Thursday, June 14, 2012

Migrasi Suku Batak Toba Ke Daerah Simalungun serta Dampaknya Terhadap Penginjilan di Simalungun


Migrasi Suku Batak Toba Ke Daerah Simalungun serta Dampaknya Terhadap Penginjilan di Simalungun

I. PENDAHULUAN

Pada masa ini warga Batak Tapanuli suda hampir mendiami sebahagian besar wilayah Simalungun. Proses masuknya orang Batak Tapanuli ke wilayah ini juga telah terjadi puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun yang lewat. Migrasi itu terjadi didorong oleh berbagai factor yang timbul dari dalam diri mereka sendiri atau juga oleh pengaruh dari fihak lain seperti fihak colonial yang memaksa ataupun memanfaatkan mereka untuk tujuan-tujuan colonial sendiri dan juga oleh fihak missionar dalam rangka penyebaran injil yang mereka lakukan.

Proses migrasi itu juga tidak terjadi secara serempak. Tetapi mereka meninggalkan kampung halamannya secara bertahap. Untuk lebih jelasnya pada tulisan ini akan di uraikan beberapa hal yang mendorong penyebaran orang Batak (Toba) Tapanuli ke daerah Simalungun yakni :

I. Usaha penginjilan yang diusahakan oleh para missionar. Para missionar yang telah terlebih dahulu bekerja di wilayah Tapanuli berusaha juga untuk menyebarkan injil ke wilayah Simalungun dengan memanfaatkan tenaga putra daerah Tapanuli disamping tenaga para missonar dari Eropa.

II. Usaha fihak kolonial (Belanda) karena kebutuhan tenaga kerja pada perusahaan-perusahaan (perkebunan) yang telah mereka buka

III. Usaha orang Tapanuli sendiri untuk mencari lapangan kerja baru karena factor keterbatasan lahan produktif di wilayah Toba dan sekaligus karena kesuburan alam wilayah Simalungun terutama untuk bercocok tanam.[1]

Ketiga faktor tersebut sangat dominant dalam upaya migrasi orang Tapanuli tersebut. Factor inilah kemudian yang melahirkan budaya dinamis bagi orang Tapanuli yakni merantau (mangaranto) dengan meninggalkan tanah kelahiran untuk pergi ke daerah lain.

Pendidikan barat yang mereka terima dari para missioner telah membuka mata mereka untuk lebih mengenal dunia luar yang sekaligus juga menuntun arah untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Selanjutnya anggota masyarakat yang mendapat pendidikan formal menjadi enggan bekerja sebagai petani dan beralih melakukan pekerjaan lain. Pada awalnya mereka sangat mengidamkan jabatan gerejawi karena memiliki prestise tersendiri. Contohnya Nahum Tampubolon yang dikenal dengan gelar Raja Patik Tampubolon yang bekerja sebagai guru yang oleh RMG mengutusnya sebagai guru pertama dan penginjil di antara Batak Simalungun di daerah Haranggaol-Purbasari dan juga pembicaraan Nommensen dengan raja-raja Simalungun mengenai pendirian Pos-pos PI dan sekolah-sekolah Zending pada tahun 1903.[2] Sedangkan yang tidak berpendidikan, terutama kaum tani , sejak permulaan abad ke-XX pindah secara berkelompok ke daerah potensial yang jarang penduduknya. Mereka membuka hutan dan mengolah rawa-rawa menjadi areal pertanian dan persawahan. Bersamaan dengan itu kaum terdidik mendapat pekerjaan di instansi pemerintahan colonial, perkebunan Barat, pertambangan, rumah sakit, bank, sekolah dll di luar Tapanuli Utara yang dengan itu mereka mendapat gaji dan pangkat yang sekaligus juga meraih status yang lebih tinggi.[3]

II. TANO PARSERAHAN SIMALUNGUN

Dengan tersebarnya berita keadaan Simalungun ke Tapanuli oleh para petugas mission, timbullah keberanian untuk melihat daerah itu. Ada yang naik sampan dari Balige menuju Sungkean terus ke Parapat dan dari Panahatan melewati hutan terus ke Tigadolok dan sampai ke Siantar. Kemudian sesampainya di daerah Siantar mereka membuka perkampungan. Untuk menambah tenaga dan mempertahankan diri dari serangan musuh, beberapa orang disuruh pulang dan sekaligus memberi kabar kepada keluarganya dan teman-teman sekampung agar mereka ikut dalam perjalanan berikutnya. Berita yang diwartakan mazalah gereja “Imanuel” juga turut mempengaruhi masyarakat Toba untuk minggat ke daerah Simalungun. Tidak heran sejak itu beberapa rombongan dengan menaiki sampan dan dengan berjalan kaki mereka dating menuju Siantar.[4] Cunningham memperkirakan bahwa sejak tahun 1900 beberapa orang Toba sudah masuk ke kerajaan Tanah Jawa Simalungun.[5]

Pada awalnya mereka membuka hutan dan mendirikan rumah-rumah darurat. Mereka pertama-tama membuka juma (lahan kering). Dengan semakin bertambahnya penduduk yang datang sekitar tahun 1903 – 1904, mereka kemudian membangun perkampungan di sekitar perladangannya. Beberapa kampung pertama yang mereka buka al: Sianjur, Banjarnahor, Sobu dan Tambunan, Gurgur dan Tombak Pulopulo. Di Sianjur penghuninya : Maliakhi Silalahi, di Banjarnahor: Benjamin Silalahi; di Tambunan ama ni Panal Tambunan, di Sobu: Esra Hutabarat. Penghulu di Gurgur adalah Garinus Simanjuntak dan di Tombak Pulopulo : Ishak Silalahi.[6]

1. DAERAH BANDAR

Tahun 1904 di Pematang Bandar telah dimulai membuka persawahan yang diprakarsai oleh missioner : G. K. Simon. Pada awalnya proses membuka persawahan tersebut sangat sulit karena belum adanya irigasi pengairan. Itu sebabnya orang Batak Toba kurang berminat tinggal di daerah tersebut. Pada waktu itu juga semua penduduk disana sudah memeluk agama Islam, sehingga kehadiran mereka bersama dengan petugas mission seperti Pdt Jonas Siregar dan Pdt. Marthin Nainggolan kurang mendapat sambutan dari penduduk setempat. Hal itu dimulai sejak tahun 1850 sudah banyak orang Simalungun masuk Islam. Raja Siantar sendiri sudah masuk islam. [7] Oleh karena kenyatan tersebut maka Pdt. Jonas Siregar akhirnya pindah ke Batunaggar, Pdt. Marthin Nainggolan pindah ke Hataran Jawa. Sedangkan yang lainnya pindah ke Siantar dan Panai.

Di samping oleh dorongan dari diri sendiri, missioner Jerman juga mendukung perpindahan sebagian orang Batak Toba ke Simalungun dengan maksud untuk memberi contoh dalam bercocok tanamdi persawahan sekaligus untuk memberi teladan cara hidup orang kristiani. Pada tahun 1905 orang-orang dari Tapanuli semakin banyak yang pindah menuju Panai, Bandar dan Tanah Jawa.

Dengan keberhasilan pertanian orang Batak Toba tersebut maka pemerintah colonial melalui Kontrolir Batubara mengadakan perjanjian dengan Raja Bandar, agar orang Batak Toba diberi kesempatan untuk membuka persawahan di daerah tersebut. Itu sebabnya pada tahun 1906 disana sudah terdapat 94 0rang Kristen Batak yang terdiri dari 40 laki-laki dewasa, 11 perempuan dewasa dan 43 anak-anak dan mereka juga akhirnya bertempat tinggal disana. Mereka dating dari daerah Toba Holbung, Silindung dan Humbang. Bahkan juga pada tahun itu juga di Juma Saba telah diadakan kebaktian yang dipimpin oleh evangelis Theophilus Pasaribu. Demikian juga dari daerah Toba yang sama sudah banyak yang bertempat tinggal di daerah Panai (1907). Selain itu juga mereka ada yang menuju Siantar, Dolok Merlawan dan daerah lainnya di Simalungun.

2. DAERAH TANAH JAWA

Sebaliknya dengan daerah Tanah Jawa, disana kedatangan mereka dihambat oleh fihak kontroleur . Hal ini ditandai dengan ditanda tanganinya perjanjian antara fihak kontroleur Belanda dengan tujuah raja Simalungun yang disebut “ Korte Verklaring” yang merupakan :

1. Perjanjian akan pengakuan kedaulatan Belanda di daerah tersebut
2. Bahwa raja-raja tersebut tidak akan melakukan hubungan-hubungan politik dengan negeri-negeri asing
3. Setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah colonial.

Inilah awal dibukanya daerah perkebunan di daerah Simalungun yang sekaligus juga menjadi kesempatan bagi orang Toba terdidik mendapatkan pekerjaan di daerah itu.

Dalam kurun waktu tiga tahun, beberapa daerah di Simalungun telah di huni orang-orang Toba. Demikian juga jumlah anggota jemaat Kristen dan termasuk penduduk setempat. Pada tahun 1907 sudah terdapat 4 jemaat Kristen yakni Pematang Siantar yang berdiri tanggal 29 September 1907 dan pendetanya Pdt.E. D. Muller. Ompui Nommensen memimpin rapat di Laguboti tahun 1903 untuk memberitakan injil ke daerah Simalungun. Pada tahun 1904 ditetapkan Pdt G. Simon, Pdt. Jones Siregar dan Pdt Marthin Nainggolan di Pematang Bandar. Pada tanggal 29 September 1907 Pdt. E.G Muller ditetapkan di Pematang Siantar yang juga ditetapkan sebagai hari berdirina gereja ini. Anggota jemaat pada awalnya masih berasal dari Tapanuli, yang merantau ke daerah-daerah perkebunan. Baru dua keluarga yang berasal dari pribumi : Ogom Damanik (Abraham) dan Datok Damanik (Johanes) yang berasal dari Naga Huta. Pembangunan sekolah dan Rumah Sakit terjadi pada saat tuan Lotus dan L. Bregenstroth.[8]

Juma Saba (Siantar Sawah dimana sekolah dan gereja darurat juga suda didirikan) dengan jumlah anggota 114 orang (45 KK di bawah pimpinan A. Lumban Tobing), Panai dan Bandar Meratur (280 orang).[9]

Dengan difokuskannya pembukaan lahan perkebunan oleh fihak colonial, persoalan pangan kemudian muncul karena terbatasnya sumber-sumber beras di daerah tertentu. Solusi dibuat dengan membuka lahan-lahan pertanian dan kemudian mengahdirkan orang-orang Batak Toba yang dikenal gigih dan ahli dalam bertani (pengolahan lahan basah).[10] Maka selanjutnya fihak Belanda kembali mengadakan perjanjian dengan fihak raja Siantar dan Raja Panai pada tahun 1908 dengan maksud agar orang-orang Toba kemudian di ijinkan untuk bertani di daerah tersebut. Dan selanjutnya menurut laporan Van Gelder bahwa pada tahun 1909 sebanyak 500 KK petani telah di tempatkan di Siantar, demikian juga di daerah Bah Korah I dan Bah Korah II. Sementara putra daerah Simalungun tidak begitu tertarik dengan pertanian dan lebih senang tinggal di daerah Simalungun atas.

Selanjutnya juga dengan pembukaan lahan perkebunan di daerah Tomuan, Pantoan dan Naga Huta semakin membuka peluang bagi orang-orang terdidik Toba untul berkerja di perkebunan tersebut. Sementara untuk mengusahakan swasembada pangan fihak Belanda justru memfasilitasi uasaha pertanian orang Toba tersebut dengan membuka irigasi seperti di Juma Saba telah dibangun tali air permanent pada tahun 1910. Pada saat inilah kemudian orang Toba semakin banyak yang dating ke Simalungun. Mereka ada yang bertempat tinggal di Simarimbun, Marihat dan daerah lainya.

3. DAERAH BALATA

Sebelumnya daerah Balata kurang diminati kaum migrant dari Toba karena daerahnya bergelombang dan banyak ditumbuhi lalang dan juga keamanan kurang terjamin oleh para pengacau. Namun ketika Andreas Simangunsong menjabat sebagai Controle Mantri tahun 1910, ia menyarankan agar raja Jorlang Hataran : Rontahalam memperkenalkan diri dengan Ephorus HKBP, agar kerajaannya dikenal orang. Maka pada tahun 1911 orang Batak Toba yang berasal dari Humbang, Samosir dan Toba Holbung mulai tinggal di Balata.

Dengan berhasilnya swasembada pangan yang diterapkan fihak colonial, maka fihak Belanda kemudian membuat kebijakan dengan memberikan jabatan-jabata kepada orang Batak Toba yang berhasil membawa banyak orang Toba datang ke Simalungun. Contoh : yang berhasil membawa 5 KK akan diangkat menjadi kepala rodi, jabatan penghulu bila membawa 7 KK, dan bahkan menjadi Raja Ihutan bagi yang berhasil membawa 50 KK.

Tahun-tahun berikutnya semakin banyak orang Toba yang datang ke Simalungun. Bahkan pada tahun 1913 telah mencapai 6500 KK dengan luas persawahan 720 Ha dan rata-rata 1 Ha setiap KK. Dengan keberhasilan mendatangkan orang Batak Toba ke Simalungun, maka tahun 1914 pemerintah Belanda mengangkat Andreas Simangunsing menjadi Hoofd der Tobaneezen (Raja Ihutan).

Pembukaan jalan raya dari Balige, Porsea, Parapat dan terus ke Pematang Siantar tahun 1915 semakin membuka peluang masuknya migrant Toba ke Simalungun. Bahkan sampai ke Simalungun Bawah. Tahun 1915 mereka sudah berjumlah 8500 orang: 1901 orang di Juma Saba. Tanah Jawa sejak tahun 1917 telah dimasuki pendatang dari Toba Holbung, Silindung, Humbang dan juga dari Angkola. Bahkan tahun 1918 sudah mencapai 11.250 orang dengan luas persawahan 3700 Ha. Tahun 1919 sudah mencapai 12.840, tahun 1920 sudah mencapai 12.4% (21.823) orang dari seluruh penduduk Simalungun.

4. DAERAH DOLOK ILIR

Pada tahun 1922 beberapa daerah seperti Dolok Merangir, Laras dan Dolok Ilir sudah di huni orang Toba. Bahkan pada tahun 1925 sudah terdapat sekitar 500 orang sebagai penduduk tetap di Dolok Ilir. Namun tahun 1926 sempat terjadi konflik antara Raja Simalungun dan para pendatang dari Toba karena masalah pajak bumi an masalah pengakuan atas kekuasaan raja-raja di Simalungun yang mengakibatkan 400 KK pindah ke Padang Bedagai-Deli Serdang. Namun sampai tahun 1930 orang Batak Toba sudah mencapai 45.603 yang dating dari daerah Toba Holbung, Silindung, Humbang, Samosir. Jelasnya dilihat dari daerah tujuan perpindahan orang Batak Toba maka Simalungun menjadi urutan teratas. Ini karena keuburan tanah Simalungun dan juga oleh karena telah dibukanya sekolah-sekolah yang diasuh oleh missioner Jerman dan tenaga-tenaga pendidik Batak Toba berdiri dimana-mana dan terbuka bagi siapa saja. Mereka pada umumnya bertani. Namun ada juga yang berkerja di perkebunan, rumah sakit, beberapa daerah telah mereka tempati seperti : Dlok Merangir, Dolok Ilir, Laras, Serbelawan, Bah Jambi, Bandar Betsy, Bangun, Bukit Meraja, Kerasaan, Bosar Maligas, Balimbingan, Pagar Jawa, Marihat, Bah Birong, Parmonangn, Bah Kapul, Mahonda, Marihat Ulu, Kasinder, Sidamanik, dll. Tahun 1937, mayoritas orang Toba yang tinggal di Panai berasal dari Samosir dan Toba Holbung. Selanjutnya pada tahun 1938 orang Batak Toba dan Orang Jawa menjadi penduduk yang dominant di wilayah Tanah Jawa dan Siantar. Sementara di 4 distrik : Tanah Jawa, Jorlang Hataran, Dolok Panribuan dan Siantar orang Btak Toba lebih dominant dari orang Simalungun yang berada di simalungun Bawah. Di daerah Bosar Maligas, Jorlang Hataran dan Bandar dominant orang Jawa.

5. PERKEMBANGAN SELANJUTNYA USAHA PEKABARAN INJIL DI SIMALUNGUN

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa kehadiran usaha PI yang dilakukan oleh para missionar sebagai faktor hadirnya migrant Toba di Simalungun. Hal itu dimulai sejak missionaries H. Guilamo (1899) dan G. K. Simon (16 Maret 1903), Theis (2 September 1903 yang dianggap sebagai awalsejarah gereja Simalungun) datang melakukan usaha PI di Simalungun. [11] Pada waktu itu memang belum ada putra/i pribumi Simalungun yang masuk Kristen. Baru pada tanggal 29 September 1907 Tak dapat dipungkiri juga bahwa bahwa dinamika zaman juga turut berperan dalam mempengaruhi usaha PI di daerah ini. Pada mas pendudukan Jepang, usaha PI menghadapi hambatan, bahkan orang Kristen dipaksa untuk bekerja pada hari Minggu, sementara gedung-gedung gereja juga dijadikan menjadi gudang penyimpanan barang-barang colonial. Namun pada masa revolusi pada Maret 1946, terjadi perubahan sikap terhadap raja-raja Simalungun yang selama ini dianggap feudal menjadi sasran revolusi pada tanggal 3 Maret 1946. beberapa orang raja-raja Simalungun ditangkap dan di bunuh dibawah pimpinan Saragi Ras pimpinan Barisan Harimau Liar (BHL). Urbanus Pardede mengambil alih pemerintahan dari tangan Madja Purba. Keadan ini menjadi cambuk bagi raja-raja Raya, Panai, Purba untuk masuk agama Kristen. Tahun 1946 45 orang dari mereka di baptis. Dan mulai saat itu beberapa gereja berdiri seperti : Bah Jambi, Laras, Dolok Ilir, Balata, Bahal Gaja dan Panaborangan Tanah Jawa. Tahun 1955 di daerah Bandar sudah terdapat 450 KK penganut HKBP demikian juga dengan daerah lainnya. Pada tanggal 22 Januari 1953 jemaat Kristen Simalungun diberi otonom dengan Pdt. Wismark Saragih sebagai wakil Ephorus. Dan pendirian Universitas HKBP Nommensen tahun 1954 dan beberapa sekolah yang dikelola HKBP menambah arus perpindahan dari Toba ke Simalungun untuk studi dan bekerja.

6. KESIMPULAN

Jelasnya bahwa kehadiran kekristenan, pendidikan dan perkembangan komunikasi merupakan penyebab perubahan social di Simalungun. Orang China memegang sector perdganagn di kota-kota Simalungun Bawah, orang Batak Toba menjadi pegawai pemerintah, perkebunan, perdagangan dan pertanian, orang dari Tapanuli selatan sebagai pedagang, pegawai dan guru agama Islam. Inilah awal migrasinya berbagai suku bangsa ke wilayah Simalungun, terutama mingran orang Toba, yang sekaligus juga berimplikasi terhadap kehadiran injil di daerah Simalungun sendiri.

[1] O. H. S. Purba, Elvis F. Purba, Migrasi Batak Toba, Medan: Medan, 1988, 2

[2] Lothar Schreiner, Telah Ku Dengan Dari Ayahku”, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1978, 95

[3] O. H. S. Purba, Elvis F. Purba, Op.Cit., 2

[4] Ibid., 5

[5] Juandaha Raya P. dasuha, Marthin Lukito Sinaga, Sejarah Seratus Tahun PI Di Simalungun, Kolportase GKPS, Pematangsiantar, 2003, 79

[6] O. H. S. Purba, Elvis F. Purba, Op.Cit., 6

[7] Paul B. Pedersen, Darah Batak Dan Jiwa Protestan, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1975, 100

[8] Huria Na Marjubeleum 75 Taon, Immanuel No. 15/XI/1982,ben/rtm

[9] O. H. S. Purba, Elvis F. Purba, Op.Cit., 8

[10] Juandaha Raya P. dasuha, Marthin Lukito Sinaga, Op.Cit., 75 – 93

[11] Paul B. Pedersen, Op.Cit., 10


Sumber:
http://pargodungan.org/migrasi-orang-tapanuli-ke-daerah-simalungun-dan-implikasinya-terhadap-kehadiran-injil-di-wilayah-simalungun/

No comments:

Post a Comment