Monday, December 29, 2014

ASAL-USUL SUKU NIAS DITINJAU DARI ARKEOLOGI: Suku Nias Sudah Ada Sejak 12.000 Tahun Lalu?


ASAL-USUL SUKU NIAS DITINJAU DARI ARKEOLOGI

Suku Nias Sudah Ada Sejak 12.000 Tahun Lalu?

18/04/2013


Ketut Wiradnyana | Foto: NBC/Ketjel Parangdjati
NBC — Pencarian asal-usul suku Nias secara ilmiah terus dilakukan. Setelah penelitian lewat DNA, giliran arkeolog yang berbicara. Penelitian yang dilakukan selama hampir 15 tahun dari tim yang dipimpin Arkeolog Ketut Wiradnyana dari Badan Arkeologi Medan ini justru memiliki perbedaan dengan yang sebelumnya.
Penemuan didasarkan pada benda-benda purbakala yang ditemukan di Nias. Penelitian yang dimulai sejak tahun 1995 hingga 2007 ini dilakukan di tiga daerah, yakni Nias Utara, Gunungsitoli, dan Nias Selatan. Dari ketiga daerah tersebut ditemukan benda-benda purbakala yang mengindikasikan, kapan kebudayaan manusia di Pulau Nias dimulai. Penemuan benda-benda purbakala tersebut menjadi dasar kesimpulan tentang asal-usul suku Nias.
“Kami sudah keliling Nias, tetapi hanya di tiga daerah itu saya menemukan benda-benda purbakala peninggalan nenek moyang suku Nias,” kata Wiradnyana kepada NBC saat diwawancara seusai pelaksanaan Seminar Internasional Asal-Usul Suku Nias Ditinjau dari DNA dan Benda-Benda Purbakala, Sabtu lalu (13/4/2013). Hasil penelitian ini merupakan salah satu materi yang disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan di Aula Santo Yakobus Laverna, Gunungsitoli.
Tidak hanya berdasarkan kajian teoretis, penentuan usia benda-benda purbakala yang ditemukan itu disertai dengan carbon dating. Ini adalah suatu teknik untuk mengetahui umur karbon yang terdapat pada makhluk hidup ataupun sisa pembakaran yang akan menjadi dasar mengetahui tahun budaya di mana sampel ditemukan.
Temuan yang Mengejutkan
Penemuan yang cukup mengejutkan dalam penelitian yang dilakukan Wiradnyana bersama tim salah satunya adalah bahwa Pulau Nias telah dihuni sebelum 12.000 tahun lalu. Hal ini dibuktikan dengan penemuan peralatan batu yang sangat sederhana, seperti kapak genggam, kapak perimbas, penetak, dan batu pukul di Daerah Aliran Sungai (DAS) Muzöi dan Sungai Sinötö di Kabupaten Nias Utara.
Peralatan semacam ini hanya ada pada masa paleolitik, yakni suatu zaman batu yang tertua dalam masa prasejarah. Sayangnya, belum ada penelitian intensif tentang benda-benda purbakala ini sehingga kapan masa paleolitik di Pulau Nias dimulai masih belum diketahui. Akan tetapi, setelah dibandingkan dengan penemuan benda purbakala di Goa Tögi Ndrawa, masa paleolitik di DAS Muzöi dan Sungai Sinötö tersebut diperkirakan lebih tua dari 12.000 tahun.
Benda-benda purbakala yang ditemukan di Goa Tögi Ndrawa, Desa Lelewönu Niko’otanö, Gunungsitoli, ini berupa alat serpihan dari batu, peralatan dari tulang, peralatan berbahan tanah dan cangkang kerang. Peninggalan ini membuktikan adanya sekelompok manusia yang pernah beraktivitas di wilayah ini, tetapi sedikit lebih maju dari masa sebelumnya. Masa yang berlangsung sekitar tahun 12.000-an tahun lalu ini disebut masa mesolitik.
Peralatan seperti ini adalah peninggalan kelompok Hoabinh yang umumnya diusung oleh ras Australomelanesoid. Hal ini didasarkan pada bentuk dan ciri khas peralatan tersebut. Kelompok Hoabinh tersebar di seluruh Asia Tenggara, China bagian selatan, dan Taiwan. Goa lain yang mengindikasikan budaya masa mesolitik adalah Goa Tögi Mbögi di Desa Binaka, Gunungsitoli Idanoi. Di goa ini ditemukan alat serpih, peralatan berbahan tanah, dan variasi sisa moluska yang memiliki kesamaan dengan penemuan di Goa Tögi Ndrawa.
Penelitian ini tentu saja mematahkan budaya megalitik (budaya batu besar) sebagai budaya tertua di Nias. Berdasarkan carbon dating, budaya megalitik Nias baru dimulai sejak 600 tahun lalu. Budaya megalitik tersebar hampir di seluruh perkampungan tua, baik di Kabupaten Nias maupun Nias Selatan.
“Ini yang orang salah paham. Berdasarkan penemuan di Muzöi sudah ada manusia di Nias sebelum 12.000 tahun lalu, tetapi kita tidak tahu darimana asalnya. Kemudian ditemukan benda purbakala pada 12.000 tahun lalu di kedua goa yang ada di Gunungsitoli yang berasal dari kebudayaan Hoabinh dengan ras Australomelanesoid,” kata Wiradnyana.
Menurut dia, ciri-ciri ras Australomelanesoid sangat berbeda dengan ras Mongoloid yang kemudian datang ke Nias Selatan. Perbedaan itu di antaranya bentuk tengkorak yang lebih lonjong dan badan atau tulang yang lebih kekar.
Mengingat begitu kuatnya folklore yang berkembang di masyarakat Nias tentang leluhur suku Nias yang turun di Börönadu, lanjut Wiradnyana, juga telah dilakukan penelitian. Dari hasil penelitian budaya megalitik itu terungkap, usia peradaban tersebut berasal dari abad ke-14. Begitu pula dengan daerah lainnya di Nias Selatan yang ternyata memiliki peradaban yang masih muda usianya.
“Rupanya manusia di sini berasal dari ras Austronesia. Ras Austronesia memiliki budaya megalitik yang datang belakangan, kemudian menyebar ke utara dan memengaruhi budaya ras Australomelanesoid atau mungkin bergabung dengan mereka,” ujar Wiradnyana.
Cikal bakal ras Austronesia ini, kata Wiradnyana, berasal dari China bagian Selatan lalu ke Taiwan kemudian menyebar ke daerah lain, seperti Filipina dan Sulawesi. Paling tidak, ada 3 periode migrasi yang baru diketahui oleh para arkeolog. Hal ini berarti kemungkinan adanya migrasi lain yang perlu diteliti lebih jauh untuk memastikan asal-usul suku Nias yang sebenarnya.
Penemuan mengejutkan lainnya adalah adanya kesamaan budaya antara temuan yang terdapat di Goa Tögi Mbögi dengan budaya Toala yang berkembang di Sulawesi Selatan. Temuan tersebut berupa mata anak panah. Keberadaan budaya Toala mengindikasikan ada kelompok orang yang berbeda datang ke Nias.
Arkeologi Versus DNA
Adanya penemuan kebudayaan manusia dari berbagai masa di Pulau Nias membuat Wiradnyana sampai pada kesimpulan bahwa nenek moyang suku Nias tidak hanya berasal dari satu daerah seperti yang diperkirakan selama ini. Bila mengingat hasil penemuan suku Nias ditinjau dari DNA sebelumnya, bisa jadi akan membingungkan masyarakat Nias.
“Apa yang ditemukan Mannis itu kan DNA orang Nias yang dari ras Austronesia yang datangnya belakangan. Yang di Muzöi itulah manusia pertama yang sampai sekarang belum kita ketahui darimana asalnya,” kata Wiradnyana.
Menurut dia, penemuan arkeologi dan tes DNA dapat disinkronisasikan bila ditemukan tulang atau tengkorak manusia. Sayangnya, tulang atau tengkorak yang ia maksud belum ditemukan di lokasi penemuan benda-benda purbakala tersebut.
Meskipun demikian, Wiradnyana mengatakan, penelitian yang dilakukan, baik dia maupun Mannis, sama-sama bertujuan membuka jalan berikutnya untuk penelusuran lebih jauh tentang asal-usul suku Nias. Sebab, hasil DNA itu belum mampu menjawab hasil temuannya, seperti siapa dan darimana manusia yang tinggal di DAS Muzöi?
Perlu Penelitian Lebih Lanjut
Keragaman budaya dari temuan benda-benda purbakala di Nias mulai dari budaya Paleolitik, Mesolitik (Hoabinh dan Toala) dan megalitik menjadikan masyarakat Nias sebagai masyarakat yang plural. Hal ini bisa dilihat dari perbedaan fisik, bahasa, bahkan budaya antara masyarakat Nias bagian Utara dan Selatan.
Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan asal-usul suku Nias. Apalagi belum ditemukan tengkorak atau sisa tulang belulang manusia di sekitar penemuan benda-benda purbakala di daerah tersebut. Belum lagi soal jalur migrasi yang ditempuh dan relief perahu yang ditemukan di Nias menambah daftar pertanyaan darimana sesungguhnya suku Nias?
Penelitian lebih lanjut tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama pemerintah daerah di Pulau Nias sebab dana yang dibutuhkan sangat besar. Wiradnyana menyimpan harapan yang besar akan hal tersebut.
“Mudah-mudahan pemerintah daerah di Pulau Nias memberikan perhatian yang besar terhadap perkembangan penelitian ini sehingga masyarakat Nias dapat dengan tegas menyatakan identitas dirinya,” ujarnya.
Penemuan yang cukup mengejutkan ini tentu mengundang kontroversi dari masyarakat Nias yang memiliki pandangan masing-masing yang telah diyakini sejak lama. Namun, Wiradnyana menganggap hal itu merupakan hal yang biasa karena pemahaman masyarakat yang masih terbatas.
“Penelitian yang kita lakukan itu dilihat dari berbagai aspek tidak hanya metodologi, arkeologi, dan antropologi, tetapi juga metode fisika dan kimia melalui carbon dating untuk memvalidkan apa yang kita hasilkan sehingga benar-benar bisa diterima,” kata Wiradnyana.
Ketut Wiradnyana, lahir pada 26 April 1966 adalah peneliti arkeologi masa prasejarah. Ia bekerja sebagai peneliti di Balai Arkeologi Medan dari tahun 1994 sampai sekarang. Ia telah melakukan berbagai penelitian di beberapa daerah di Indonesia dan sering diundang sebagai pembicara baik dalam maupun luar negeri. Salah satu temuannya yang mengundang kontroversi adalah membuka tabir sejarah dan ilmu pengetahuan dunia tentang hunian prasejarah dan migrasi yang ditemukan di Dataran Tinggi Gayo dan selama ini belum dimasukkan dalam buku sejarah Indonesia dan dunia. [ANOVERLIS HULU]

Sumber:
- See more at: http://www.nias-bangkit.com/2013/04/suku-nias-sudah-ada-sejak-12-000-tahun-lalu/#sthash.N0LhYPoP.dpuf

No comments:

Post a Comment