Sabtu, 27 November 2010
Asal-Usul : BATAK
Dicetuskan Misionaris Jerman, Dipakai Kolonial Belanda
Batak sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak 1860-an. Demikian hasil penelitian Sejarahwan Universitas Negeri Medan (Unimed), Phill Ichwan Azhari. Selanjutnya?
KORANBOGOR.COM,
Hasil Penelitian Sejarahwan Unimed Asal-usul Kata Batak
Batak sebagai nama etnik (suku) ternyata tidak berasal dari orang Batak sendiri. Tapi diciptakan atau dikonstruksi oleh para musafir Barat dan kemudian dikukuhkan oleh misionaris Jerman yang datang ke tanah Batak sejak 1860-an. Demikian hasil penelitian Sejarahwan Universitas Negeri Medan (Unimed), Phill Ichwan Azhari. Selanjutnya?
Rahmad Sazaly, Medan
Penelitian yang dilakukannya berdasarkan sumber-sumber lisan dan tertulis, terutama di dalam pustaha (tulisan tangan asli Batak) tidak ditemukan kata Batak untuk menyebut diri sebagai orang atau etnik Batak.
“Jadi dengan demikian nama Batak tidak asli berasal dari dalam kebudayaan Batak melainkan sesuatu yang diciptakan dan diberikan dari luar,” terangnya kepada wartawan, Minggu (14/11).
Apa yang diungkapkannya merupakan hasil penelitian Ichwan selama dua bulan pada arsip misionaris di Wuppertal, Jerman, atas biaya Dinas Pertukaran Akademis (DAAD) Jerman.
Selain meneliti arsip misionaris Jerman, Ichwan juga melengkapi datanya ke arsip sejumlah lembaga di Belanda, mewawancarai sejumlah pakar ahli.
Batak di Belanda dan Jerman seperti Johan Angerler dan Lothar Schreiner. Menurut Ichwan, kata Batak awalnya diambil para musafir yang menjelajah ke Sumatra dari para penduduk pesisir untuk menyebut kelompok etnik yang berada di pegunungan dengan nama bata. “Tapi nama yang diberikan penduduk pesisir ini berkonotasi negatif,” jelasnya.
Pada sumber-sumber manuskrip Melayu klasik yang ditelusuri Ichwan, seperti manuskrip abad 17 koleksi Leiden, Belanda, juga ditemukan kata Batak di kalangan orang Melayu di Malaysia, sebagai label untuk penduduk yang tinggal di rimba pedalaman semenanjung Malaka. “Dalam manuskrip itu, saat Malaka jatuh ke tangan Portugis (1511), Puteri Gunung Ledang yang sangat dihina dan direndahkan oleh teks ini, melarikan diri ke hulu sungai dan dalam teks disebut, Masuk ke dalam hutan rimba yang amat besar hampir dengan negeri Batak. Maka diambil oleh segala menteri Batak itu, dirajakannya Puteri Gunung Ledang itu dalam negeri Batak itu,” paparnya.
Tidak hanya di Malaysia, lanjut Ichwan, di Filipina juga penduduk pesisir menyebut penduduk pedalaman dengan streotip Batak. “Untuk itu, cukup punya alasan dan tidak mengherankan kalau peneliti Batak terkenal asal Belanda bernama Van der Tuuk pernah risau dan mingingatkan para misionaris Jerman agar tidak menggunakan nama Batak untuk nama etnik karena imej negatif yang terkandung pada kata itu,” katanya.
Di Malaysia dan Filipina penduduk yang diberi label Batak tidak mau menggunakannya menjadi nama etnik mereka. Di Sumatra Utara label itu terus dipakai. Menurut Ichwan karena peran misionaris Jerman dan pemerintah kolonial Belanda yang memberi konstruksi dan makna baru atas kata itu. Dalam penelitiannya di arsip misionaris Jerman di Wuppertal sejak September 2010, Ichwan melihat para misionaris sendiri awalnya mengalami keragu-raguan untuk menggunakan kata Batak sebagai nama etnik. “Hal ini dikarenakan kata Batak itu tidak dikenal oleh orang Batak ketika para misionaris datang dan melakukan penelitian awal. Para misionaris awalnya menggunakan kata bata sebagai satu kesatuan dengan lander, jadi bata lander yang berarti tanah batak, merupakan suatu nama yang lebih menunjuk ke kawasan geografis dan bukan kawasan budaya atau suku,” jelas Ichwan.
Di arsip misionaris yang menyimpan sekitar 100 ribu arsip berisi informasi penting berkaitan dengan aktifitas dan pemikiran di tanah batak sejak pertengahan abad 19 itu, Ichwan menemukan dan meneliti puluhan peta, baik peta bata lander yang dibuat peneliti Jerman terkenal bernama Junghuhn, maupun peta-peta lain sebelum dan setelah peta Junghuhn dibuat.
Peta-peta yang diteliti Ichwan memperlihatkan adanya kebingungan para musafir barat dan misionaris Jerman untuk meletakkan dan mengkonstruksi secara pas sebuah kata Batak dari luar untuk diberikan lepada nama satu kelompok etnik yang heterogen yang sesungguhnya tidak mengenal kata ini dalam warisan sejarahnya.
Dalam peta-peta kuno itu kata Bata Lander hanya digunakan sebagai judul peta tapi di dalamnya hanya nampak lebih besar dari judulnya nama-nama seperti Toba, Silindung, Rajah, Pac Pac, Karo dimana nama batak tidak ada sama sekali. Dalam satu peta kata Batak di dalam peta digunakan sebagai pembatas kawasan Aceh dengan Minangkabau.
Kebingungan para misionaris Jerman untuk mengkonstruksi kata Batak sebagai nama suku juga nampak dari satu temuan Ichwan terhadap peta misionaris Jerman sendiri yang sama sekali tidak menggunakan judul bata lander sebagai judul peta dan membuang semua kata batak yang ada dalam edisi penerbitan peta itu di dalam laporan tahunan misionaris. Padahal sebelumnya mereka telah menggunakan kata batak itu.
Kata Batak yang semula berkonotasi negatif oleh penduduk pesisir kepada penduduk pedalaman dan kemudian menjadi nama kawasan geografis penduduk dataran tinggi Sumatra Utara yang heterogen dan memiliki nama-namanya sendiri pada awal abad 20, bergeser menjadi nama etnik dan sebagai nama identitas yang terus mengalami perubahan.
Setelah misionaris Jerman berhasil menggunakan nama Batak sebagai nama etnik, pihak pemerintah Belanda juga menggunakan konsep Jerman itu dalam pengembangan dan perluasan basis-basis kolonialisme mereka. Bahkan dalam penelitiannya Ichwan menemukan nama Batak digunakan sebagai nama etnik para elit yang bermukim di Tapanuli Selatan yang beragama Islam. Dalam sebuah majalah yang diterbitkan di Kotanopan, Tapanuli Selatan, tahun 1922 oleh pemimpin orang-orang Mandailing seperti Sutan Naposo, Gunung Mulia, dan lain-lain, mereka menggunakan kata Batak sebagai identitas. Bahkan nama media mereka diberi nama Organ dari Bataksche-Studiefonds. Dan, uniknya mereka tidak menggunakan marga Mandailing mereka di belakang nama.
Saat Keresidenan Tapanuli yang dibentuk pemerintah Belanda berjalan, identitas Batak antara Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan memasuki atmosfir baru, dimana Batak diidentikkan oleh orang-orang Tapanuli Selatan sebagai orang Tapanuli yang beragama Kristen dan mereka yang di selatan menolak untuk disebut sebagai bagian dari Batak.
Tapi penolakan yang berlatar agama dan politik itu tidak menghilangkan konstruksi misionaris Jerman dan kolonial Belanda yang lebih dulu masuk dan menyebut mereka bagian dari Batak. Di Tapanuli Utara sendiri, di kalangan orang Batak juga terjadi pergumulan pemikiran berkaitan dengan identitas kata Batak ini. Di arsip misionaris Jerman Ichwan juga menemukan tulisan-tulisan tangan dan penerbitan pemikir awal Batak yang mencoba merumuskan apa itu Batak menurut orang Batak sendiri. Tapi bias misionaris dan kolonial nampak dalam pergumulan orang Batak ini.
Konsep dari misionaris Jerman yang semula menggunakan kata Batak untuk kelompok masyarakat yang tinggal di kawasan Tapanuli Utara saja, menurut Ichwan, dipakai Belanda lebih lanjut untuk menguatkan cengkraman ideologi kolonial mereka. Perlahan-lahan konsep Batak itu mulai meluas dipakai Belanda termasuk sebagai pernyataan identitas oleh penduduk di luar daerah Toba. Peneliti Belanda juga kemudian merumuskan konsep sub suku batak dalam antropologi kolonial yang membagi etnik Batak dalam beberapa sub suku seperti sub suku Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, Batak Simalungun serta Batak Pak Pak. Menurut Ichwan, konstruksi Belanda ini sama sekali tidak diperkenalkan apa lagi dipakai para misionaris Jerman selama lebih 50 tahun keberadaan mereka di tanah batak.
Dalam antropologi di Indonesia moderen konsep sub suku Batak made in Belanda itu kemudian dikopi Payung Bangun dalam buku Manusia dan Kebudayaan Indonesia yang diedit Koentjaraningrat. Konsep sub suku batak merupakan konstruksi konsep kolonial yang dalam perjalanan sejarah berikutnya terbukti tidak tepat dan ditolak sendiri oleh kelompok-kelompok etnik yang dikenakan label Batak tersebut.
Kini orang Karo, Pak Pak, Simalungun serta Mandailing menolak disebut Batak yang dikonstruksi antropologi kolonial. Peneliti dari generasi baru Perancis, Daniel Perred yang baru-baru ini menerjemahkan disertasinya dalam bahasa Indonesia (2010), menurut Ichwan juga melihat adanya kesulitan dalam menggunakan konsep Batak sebagai nama etnik. Untuk itu jalan yang dipakai Perred adalah menggunakan kata Batak sebagai konsep kultural atau budaya ketimbang nama kelompok etnik. Boleh jadi menurut Ichwan ini juga merupakan konstruksi baru yang dirumuskan Perred.
Ichwan menyimpulkan, kata Batak baik sebagai sebuah pernyataan dan ekspresi identitas, sebagai nama suku dalam konsep antropologi ataupun sebagai nama kawasan kultural dan geografis akan terus mengalami perubahan makna dan interpretasi baik dikalangan akademisi maupun dikalangan mereka yang disebut atau menyebut diri sebagai Batak. (hsp)
Sumber:
http://yesussangmesiasnaif.blogspot.com/2010_11_01_archive.html
No comments:
Post a Comment