Kota Dunia yang Terlupakan
Kamis, 26 September 2013 | 10:50 WIB
BERKENDARA sejauh 3.325 kilometer mulai dari titik Kilometer 0 di Sabang, Pulau Weh, lalu menyeberang ke Banda Aceh, untuk selanjutnya menyusuri pantai barat Sumatera hingga Bandar Lampung, sungguh melelahkan sekaligus menyenangkan.
Jalan lurus, menanjak, atau menikung tajam menjadi tantangan selama perjalanan lintas Sumatera dari ujung utara ke ujung selatan. Sementara, jalan rusak dengan lubang menganga sering tak terelakkan. Namun, semua terbayar. Tanah Sumatera menyajikan panorama dan keunikan tiada tara.
Leluhur kita mewariskan tempat, budaya, dan nilai-nilai yang mengundang decak kagum. Pertemuan dengan warga lokal dari setiap kota yang kami singgahi memberikan kesan yang mendalam. Lewat kearifan lokal yang masih bertahan atau kuliner yang sangat menggugah selera menemani penyusuran jejak sejarah sebuah kota. Melalui catatan sejarah dan cerita tutur diketahui kota-kota yang kami singgahi pernah mencapai masa keemasan. Bahkan, kota-kota itu sangat metropolis pada zamannya.
Kota-kota yang memudar
Pada abad ke-16 hingga ke-20 Masehi, pantai barat Sumatera pernah menjadi titik pusaran peradaban dan jalur perdagangan internasional. Seperti yang tertuang dalam buku Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera (2007), yang disusun Gusti Asnan, masyarakat di pantai yang berhadapan dengan Samudra Hindia itu berhubungan dengan beberapa negara, seperti Belanda, Portugis, Inggris, China, dan India.
Kota Barus, Singkil, dan Kota Natal merupakan titik-titik pusaran peradaban, termasuk pusat penyebaran agama Hindu, Buddha, dan Islam pada masa itu. Posisi di muara sungai membuat kota-kota ini menjadi pintu masuk yang strategis bagi dunia.
Sementara kawasan Bukit Barisan yang membentang dari Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Jambi merupakan salah satu pusat kebudayaan megalitik. Di sana banyak ditemukan situs prasejarah berupa konstruksi batu-batu besar yang diduga berkaitan dengan ritus keagamaan, kegiatan penguburan, dan permukiman. Di sana pula ditemukan sisa-sisa dan perkakas logam purba yang merupakan peninggalan dari zaman perunggu.
Lautan biru di Teluk Balohan, Aceh dengan perbukitan yang mengelilingi. Lautan ini menjadi pemandangan bagi peserta Jelajah Sepeda Sabang-Padang Kompas-PGN, Sabtu (31/8/2013).
Beberapa peninggalan itu mencerminkan masyarakat pada zaman itu mulai mengenal hidup menetap dan teknologi pembuatan perkakas dari logam. Mereka berhubungan dengan budaya Dongson di Vietnam lewat pantai barat Sumatera.
Sebelum memulai perjalanan, kami sebenarnya sudah memperkirakan bahwa mungkin tidak akan banyak sisa-sisa kejayaan masa lalu yang masih bisa diihat. Namun, perjalanan tapak tilas ini tetap kami lakukan sekaligus untuk melihat kondisi keterkinian kota-kota yang pernah berjaya pada zamannya.
Itu sebabnya kami tidak terlalu terkejut ketika melihat beberapa kawasan pantai barat Sumatera bagaikan kawasan tak bertuan. Kota-kota yang berjajar dari Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, hingga Lampung itu tertinggal dalam beberapa aspek kehidupan.
Kota Singkil, kota di pantai barat Sumatera, saat ini nyaris menyerupai kota mati. Permukaan tanahnya menurun sekitar 1,5 meter pascagempa Desember 2004. Wilayah ini pun kerap digenangi air dan rumah-rumah terkepung rawa. Banyak pula rumah kosong yang dibiarkan tergenang air atau tertutup ilalang. Kondisi Kota Singkil Lama lebih mengenaskan. Sisa-sisa bangunan tua tertutup lumpur dan semak belukar.
Selain Kota Singkil, kondisi serupa tampak di Kota Natal, Kabupaten Mandailing Natal; juga di Kota Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Di Kota Natal, beberapa peninggalan lama di sekeliling alun- alun kota sudah rusak. Pantainya tak terurus dan kotor. Kegiatan ekonomi sepi.
Warga melintas di sebuah masjid yang rusak di Kecamatan Singkil, Kabupaten Aceh Singkil, Selasa (12/3/2013). Bencana tsunami besar pernah menenggelamkan kawasan permukiman Singkil Lama sehingga mereka harus membangun peradaban baru saat kembali ke lokasi yang sekarang mereka tempati.
Sepertinya Kota Singkil tidak hanya sekali berpindah tempat karena bencana. Jejak-jejak kota tua masih bisa ditemukan di tepi pantai Singkil.
Barus, kota yang dulu terkenal dengan kapur barus atau kamper, tidak jauh berbeda. Dulu Barus merupakan kota dagang yang besar. Berbagai bangsa mengunjungi tempat ini untuk mencari komoditas yang penting pada saat itu.
Barus sekarang—yang terletak beberapa kilometer dari Barus lama—hanyalah sebuah kecamatan. Beberapa bangunan, perumahan, tempat pelelangan ikan, dan pangkalan pendaratan ikan di pelabuhan lama itu kusut tak terawat. Tak sedikit orang yang tidak mengetahui Barus.
Bertahun-tahun makam-makam lama di Barus tampak bisu karena jarang orang yang peduli. Orang-orang dari luar negeri malah peduli dengan keberadaan makam itu hingga makam-makam itu diteliti dan makam-makam itu ”hidup”.
Ketimpangan
Tsunami tahun 2004 telah meluluhlantakkan sebagian besar kawasan pantai barat Aceh. Pemulihan kawasan membutuhkan waktu dan biaya yang sangat besar. Bantuan dari luar negeri pada akhirnya ikut membantu pembangunan infrastruktur.
Provinsi Aceh seperti bergincu. Kota yang porak poranda kini tertata rapi. Jalan-jalan di sepanjang pantai barat dibangun lebar dengan aspal yang mulus.
Namun, kenikmatan berkendara segera berakhir setelah melewati perbatasan Provinsi Aceh. Kenyamanan segera berganti dengan perjuangan menghindari lubang-lubang besar di jalan.
Pelabuhan di Teluk Semangko, Kabupaten Tanggamus, Lampung, Kamis (8/3/2012). Di Sumatera terdapat sesar aktif terbesar kedua setelah sesar San Andreas di Amerika yang membelah Sumatera sepanjang 1.650 kilometer dari Teluk Semangko hingga Aceh.
Tantangan bertambah dengan kondisi aspal jalan yang terkelupas dan bergelombang. Kerusakan itu sangat parah di beberapa titik. Sebut saja ruas antara tanjakan Sedayu, Kabupaten Tanggamus, sampai Pemerihan dan Krui, Lampung Barat. Begitu pula jalan dari Kota Bengkulu menuju Mukomuko hingga Tapan, Sumatera Barat.
Di Air Punggul, sebelum Mukomuko, jalanan mirip kubangan kerbau. Lubang-lubang selebar 5 meter lebih yang dipenuhi lumpur menganga di tengah jalan. Melewati jalan rusak ini, truk- truk kerap terperosok lubang, mogok, atau malah terjungkal ke jurang.
Meredupnya Sumatera sebagai pusat peradaban pada masa lalu itu antara lain disebabkan adanya perubahan moda transportasi laut ke darat, terutama dengan pembangunan jalan oleh Belanda. Kondisi ini mendorong masyarakat beralih dari perahu atau kapal ke mobil atau kereta api. Setelah kemerdekaan, kota-kota tua itu tidak diberi peran sebagai pusat pemerintahan. Sementara para pengambil kebijakan tak punya kesadaran merawat kota-kota bersejarah itu.
Pemerintah lebih tertarik mengembangkan perdagangan di kawasan pantai timur Sumatera, khususnya di sekitar Selat Malaka, dengan pusatnya di Batam dan Medan. Dominasi pembangunan pantai timur ini bisa dilihat dari pengiriman hasil bumi dari pedalaman pantai barat Sumatera yang harus melalui jalur darat untuk kemudian dibawa dengan kapal dari pelabuhan Belawan, Medan.
Adapun untuk melayani arus perdagangan skala lokal di kawasan pantai barat Sumatera, pemerintah lebih tertarik mengembangkan pelabuhan yang lebih baru, seperti Singkil di utara dan Sibolga di selatan. Kehebatan Barus sebagai bandar internasional benar-benar dilupakan.
Masalah lain yang hingga kini jelas-jelas dirasakan masyarakat adalah timpangnya pembangunan. Perhatian pemerintah yang kurang membuat wilayah ini jauh tertinggal ketimbang kawasan tengah atau di pantai timur Sumatera, seperti Palembang, Pekanbaru, dan Medan. Padahal, kawasan barat juga berpotensi, mulai dari perkebunan, perikanan, wisata, dan seni budaya.
Bertumbuh
Sebuah kota memang bukan merupakan hasil cipta satu generasi. Sebuah kota tumbuh dari satu generasi ke generasi lainnya. Pada dasarnya bentuk kota yang ada sekarang merupakan proses interaksi antargenerasi. Bentuk kota yang ada sekarang merupakan lapisan-lapisan (layers) dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang telah mengalami perkembangan dan saling bertumpukan.
Kendaraan melintas di jalur lintas barat Sumatera di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat rusak parah akibat tanah longsor dan abrasi, Rabu (15/2/2012). Potensi gempa berkekuatan besar berikut tsunami mengancam ribuan penduduk yang tinggal di kawasan merah yang berada di pesisir Sumatera Barat.
Jadi, bentuk kota sesungguhnya merupakan kolase-kolase sejarah. Yang lebih penting dalam pemekaran sebuah kota adalah bagaimana menciptakan suatu perkembangan yang mampu memberikan kesan yang berkesinambungan bagi warga dan penghuninya.
Jarak 3.325 kilometer harus kami lewati. Cakrawala sudah berwarna jingga ketika kendaraan kami masuk dari kota satu ke kota lainnya. Mesin kendaraan kami pun terus menderu untuk melintasi jalan di perbukitan.
Dari sebuah dataran tinggi wujud Sumatera pun berangsur- angsur meredup bersamaan dengan tenggelamnya sang surya dan kendaraan pun kami pacu berlomba mengejar waktu. (Gatot Widakdo/Hamzirwan)
Editor | : I Made Asdhiana |
Sumber | : KOMPAS CETAK |
Sumber:http://travel.kompas.com/read/2013/09/26/1050516/Kota.Dunia.yang.Terlupakan
No comments:
Post a Comment