SABTU, 13 DESEMBER 2014
Kisah Penindasan Tawanan di Kamp Nazi
Gerbang utama dari bekas kamp konsentrasi di Dachau, Jerman, terlihat tanpa pintu bertuliskan slogan Nazi "Arbeit macht frei" yang dicuri, Senin 3 November 2014. REUTERS/Michael Dalder
TEMPO.CO, Jakarta - Parlindoengan Loebis (1910-1994) seorang dokter, dalam otobiografinya, Orang Indonesia di Kamp Konsentrasi Nazi, bercerita soal kengerian yang dirasakan selama dalam masa penahanan. Ketua Perhimpoenan Indonesia Belanda periode 1936-1940 ini diciduk tentara Nazi pada akhir Juni 1941. Di era itu, Perhimpunan Indonesia di Belanda gencar melawan fasisme Jerman. (Baca: Baru Dua Bulan Menikah, Pria Ini Diciduk Nazi)
Sejak itu lelaki berdarah Batak itu harus meringkuk di empat kamp konsentrasi Nazi selama empat tahun: Kamp Schoorl dan Amersfoort di Belanda, serta Buchenwald dan Sachsenhausen di Jerman. Majalah Tempo pada September 2006 menuliskan kehidupan Parlindoengan di kamp Buchenwald. (Baca: Sel Kamp Nazi dan Lubang Busuk)
Hampir setiap pekan puluhan tawanan mati akibat sakit dan kelaparan di kamp konsentrasi Buchenwald. Sejak menampung tawanan pada 1937 hingga 1945, lebih dari 56 ribu korban menemui ajal di kamp konsentrasi yang terletak di pinggiran Kota Wiemar itu. (Baca: Kamp Konsentrasi Nazi, Menebar Kengerian di Eropa)
Buchenwald merupakan satu di antara kamp konsentrasi utama di Jerman. Sejak 1933 Nazi mulai membangun kamp-kamp konsentrasi kecil, sebagian besar terletak di sekitar Berlin. Tempat yang digunakan adalah bekas tangsi militer, pabrik yang sudah ditinggalkan, bekas gudang, dan bekas istana kuno. Puluhan kamp itu digunakan Nazi untuk menyekap lawan-lawan politiknya. Khususnya orang komunis, juga yang dicap komunis. (Baca: Dokter Indonesia Ini Diciduk oleh Tentara Nazi)
Sekitar 1.400 tawanan yang didatangkan dari beberapa kamp konsentrasi di Jerman dikerahkan untuk membuka hutan. Mereka kemudian membangun barak-barak dari kayu dan batu bata berwarna kelabu. Kamp yang terdiri dari 174 sub-kamp itu dikelilingi pagar kawat berduri beraliran listrik tegangan tinggi. Juga ada menara pengintai yang dijaga tentara SS (Schutz Staffel), pasukan khusus Nazi. (Baca: Hitler Ubah Kumis, Ini alasannya)
Hari-hari di kamp Buchenwald dilewati para tawanan dengan kerja paksa. Sepanjang 16-18 jam per hari mereka sebagian besar dipekerjakan di pabrik dan pertambangan. Sisanya bekerja memecah batu-batu dari gunung di sekitar kamp. Pagi-pagi buta mereka digiring ke tempat kerja paksa dan kembali larut malam. (Baca: Hitler Ternyata Gemar Jeroan Burung Dara)
Dengan pekerjaan seberat itu, para tawanan hanya mendapat jatah makanan sangat minim. "Pagi-pagi dapat roti kurang-lebih 400 gram, bubur dan kopi pakai gula kurang-lebih 400 cc. Kopi yang diberikan itu sebenarnya bukan kopi, melainkan dibuat dari sejenis padi," tulis Parlindoengan dalam otobiografinya. (Baca: Kapal Selam Pertama TNI Bukan dari Jerman Tapi Soviet)
Siang sekitar pukul 11.00, mereka mendapat sup dengan satu atau dua kentang di dalamnya. Dan malam sehabis kerja hanya mendapat kopi. Terkadang dapat juga margarin dan selai kurang-lebih 120 gram. (Baca: Tahanan Nazi Asal Indonesia: Bangkai Jadi Rebutan)
Pada 1944, sebagian kamp Buchenwald hancur ketika pasukan Sekutu membombardir dari udara. Kini sebagian besar bangunan kamp konsentrasi itu telah rata tanah. Yang masih tersisa beberapa bangunan sebagai ruang koleksi peninggalan. Kamp konsentrasi Buchenwald kini telah menjadi objek wisata sejarah. (Baca juga: Kapal Selam Jerman Bawa Penumpang Ningrat Eropa)
Sumber:
http://www.tempo.co/read/news/2014/12/13/078628336/Kisah-Penindasan-Tawanan-di-Kamp-Nazi
No comments:
Post a Comment