?” ia menantang sambil tertawa. Uh, siapa takut?
  
Gibson agak menyayangkan kami baru tiba kemarin malam. “Coba datang kemarin pagi, kamu bisa lihat upacara pemakaman, meskipun hanya potong dua kerbau,” katanya. Bukannya menyesal, saya justru bersyukur. Sedahsyat apa pun kata orang upacara itu, saya tak bakal pernah bisa menikmati adegan pembantaian korban kerbau dan babi. Tak hanya ngeri melihat darah berceceran, saya juga tak tega mendengar lolong ketakutan hewan-hewan yang lehernya akan ditebas.
  


Kerbau primadona



Namun, saya beruntung karena hari itu bertepatan dengan hari pasaran kerbau (disebut Pasar Tedong), yang jatuh setiap enam hari sekali. Lapangan rumput luas di depan Pasar Bolu (pasar tradisional utama di Rantepao), yang pada hari-hari biasa lengang, hari itu semarak. Ratusan kerbau dan babi memenuhi lapangan, lengkap dengan pemilik mereka. Hari pasar kerbau ini juga menjadi atraksi bonus bagi wisatawan, terutama dari mancanegara yang jumlahnya lumayan banyak.
  
Hampir semua kerbau yang dijual besar dan gemuk. “Di sini, kerbau dipelihara dengan sangat baik, karena merupakan aset sekaligus simbol sosial orang Toraja.  Makin banyak kerbau yang dimiliki, makin terhormat dia di mata masyarakat. Karena itu, di sini kerbau tidak boleh disuruh kerja di sawah dan setiap hari dimandikan, sementara orangnya belum tentu...,” ujar Gibson, tertawa. Ia menambahkan, produsen sampo jangan bangga dulu bila produknya laris di Toraja. Soalnya, di sini kerbau rutin 'dikeramasi' pakai sampo agar kulit mereka hitam mengilat!




  
Yang langsung mencuri perhatian saya adalah sejumlah kerbau belang (hitam dan merah muda, tapi bukan kerbau bule) yang sepertinya primadona di antara yang lain, terilihat dari perlakuan istimewa kepada mereka. Selain diberi makan istimewa (termasuk diberi vitamin), tidur pun pakai kelambu supaya tidak digigit nyamuk! Kata Gibson, harga seekor kerbau belang (tedong bonga) besar dan gagah bisa mencapai Rp 100 juta rupiah per ekor, terutama menjelang upacara pemakaman. Tak heran bila patung kerbau belang menjadi maskot yang menghiasi salah satu sudut kota Rantepao.
  
Selain untuk kebutuhan upacara, kerbau juga merupakan aset berharga dalam arena adu tarung, yang tak jarang pula dijadikan arena berjudi. Bak petinju, selain rutin dilatih, para kerbau aduan ini diberi 'suplemen' khusus berupa susu-madu-telur, agar fisiknya prima.  Nama mereka pun keren-keren, mulai dari Tyson, Hollyfield, hingga... Chris John!
  

(bersambung)



Tina Savitri


Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=80

No comments:

Post a Comment