AMIR PASARIBU,
Berpikir Lantas Berseru!
BUKANJepang, Belanda, atau Sekutu yang membikin guncang Indonesia yang baru saja benar-benar berdaulat pada kurun 1950-an itu. Semesta terhenyak ketika seorang seniman berseru-seru menggugat kekeramatan lagu kebangsaan: Indonesia Raya. Amir Pasaribu dengan berani menyebut bahwa Indonesia Raya adalah jiplakan, meniru tembang kuno Lekka Lekka atau Pinda Pinda. Menurut Amir, pada 1927 lagu itu direkam dengan judul Indonees Indonees dan pada 28 Oktober 1928, di Kongres Pemuda II di Jakarta, diubah menjadi Indonesia Raya.
Kendati sempat menuai kecaman –yang berujung pada pelarangan penyiaran karya-karyanya– Amir pantang jera. Komponis perintis ini kembali melontarkan kritik pedas. Kali ini kepada RRI (Radio Republik Indonesia) yang ditudingnya tak becus mengurusi Orkes Radio Djakarta. “Masakan instansi pemerintah tak mampu untuk mengendalikan orkes begini saja dengan sempurna? Keterlaluan!” tukas Amir melalui artikelnya di majalah Zenith. Amir juga seorang kritikus musik. Selain di Zenith, tulisan-tulisannya juga sering nongol di suratkabar Siasat, Mimbar Indonesia, dan Aneka serta telah menulis banyak buku referensi tentang musik.
Keberanian Amir bukan sekadar nekat. Ia dikenal sebagai ahli musik yang lugas dan jujur. Bahasanya hidup dan langsung menikam ke pokok keresahan yang dirasakannya. Ia banyak menyumbang gagasan tentang kebudayaan Indonesia pasca kemerdekaan. Tercatat, Amir adalah pembawa istilah “seriosa” ke Indonesia ketika memberi salahsatu kategori dalam sebuah festival musik pada 1952. Ia juga pencipta hymne ABRI, Andhika Bayangkari. Amir adalah pemikir musik sekaligus komponis Indonesia tertua, juga seniman angkatan pertama selepas kemerdekaan, seangkatan dengan Cornelis Simanjuntak, Binsar Sitompul, dan RAJ Sujasmin, kendati namanya tak segemerlap rekan-rekan sejawatnya itu karena karyanya lebih banyak berupa komposisi instrumental.
Jenis musik pianonya, salahsatu instrumen yang dikuasai Amir, kebanyakan berupa karya satu gerakan, terkadang improvisasi cair dengan nada cepat dan berawal dari motif sederhana yang dikembangkan dengan bermacam cara, misalnya dengan modulasi, pengulangan, ostinato, atau polifoni. Tak jarang teksturnya dipangkas menjadi dua suara, dengan tangan kiri dan tangan kanan masing-masing main satu not saja. Harmoninya mengacu musik Eropa pada peralihan abad 19 ke 20, sedangkan melodinya sering berbau musik lokal seperti gamelan dan keroncong. Menurut pengamat musik Yohanes Bintang Prakarsa, Amir mungkin komponis Indonesia generasi pertama yang paling kaya dalam gagasan dan keterampilan komposisi, khususnya penguasaan idiom piano.
Amir Pasaribu dilahirkan di sebuah desa kecil di tanah Batak, Siborong-borong, pada 21 Mei 1915. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini sudah mengakrabi musik sejak kecil, lewat gramafon dan orgel harmonium –organ nonelektrik dengan bunyi dari udara yang dipompa dengan kaki– milik ayahnya. Ia juga sering diminta mengiringi nyanyian gereja di Gereja Huria Kristen Batak Protestan di desanya.
Amir berasal dari keluarga terpandang, ayahnya adalah asisten wedana, jabatan lokal yang cukup disegani, maka tak heran jika ia bisa mengenyam pendidikan di sekolah milik pemerintah Hindia Belanda, HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Narumonda karena di desanya belum ada sekolah jenis ini. Maka itu Amir harus masuk asrama. Menginjak kelas 3 ia dikeluarkan karena ketahuan sering keluar malam untuk makan di warung. Katanya bosan dengan menu di asrama. Kemudian Amir pindah ke ELS (Europeesche Lagere School), sekolah misionaris di Padang. Di sinilah Amir mulai serius bermusik. Ia belajar memainkan piano yang ada di sekolahnya. Salahseorang pengajar, Frater Yustianus, melihat ketekunan Amir dan kemudian menawarinya belajar piano dan biola.
Lulus ELS, Amir melanjutkan ke sekolah menengah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Menjelang kelas 3, Amir pindah sekolah ke Taruntung, Sumatera Utara, dan belajar kepada seorang violis bernama Meneer Bosch. Setamat MULO, Amir hijrah menuju Bandung ke sekolah keguruan HIK (Hollandsche Inlandsche Kweekschool). Inilah masa istimewa bagi Amir karena ia berkesempatan menimba ilmu dari sederet musisi kenamaan Eropa seperti Willy van Swers, James Zwart, Joan Giesen, dan Nicolai Farfolomeyef.
Karir musik profesionalnya kian terbuka ketika sebuah grup musik dari Filipina yang sedang manggung di Jakarta membutuhkan seorang pianis, dan Amir terpilih untuk bergabung. Bersama grup asal Filipina itu, Amir bermain musik di kapalpesiar dan berkeliling Asia dan Australia. Kemudian Amir meneruskan studi musikalnya di sekolah musik Musashini, Jepang, dengan konsentrasi piano dan cello. Sekembalinya ke Jakarta, pada 1942 ia bergabung dengan Orkes Radio van Batavia sebagai pemain cello.
Pada era pendudukan Jepang di Indonesia, Amir bekerja di radio milik Jepang hingga Indonesia merdeka. Setelah itu Amir bergabung dengan stasiun radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep) dan kemudian ke RRI sebagai kepala musik studio hingga 1952. Dua tahun berikutnya, Amir mendirikan Sekolah Musik Indonesia di Jogjakarta setelah sebelumnya sempat ke Belanda untuk memerdalam ilmu musiknya. Sekurun 1957-1968, ia dipercaya menjadi Direktur Kursus di Jurusan Seni Suara IKIP Jakarta. Selanjutnya selama 27 tahun, Amir menetap di Suriname sebagai guru piano dan cello pada Pusat Kebudayaan Suriname. Sempat menjadi penerjemah dan penulis pidato untuk Kedutaan Besar Republik Indonesia di Suriname, Amir pulang ke tanah air pada 1995 dan tinggal di Medan.
Pengalaman musikal Amir sangat panjang. Ia beberapa kali mengadakan kunjungan ke luarnegeri dalamrangka tugas belajar dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Atas peran dan jasanya, Pemerintah RI menganugerahinya penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma pada 2002, juga Anugerah Seni Akademi Jakarta pada 2006. Tak hanya itu, pada 29 Juni 2003, Yayasan Pendidikan Musik (YPM) mengabadikan namanya dengan meresmikan Amir Pasaribu Concert Hall di Tangerang. YPM melihat sosoknya sebagai pejuang sejati dengan integritas yang sulit digambarkan, sebagai pemusik, komponis, pendidik, sekaligus penulis, yang ingin membebaskan bangsanya dari pola-pola pikiran sempit yang membelenggu. Singkat kata, Amir Pasaribu adalah sang pembebas yang telah berhasil mengisi jiwa manusia dengan inti kebebasan berkreasi. (Iswara N Raditya)
Sumber:
http://dejavaraditya.wordpress.com/2010/11/25/amir-pasaribu-musisi-pengharu-biru/
No comments:
Post a Comment