Bius – Lembaga Sosial Khas Batak
Untuk mengetahui tentang Bius kita harus mengenal dahulu apa itu PARTUKKOAN. Partukkoan adalah salah satu wadah komunikasi dan musyawarah yang digunakan para leluhur Halak Batak pada masa dulu.
PARTUKKOAN konon pada jamannya sudah sangat populer yang berfungsi sebagai ajang dalam mengambil keputusan dalam berbagai hal, seperti :
- Penetapan hukum;– Perumusan adat;– Perencanaan pembangunan;– Pertanian;– Keamanan;– Hubungan sosial kemasyarakatan.
Selain itu wadah ini juga berperan sebagai lembaga pertimbangan kehakiman untuk memutuskan perkara akibat pelanggaran hukum yang selanjutnya diputuskan dalam ria raja. PARTUKKOAN dapat juga menempa pengetahuan bagi warga yang menjelang status natunggane untuk dapat tampil sebagai wakil huta, dan horja dalam kancah hubungan kemasyarakatan yang lebih luas. PARTUKKOAN ini difasilitasi Raja Huta untuk tingkat huta (Tanah/sawah sumber daya alamiah diberi status hukum golat/hak ulayat khas Toba), Raja Huta yang terpilih atau bergantian untuk memimpin horja. kita dapat juga Ungkapan “Huta do mula ni Horja; Horja do mula ni Bius”, menandakan Horja adalah bagian dari Bius. Artinya satu Bius terdiri dari beberapa Horja.Perserikatan horja ini lebih banyak mengurus hal-hal yang berhubungan dengan duniawi, sedangkan urusan yang berhubungan dengan bencana yang melanda warga, seperti wabah penyakit, air bah, atau kekeringan, masyarakat akan membentuk perserikatan yang meliputi kelompok-kelompok semua marga yang ada di wilayah bencana (gabungan dari horja) yang disebut bius.Dalam aktifitasnya, bius memiliki kekuasaan sendiri. Pemimpin bius biasa disebut dengan raja dan raja bius ini terdapat empat orang (raja na opat), yaitu:
a) Raja Parmalin,
Yang berfungsi merencanakan dan menata organisasi bidang kepercayaan rakyat bius (religi).
b) Raja Adat,
Yang berfungsi merencanakan dan menata hukum dan paradaton (adat).
c) Raja Parbaringin,
Yang berfungsi merencanakan dan menata bidang sosial politik dan keamanan bius.
d) Raja Bondar,
Yang berfungsi merencanakan dan menata perekonomian (Vergouwen, 1986).
Peta Wilayah Bius (Horja) di Pulau Samosir |
Horja-Bius lama ini adalah lembaga sosial khas yang ada di masyarakat tradisional batak turun-temurun. Pada perkembangannya federasi Bius kemudian melahirkan golongan Parbaringin dan dalam konteks regional bermuara pada lembaga Sisingamangaraja.
Menurut Sitor Situmorang, berdasarkan kelengkapan organisasi aparatnya, bius yang terdapat di Kampung Batak dapat kita bagi menjadi tiga tingkatan Bius:
1. Bius Tua/lengkap
Bius jenis ini dapat ditemukan di pantai barat, pantai selatan danau Toba dan di Samosir yang dipandang sebagai asal kebudayaan Toba. Disini ada dewan pemimpin (kolegial) bius yang membawahi beberapa horja sebagai bagian bius yang berwenang mengelola golat (hak ulayat), horja membawahi puluhan huta. Struktur pemerintahan inilah bentuk ideal yang selalu diusahakan diwujudkan menurut model Sianjur Mula-mula. Kondisi disekitar tepi danau memungkinkan untuk itu. Seperti halnya model Sianjur Mula-mula bius tua mempunyai organisasi parbaringin yang sifatnya turun-temurun dan tetap. Parbaringin bertugas mengatur jadwal bercocok tanam, mengatur kegiatan pemeliharaan irigasi (bondar), pemekaran wilayah persawahan baru dll
2. Bius sedang berkembang
Bius ini terjadi karena adanya perkembangan migrasi dari daerah asal disekitar danau membentuk bius-bius baru ke dataran tinggi selatan danau dan barat (Humbang, Silindung, Pahae). Kepemimpinan bius masih kolegial, tetapi parbaringin tidak selalu ditemukan disini, dan sekiranya ada tidak selengkap di daerah bius tua. Oleh karena itu fungsi pekerjaan parbaringin dalam ritual-ritual dirangkap oleh pemimpin sekuler bius dan tidak bersifat tetap. Sesudah menjalankan ritual tokoh sekuler itu kembali ke status semula, tidak tetap sebagai pendeta. Hal ini wajar terjadi karena areal sawah tidak seluas di bius tua sehingga tidak melahirkan kelas/organisasi pendeta.
3. Bius kecil/terbelakang
Bius seringkali ini dijumpai dipinggiran wilayah Toba. Karena situasi setempat maka aparatnya tidak lengkap karena kepemimpinan kadang kala hanya dijalankan seorang saja/tinggal. Aparat pemerintahannya tidak memadai dan karena areal persawahannya sempit maka tidak memerlukan ritual-ritual pertanian serumit bius tua. Medannya hutan belukar dan berbatasan dengan dunia luar Toba sehingga mengharuskan adanya pemimpin tinggal untuk pengambilan keputusan yang cepat.
Untuk Informasi Tambahan menurut W.K.H Ypes, mantan residen Tapanuli peminat etnologi/antropologi adalah orang berjasa mendokumentasikan peta marga. Setelah meneliti marga-marga dan bius diseluruh Toba mengatakan terdapat 86 bius yaitu Silindung 4 bius, Humbang 19 bius, Toba Holbung 40 bius, Samosir 23 bius (Ada pendapat lain mengatakan jumlahnya mencapai 150 bius).
Walaupun lembaga Bius secara formal sekarang tidak lagi diakui, sejarah ini penting dicatat. bahkan saat ini ada dalam ulaon Batak Toba daerah tertentu, orang-orang tua Batak menyebut tanah perantauannya sebagai Bius tersendiri lengkap dengan adanya jambar untuk Raja Bius.
http://garasi.in/bius-lembaga-sosial-khas-batak.html
No comments:
Post a Comment