Friday, November 7, 2014

Ini Profil Empat Tokoh yang Diberikan Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi

Ini Profil Empat Tokoh yang Diberikan Gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Jokowi

Jumat, 7 November 2014 | 18:10 WIB
Sabrina Asril/KOMPAS.com
Presiden Joko Widodo memberikan gelar pahlawan nasional untuk empat pahlawan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (7/11/2014) siang. Penghargaan diterima oleh perwakilan keluarga.


JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan gelar pahlawan nasional untuk empat tokoh revolusi di Istana Negara, Jumat (7/11/2014). Ini adalah penghargaan pertama yang diberikan Jokowi sejak dilantik 20 Oktober lalu. Lalu, siapa saja mereka yang menerima gelar pahlawan nasional itu?


1. Letjen Djamin Ginting
Almarhum Djamin wafat di Ottawa, Kanada, pada 23 Oktober 1974. Dia adalah tokoh perjuangan di Sumatera Utara dan pernah membentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) Kabanjahe.
Pasukannya aktif melucuti persenjataan tentara Jepang di Berastagi, dan bertempur melawan pasukan Inggris. Djamin juga salah satu komandan pasukan Indonesia dalam pertempuran Medan Area melawan pasukan Inggris di Sumatera Timur dan sempat pula memimpin pasukan dalam perjuangan melawan Belanda dalam Agresi Militer I.
Karier militer Djamin Ginting meningkat setelah pengakuan kedaulatan pada 27 Desember 1949 dia adalah Komandan Pertama Komando Pangkalan atau Komando Basis Kota Medan (KBKM) yang kemudian diubah menjadi Komando Militer Kota Besar (KMKB) Medan. Pada bulan Desember 1956, Panglima TT-I Bukit Barisan Kolonel Maludin Simbolon membentuk Dewan Gajah dan menyatakan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat.
Djamin selaku Kepala Staf TT-I Bukit Barisan menentang keputusan atasannya. Hal itu menunjukkan kesetiannya pada Pemerintah RI. Djamin Ginting menjadikan wilayah komandonya sebagai pangkalan operasi pasukan pemerintah menggempur PRRI di Sumatera.
Sejak tahun 1966, Djamin Ginting lebih banyak menduduki jabatan non-militer mulai dari Sekretaris Presiden merangkap Wakil Sekretaris Negara. Jabatan terakhirnya adalah Duta Besar RI di Kanada.
2. Sukarni Kartodiwirjo
Sukarni wafat di Jakarta, 12 Februari 1981. Dia pernah bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo) sejak bersekolah di MULO Blitar. Dia dikirim oleh pengurus Partindo Blitar untuk mengikuti kegiatan pendidikan kader Partindo di Bandung yang pembimbing utamanya Ir Soekarno. Setelah itu, Sukarni mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita dan bergabung dengan Indonesia Muda Cabang Blitar.
Karir Sukarni dalam Indonesia Muda meningkat dari Ketua Cabang Blitar menjadi Ketua Umum Pengurus Besar Indonesia Muda pada tahun 1935. Untuk menghindari penangkapan Politieke Inlichtingen Dienst (PID), Sukarni menyelamatkan diri ke Jawa Timur dan bersembunyi di pondok pesantren di Kediri dan Banyuwangi.
Sukarni pernah divonis hukuman pembuangan ke Boven Digoel dan kemudian ditahan di penjara Garut. Amar putusan pembuangan ke Boven Digoel tidak terlaksana karena berakhirnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda pada Maret 1942.
Terakhir, Sukarni bertugas sebagai Duta Besar RI untuk Republik Rakyat Tiongkok dan Mongolia. Dia mendapat tugas meminta bantuan RRT untuk mendukung Pemerintah Republik Indonesia membebaskan Irian Barat.
3. KH Abdul Wahab Chasbullah Kyai Wahab
Ia adalah kiai besar Nahdlatul Ulama. Dia berusaha menghimpun kekuatan berbasis pesantren di Indonesia. Dia bersama dengan KH Hasyim Asy'ari menghimpun tokoh pesantren dan keduanya mendirikan Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada tahun 1926. Kiai Wahab juga berperan membentuk Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Kiai Wahab bersama Hasyim Asy'ari dari Jombang dan Kiai Abbas dari Cirebon merumuskan Resolusi Jihad sebagai dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan. Sesudah Hasyim Asy'ari meninggal dunia, Kyai Wahab menjadi Rais Am NU. Dia meningkatkan dukungan NU kepada Pemerintah Indonesia dalam memenangi perang melawan Pemerintah Belanda. Kiai Wahab wafat di Jombang pada 29 Desember 1971.
4. Mayjen TKR HR Mohammad Mangoendiprojo
RM Mohammad Mangoendiprojo merupakan profil seorang pamong praja yang memasuki dunia militer, tetapi kemudian kembali ke lingkungan pamong praja. Mohammad punya andil yang besar dalam mengambil alih aset pribadi orang-orang Belanda yang tersimpan di Bank Escompto senilai 100 juta gulden.
Uang itu kemudian digunakan untuk perjuangan. Mohammad pun berperan sebagai wakil Indonesia dalam kontak biro dengan pasukan Inggris di Surabaya. Dia sempat mengalami peristiwa dramatis, bahkan membahayakan nyawanya.
Untuk mencegah pasukan Inggris yang menduduki gedung Bank Internatio menembaki masa yang mengadakan pengepungan, Mohammad memasuki gedung menemui komandan pasukan Inggris. Ternyata, dia disandera.
Sementara itu, Brigjen Mallaby yang berada di luar gedung ditembak seorang pejuang yang kemudian memicu pertempuran 10 November. Mohammad wafat di Bandar Lampung, 13 Desember 1988.


Penulis: Sabrina Asril
Editor: Fidel Ali Permana



Sumber: www.kompas.com



No comments:

Post a Comment