Tuesday, June 12, 2012

Menjaga Kebun Teh Terakhir


Menjaga Kebun Teh Terakhir



http://jeffrisubangun.blogspot.com

Manajer Kebun Teh Sidamanik Bambang Wisnu Wardono menerawang ke tahun 1998, saat penjualan teh dari lima kebun yang dimiliki PT Perkebunan Negara IV menjadi penyumbang terbesar laba perusahaan.

Bambang pun menuturkan, pada tahun 1986 teh dari Kebun Bah Butong yang terletak berdekatan dengan Kebun Sidamanik menjadi salah satu komponen teh produksi prinsipal dari Jerman, Hyllson and Lyon.

Sayang, tahun-tahun setelah teh menjadi penyumbang laba terbesar, harga teh di pasar internasional terus menurun. Kebun teh pun malah menjadi penyumbang defisit neraca keuangan perusahaan karena terus merugi. Sebagai akibatnya, direksi PTPN IV pun memutuskan kebun teh dikonversi menjadi kebun kelapa sawit yang lebih menguntungkan.

Dari enam kebun yang dimiliki PTPN IV, kini hanya tersisa tiga kebun, Sidamanik, Bah Butong, dan Toba Sari. Letak ketiga kebun ini berdekatan, berada di dataran tinggi Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, tak jauh dari pinggiran Danau Toba.

Memang berbeda dengan kebun-kebun teh di Pulau Jawa yang rata-rata berada di ketinggian lebih dari 1.000 meter di atas permukaan laut, ketinggian ketiga kebun teh di Sumut ini berkisar 800-900 meter di atas permukaan laut. Bukan ketinggian ideal bagi tanaman teh.

Di antara kebun teh yang dimiliki PTPN IV, Kebun Bah Butong menjadi kebun yang paling tua usianya. Dibuka pada tahun 1917 oleh Nederland Handel Maatschappij, teh bah butong mungkin menjadi yang paling terkenal di antara teh dari kebun di sekitarnya. Manajer Kebun Bah Butong Illyas Armein Pane menuturkan, salah satu jenis teh produksi kebunnya, Dust I Bah Butong, memiliki konsumen fanatik di Negara Bagian Kedah, Malaysia. ”Saking fanatiknya, konsumen di sana enggak mau minum teh kalau bukan teh bah butong,” ujar Illyas.

Tentu saja, yang paling spektakuler dari Kebun Bah Butong adalah saat teh bah butong menjadi satu komponen dari merek teh keluaran prinsipal Jerman, Hyllson and Lyon. Menjadi komponen berarti teh bah butong adalah penentu aroma dan rasa merek dagang teh keluaran Hyllson and Lyon. ”Seperti Lipton Yellow Label yang komponen tehnya dari Sri Lanka. Tanpa teh dari Sri Lanka, berarti bukan Lipton Yellow Label,” ujar Bambang merujuk pada salah satu merek dagang keluaran prinsipal teh terkenal asal Inggris, Lipton.


faceofindonesia.com


Komponen

Teh bah butong menjadi komponen merek teh keluaran Hyllson and Lyon pada tahun 1986. Dengan menjadi komponen, Hyllson and Lyon membeli teh bah butong dengan kontrak jangka panjang. Namun, kontrak tersebut diakhiri Hyllson and Lyon empat tahun kemudian.

Bambang, yang merupakan satu dari tiga tea taster atau penguji cita rasa teh dari Indonesia yang pernah belajar ke Inggris, mengungkapkan, kemungkinan Hyllson and Lyon memutus kontrak karena kualitas teh bah butong tak lagi sesuai dengan yang diharapkan. ”Untuk menjadi komponen blend (campuran) merek teh tertentu, satu jenis teh harus bisa mempertahankan kualitas. Aroma dan rasanya harus bertahan karena merek tersebut akan dikenal dengan aroma dan rasa dari teh yang jadi komponennya,” kata Bambang.

Untuk dapat menjaga cita rasa dari aroma teh, industri teh menurut Bambang mestinya memiliki tea taster yang mumpuni. Sayangnya, tea taster mumpuni yang sebenarnya menjadi mata rantai dalam industri teh dunia ini justru jarang dimiliki Indonesia, salah satu produsen besar teh dunia, selain India, dan Sri Lanka. Seorang tea taster menjadi penjaga kualitas teh sejak daun teh dipetik di kebun hingga diproses di pabrik dan menjadi produk siap seduh. Tak adanya tea taster yang mumpuni membuat tak ada lagi yang menjaga kualitas teh bah butong.

Ketika kebun teh di Sumut dihadapkan pada kelangkaan tea taster mumpuni, di saat bersamaan harga teh dunia pun dianggap tak sebanding dengan biaya produksi di kebun-kebun teh itu. ”Pada akhirnya kami dihadapkan pada dua pilihan, memproduksi teh dengan kualitas bagus, tetapi produksinya tak maksimal atau memproduksi teh kualitas rata-rata, tetapi dengan jumlah yang banyak,” kata Illyas.

Menurut Bambang, penurunan harga teh tahun 1990-an dipicu antara lain oleh membanjirnya teh dengan kualitas rendah dari Vietnam. Saat itu, ujar Bambang, Vietnam baru menjadi negara produsen teh dunia.

Tak tahan dengan tingginya biaya produksi, sementara harga teh dunia tak memberi keuntungan bagi perusahaan, PTPN IV pun mulai mengganti teh dengan sawit. Luas areal perkebunan teh milik PTPN IV dari tahun ke tahun terus berkurang. Jika tahun 2000, PTPN IV masih memiliki 8.475 hektar dengan total produksi 16.519 ton, lima tahun kemudian jumlahnya menyusut menjadi 5.397 hektar dengan produksi mencapai 13.286 ton. Tak hanya sampai di situ, kebun teh milik PTPN IV terus menyusut hingga tahun 2009 hanya seluas 4.595 hektar dengan produksi yang terus merosot hanya 9.604 hektar.

Humas PTPN IV Lidang Panggabean mengakui, terus menyusutnya areal perkebunan teh milik perusahaannya karena secara ekonomis komoditas teh belum memberi keuntungan. ”Yang jelas terus merugi. Biaya produksi tanaman teh masih lebih besar dibandingkan dengan harga jualnya,” ujar Lidang.

Lidang menuturkan, biaya produksi di tingkat kebun saat ini mencapai Rp 13.479 per kilogram. Bila dibandingkan dengan harga teh free on board di mana PTPN hanya bertanggung jawab sampai di pelabuhan ekspor yang mencapai Rp 17.395 per kilogram, harga produksi sebesar Rp 13.479 dirasa tak menguntungkan. ”Karena biaya produksi tersebut masih di kebun, belum dihitung komponen-komponen lainnya. Jadi, bagi kami, komoditas teh ini masih merugikan,” ujar Lidang.

Akibat kerugian ini, PTPN IV mengonversi areal kebun tehnya menjadi kebun kelapa sawit. Bahkan, konversi tanaman teh menjadi kelapa sawit dilakukan PTPN IV di areal kebun yang berada di ketinggian 800 meter dpl, seperti Kebun Bah Birung Ulu, Marjandi, dan Sibosur. ”Konversi kebun teh di Bah Birung Ulu dari teh menjadi sawit mencakup areal seluas 2.194 hektar. Konversi ini seperti melawan pakem bahwa sawit tak bisa ditanam di ketinggian lebih dari 600 dpl. Namun, buktinya, kebun sawit kami di Bah Birung Ulu malah produktivitasnya lumayan,” kata Lidang.

                             
http://news.detik.com                                                   http://fotografindo.com


Yang tersisa

Kini, tiga kebun teh milik PTPN IV yang tersisa, yaitu Sidamanik, Bah Butong dan Toba Sari, terus menghadapi ancaman konversi. Bahkan, menurut Illyas, tak hanya karena perusahaan merugi, kebun-kebun teh ini terancam oleh perubahan iklim global.

”Teh ini, kan, tanaman yang sangat sensitif terhadap iklim dan curah hujan. Dulu suhu di Sidamanik kalau siang bisa mencapai 18 derajat celsius, sekarang sudah terasa panas,” katanya. Perubahan iklim global menurut Illyas ikut jadi pemicu turunnya kualitas tanaman teh.

Illyas mengakui, jika tak karena perusahaan rugi, kebun teh di dataran tinggi Simalungun ini tetap bakal terancam oleh perubahan iklim global. ”Entah 20 tahun lagi masih ada kebun teh di sini atau tidak,” ujarnya.

Hanya saja, Illyas mengatakan, selama permintaan teh dunia tetap ada, dia yakin kebun teh di dataran tinggi Simalungun masih bisa bertahan. ”Di perusahaan kami juga sedang dipikirkan bagaimana menjaga agar kebun tetap bertahan. Salah satunya dengan membangun industri hilir untuk teh,” katanya.

Sebagai tea taster, Bambang malah lebih tak rela jika sampai Kebun Sidamanik yang dibuka sejak tahun 1924 oleh Handles Vereniging Amsterdam dikonversi menjadi sawit. Bukan hanya soal kecintaannya kepada teh, menurut Bambang, dirinya ingin agar kebun-kebun teh di dataran tinggi Simalungun bertahan karena cita rasa tehnya berbeda dengan teh yang ditanam di Pulau Jawa.

”Di dunia, teh Indonesia itu cuma digolongkan dua jenis, teh jawa dan teh sumatera. Teh sumatera yang paling banyak dikenal, ya, yang dari sini. Teh kami dikenal karena memiliki rasa yang kuat,” ujar Bambang.

Teh dari dataran tinggi Simalungun ini memang berasa kelat, menyisakan rasa yang kuat jika diresap di lidah. Menurut Bambang, rasa kelat didapat dari kondisi tanah dan iklim di dataran tinggi Simalungun. ”Ini yang tak dimiliki oleh teh dari Jawa,” kata Bambang. Rasa kelat khas teh Sidamanik, Bah Butong, dan Toba Sari diyakini masih diminati konsumen teh dunia.

Sekarang, kata Bambang, yang diperlukan adalah penjaga cita rasa teh, seorang tea taster yang mumpuni, agar rasa khas yang diinginkan pembeli, terutama di Eropa, tetap terjaga.

”Mestinya, tea taster yang ada sekarang diusahakan agar bisa sama persepsinya dengan tea taster prinsipal di Eropa. Dengan demikian, kualitas teh yang diinginkan pembeli bisa tetap terjaga,” katanya.(KHAERUDIN)


http://insideyudie.blogspot.com

Sumber:
http://nasional.kompas.com/read/2010/08/27/03002225/

No comments:

Post a Comment