Monday, November 10, 2014

Kemelut Yang Susul Menyusul

Kemelut Yang Susul Menyusul


November 25, 2008


Badan Keamanan Rakyat dibentuk berdasarkan dekrit tanggal 5 Oktober 1945. Setelah itu, pada tanggal 9 Oktober 1945, dikeluarkan Pengumuman Pemerintah tentang Mobilisasi umum yang mengatakan bahwa seluruh kekuatan rakyat diminta untuk mendaftarkan diri ke kantor Badan Keamanan Rakyat. Di Sumatera Utara, khususnya di Medan, kelompok-kelompok yang tadinya adalah kelompok diskusi politik mendaftarkan diri dengan nama Laskar Rakyat. Begitu juga, kelompok para jagoan, kelompok pemuda yang tadinya dilatih serdadu Jepang untuk baris-berbaris seperti heyhokeibodan dan seinendan dan kelompok pemuda yang berafiliasi agama, seperti Hisbullah, kelompok nasionalis Napindo, kelompok sosialis Pesindo, dan Cap Panah dari Parkindo turut mendaftarkan diri. Kelompok-kelompok ini berkembang dengan pesat karena, untuk menjadi anggotanya, tidak diperlukan persyaratan-persyaratan khusus, seperti usia, pendidikan, tinggi badan atau kesehatan. Hal ini menyebabkan laskar-laskar tumbuh bagaikan jamur pada musim hujan.
Persoalan mulai timbul ketika, pada tanggal 26 Januari 1946, keluar dekrit baru tentang perubahan nama, dari Badan Keamanan Rakyat menjadi Tentara Keamanan Rakyat. Dekrit tersebut menyatakan bahwa Tentara Keamanan Rakyat adalah satu-satunya organisasi militer negara Republik Indonesia yang susunannya akan diperbaiki berdasarkan bentuk ketentaraan yang sempurna. Bagi pasukan Tentara Keamanan Rakyat di Sumatera Utara, dekrit ini merupakan suatu hikmah karena, dengan adanya dekrit ini, persoalan kepemimpinan dalam tubuh Tentara Keamanan Rakyat di Sumatera Timur dan Tapanuli dapat terselesaikan. Moh. Din akhirnya harus angkat kaki dari Tapanuli dan Ahmad Thahir harus meninggalkan Sumatera Timur karena Divisi Tapanuli dan Sumatera Timur digabung menjadi satu divisi dengan komandan divisi Kolonel Husin Yusuf.
Namun, dekrit tersebut menimbulkan persoalan di kalangan laskar. Masalahnya ialah bahwa pembentukan barisan laskar-laskar ini mempunyai latar belakang yang berbeda. Ada laskar dibentuk berdasarkan aliran politik dan sebagian lagi dibentuk berdasarkan agama dan sebagian lainnya dibentuk oleh pemimpin yang terdiri atas para jagoan. Menggabungkan mereka saja sudah merupakan persoalan sendiri, ibarat menyatukan minyak dengan air.
Karena itu, untuk menyelesaikan persoalan ini, Panglima Komandemen Sumatera mengutus Kepala Staf Umum Kolonel Sutopo ke Sumatera Utara dengan tugas untuk memasukkan barisan-barisan laskar ke dalam induk organisasi Tentara Republik Indonesia. Berbagai pendekatan dilakukan akan tetapi kurang mendapat sambutan dari para komandan laskar. Dia hanya berhasil membentuk dua brigade, yaitu Brigade A dengan Komandan Selamat Ginting dan Brigade B dengan Komandan Bejo, masing-masing dengan pangkat mayor. Melalui pembentukan brigade ini diharapkan laskar-laskar lain akan bergabung ke dalamnya.
Sementara perubahan nama dan struktur organisasi belum dituntaskan, pada tanggal 5 Mei 1947, presiden selaku Panglima Tertinggi mengeluarkan instruksi tentang perubahan nama Tentara Republik Indonesia menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dalam instruksi tersebut dikatakan bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah satu-satunya organisasi pertahanan yang diakui dan strukturnya akan disusun menurut standar internasional. Kebijakan ini menimbulkan persoalan yang sangat pelik. Di satu pihak, Tentara Republik Indonesia berpendapat bahwa barisan laskar harus bergabung dengan mereka, sedangkan barisan-barisan laskar berpendapat bahwa Tentara Republik Indonesia sendirilah yang harus bergabung dengan mereka. Alasannya ialah karena barisan-barisan laskar inilah yang paling berperan dalam upaya mempertahankan kemerdekaan.
Persoalan ini menyebabkan timbulnya adu domba bersumber dari pihak ketiga. Ejekan pun dihembuskan yang mengatakan bahwa Tentara Republik Indonesia taunya hanya makan dan tidur, tidak pernah berperang. Sementara di pihak lain, suatu tuduhan tandingan dilancarkan yang mengatakan bahwa laskar berperang hanya untuk menjarah harta. “Kalau bandit-bandit dijadikan sebagai pemimpin, mau dibawa ke mana negera kita?” demikian tuduhan yang sengajadihembuskan oleh orang-orang yang tadinya mendapatkan banyak kenikmatan selama bangsa kita berada di bawah penjajahan. Inilah yang menyebabkan hubungan kedua kelompok ini menjadi renggang.
Sementara masalah penataan organisasi militer masih menggantung, pada tanggal 21 Juli 1947, terjadi Agresi Militer I Belanda. Belanda menggunakan seluruh kekuatannya untuk menyerang wilayah Republik Indonesia dan, dalam waktu singkat, menguasai banyak wilayah. Pemerintah India dan Australia mengadukan persoalan ini kepada Dewan Keamanan PBB. Walaupun Belanda menolak campur tangan Dewan Keamanan PBB, akhirnya PBB memutuskan agar dibentuk Komisi Tiga Negara untuk menyelesaikan pertikaian ini. Tiga negara yang ditunjuk untuk menyelesaikan pertikaian tersebut ialah Amerika Serikat yang diwakili Frank P. Graham, Australia yang diwakili Richard Kirby, dan Belgia yang diwakili Paul van Zieeland. Mereka tiba di Jakarta pada tanggal 26 Oktober 1947. Mereka kemudian memfasilitasi perundingan kedua belah pihak yang bertikai.
Perundingan berjalan sangat alot dan berkali-kali terancam bubar. Untuk menyelamatkan perundingan, seorang utusan dikirim ke Bukittinggi untuk menjeput wakil presiden yang kebetulan mengadakan kunjungan ke Pulau Sumatera. Dengan wibawa yang ada dalam diri Mohammad Hatta, akhirnya perundingan dapat berjalan lancar sehingga dapat dicapai kesepakatan walaupun tidak begitu menguntungkan. Pada tanggal 17 Januari 1948, pemerintah Indonesia yang diwakili Amir Syarifuddin dan pemerintah Belanda yang diwakili R. Wijojoatmojo, di atas kapal Renville di Teluk Jakarta, menandatangani kesepakatan pembentukan wilayah denga garis demarkasi, yang menyatakan bahwa seluruh pasukan harus mundur dari wilayah yang sudah dikuasai Belanda.
Ini berarti, seluruh barisan bersenjata juga harus keluar dari Medan Area, Tebing Tinggi, Tanah Karo, dan Pematang Siantar. Daerah kosong yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk hijrah. Pasukan yang ada di Tanah Karo, yang dipimpin Jamin Gintings, pergi menuju Kotacane, Aceh Tenggara. Pasukan yang dipimpin Selamat Ginting pergi menuju Dairi. Di antara kedua pasukan ini tidak timbul perseteruan karena keduanya sama-sama mempunyai dislokasi pasukan yang berjauhan. Pasukan Bejo, hijrah ke Asahan dan Labuhan Batu dan perbatasan Tapanuli. Tapanuli Utara menjadi rebutan banyak pasukan, seperti pasukan Lyberti Malau, Mateus Sihombing dan Rajin Simamora. Daerah ini menjadi primadona karena juga merupakan gudang beras. Para pasukan saling berebut wilayah, pasukan A menyerang pasukan B yang sudah lebih dulu menempati suatu wilayah, lalu kemudian direbut pasukan C, yang memicu terjadinya“perang saudara”. Tidak ada pasukan yang dapat bertahan lama di satu tempat, karena besoknya tempat itu sudah dikuasai pasukan lain.
Hal ini sangat meresahkan panglima komandemen Sumatera. Dengan keyakinan akan dapat menyelesaikan persoalan, Mayor Jenderal Soehardjo Hardjowardojo mengangkat Residen Lampung Mr. A. Abas Harahap, seorang sipil, sebagai komandan Subkomando Tapanuli, dengan diberi pangkat Letnan Kolonel tituler dan Bejo diangkat sebagai Kepala Staf. Markas Komando ditetapkan di P. Sidempuan. Suhardjo Hardjowardojo dan Mr. A. Abas sebelumnya sudah lama saling kenal. Soehardjo Hardjowardojo tadinya adalah kepala polisi di Lampung dan Mr. A. Abas bekerja di kantor Residen.
Mr A. Abas mempunyai seorang isteri dari keturunan Manado, bernama Mr. Anni Manoppo. Anni Manoppo menyusul ke P, Sidempuan pada saat jalan raya sepanjang Pematang Siantar menuju Tapanuli berada dalam keadaan tidak aman. Di sana terdapat banyak “pasukan liar” yang tidak jelas kesatuannya, sehingga tidak seorang pun berani untuk membawa ibu ini sampai ke Padang Sidimpuan, tempat kedudukan Subkomando Tapanuli, kecuali Salomo Sibarani, seorang anggota Biro Perjuangan Simalungun.
Dengan dibantu beberapa pengawal, mereka berangkat menuju Padang Sidimpuan. Perjalanan yang cukup jauh dan sangat melelahkan itu pun dimulai. Dalam perjalanan ini, di samping menghindari intaian pesawat pemburu militer Belanda, mereka juga berjuang untuk menghindari “pasukan-pasukan liar” yang tujuannya tidak lain adalah untuk merampok. Perjalanan banyak dilakukan dengan berjalan kaki dan Anni Manoppo harus ditandu karena ia berada dalam keadaan hamil tua. Dalam perjalanan tersebut, Salomo Sibarani sering mendapat ancaman karena ia membawa ibu yang dicap sebagai kaki tangan Belanda. Akan tetapi, karena pemimpin-pemimpin laskar telah mengenal Salomo Sibarani sebagai anggota Biro Perjuangan Simalungun, persoalan tidak pernah berkepanjangan. Mereka memberikan banyak bantuan dan malah menawarkan “pass jalan.” Untuk tidak menimbulkan sakit hati, “pass jalan” tersebut diterima walaupun Salomo Sibarani mengetahui bahwa “pass jalan” itu tidak ada gunanya. Mereka tiba dengan selamat di Padang Sidimpuan pada saat suasana sudah mulai mencekam. Berbagai kabar burung yang sensitif bermunculan tanpa diketahui siapa yang menyebarkannya.


Sumber:
http://sibaranifamily.wordpress.com/

No comments:

Post a Comment