Dr Johann Angerler : Nama Batak Belum Diketahui Asal Usulnya |
Medan, (Analisa, 19 Nopember 2009)
Peneliti Universitas Leiden Belanda, Dr Johann Angerler mengemukakan, belum diperoleh data pasti terhadap penamaan ‘Batak’ yang menjadi salah satu suku di Sumut.
Apakah konsep itu sesungguhnya asli orang Batak atau justru penamaan dari luar. Sebab berdasarkan penelitian yang telah dilakukan secara mendalam dan komprehensif, hingga kini nama itu belum ditemukan dari mana asal usulnya, kata Angerler dalam ceramah ilmiahnya dengan tema: “Sistem Sosial Politik Batak Toba Sebelum Kolonial’ di Lantai III Universitas Negeri Medan, Rabu (18/11).
Bahkan, kata penulis disertasi berjudul ‘Bius, Parbaringin und Paniaran” hingga kini, berdasarkan naskah-naskah yang sudah dipelajarinya di perpustakaan KITLV Leiden, belum menemukan dari mana asal usul kata nama itu (Batak-red). “Sampai saat ini nama itu belum pernah ditemukan”, ucapnya.
Dijelaskannya, pada awalnya sebelum prakolonial masyarakat Batak Toba digambarkan sebagai masyarakat tanpa negara (stateless society), diatur secara terpisah-pisah (segmentarily) dan memiliki sebuah sistem sosial yang relatif egaliter.
Sistem sosial politik orang Batak Toba pada saat itu memiliki institusi-institusi politik dalam bius atau organisasi-organisasi teritorial mandiri, yakni semacam pemimpin sekuler.
Pemimpin bius ini, terangnya disebut dengan raja bius. Pengaruh raja bius dalam masa-masa prakolonial seringkali begitu kuat, namun kadang-kadang terlihat begitu terbatas. Pengaruh itu tampak pada keseimbangan yang cukup untuk menjamin pekerjaan pertanian yang damai.
Ceramah ilmiah diselenggarakan Pusat Studi Sejarah dan Ilmu Sosial (Pussis) Unimed dan dibuka Pembantu Rektor I Unimed Prof Dr. Selamat Triono, M.Sc. dihadiri Prof Ibrahim Gultom (penulis disertasi Parmalim), Prof Usman Pelly (Antropolog Unimed), Prof. BA. Simanjutak (Sosiolog Unimed), Prof. Syaiful Sagala (Dosen Pascasarjana Unimed), Drs. Restu, MS (Dekan FIS-Unimed). Tampak juga hadir sastrawan dan penyair Danau Toba, Sitor Situmorang dengan istrinya Barbara Brouwer serta sejumlah dosen, undangan dan mahasiswa.
Struktur Hirarkis
Menurut pengajar di Universitas Leiden Belanda ini, dalam bius terdapat parbaringin yakni struktur hirarkis sebagai pemimpin yang mengurusi upacara dan ritual yang berbeda dari datu yang dilihat sebagai ahli sihir.
“Pengaruh parbaringin terhadap dimensi sosial politik masyarakat sangat krusial sebagai elemen yang stabil dalam suatu masyarakat yang lebih rentan”, ungkapnya
Dijelaskan dia, disamping Parbaringin, juga dikenal pemimpin lainnya dalam suatu bius yang disebut dengan Paniaran, yakni pemimpin perempuan dalam suatu bius. Adapun tugas-tugas paniaran ini adalah untuk menyampaikan aspirasi perempuan dalam bius, atau sebagai bentuk saluran aspirasi keterwakilan perempuan di tingkat regional bius. Konsep bius, parbaringin, dan paniaran itu adalah spirit demokrasi sebelum era kolonialisme melanda tanah Toba, terangnya.
Kepala Pussis Unimed Dr. phil. Ichwan Azhari, MS mengemukakan, tujuan ceramah ini untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sistem sosial politik orang Batak Toba masa kini bila dirujuk dengan sistem politik sebelum kolonial.
Apalagi, ungkapnya sistem politik khususnya pada orang Batak Toba telah mengalami beberapa kali perubahan yakni sistem sosial politik prakolonial, masa zending RMG, masa kolonial dan masa kini (era pasca kemerdekaan).
Sementara staf peneliti di Pussis Unimed, Erond L. Damanik, M.Si mengemukakan, kegiatan ini merupakan kegiatan yang kedelapan selama tahun 2009. Bulan Desember yang akan datang, Pussis-Unimed akan menyelenggarakan kegiatan seminar dengan mengundang pembicara dari University Sains Malaysia yang akan membahas tentang Sastra Sejarah Melayu. (rmd)
Sumber:
http://chrisnasiahaan.blogspot.com/2009/11/dr-johann-angerler-nama-batak-belum_21.html
No comments:
Post a Comment