Wednesday, May 20, 2015

TARINGOT HUTA - HORJA - BIUS

TARINGOT HUTA - HORJA - BIUS

Batak Toba merupakan salah satu sub suku dari suku Batak yang berdomisili di Provinsi Sumatra Utara.Masyarakat Batak Toba memiliki berbagai kebudayaan unik, diantaranya; terlihat dalam  sistem sosial mereka yang disebut dengan harajoanHarajoan dapat didefiniskan pola kepemimpinan dan sistem kemasyarakatan dalam kebudayaan masyarakat Batak Toba. Sistem Harajoan berlaku pada dua level organisasi sosial masyarakat Batak Toba, yaitu suku dan kampung atau Huta. Harajoan tidak hanya berkaitan dengan pengorganisiran para anggota suku maupun huta, tetapi juga mengatur  mengenai luas teritori dan pola serta otorisasi  kepemimpinan dalam suatu suku dan huta (Vergouwen, 1986).

Ketika beberapa suku telah sepakat untuk tinggal bersama dalam suatu daerah, maka di daerah tersebut akan didirikan suatu kampung atau huta. Huta dapat didefinisikan sebagai persekutuan terkecil masyarakat Batak (Vergouwen, 1986).

Vergouwen melukiskan Huta adalah sebagai berikut:
Wilayah huta adalah suatu lapangan kecil berbentuk empat persegi dengan halaman bagus, keras dan kosong ditengahnya–tengahnya. Disatu sisi empat bidang persegi itu berdiri sekelompok kecil rumah-rumah (ruma) berbaris; masing-masing rumah memiliki pekarangan dapur sendiri di bagian belakang . Didepan barisan rumah ada lumbung padi (sopo), dan biasanya ada satu dua kubangan lumpur. Keseluruhannya dikelilingi pohon bambu yang tinggi; kadang-kadang ada juga sebuah huta dengan parit mengelilingi. Kita akan jumpai babi menggerus-gerus tanah dibawah kolong rumah, anjing mengendus-endus disekitar, ayam yang mengais-ngais tanah, dan kucing yang tidur dibawah sinar matahari. Seorang perempuan duduk menghadapi alat tenunnya didepan salah satu rumah, sementara seorang gadis muda menumbuk padi dalam losung, dan beberapa anak bermain-main dibawah rumpun kecil pohon buah-buahan.

Huta dipimpin oleh seorang Raja Huta. Biasanya yang dipilih oleh penduduk huta untuk menjadi Raja Huta adalah pendiri huta yang bersangkutan.

Raja huta menyelesaikan masalah-masalah (kecil) antar keluarga warga huta, membagi lahan garapan bagi keluarga-keluarga, menyelenggarakan perkawinan dengan warga dari huta lain, mewakili huta keluar dsb. Status Raja huta turun-temurun kepada anak sulung. Ia adalah pengayom adat, hak ulayat (golat) dan pemimpin sekuler (soal-soal duniawi).

Makin lama huta makin dipenuhi oleh penduduk dari berbagai marga. Akhirnya beberapa penduduk pindah dan membentuk huta  baru. Hasilnya, banyak terbentuk huta di daerah kebudayaan Batak Toba. Beberapa diantara huta tersebut kemudian membentuk federasi atau persekutuan guna mewujudkan tujuan bersama diantara mereka. Persekutuan tersebut dinamakan Horja

Horja dipimpin oleh seorang Raja Horja yang dipilih dari para raja huta yang bergabung dalam federasi horja. Namun pemilihan Raja Horja ini tidaklah melalui voting, melainkan musyawarah secara terbuka.
Melalui proses pemilihan ataupun spontanitas warga maka Horja akan menempatkan beberapa raja huta sebagai wakilnya pada dewan pemerintahan sekuler yang disebut sebagai Bius . Raja huta nantinya menjadi elit politik bius yang memilih diantara mereka sebagai dewan bius dan duduk didalamnya.

Berikutnya dewan sekuler tersebut menentukan wakil-wakilnya sebagai pendeta-pendeta yaitu kelompok Parbaringin dalam bius yang bersangkutan. 
Maka dikenal perumpamaan “huta do mula ni horja, horja mula ni bius” artinya huta membentuk horja, horja membentuk bius.

Menurut Sitor Situmorang, berdasarkan kelengkapan organisasi aparatnya, bius dapat kita golongkan tiga jenis:

1. Bius tua/lengkap
Bius seperti ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada dewan pemimpin (kolegial) bius yang membawahi beberapa horja sebagai bagian bius yang berwenang mengelola golat (hak ulayat), horja membawahi puluhan huta. Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan diwujudkan menurut model Sianjur Mula-mula. Kondisi disekitar tepi danau memungkinkan untuk itu. Seperti halnya model Sianjur Mula-mula bius tua mempunyai organisasi parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll

2. Bius sedang berkembang
Perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk bius-bius baru ke dataran tinggi selatan danau dan barat (Humbang, Silindung, Pahae). Kepemimpinan bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini, dan sekiranya ada tidak selengkap di daerah bius tua. Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam ritual-ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler bius dan tidak bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual tokoh sekuler itu kembali ke status semula, tidak tetap sebagai pendeta. Hal ini wajar terjadi karena areal sawah tidak seluas di bius tua sehingga tidak melahirkan kelas/organisasi pendeta.

3. Bius kecil/terbelakang
Bius ini dijumpai dipinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap karena kepemimpinan kadang kala hanya dijalankan seorang saja/tinggal. Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit maka tidak memerlukan ritual-ritual pertanian serumit bius tua. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba sehingga mengharuskan adanya pemimpin tinggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.

Sebagai contoh di kampung asal penulis yaitu Harian Boho, dikenal Bius Harian Boho.
Dahulu yang masuk kedalam Bius Harian Boho adalah:
  1. Horja Marga Limbong ( Turpuk Limbong )
  2. Horja Marga Sagala ( Turpuk Sagala )
  3. Horja Marga Malau ( Turpuk Malau )
  4. Horja Marga Sihotang ( Turpuk Sihotang )
Dikemudian hari bergabunglah:
Huta Janji Martahan (mayoritas marga Pasaribu), dan 
Huta Ganjang Namora (mayoritas marga Limbong ).

Perkembangan terakhir pada tahun 2010, Bius Harian Boho menjadi :
  1. Horja Marga Limbong ( Turpuk Limbong )
  2. Horja Marga Sagala ( Turpuk Sagala )
  3. Horja Marga Malau ( Turpuk Malau )
  4. Horja Marga Sihotang ( Turpuk Sihotang )
  5. Horja Ganjang Namora ( Mayoritas marga Limbong )
Ke- 5 horja inilah yang disebut Bius Harian Boho yang dikenal dengan sebutan Si Opat Tali Palimahon Ganjang Namora.

Setelah pemerintah Belanda berkuasa di Tapanuli, maka huta, horja dan bius tradisional dirombak. Huta tetap disebut huta tetapi maknanya sudah lain. Raja huta atau Raja Ihutan (Jaihutan) tradisional diganti menjadi kepala negeri yang tunduk pada administrasi kolonial. Beberapa huta kecil digabung dengan seorang kepala yang sering menimbulkan masalah diantara sesama warga. Istilah bius yang mempunyai makna politik dilenyapkan dan diganti jadi huta biasa. Belanda menyadari bahwa disebagian wilayah Toba organisasi bius dan dewan bius adalah perpanjangan tangan Singamangaraja. Singamangaraja dan organisasi parbaringin terkait erat dengan bius.(ama ni pardomuan)


Refleksi Demokrasi Indonesia

Demokrasi harajoan ala Batak Toba merefleksikan betapa kayanya masyarakat nusantara akan nilai-nilai demokrasi yang muncul sebagai hasil cipta, rasa dan karsa manusia Indonesia jauh sebelum datangnya pengaruh asing di negeri ini. Ilmuwan sosial dari Universitas Leiden, Belanda, Dr. Johann Angerler, berkesimpulan bahwa masyarakat Batak Toba telah mengenal demokrasi jauh sebelum datangnya kolonialisme Eropa. Justru kolonialisme Belanda lah yang telah menghancurkan pranata demokratis dalam masyarakat Batak Toba seiring dengan penyebaran Zending Kristen yang memarjinalkan agama Parmalim. Sebelum kedatangan pihak Belanda, upaya penghancuran budaya demokratis masyarakat Batak Toba juga dilakukan oleh kaum fundamentalis Paderi dari Minang yang terpengaruh mazhab asing yang berasal dari Arab Saudi, Wahabi. 

Pasca kemerdekaan, tepatnya di era Orde Baru, penghancuran sistem demokrasi Batak Toba berjalan secara lebih sistematis melalui penerapan UU Desa tahun 1974.

Sistem harajoan yang merupakan sistem kemasyarakatan Batak Toba adalah cerminan demokrasi Indonesia atau sosio demokrasi yang berbasiskan pada musyawarah untuk mufakat. Hal ini membuka mata kita bahwa bangsa ini memiliki kearifan lokal yang kongruen dengan spirit demokrasi yang melibatkan orang banyak dalam pengambilan keputusan pada suatu masyarakat. Namun liberalisasi politik pasca reformasi justru menjerumuskan bangsa ini pada demokrasi voting khas Barat yang berbasiskan kekuatan pemodal. Sekiranya kita sebagai bangsa menyadari bila suatu hal yang datang dari luar belum tentu baik bagi bangsa ini, bahkan mungkin akan membawa bencana.  Jangan sampai kisah “Kuda Troya” terjadi berulang kali pada bangsa dan negara ini.

Dalam persekutuan Bius tersebut masyarakat Batak mempunyai duo kepemimpinan atau dwi tunggal dan umumnya tidak mengenal pemimpin (uluan) tunggal. Pimpinan yang pertama adalah pemimpin sekuler (duniawi) dan disebut Raja Bius, yang kedua adalah pemimpin rohani yang disebut Pande Bolon.


Sumber : 
http://www.facebook.com/note.php?note_id=70397578046&id=46335083162&index=0  
http://marcisteabinove.blogspot.com/2014/03/taringot-huta-horja-bius.html

No comments:

Post a Comment