Thursday, June 14, 2012

MELANCHTON SIREGAR

MELANCHTON SIREGAR 
PENDIDIK DAN PEJUANG

RIWAYAT HIDUP SINGKAT
MELANCHTON SIREGAR
PENDIDIK DAN PEJUANG

DISUSUN OLEH
Prof. DR. PAYUNG BANGUN, MA

YAYASAN MELANCHTON
JAKARTA-MEDAN
1994


MELANCHTON SIREGAR
Pendidik dan Pejuang

KELAHIRAN, MASA KECIL, DAN PENDIDIKAN

Hampir 82 tahun yang lalu, yaitu 7 Agustus 1912 bertepatan dengan hari Selasa, seorang bayi laki-laki lahir bagi sepasang suami istri Bapak Julianus Siregar dan Ibu Abina boru Siburian. Kelahiran tersebut disambut dengan sukacita dan rasa syukur yang besar, karena selain sebagai putra sulung bagi orangtuanya adalah pula menjadi cucu pertama bagi kakek dan neneknya: Bapak Tungkol Siregar dan Ibu Jagur boru Manalu. Kakeknya memberikan nama Tio Pantang kepada bayi itu, sebuah nama yang mengandung makna dan harapan agar hidupnya kelak tetap bersih (tio) dan menghindari semua yang terlarang dan tercela (pantang).

Sampai usia sekolah Tio Pantang yang mempunyai nama baptis Melanchton menghabiskan masa prasekolahnya di desa kelahirannya, yaitu Lumbansilo Pearung. Ketika berumur sekitar delapan atau sembilan tahun, yang merupakan usia termuda yang diperbolehkan mulai bersekolah pada waktu itu, dia masuk Gouvernement Hollandsch Inlandsch School (Gouv. HIS) (sederajat dengan SD sekarang) di Balige. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS pada 1928 kemudian melanjutkan ke Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (sederajat SMP sekarang) di Tarutung.

Meskipun pendidikannya masih pada tingkat menengah, namun bibit-bibit berorganisasi yang dibaurkan dengan intelektualitas telah terlihat sewaktu masih di MULO Tarutung. Dia beserta teman-teman mendirikan organisasi pelajar yang diberi nama Tahan, sebuah kumpulan belajar yang sekaligus ajang diskusi persoalan-persoalan kemasyarakatan. Seluk-beluk dan kemahirannya berorganisasi ditambah pula melalui keikutsertaannya dalam kepanduan (pramuka), kegiatan-kegiatan gerejawi dan berbagai klab kepemudaan.

Setelah tamat dari MULO Tarutung dia meneruskan pendidikannya ke Cristelijke Hollands Indische Kweekschool (Christelijke HIK) (sederajat SGA atau SPG) mula-mula di Probolinggo dan kemudian menyelesaikannya di Solo pada 1935. Rupanya semangat dan kehausannya akan pendidikan yang lebih tinggi tidak berhenti., karena setammat dari HIK langsung meneruskan ke pendidikan yang lebih tinggi, yakni Gouvernement Hoofdacte Cursus (sederajat Sarjana Muda atau D III Pendidikan) di Bandung dan tammat pada 1938.

BAKTI DALAM DUNIA PENDIDIKAN

            Setelah menyelesaikan pendidikan pada jenjang Hoofdacte di Bandung, babak baru kehidupannya bermula. Ada dua hal yang mendorong bermulanya kehidupan baru itu. Hal yang pertama ialah panggilan pendidikan yang telah digumulinya selama ini, yaitu pendidikan di HIK dan Hoofdacte. Kemudian yang kedua ialah “Panggilan tanggungjawab dan kewajiban” kepada keluarga. Jauh sebelum menyelesaikan pendidikannya di Probolinggo, Solo dan Bandung, ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan enam orang anak, diantaranya yang terkecil masih berumur kira-kira setahun. Kesadaran sebagai putra sulung menempatkannya pada hanya satu pilihan, yaitu bekerja dan dengan demikian dapat membantu meringankan kewajiban orangtua dalam mengasuh adik-adiknya.

Dalam memenuhi panggilan sebagai pendidik, dia bekerja guru selama sembilan tahun. Mula-mula menjadi guru di Joshua Institut di Medan. Tetapi hanya beberapa bulan, karena masih pada 1938 dia diangkat menjadi guru di Christelijke HIS di Narumonda.

Setelah beberapa lama menjadi guru di Narumonda, beliau melihat adanya ketidakberesan di sekolah tersebut. Beliau menemukan dan mengalami tindakan yang membeda-bedakan berdasarkan bangsa atau ras (diskriminasi), membedakan antara para guru yang berkebangsaan Eropah dan Indonesia. Tindakan diskriminatif yang dialaminya sendiri, misalnya tidak boleh diangkatnya beliau menggantikan kepala sekolah yang dipindahkan, walaupun sebelumnya beliau sudah menjadi wakil kepala sekolah. Adapun yang diangkat menjadi kepala sekolah yang baru seorang guru berkebangsaan Eropah yang usia ijazah dan pengalaman kerjanya jauh lebih muda. Hal kedua ialah ketidakadilan dalam sistem penggajian guru dengan membedakan gaji guru yang berkebangsaan Eropah dan orang Indonesia, meskipun ijazah dan masa kerja sama. Gaji guru berkebangsaan Eropah lebih besar dari gaji guru Indonesia.

Kejengkelan dan kekecewaan semakin besar ketika pengaduan kepada Ephorus HKBP di Pearaja tidak digubris. Dengan kenyataan itu beliau melihat jalan keluar satu-satunya ialah meninggalkan Narumonda untuk menghindari berkembangnya suasana dan hubungan yang tidak serasi antara kepala sekolah dengan dirinya dan yang mungkin berkembang kepada para guru lainnya yang selanjutnya dapat mempengaruhi keseluruhan proses belajar dan mengajar. Dan putusan yang diambilnya sesuai dengan pikiran itu, yaitu menarik diri dan minta berhenti sebagai guru HIS Narumonda.

Kejengkelan dan kekecewaan di Narumonda rupanya tidak menghapus atau mengurangi cinta dan rasa tanggungjawabnya kepada gerejanya HKBP, khususnya dalam kegiatan pendidikan. Hal tersebut dapat diketahui dari apa yang dilakukannya selanjutnya yang dapat ditanggapi sebagai upaya memperbaiki suasana dan mutu pendidikan yang diasuh HKBP.

Setelah meninggalkan Narumonda bersama-sama dengan sejumlah temannya tammatan HIK dan sekolah guru yang lain yang belum ditempatkan mendirikan sebuah HIS HKBP di Sidikalang. HIS ini memang sengaja memakai nama HKBP berbeda dengan yang di Narumonda dan tempat lain yang mempergunakan Christelijk.

Pendiri HIS Sidikalang itu setidak-tidaknya mempunyai tiga sasaran sebagai latar belakangnya, yaitu (1) Menumbukan suasana HKBP dalam sekolah-sekolah, bukan suasana zending, (2) Menghindari berlanjutnya masalah Narumonda, dan (3) Menempatkan para lulusan HIK dan sekolah guru yang lain secara wajar dan terhormat.

Pembukaan HIS HKBP di Sidikalang tersebut rupanya seperti menabur benih di tanah yang subur. Segera setelah tersiar berita pembukaannya berduyun-duyun para pelajar datang mendaftarkan dirinya sebagai murid. Di antara mereka itu terdapat pula para pelajar yang telah menjadi murid di HIS lain. Namun keberhasilan sekolah yang baru dibuka itu menimbulkan kesulitan bagi Melanchton sendiri. Zending khawatir melihat apa yang terjadi di Sidikalng. Oleh karena itu harus dicegah dan dihentikan. Untuk maksud itu zending ( Misi) meminta jasa-jasa baik konsul zending di Jakarta (Batavia) agar mengusahakan penutupan HIS HKBP Sidikalang oleh Jawatan Pengajaran dan Kebudayaan (Departement Van Onderwijs en Eeredienst) Hindia Belanda, setidak-tidaknya menghindarkan Melanchton Siregar dari sekolah itu.

Sekolah yang sudah berdiri di Sidikalang itu memang tidak ditutup, tetapi bagaimana hanya dengan Melanchton sendiri? Sesuatu yang benar-benar aneh dan tidak masuk akal terjadi. Untuk menghindarkannya dari Sidikalang dan sekolah yang didirikannya itu, beliau diangkat jadi guru HIS pemerintah di Tebing Tinggi. Pengangkatan tersebut aneh dan tidak masuk akal, karena beliau belum pernah memohon menjadi guru di HIS Tebing Tinggi ataupun di sekolah-sekolah pemerintah yang lain. Karena merasa ada keganjilan dan curiga adanya ketidakberesan di belakangnya, beliau bermaksud menolak pengangkatan tersebut. Namun seorang temannya menganjurkan agar diterima dan dilaksanakan saja. Temannya mengatakan demikian demi keselamatan beliau sendiri yang pada waktu itu rupanya berada di bawah pengawasan dan intipan Dinas Rahasia Belanda. Demikian akhirnya beliau meninggalkan Sidikalang dan pindah menjadi guru di Gouverment HIS di Tebing Tinggi (1939) yang untuk beberapa tahun berikutnya mewarnai irama dan nuansa kehidupannya.

Kita sering mendengar atau mengatakan bahwa kadang kala kita tidak dapat memahami “Jalan Tuhan”, yaitu jalan hidup kta yang diatur serta ditentukanNya. Sering sekali hal-hal yang semula tidak dimengerti, malah tidak diinginkan, membawa kita kepada yang berguna dan membahagiakan. Demikian pula yang terjadi kepada tokoh kita ini berkenaan dengan kepindahannya ke Tebing Tinggi. Di tempat tugasnya yang baru itu beliau memperoleh pengalaman yang baru yang sangat berharga dan ikut menempa diri dan kepribadiannya, khususnya dalam hidup bermasyarakat luas. Di Tebing Tinggi sebagai kota yang berpenduduk majemuk beliau bertemu dan harus bergaul dengan orang-orang yang berbeda dan menyesuaikan diri dengan sekeliling, sehingga tercipta dan terjalin hubungan-hubungan kemitraan dan keakraban. Pengalaman di Tebing Tinggi itu menjadi latihan dan landasan yang diperlukannya dalam perjalan kariernya selanjutnya.

Adapun hal kedua yang di dalamnya dapat dianggap perpindahan ke Tebing Tinngi ikut berperan ialah berakhirnya masa lajang Melanchton. Adalah ketika menjadi guru di Tebing Tinggi beliau mempersunting seorang gadis belia yang sedang menjalani masa mekarnya di Kota Medan. Gadis Medan puteri Peranginan pujaan “Sang Arjuna Pearung” ini adalah puteri sulung dari pasangan suami-isteri Bapak Martin Luther Siburian dan Ibu Cornelia br. Sianturi yang bernama Bertha Ramian. Rumah tangga pasangan ini penuh dengan kedamaian dan kasih sayang sebagaimana layaknya sebuah keluarga idaman. Kegembiraan dan kehangatan tersebut kemudian lebih dimarakkan lagi dengan kehadiran seorang bayi laki-laki yang sangat didambakan oleh keluarga Batak. Namun anak laki-laki yang diberi nama Maruap Manunsang Barita itu tidak lama ditimang, dibelai dan disayang. Anak itu meninggal dalam usia beberapa bulan dan dikuburkan di Tebing Tinggi.

Empat tahun lamanya Melanchton menjadi guru di Tebing Tinggi dan sempat menjabat sebagai kepala sekolah. Ketika Jepang menduduki daerah ini beliau pada tahun 1943 dipindahkan menjadi guru Tyu Gakko (sederajat SMP) di Medan. Tetapi tidak lama karena dia bersama dengan teman karibnya Achmad Delui Rangkuti ditangkap Kempetai (Polisi Rahasia Jepang) serta dikurung dalam tahanan selama dua bulan dan sempat dijatuhi hukuman mati oleh Jepang. Hanya suatu mukjizat dari Tuhanlah yang mencegah pelaksanaan hukuman tersebut, walaupun kuburan sudah digali sendiri dan pedang samurai Jepang sudah terhunus. Setelah dibebaskan dari tahanan beliau meminta dipindahkan menjadi guru di Tyu Gakko Pematang Siantar.

Setelah Jepang menyerah, bangsa kita memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan bangsa dan jiwa pendidik serta pandangannya yang jauh ke depan menggerakkan Melanchton mendirikan sekolah di Pematang siantar segera setelah Proklamasi Kemerdekaan. Bersama-sama dengan teman-temannya Marnix Hutasoit, Philip Lumbantobing, A.M.S. Siahaan dan lain-lain didirikanlah Sekolah Menengah Umum, Sekolah Pertanian, Sekolah Guru, sekolah Ekonomi dan sekolah Teknik. Para pelajar sekolah-sekolah tersebut sekaligus pula sebagai teatra pelajar, sehingga sekolah-sekolah itu menjadi tempat pembinaan sumber daya manusia intelektual dan pejuang.

Demikian dengan ringkas Melanchton sebagai guru. Walaupun kemudian tidak lagi langsung di depan kelas, tetapi pengabdiannya dalam pendidikan tidak berkurang. Pengabdiaannya selanjutnya tersalur melalui pemenuhan kewajiban dan tanggungjawab sebagai pimpinan pendidikan yang dipercayakan pemerintah ke atas pundaknya. Berikut dengan singkat dapat disebutkan beberapa jabatan yang pernah beliau pegang dalam dunia pendidikan. Segera setelah pemulihan kedaulatan beliau diangkat menjadi kepala Jawatan Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Provinsi Tapanuli/ Sumatera Timur Selatan di Sibolga merangkap Kepala Inspeksi SMP dan Inspektur SGB. Jabatan-jabatan tersebut dipegangnya, walaupun kemudian terjadi pemindahan kantor-kantor ke Medan dalam rangka terbentuknya Provinsi Sumatera Utara. Dua jabatan kepemimpinan pendidikan yang dia pegang sebelum beralih ke tugas lain di luar pendidikan adalah Inspektur Kepala SMP Daerah Sumatera Utara dan Koordinator Inspeksi Pengajaran Daerah Sumatera Utara (sederajat Kepala Kantor Perwakilan sekarang).

Meskipun kemudian dia meninggalkan dunia pendidikan, tetapi jiwa kependidikannya tetap membara dan mendorongnya untuk tetap memperhatikan pendidikan, malah terus terlibat dalam sejumlah kegiatan. Demikian bakti pendidikannya diteruskan melalui peransertanya dalam sejumlah badan dan yayasan penyelenggaraan pendidikan, seperti ikut mendirikan dan menjadi anggota Dewan Kurator Sekolah Theologia Menengah dan Fakultas Theologia Universitas Nommensen, Majelis Pendidikan dan Pengajaran Kristen, anggota Dewan Penyatuan Universitas Kristen Indonesia, Ketua Badan Kordinasi Perguruan Tinggi Kristen Indonesia, Ketua Yayasan Lembaga Perguruan Tinggi Theologia di Indonesia lainnya.

PARKINDO SEBAGAI WADAH PERJUANGANNYA

Rupanya bibit organisasi dan kemasyarakatan yang sudah mulai disemai di Mulo Tarutung dan disiram-dipupuk di HIK Probolinggo dan Solo serta diberi gelora nasionalisme dalam Christelijke Studenten Vereeniging (CSV) di Bandung segera tumbuh membesar, bercabang, berdaun, berbunga dan berbuah begitu kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Tanpa ragu Melanchton Siregar beserta kawan-kawannya di Pematang Siantar, yaitu A.M.S. Siahaan, Dr. Jasmen Saragih, Doran Damanik, Turman Siahaan dan lain-lain mendirikan wadah perjuangan Warga Kristen dalam memenuhi tanggungjawab dan kewajibannya sebagai bahagian dari Bangsa Indonesia yang baru merdeka itu. Lahirlah Partai Polotik Kaum Kristen (PPKI). Ketua pertama dari PPKI dipilih Dr. Jasmen Saragih. Namun tidak lama, karena beliau terbunuh dalam Revolusi Sosial dan digantikan oleh Melanchton Siregar. PPKI kemudian berubah nama menjadi Partai Krisren Indonesia (PARKI) yang selanjutnya dalam pertemuan bersama (kongres) di Solo pada tahun 1945 disatukan dengan Partai Kristen Nasional yang ada di Jawa menjadi Partai Kristen Indonesia (PARKINDO).

            Dalam melaksanakan kewajiban dan tanggungjawab sebagai patriot pembela Tanah Air Parkindo Sumatera Utara membentuk dan mempunyai pasukan bersenjata yang dikenal dengan nama Divisi Panah yang Markas Besarnya berkedudukan di Pematang Siantar. Pasukan tempurnya terbesar di daerah-daerah pertempuran pada waktu itu, nyaitu Medan Area, kemudian di sejumlah tempat di sepanjang jalan ke Pematang Siantar. Pasukan ini kemudian bersama dengan pasukan bersenjata lainnya dilebur menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

            Pada tahun 1947 terjadi perpindahan pusat perjuangan Melanchton dan Parkindo. Hal itu disebabkan terjadinya Agresi Militer Belanda I yang bermula pada tanggal 21 Juli 1947. Pematang Siantar sebagai ibukota provinsi Sumatera Utara dan pusat pertahanan menjadi sasaran utama penyerangan Belanda. Parkindo yang bermarkas di kota tidak terkecuali terkena akibatnya dan tentunya juga termasuk sasaran sebagai salah satu kekuatan Republik. Karena Pematang Siantar tidak mungkin lagi dipertahankan, maka Melanchton meninggalkan kota tersebut dan mengungsi ke Tapanuli, sekaligus memenuhi perintah Gubernur untuk menemui dan selanjutnya menemani Wakil Presiden Muhammad Hatta yang tengah berkunjung ke Sumatera pada waktu itu. Perasaan sedih memenuhi hati dan pikiran Melanchton karena harus mundur dan meninggalkan Pematang Siantar sebagai kota tempat tinggal dan sebagai tempat berjuang. Pemerintah dan kekuatan Republik terpaksa melepaskannya dan kini jatuh ke tangan Belanda, musuh. Namun selain kekalahan dalam perjuangan itu, kepiluan dan keremukan hatinya ditambah pula dengan terpaksanya beliau meninggalkan pusara isteri tercinta yang baru mangkat beberapa hari sebelumnya. Tanah masih memerah di atas pusara menutupi tubuh sang isteri yang terbaring kaku bersama jabang bayi yang belum lahir. (Pada 27 Juni 1992 yang lalu tulang-belulang Ibu Bertha Ramian br. Siburian telah dipindahkan dari Pematang Siantar dan dimakamkan kembali di tempat ini berdampingan dengan patung yang diresmikan hari ini).

Demikian periode perjuangan Sumatera Timur berakhir dan dilanjutkan di Tapanuli Utara.

PARTAHULUK  RASO

Muara dipilih oleh Melanchton sebagai tempat kedudukan resmi pusat perjuangannya di Tapanuli Utara sebagai lanjutan dari perjuangan yang sudah bermula di Sumatera Timur. Perjuangannya tidak hanya sebagai Ketua Parkindo, tetapi juga sebagai anggota Dewan Pertahanan Sumatera, Gubernur Militer III, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera Utara dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI). Dengan berbagai kapasitas seperti itu ditambah lagi dengan perkembangan keadaan dan suasana perjuangan, maka tidak mengherankan beliau banyak terlibat dalam ketentaraan (pasukan) maupun dalam penyediaan keperluan logistik untuk pasukan tempur. Untuk keperluan itu Melanchton menyusun mata rantai hubungan sampai jauh ke daerah musuh.

Dan hasil penting diperoleh dari adanya mata rantai tersebut, yaitu:

(1)        Hasil bumi pertanian rakyat dapat dipasarkan dengan baik dan sekaligus perbekalan dapat lebih terjamin, dan

(2)        Dengan bantuan orang-orang yang menjadi mata rantai tersebut, seperti para perawat rumah sakit misalnya, banyak anggota pasukan yang tertawan dapat diselamatkan atau dibebaskan.

Hal seperti itu semakin jelas lagi ketika Belanda melancarkan agresinya untuk kedua kalinya (1948).

Bersama-sama dengan Bosar Sianipar yang bergelar sandi Mundar Mandir, Melanchton yang mempunyai nama sandi Partahuluk Raso merupakan dua tokoh sipil gerilyawan, sehingga keduanya disebut Pemimpin Gerilya Rakyat. Keduanya menjadi orang-orang yang termasuk daftar yang paling dicari oleh Belanda. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau Muara hanyalah menjadi tempat resmi, sedangkan dalam berjuang Melanchton selalu bergerak mobil (berpindah-pindah tempat).

Kecuali dengan langsung ikut melakukan perlawanan terhadap Belanda, peranan Melanchton cukup besar pula dalam perundingan-perundingan antara tentara kita dengan penguasa militer Belanda setempat. Berkali- kali beliau mendampingi tentara kita dalam perundingan dengan Belanda, khususnya mendampingi Kapten Bawady Simatupang yang menjadi komandan militer di Humbang pada waktu itu.

Dalam keadaan yang serba tidak tenang dan tertekan oleh gempuran-gempuran Belanda terlihat ketaat-azasan (konsisten) Melanchton akan benang merah pandangan dan perkiraannya. Bukan hanya kekuatan pasukan dan pendukungnya yang dipersiapkan, tetapi sumber daya manusia untuk masa depan, yaitu kehidupan setelah selesai Perang Kemerdekaan, terus dibina. Pembinaan sumber daya manusia itu dilaksanakan melalui pendirian sekolah-sekolah di Muara, mulai dari Sekolah Dasar sampai Lanjutan Tingkat Atas, termasuk Sekolah Guru.

Demikian perjuangan di Tapanuli yang dapat disebut sebagai Periode Muara yang berlangsung sampai 1949. Perjuangan dalam periode ini tidak dapat dipisahkan dari dukungan yang diberikan oleh Ibu Setiawan br.Siburian yang kemudian menjadi isteri Melanchton menggantikan mendiang Ibu Bertha Ramian, kakaknya.

DARI KNIP KE MPRS DAN DPA

            Di muka sudah disebut bahwa selama Perang Kemerdekaan, Melanchton menjadi salah seorang dari anggota KNIP. Kemudian dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat, KNIP bubar dan Melanchton berhenti sebagai anggota.

Keanggotaan dalam perwakilan rakyat diperolehnya kembali melalui keberhasilan Parkindo Sumatera Utara memperoleh dukungan suara yang memberikan kursi Dewan Perwakilan Rakyat. Demikianlah kemudian Melanchton dilantik sebagai anggotA DPR hasil Pemilihan Umum 1955 mewakili Parkindo dari Sumatera Utara.

Pergolakan Politik di Tanah Air mempunyai pengaruh dan akibat pula dalam karier politik Melanchton. Pergolakan politik itu sudah sedemikian rupa yang terwujud dalam kegagalan konstituante dalam menyusun Konstitusi Negara, pemberontakan di daerah-daerah, keresahan di kalangan Angkatan Perang dan lain-lain termasuk “penciutan” partai politik, setelah pembubaran dan pelarangan Masyumi dan PSI. Sehubungan dengan “penciutan” tersebut Parkindo menghadapi masalah yang berat sekali oleh karena adanya keharusan dilakukannya pendaftaran kembali anggota-anggota partai sebagai salah satu persyaratan pokok bagi boleh atau tidak bolehnya terus berdiri. Masalahnya ialah sebahagian besar “daerah basis Parkindo” sesuai dengan peta pemilihan umum 1955, yaitu Sumatera Utara dan Sulawesi Utara, sedang dilanda pemberontakan bersenjata. Namun dengan segala kerja keras dan pertolongan Tuhan Yang Maha Kuasa, dekat menjelang batas waktu terakhir terpenuhilah jumlah minimum yang diharuskan, sehingga Parkindo dapat berdiri terus sebagai salah satu dari sepuluh partai yang diakui. Hal itu pulalah yang kemudian memungkinkan Melanchton menjadi salah seorang anggota DPR-GR yang menggantikan DPR hasil pemilihan umum yang sudah dibubarkan Presiden.

Perubahan politik yang mendasar kembali terjadi setelah pemberontakan G30 S/PKI dapat dibasmi. Dalam kehidupan perwakilan rakyat terjadi pula perubahan, terutama dalam keanggotaan. Semua anggota perwakilan yang berasal dari Kubu PKI dipecat dan dengan demikian perwakilan rakyat dapat dibersihkan. Termasuk dalam rangka pembersihan dan penataan kembali MPRS-RI menetapkan susunan pimpinannya yang baru. Dalam susunan pimpinan yang baru yang diketahui Jenderal A.H. Nasution itu, Melanchton menjadi salah seorang Wakil Ketua mewakili Kristen/Katolik. Jabatan ini dipegangnya sampai MPRS bubar dan digantikan oleh MPR hasil pemilihan umum yang pertama setelah Orde Baru.

Rupanya tenaga, pikiran dan pengabdian Melanchton untuk negara belum boleh berakhir dengan selesainya masa baktinya di perwakilan rakyat. Presiden Suharto kemudian mengangkatnya menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI. Jabatan terakhir yang dipegangnya dalam negara ini, oleh karena selagi sebagai anggota DPA itu beliau mangkat setelah menderita gangguan jantung bertahun-tahun lamanya.

BERSEMAYAM DI KALIBATA

Demikian dengan singkat dan menyeluruh kehidupan, perjuangan dan bakti tokoh yang patungnya diresmikan hari ini. Beliau telah mendahului kita menghadap Tuhannya. Awal kepergiannya disaksikan oleh Ibu Setiawan br. Siburian beserta beberapa orang keluarga dan sejumlah warga masyarakat yang berbeda di kantor Rukun Tetangga (RT) ketika beliau hendak mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Di kantor itu beliau jatuh pingsan dan tak sadarkan diri dan kemudian mangkat di RSU Cipto Mangunkusumo pada tanggal 24 Pebruari 1975.

Untuk menghargai bakti yang telah dipersembahkannya kepada Tanah Air, Negara dan Bangsa yang dicintainya beliau dimakamkan pada tanggal 25 Pebruari 1975 dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan “Kalibata” Jakarta. Demikian pula atas jasa dan karyanya semasa hidupnya beliau telah menerima Bintang Mahaputra Adipradana II (1973) dan Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan (1961).

PENUTUP

Demikianlah Melanchton Siregar gelar Tio Pantang telah tiada. Yang tinggal hanyalah kenangan serta bukti bakti yang telah dipersembahkannya kepada Persada Tanah Air, Negara, Bangsa dan keluarga. Untuk mengakhiri kenangan ini baiklah dikutipkan sanjak yang terdapat dalam buku riwayat hidup beliau:

                                                   PADAMU PUTERA SULUNG

Kau datang
Kala mentari beringsut naik di langit Timur
Kala sejuknya angin Danau Toba membelai tubuh
Kau datang
Ke atas pangkuan bunda tersayang
Tersenyum penuh bahagia
Menatap nun jauh ke depan
Kau berjuang
Kala angkara murka tegar kukuh menantang
Penuh kerasukan menjijikkan
Memuakkan
Kala perampas durjana bersimaharajalela
Kala keserakahan semena-mena
Kau tampil
Menentang angkara murka
Melawan perampas durjana
Mengikis keserakahan
Dan kini kau pergi
Kala lonceng kemenangan berkumandang nyaring, dan
Genta harapan berdentang
Tinggalkan kami teruskan perjuangan

Lumbansilo Pearung, 23 Juni 1994
Payung Bangun (Peny):

Didasarkan pada MELANCHTON SIREGAR
Pendidik dan Pejuang
BPK Gunung Mulia Jakarta, 1987


Sumber:
http://radiopelitabatakfm.com/melanchton-siregar-pendidik-dan-pejuang/

No comments:

Post a Comment