Wanita Luar Biasa Dalam Lintasan Sejarah Indonesia
Oleh: EDWARD SIMANUNGKALIT
INDONESIA memiliki banyak wanita luar biasa di sepanjang lintasan sejarahnya. Para wanita luar biasa itu bukan sekedar memperjuangkan harkat dan martabat kaumnya, tapi -- sadar tidak sadar -- sudah menjabarkannya dalam kenyataan hidup mereka sehari-hari. Dalam konteks ini, kita akan melihat di mana seharusnya tempat RA. Kartini, yang tanggal lahirnya (21 April) seolah sudah “dilantik” sebagai harinya kaum wanita Indonesia.
Ratu Shima (674-732), Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1350), Ratu Kusuma Wardhani (1389-1426),Ratu Suhita (1426-1447), dan Ratu Kalinyamat (1508-1579) adalah para wanita yang menjadi ratu di dalam lingkungan budaya Jawa. Sedang Puteri Lindung Bulan (1353-1389), Ratu Nahrasiyah (1405-1428),Ratu Safiatuddin Syah (1641-1675), Ratu Nurul Alam Naqiatuddin Syah (1765-1678), Ratu Inayat Zakiatuddin Syah (1678-1688), Ratu Kamalat Zainatuddin Syah (1688-1699), Nyi Ageng Serang(1752-1828), dan Siti Aisyah We Tenriolle (1855-1910) adalah para wanita yang menjadi ratu/pemimpin di dalam lingkungan masyarakat tertentu. Secara khusus, Siti Aisyah adalah ratu dari Tanette, Sulawesi Selatan telah membuat karya sastra sebanyak 7.000 halaman dan mendirikan sekolah yang muridnya anak laki-laki dan perempuan. Marta Christina Tiahahu (1800-1818), Cut Nyak Dhien (1848-1908), Teungku Fakinah(1856-1938), Cut Meutiah (1870-1910), Cutpo Fatimah (18..-1912), Pocut Meurah Intan (1873-1937), dan Pocut Baren (18..-1928) adalah para wanita yang turut berperang bahkan pemimpin dalam perang. Mereka adalah para pemimpin dalam kerajaan maupun dalam perang yang tidak kalah dengan para lelaki.
Laksamana Malahayati (hidup diakhir abad XVI-XVI) menjadi Panglima angkatan perang Kerajaan Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Alauddin Riayat Syah Al Mukammil (1589-1604) setelah keberhasilannya memimpin pasukan wanita. Ini berawal dari pertempuran pasukan Aceh menyerang armada Portugis hingga hancur, tapi banyak pasukan Aceh yang gugur termasuk suaminya juga, Laksamana Mahmuddin bin Said Al Latief. Setelah itulah timbul ide Malahayati, Komandan Protokol Istana Kerajaan Aceh Darussalam (1585-1604), untuk membentuk pasukan wanita Inong Bale dari janda-janda pahlawan tadi, agar dapat membalaskan kematian suaminya. Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Bale berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada 21 Juni 1599. Dia berhasil menewaskan Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal dan menawan Federick de Houtman (van Zeggelen, 1935:157). Setelah pertempuran ini Malahayati diangkat menjadi Laksamana. Selain armada laut yang kuat ini masih ada lagi pasukan gajah di darat. Banyak lagi catatan orang asing tentang Malahayati yang kehebatannya memimpin angkatan perang itu diakui oleh negara-negara asing. Laksamana Malahayati juga seorang diplomat ulung, sehingga sering menjadi delegasi dalam perundingan-perundingan dengan pihak luar. Laksamana Malahayati meninggal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Maria Walanda Maramis (1872-1924), adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang turut berjuang meningkatkan keadaan wanita di Indonesia. Maria diasuh oleh pamannya di Maumbi sejak yatim-piatu di usia 6 tahun dan dimasukkan ke Sekolah Melayu di sana. Setelah menikah pada tahun 1890, Maria pun mengikuti suaminya ke Manado. Pada awalnya Maria sering menulis opini di surat kabar setempat bernama Tjahaja Siang. Ia menulis pentingnya peranan ibu dalam keluarga di mana adalah kewajiban ibu untuk mengasuh dan menjaga kesehatan anggota-anggota keluarganya sertamemberi pendidikan awal kepada anak-anaknya. Pada 8 Juli 1917, Maria dibantu oleh suami dan teman-temannya mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Turunannya) yang bertujuan untuk memberi pendidikan pada kaum perempuan tentang rumah tangga, misalnya memasak, menjahit, merawat bayi, dan sebagainya. Pembentukan organisasi ini didasari pikiran Maria yang percaya bahwa perempuan adalah tiang keluarga di mana pada merekalah masa depan anak-anak bergantung. Pada tanggal 2 Juli 1918 di Manado didirikan sekolah rumah tangga untuk perempuan-perempuan muda, yaitu Huishound School PIKAT. Kemudian tumbuh cabang-cabang PIKAT di beberapa tempat di Minahasa,Bolaang Mongondow, Sangir Talaud, Gorontalo, Poso, Donggala dan Motoling. Cabang PIKAT juga terdapat di Jawa dan Kalimantan, yaitu di Batavia, Bandung, Bogor, Cimahi, Surabaya, Balikpapan, Sangu-sangu Dalam, Makassar, Magelang dan Kotaraja. Pada tahun 1932, PIKAT mendirikan Opieiding School Var Vak Onderwijs Zeressen atau Sekolah Kejuruan Putri. Maria juga aktif mewujudkan cita-citanya supaya kaum perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Selain itu, Maria juga berjuang supaya perempuan diberi tempat dalam urusan politik, misalnya hak untuk memilih dan duduk dalam keanggotaan Dewan Kota atau Volksraad dan ini berhasil. Tanggal 1 Desember, tanggal kelahiran Maria, diperingati masyarakat Minahasa sebagai 'Hari Ibu Maria Walanda Maramis'. Patung Walanda Maramis dibangun juga di Komo, Manado.
Raden Ajeng Kartini (1879-1905) adalah anak bupati Jepara. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School), tetapi setelah itu dia dipingit di rumah saja. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensiyang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi. Dia juga banyak membaca koran Semarang serta paket majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Kartini menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri pada tanggal 12 November 1903. Kartini meninggal pada tahun 1904 setelah 4 hari melahirkan anaknya yang pertama. Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Pada 1912, Sekolah Wanita didirikan oleh Yayasan Kartini di Semarang dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya. Sekolah tersebut diberi nama Sekolah Kartini di bawah naungan Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh politik Etis.
Dewi Sartika (1884-1947) dilahirkan di Cicalengka, Bandung. Orangtuanya menyekolahkannya di sekolah Belanda. Setelah ayahnya wafat, Dewi Sartika diasuh pamannya dari ibu di Cicalengka. Dari pamannya, dia memperoleh pengetahuan tentang kebudayaan Sunda, sedang wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari seorang nyonya Asisten Residen berkebangsaan Belanda. Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis dan sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu. Dengan bantuan Bupati R.A. Martenagara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika berhasil membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Adapun tenaga pengajarnya yaitu: Dewi Sartika sendiri dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten. Pada tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920 ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Pada September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dewi Sartika meninggal di Tasikmalaya pada 11 September 1947.
Rohana Kudus (1884-1972) yang lahir di Koto Gadang adalah pendiri surat kabar perempuan pertama di Indonesia. Sewaktu ayahnya bertugas di Alahan Panjang, mereka bertetangga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Walaupun Rohana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Rohana bahan bacaan dari kantor. Dari isteri pejabat Belanda tetangganya, dia belajar menjahit, menyulam, merenda, dan merajut. Darinya juga dia banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa yang sangat digemarinya. Setelah menikah dengan Abdul Kudus, seorang notaris, dengan berbekal semangat dan pengetahuan yang dimilikinya, Rohana mendirikan sekolah keterampilan khusus perempuan pada 11 Februari 1911 yang diberi nama Sekolah Kerajinan Amai Setia. Di sekolah ini diajarkan berbagai keterampilan untuk perempuan, keterampilan mengelola keuangan, tulis-baca, budi pekerti, pendidikan agama dan bahasa Belanda. Ini menjadikan sekolah Rohana berbasis industri rumah tangga serta koperasi simpan-pinjam dan jual-beli pertama yang anggotanya semua perempuan di Minangkabau. Rohana juga menulis puisi dan artikel serta fasih berbahasa Belanda, sehingga kiprah Rohana menjadi topik pembicaraan di Belanda. Berita perjuangannya ditulis di surat kabar terkemuka dan disebut sebagai perintis pendidikan perempuan pertama di Sumatera Barat. Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Di Bukittinggi, kemudian hari Rohana mendirikan sekolah dengan nama “Rohana School”pada tahun1916. Di kota ini dia memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang Cina menggunakan mesin jahit Singer. Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Rohana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Rohana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa. Rohana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.Pada masa revolusi fisik, saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana bahkan turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda. Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api. Kemudian hari Rohana merantau ke Lubuk Pakam dan Medan, tetapi di sana dia tetap mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak. Ketika Rohana kembali lagi ke Padang sekitar 3 tahun kemudian, dia menjadi redaktur surat kabar Radioyang diterbitkan Tionghow-Melayu dan surat kabar Cahaya Sumatera. Demikianlah Rohana Kudus menjalani 88 tahun hidupnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik. Dia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974) dan pada Hari Pers Nasional ke-3 tanggal 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada tahun 2008, pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama meskipun dia telah wafat pada 17 Agustus 1972 di Jakarta (dari Berbagai Sumber).
Penutup
Semuanya yang telah dipaparkan tadi mengangkat bahwa ternyata bukan hanya R.A. Kartini memperjuangkan kaumnya dan bukan hanya berwacana-wacana melainkan telah mempratekkannya di dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu, bukan hanya Kartini yang menjadi pahlawan wanita, tetapi masih banyak wanita lain menjadi pahlawan wanita yang membela kaumnya melalui praktek bahkan ada yang sudah menempatkan dirinya sebagai teladan dalam emansipasi wanita. Dengan demikian, bukan hanya Hari Kartini pada 21 April yang patut dirayakan, tetapi Hari Shima, Hari Malahayati, Hari Siti Aisyah, Hari Maria Christina, Hari Maria Walanda, Hari Rohana, dan Hari Dewi Sartika patut juga dirayakan seperti merayakan Hari Kartini. Akan tetapi, untuk menghindari banyak hari perayaan dan mengindari pengkultusan pribadi, maka cukuplah perayaan Hari Ibu pada 22 Desember itu yang dirayakan untuk mengenang perjuangan mereka semuanya. Tiba-tiba, entah kenapa, penulis teringat kepada Angelina Sondakh, Wa Ode Nurhayati, Miranda Gultom, Atut Chosiyah, dan Siti Fadilah Supari; ada apa sebetulnya dengan wanita Indonesia sekarang ini?
Tulisan ini telah dimuat dalam
WAHANA NEWS
Edisi VI/TAHUN II: SENIN, 28 April - 09 Mei 2014
No comments:
Post a Comment