11/1/2013
'Berpetualang' Ke Dunia Roh [3]
Memasuki wilayah Tana Toraja serasa memasuki 'dunia lain'. Di tempat inilah kehidupan dan kematian bagai tak berbatas. Mereka yang sudah meninggal tapi belum sempat dimakamkan, tetap tinggal di rumah dan diperlakukan seperti anggota keluarga yang masih hidup. Sementara mereka yang hidup, rela menjalani hari-hari dengan sangat sederhana agar bisa menabung sebanyak-banyaknya untuk bekal menyambut kematian. Ziarah wisata dan budaya yang sungguh eksotis!
Investasi untuk mati
Dari Desa Deri, kami beranjak ke Desa Kete' Kesu, yang merupakan kompleks perumahan adat suku Toraja (disebut tongkonan) milik marga Sarungaloh –tergolong bangsawan tinggi. Meski dijadikan objek wisata, kompleks rumah adat yang kabarnya berusia ratusan tahun ini masih dihuni oleh para cucu-buyut keluarga Sarungaloh. Setidaknya ada tujuh tongkonan di Kete' Kesu ini, masing-masing memiliki sebuah lumbung padi (bentuknya mirip rumah utama, hanya lebih kecil) yang letaknya persis berhadapan di seberangnya.
Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu uru dan kayu nangka. Atapnya dari tumpukan bilahan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga dari samping terlihat berulir-ulir. Saking tuanya, atap-atap itu kini ditumbuhi lumut. Uniknya, seluruh bangunan berdiri tanpa menggunakan paku sama sekali. Di depan pintu rumah, terutama di rumah tetua marga, terpancang patung kepala kerbau belang dari kayu serta ayam jantan, dalam empat warna dominan: kuning, putih, hitam, dan merah (representasi dari Tuhan, surga, 'dunia bawah', dan darah/keluarga).
Sederet tanduk kerbau yang dideretkan secara vertikal (sesuai ukuran) juga menghiasi pintu rumah bagian depan, yang menunjukkan jumlah kerbau yang pernah dikorbankan dalam upacara kematian pada masing-masing keluarga. Makin banyak jumlahnya, makin terpandang keluarga itu di mata masyarakat. Di bagian samping rumah, juga dideretkan secara horisontal tulang-tulang rahang kerbau dan babi yang pernah dikorbankan.
Sepintas saya melihat sejumlah persamaan antara rumah adat Toraja dengan rumah adat Batak, yaitu sama-sama memiliki model dasar lunas perahu (di bagian atapnya). Pada suku Batak, kerbau juga memiliki posisi istimewa, yaitu sebagai 'kendaraan suci' yang mengantar arwah menuju surga, sekaligus sebagai simbol status sosial. Selain itu, karakteristik wajah kedua suku itu juga mirip, yaitu agak persegi dan terkesan 'keras'.
Sebagian orang Toraja memang percaya bahwa suku Toraja masih 'bersaudara' dengan suku Batak, bahkan juga dengan suku Dayak di Kalimantan –hal ini dikuatkan oleh sebuah studi antropologis. Konon, nenek moyang mereka berasal dari Indocina (Vietnam atau Kamboja). Setiba di wilayah Nusantara –dengan menumpang perahu-- mereka menyebar. Yang menetap di Sumatera menjadi suku Batak, yang ke Kalimantan jadi suku Dayak, dan yang ke Sulawesi jadi suku Toraja.
Jujur saja, saya agak meragukan hal itu. Menurut logika, kaum pendatang –apalagi 'manusia perahu'-- mestinya akan menetap di daerah pesisir, tak jauh dari laut. Ngapain juga jauh-jauh mencari tempat tinggal ke daerah terpencil dan sangat sulit dijangkau?
Sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani dan peladang, yang memang didukung oleh kondisi tanah yang subur. Kopi dan cokelat merupakan hasil pertanian utama, yang sebagian besar diekspor ke luar negeri. Karena itu, menurut teman saya Gibson, sebenarnya penduduk Toraja rata-rata cukup kaya. Tapi, yang terlihat, banyak di antara mereka yang menjalani hidup sederhana, bahkan sangat bersahaja. 'Kemewahan' yang umum terlihat paling banter antena parabola di banyak rumah. Itu pun karena siaran televisi nasional sulit ditangkap di daerah ini tanpa bantuan parabola.
“Sebagian besar kekayaan kami diinvestasikan untuk biaya kematian kami kelak, baik dalam bentuk tabungan di bank, kerbau, dan tanah. Upacara kelahiran atau perkawinan boleh sederhana, tapi upacara kematian harus besar-besaran, terutama bila yang meninggal dari keluarga bangsawan. Orang Toraja percaya bahwa kematian adalah pintu gerbang untuk mencapai surga, karena itu almarhum harus 'diantar' dengan bekal yang maksimal,” Gibson menjelaskan.
Ada dua jenis upacara kematian. Yang pertama, Disili, terhitung paling sederhana, biasanya untuk rakyat kebanyakan, dan cukup dilakukan satu kali, yaitu saat jenasah akan dimakamkan. Bahkan, kalau tak sanggup potong kerbau, memotong 2-3 ekor babi pun cukup.
Yang lain adalah upacara Ma' posonglo, biasanya diselenggarakan oleh keluarga bangsawan atau keluarga kaya dan berpengaruh. Upacara inilah yang biasanya menguras banyak uang –mirip dengan upacara ngaben bangsawan di Bali-- karena harus dilakukan dua kali. Pertama, saat jenasah akan disimpan di rumah (sambil menunggu saat dimakamkan), dan kedua, saat jenasah akan dimakamkan. Pada upacara yang terakhir inilah diadakan sederet ritual, dari pembungkusan jenasah dengan kain warna merah dan emas, pengusungan keranda tinggi-tinggi (lakkian), adu kerbau, tari-tarian adat (ma' badong), dan puncaknya adalah upacara potong kerbau (sisemba).
Makin tinggi derajat jenasah, jumlah kerbau yang dipotong pun makin banyak, bahkan ada yang mencapai 24 ekor, belum lagi puluhan babi (dagingnya kemudian dibagikan ke seluruh penduduk kampung dan sanak kerabat). Upacara menebas kepala kerbau inilah yang kerap menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu oleh para wisatawan, bahkan sampai dimasukkan ke dalam agenda wisata nasional. Keahlian dan harga diri seorang penebas kepala kerbau (toma' tinggoro tedong) juga dipertaruhkan dalam upacara ini. Karena mereka dituntut untuk bisa menebas kepala kerbau sampai mati hanya dalam satu sebatan pisau.
Karena mahalnya biaya upacara kematian ini pula, menurut Ayumi Tanggo, redaksi Pesona yang asli Toraja, banyak penduduk Toraja terbelit utang. Celakanya, kadang utang itu tidak sengaja mereka buat sendiri, melainkan karena 'dipaksa'. Sebagai contoh, Anda tak boleh menolak bila ada tetangga menyumbang seekor kerbau untuk upacara kematian orang tua Anda. Tapi, sumbangan itu tidak cuma-cuma, karena pada saat ada anggota keluarga sang penyumbang yang meninggal, Anda wajib membayar utang satu ekor kerbau pula! Nah, repot, kan?
Setelah beristirahat sebentar di bukit Batutumonga untuk menikmati pemandangan alam yang luar biasa indah dari puncak bukit sambil menyantap durian hutan Toraja –yang saat itu baru mulai musim-- kami mengakhiri perjalanan dengan mengunjungi situs purbakala Bori' Parindung, di Kecamatan Sesean. Menurut catatan yang tertulis di papan informasi, situs ini berdiri sekitar tahun 1717.
Situs purbakala ini berupa peninggalan batu-batu menhir (megaliticum stones) dalam ukuran sangat besar. Ada yang lebarnya mencapai tiga kali pelukan manusia, dan tingginya sekitar tiga meter. Menurut legenda, menhir-menhir itu disusun oleh tenaga gaib para leluhur mereka di zaman dulu. “Karena, menurut logika, dengan teknologi zaman itu yang masih sangat sederhana, rasanya tak mungkin memindahkan batu-batu sebesar itu hanya dengan bantuan tenaga manusia atau kuda sekalipun,” ujar Gibson. Saya pun manggut-manggut, sambil membayangkan, mungkinkah ada seorang Obelix (teman Asterix) di Tana Toraja pada zaman itu, yang hobinya menggotong-gotong menhir?
Tina Savitri
Investasi untuk mati
Dari Desa Deri, kami beranjak ke Desa Kete' Kesu, yang merupakan kompleks perumahan adat suku Toraja (disebut tongkonan) milik marga Sarungaloh –tergolong bangsawan tinggi. Meski dijadikan objek wisata, kompleks rumah adat yang kabarnya berusia ratusan tahun ini masih dihuni oleh para cucu-buyut keluarga Sarungaloh. Setidaknya ada tujuh tongkonan di Kete' Kesu ini, masing-masing memiliki sebuah lumbung padi (bentuknya mirip rumah utama, hanya lebih kecil) yang letaknya persis berhadapan di seberangnya.
Rumah-rumah panggung ini terbuat dari kayu uru dan kayu nangka. Atapnya dari tumpukan bilahan bambu yang disusun sedemikian rupa sehingga dari samping terlihat berulir-ulir. Saking tuanya, atap-atap itu kini ditumbuhi lumut. Uniknya, seluruh bangunan berdiri tanpa menggunakan paku sama sekali. Di depan pintu rumah, terutama di rumah tetua marga, terpancang patung kepala kerbau belang dari kayu serta ayam jantan, dalam empat warna dominan: kuning, putih, hitam, dan merah (representasi dari Tuhan, surga, 'dunia bawah', dan darah/keluarga).
Sederet tanduk kerbau yang dideretkan secara vertikal (sesuai ukuran) juga menghiasi pintu rumah bagian depan, yang menunjukkan jumlah kerbau yang pernah dikorbankan dalam upacara kematian pada masing-masing keluarga. Makin banyak jumlahnya, makin terpandang keluarga itu di mata masyarakat. Di bagian samping rumah, juga dideretkan secara horisontal tulang-tulang rahang kerbau dan babi yang pernah dikorbankan.
Sepintas saya melihat sejumlah persamaan antara rumah adat Toraja dengan rumah adat Batak, yaitu sama-sama memiliki model dasar lunas perahu (di bagian atapnya). Pada suku Batak, kerbau juga memiliki posisi istimewa, yaitu sebagai 'kendaraan suci' yang mengantar arwah menuju surga, sekaligus sebagai simbol status sosial. Selain itu, karakteristik wajah kedua suku itu juga mirip, yaitu agak persegi dan terkesan 'keras'.
Sebagian orang Toraja memang percaya bahwa suku Toraja masih 'bersaudara' dengan suku Batak, bahkan juga dengan suku Dayak di Kalimantan –hal ini dikuatkan oleh sebuah studi antropologis. Konon, nenek moyang mereka berasal dari Indocina (Vietnam atau Kamboja). Setiba di wilayah Nusantara –dengan menumpang perahu-- mereka menyebar. Yang menetap di Sumatera menjadi suku Batak, yang ke Kalimantan jadi suku Dayak, dan yang ke Sulawesi jadi suku Toraja.
Jujur saja, saya agak meragukan hal itu. Menurut logika, kaum pendatang –apalagi 'manusia perahu'-- mestinya akan menetap di daerah pesisir, tak jauh dari laut. Ngapain juga jauh-jauh mencari tempat tinggal ke daerah terpencil dan sangat sulit dijangkau?
Sebagian besar penduduk Toraja bermata pencaharian sebagai petani dan peladang, yang memang didukung oleh kondisi tanah yang subur. Kopi dan cokelat merupakan hasil pertanian utama, yang sebagian besar diekspor ke luar negeri. Karena itu, menurut teman saya Gibson, sebenarnya penduduk Toraja rata-rata cukup kaya. Tapi, yang terlihat, banyak di antara mereka yang menjalani hidup sederhana, bahkan sangat bersahaja. 'Kemewahan' yang umum terlihat paling banter antena parabola di banyak rumah. Itu pun karena siaran televisi nasional sulit ditangkap di daerah ini tanpa bantuan parabola.
“Sebagian besar kekayaan kami diinvestasikan untuk biaya kematian kami kelak, baik dalam bentuk tabungan di bank, kerbau, dan tanah. Upacara kelahiran atau perkawinan boleh sederhana, tapi upacara kematian harus besar-besaran, terutama bila yang meninggal dari keluarga bangsawan. Orang Toraja percaya bahwa kematian adalah pintu gerbang untuk mencapai surga, karena itu almarhum harus 'diantar' dengan bekal yang maksimal,” Gibson menjelaskan.
Ada dua jenis upacara kematian. Yang pertama, Disili, terhitung paling sederhana, biasanya untuk rakyat kebanyakan, dan cukup dilakukan satu kali, yaitu saat jenasah akan dimakamkan. Bahkan, kalau tak sanggup potong kerbau, memotong 2-3 ekor babi pun cukup.
Yang lain adalah upacara Ma' posonglo, biasanya diselenggarakan oleh keluarga bangsawan atau keluarga kaya dan berpengaruh. Upacara inilah yang biasanya menguras banyak uang –mirip dengan upacara ngaben bangsawan di Bali-- karena harus dilakukan dua kali. Pertama, saat jenasah akan disimpan di rumah (sambil menunggu saat dimakamkan), dan kedua, saat jenasah akan dimakamkan. Pada upacara yang terakhir inilah diadakan sederet ritual, dari pembungkusan jenasah dengan kain warna merah dan emas, pengusungan keranda tinggi-tinggi (lakkian), adu kerbau, tari-tarian adat (ma' badong), dan puncaknya adalah upacara potong kerbau (sisemba).
Makin tinggi derajat jenasah, jumlah kerbau yang dipotong pun makin banyak, bahkan ada yang mencapai 24 ekor, belum lagi puluhan babi (dagingnya kemudian dibagikan ke seluruh penduduk kampung dan sanak kerabat). Upacara menebas kepala kerbau inilah yang kerap menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu oleh para wisatawan, bahkan sampai dimasukkan ke dalam agenda wisata nasional. Keahlian dan harga diri seorang penebas kepala kerbau (toma' tinggoro tedong) juga dipertaruhkan dalam upacara ini. Karena mereka dituntut untuk bisa menebas kepala kerbau sampai mati hanya dalam satu sebatan pisau.
Karena mahalnya biaya upacara kematian ini pula, menurut Ayumi Tanggo, redaksi Pesona yang asli Toraja, banyak penduduk Toraja terbelit utang. Celakanya, kadang utang itu tidak sengaja mereka buat sendiri, melainkan karena 'dipaksa'. Sebagai contoh, Anda tak boleh menolak bila ada tetangga menyumbang seekor kerbau untuk upacara kematian orang tua Anda. Tapi, sumbangan itu tidak cuma-cuma, karena pada saat ada anggota keluarga sang penyumbang yang meninggal, Anda wajib membayar utang satu ekor kerbau pula! Nah, repot, kan?
Setelah beristirahat sebentar di bukit Batutumonga untuk menikmati pemandangan alam yang luar biasa indah dari puncak bukit sambil menyantap durian hutan Toraja –yang saat itu baru mulai musim-- kami mengakhiri perjalanan dengan mengunjungi situs purbakala Bori' Parindung, di Kecamatan Sesean. Menurut catatan yang tertulis di papan informasi, situs ini berdiri sekitar tahun 1717.
Situs purbakala ini berupa peninggalan batu-batu menhir (megaliticum stones) dalam ukuran sangat besar. Ada yang lebarnya mencapai tiga kali pelukan manusia, dan tingginya sekitar tiga meter. Menurut legenda, menhir-menhir itu disusun oleh tenaga gaib para leluhur mereka di zaman dulu. “Karena, menurut logika, dengan teknologi zaman itu yang masih sangat sederhana, rasanya tak mungkin memindahkan batu-batu sebesar itu hanya dengan bantuan tenaga manusia atau kuda sekalipun,” ujar Gibson. Saya pun manggut-manggut, sambil membayangkan, mungkinkah ada seorang Obelix (teman Asterix) di Tana Toraja pada zaman itu, yang hobinya menggotong-gotong menhir?
Tina Savitri
Sumber:
http://m.pesona.co.id/article/mobArticleDetail.aspx?mc=006&smc=002&ar=82
No comments:
Post a Comment