Thursday, June 14, 2012

BILL SARAGIH

Bill Saragih Penyemai Jazz Indonesia
P. HASUDUNGAN SIRAIT

Denting bening piano terdengar. Dimulai dengan rhytim  yang seperti impromptu musik klasik bernada dasar minor, lalu meningkah melodi agak menghentak-hentak yang tegas berwarna jazz.  Alunannya repetitif. Vokal pun masuk,  timbre-nya jazz murni:

Deideng apuy ni par Sinisilou Bintang na rondang da manrarat das hu Pagartongah, ale Deideng matomos ma namin sihol Bintang na rondang da ise pe lang dalan ni tonah, ale

Terjemahan bebasnya (menurut sesepuh Simalungun yang juga ipar Bill Saragih, Mansen Purba):

Deideng, api  orang Silou

Oh, purnama raya merambat  hingga ke Pagar Tongah, ale

Deideng, rasa rindu tak tertahankan lagi

Bulan purnama, tak seorang pun yang bisa membawa pesan, ale


[Catatan Mansen Purba: Kata ‘deideng’ dan ‘ale’ diselipkan untuk memperindah semata. ‘Deideng’, lanjut dia merujuk pendapat komponis Taralamsyah Saragih, hampir sama maknanya dengan ‘doding’ (lagu); sedangkan ‘ale’ berarti ‘wahai’ atau ‘duhai’].

 Lagu lembut berlekuk-lekuk tajam khas dideng Simalungun ini tiga bait, dengan melodi yang sama, tanpa perubahan pada lirik bintang na rondang da manrarat das hu Pagartongah, ale.  Saban pergantian bait  diselilingi dengan denting piano monofon (suara tiunggal) lincah dalam improvisasi yang menjajagi pelbagai kemungkinan, tipikal permainan solo jazz.

Bill Saragih yang berpiano sembari bendendang. Tembang yang ia bawakan ini ada dalam album Bill Saragih Sings ’n Play yang diproduksi Legend Records (major label) tahun 1995 dan dirilis dua tahun berselang. Di album judul lagu ini disebut Song from My Father (to My Home Land).  Orang Simalungun selama ini lebih menganal karya lawas tersebut dengan judul Apuy ni Par Sinisilou.

Apuy ni Par Sinisilou oleh Bill diganti menjadi  Song from My Father. Nomor ini memang ciptaan ayahandanya, Tuan Kaduk Saragih. Sebelum ditabalkan menjadi raja Raya, Simalungun (menggantikan abangnya, lain ibu,  yang meninggal—Tuan Sumayan Saragih, ayah komponis Taralamsyah Saragih), Tuang Kaduk dikenal sebagai musisi kawakan yang piawai memainkan biola, gondang, serunai dan seruling. Putra raja  Rodahaim ini, dengan disiplin ketat mengajari anak-anaknya memainkan musik tradisional Simalungun dan menari. Ia juga membelikan anak-anaknya piano sehingga tak heran kalau salah seorang dari mereka, Bill alias Amirsyah, di usia delapan tahun sudah pandai berpiano. Tahun 1946, saat Bill masih berusia 14 tahun, sang ayah, Tuan Kaduk, tewas dibantai Barisan Harimau Liar (BHL) yang dikomandani Saragih Ras dalam Revolusi Sosial di Sumatera Timur. Dalam gerakan membasmi apa yang mereka sebut kaum feodal, Harimau Liar juga membakar rumah keluarga Taralamsyah, sehingga sebagian besar karya komposer itu musnah. Selain Tuan Kaduk—orang yang, menurut Mansen Purba, pertama kali membuat rekaman piringan hitam (PH) musik Simalungun—sejumlah penguasa dan keluarga kerajaan di Simalungun-Deli  tewas saat itu. Termasuk  raja penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah.

Di samping Apuy ni Par Sinisilou ada Selendang Sutra (Ismail Marzuki) dan Nasonang Do Hita (Nasonang Do Hita Nadua—yang entah mengapa disebut ciptaan NN, padahal karya Nahum Situmorang) dalam album Bill Saragih Sings ’n Play ini. Di tangan Bill keduanya menjadi sangat jazz. Nasonang Do Hita, misalnya. Aransemen yang dimainkan Bill (piano dan seksofon), Belinda Moody (double bass), dan Louis Soliano (drum) segar-improvisatif tapi tetap dengan roh aslinya.  Sebelumnya Bill juga pernah menggarap dan membawakan dengan sentuhan serupa karya Nahum lainnya, Satongki Do. Yaitu pada pagelaran Musik dan Lagu Nahum di Jakarta Hilton Convention Center, tahun 1994.  Hasilnya sama apiknya.

Album  ini merupakan karya yang sarat dengan kedirian Bill. Di dalamnya ada lagu untuk dirinya sendiri (Billy’s Groove), isterinya (Anna My Love) dan anaknya (Tony’s Dream dan Tiana [Come Back to Me]).  Sisanya, sebagian lagu favorit yang acap ia bawakan termasuk What a Wonderful World yang dipopulerkan Nat King Cole.

Sangat personal, album  ini merupakan rekaman jejak perjalanan panjang Bill sehingga dengan sendirinya merupakan sumbangan penting dalam pengayaan khazanah jazz Indonesia. Untung sempat hadir dan memasyarakat, ia. Menurut cacatan pengamat  dan penulis buku Jazz Indonesia Deded Er Moerad, tatkala dirilis album ini merupakan rekaman jazz pertama dalam mainstream yang dihasilkan musisi Indonesia (di tahun yang sama, Legend kemudian merilis album Bubi Chen: Virtuoso;  Bubi Chen diringi Belinda Moody dan Louis Soliano juga). Sedikit saja album jazz musisi-penyanyi lokal yang ditelorkan negeri ini. Di antara yang sedikit itu terdapat seri album produksi studio rekaman Hidayat milik pegiat jazz Bandung Bill Firmansjah, yaitu Jazz Masa Lalu dan Kini (konser Jack Lesmana, Bubi Chen, Benny Mustafa, The Jazz Riders, Mona Sitompul dan Rien Djamain di TIM Maret 1976), Surat Undangan (Maryono), Gambang Suling (Maryono & His Boys), Api Asmara (Rien Djamain dan Jack Lesmana Combo), Jawaban Api Asmara (Jack Lesmana dkk. bersama Harry, Rien, Ida  Djamain), Air Mata (Rien Djamain bersama Jack Lesmana dkk.), Terpikat (Margie Segers bersama Bubi Chen dkk.), Semua Bisa Bilang (Margie Segers dan Jack Lesmana dkk.), Manisku (Broery Pesulima dan Jack Lesmana Combo), serta Kedamaian (Bubi Chen, Uking Sukri dan Dede Suparman). Kesedikitan ini membuat  kehadiran album Bill Saragih Sings ’n Play menjadi torehan penting.

 Live time achievement

Setelah lama menghilang, Kamis, 21 November 2007, Bill Saragih tampak kembali di depan publik. Namun ini kali penampakannya jauh berubah. Kalau sebelumnya gemuk berisi, selalu penuh vitalitas dan rajin melemparkan senyum, sekarang sebaliknya. Terlihat kurus dan rapuh-sepuh.  Sudah sulit bicara, ia. Di atas kursi roda sang kelana berusia 75 tahun ini menerima penghargaan untuk pencapaian seumur hidup (live time achievement award) Jak Jazz 2007. Yang menyampaikan penghargaan dalam  acara gala dinner sekaligus pembukaan perhelatan jazz akbar di Istora Senayan itu adalah Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, didampingi si empunya hajat, Ireng Maulana. Kepada seksofonis jazz terkemuka alm. Maryono, saat itu juga diberi penghargaan serupa lewat keluarganya.

Sudah lama memang Bill sakit. Di tahun 2001 ia diketahui masuk rumah sakit karena terkena stroke. Sepulang dari rumah sakit ia menjalani terapi hampir saban hari. Sempat dikabarkan membaik; namun ternyata usia yang terus menanjak membuat ia tak kuasa bermuka-muka dengan penyakit.

Bill Saragih, pegaul yang ramah, dicintai banyak orang. Lumrah kalau sebaik terbetik kabar terkena stroke, simpati mengalir untuk dia. Bentuknya rupa-rupa. Misalnya  pengumpulan dana. A Charity for Bill Saragih, misalnya pernah dilangsungkan teman-temannya, dengan menampilkan Bubi Chen, Ireng Maulana, Paul Hutabarat (alm.), Oele Pattiselano, Benny Mustapha, Benny Likumahua, Embong Rahardjo (alm.), Jeffrey Tahalele, Luluk Purwanto, Margie Segers, Erny Kullit, Syaharani, Bertha, Bob Tutupoly, dan  Darma Purba, di Jakarta. Dewa, band pop, juga pernah mengadakan konser di sebuah pub Jakarta dan hasilnya disumbangkan ke dia. Memang populer Bill. Betapa tidak?

Setelah merantau 23 tahun, pada 1988  ia pulang dari Australia untuk menetap permanen di Jakarta. Di Tanah Air ia langsung bergiat total di kancah jazz:  tampil dari satu ajang ke ajang lain dengan gairah yang berlimpah, tanpa mengindahkan hajatnya besar atau tidak, tempat utama atau tidak. Menjadi penampil tetap di Jak Jazz dia sejak yang pertama, tahun 1988. Juga di Jazz Goes to Campus, yang digelar saban tahun oleh  mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FEUI). Ke daerah ia acap bertandang, termasuk Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Denpasar. Di mana-mana dari panggung ia selalu berupaya memasyarakatkan jazz, musik yang hingga kini masih berstatus marjinal di Indonesia.  Untuk mengenalluaskan jazz mengisi acara apresiasi  jazz di sejumlah stasion radio dan membuka sekolah jazz (ia juga mendirikan kursus  entertainer di Jakarta) dan membentuk kelompok musik dengan melibatkan anak muda. Sebagai pendidik kepada angkatan muda ia kerap mengatakan,   “bakat dibutuhkan hanya 15%, sedangkan kerja keras 70% dan nasib 15%” dan  mengingatkan agar mereka rajin  belajar not dan melatih kemahiran scale, tapi melupakan manakala sedang memainkannya.

Boleh dibilang, setelah sahabatnya Jack Lesmana meninggal akibat kanker hati tahun 1988, pria kelahiran Sindar Raya, Simalungun (1 Juni 1933; tapi di bukunya, Improvisasi Jazz, disebut: 31 Desember 1932) inilah musisi yang paling giat turun mensosialisasikan jazz di negeri ini. Untuk itu bakat entertainernya ia mainkan betul.

Di panggung Bill Saragih senantiasa memperagakan tiga kecakapannya sekaligus dan itulah yang membuat ia sulit dilupakan siapa saja  yang pernah menyaksikan penampilannya. Yaitu sebagai multiinstrumentalis, penyanyi bersuara serak  khas, serta entertainer. Sebagai pemusik ia menguasai piano, flute, seksofon (pelbagai jenis)   dan vibes. Dalam satu nomor biasa ia berpindah dari satu instrumen ke instrumen lain.   Sebagai penyanyi ia pintar meniru suara serak ‘Satchmo’ Louis Armstrong berikut gaya scat singing-nya (ucapannya yang khas: zap zap zap…. oh yeahhhh..).  Sebagai entertainer ia bisa menghidupkan suasana dengan pelbagai joke segar aktual, perkisahan  pendek atau trik bermain-main dengan musisi pendukung. Kekayaan pengalaman panggung yang kemudian melahirkan rasa percaya diri yang besar serta sense humor tentu saja menjadi modal utama dia dalam melakukan itu semua. Setelah dia, belum ada musisi jazz kita yang bisa sekaligus menjadi enterneiner terampil di panggung pertunjukan.

“Pak Bill Saragih sudah berbuat banyak untuk memajukan jazz Indonesia. Seperti tak pernah capek, dia. Seorang pendidik yang pengen orang lain maju. Beliau salah seorang guru saya. Perkenalan kami sudah sejak lama. Saya sempat ikut mengangkat-angkat perlengkapannya  waktu dia masih main di Harmoni, belum di Hotel Indonesia,” ucap Ireng Maulana.

Dalam penilaian Ireng,  Bill menguasai sejumlah alat musik dengan baik dan kemampuan bermusiknya tak kalah dibanding para pendekar jazz lain di Tanah Air. “Penguasaan teori musiknya juga baik. Dia kan menulis buku Improvisasi Jazz. Sebagai penyanyi ia penyanyi jazz tulen. Tapi entertainer-lah bidangnya yang sesungguhnya. Orangnya sederhana dan baik. Nggak pernah menyakiti yang lain. Juga lucu; kalau ada dia selalu ramai,” lanjut personil band tahun ’60-an, Eka Sapta (bersama Bing Slamet, Idris Sardi dan Eddy Tulis) yang beberapa tahun terakhir memimpin Ireng Maulana All Stars tersebut.

Bubi Chen sepenilaian dengan Ireng Maulana bahwa Bill Saragih lebih menonjol sebagai entertainer. “Ompung Bill bukan jazz instrumentalis tapi lebih merupakan entertainer; dua bidang ini berbeda betul. Dia bagus sebagai entertainer. Di bidang ini he can do no wrong. Beda dengan aku; aku instrumentalis. Jack Lesmana juga. Jack Lesmana nggak bisa-apa kalau disuruh jadi entertainer walaupun dia selalu bilang “aku main untuk nyenangin orang,” ucap Bubi Chen yang selama ini masih dianggap khalayak luas pianis jazz terbaik Indonesia.

Sebagai pemusik, menurut Bubi Chen,  Bill Saragih kurang menggali ke kedalaman. “Sehingga menggandol [menggantung] ke entertainer,” ucap lelaki warga Surabaya yang berkenalan secara dekat dengan Bill waktu mereka sama-sama tampil di acara USIS di Keduataan AS, Jakarta, tahun ’50-an (kala Bubi  bergabung dengan Jack Lesmana Quartet yang kemudian menjadi Jack Lesmana Quintet).

Kemenggantungan Bill, menurut Bubi Chen, antara lain karena tidak fokus pada satu instrumen. “Multiinstrumentalis apa bagus?” ucap dia. Ia pun mengisahkan pengalamannya sendiri waktu mencoba menguasai alat lain di luar piano. “Aku dibesarkan di keluarga yang musikal. Kakak-kakakku orang band sehingga di rumah kami alat musik bermacam-macam. Aku pernah mencoba semuanya. Tapi jangan harap mama akan membolehkan aku berpaling dari piano. Harus piano! Alasannya belajar piano saja sudah susah, apalagi ditambah yang lain. Memang benar. Setelah aku tua aku menyadari ucapan mama benar. Kalau aku main alat yang lain kemampuan pianoku paling cuma akan  50%, yang lain  20%, 15%…Sampai sekarang aku masih terus latihan piano. Badanku saja yang di kursi roda, kalau semangatku masih sama.”

Terlepas dari penilaian ini Bubi Chen menganggap Bill Saragih tak bisa dipisahkan dari musik Indonesia. “Meskipun dia lama sekali tinggal di luar negeri. Jasanya besar. Aku berduka cita karena dia tak bisa sembuh. Aku merasa kehilangan dan berdoa untuk kesembuhannya. Sayang aku tak sempat melihat dia menerima penghargaan di Jak Jazz kemarin. Aku datang setelah acara itu.”

Bubi Chen dan Bill Saragih di luar jam session di panggung secara tak langsung pernah lama berkoloborasi. Mereka berdua dipercaya menjadi editor album sejumlah raksasa jazz yang dirilis perekam Legend (distributornya:  PT Suryanada Indah Prima). Yang pernah mereka tangani misalnya album Count Basie, Duke Ellington, Milt Jackson, Coleman Hawkins, Stan Getz, Mongo Santamaria, Julian “Cannonball” Adderley,  Dizze Gillespie & Machito, Gery Mulligan, Bill Evans, dan Tommy Flanagan. Di tempat masing-masing keduanya menentukan pilihan. “Biasanya selera kami sama.Kalau aku suka, Bill akan suka. Sebaliknya juga,” jelas Bubi Chen.

Sang kelana

Bagaimanapun, Bill Amirsjah Rondahaim Saragih telah menjadi salah satu tonggak penting dalam sejarah jazz Indonesia yang berintisan tahun ’30-an. Sejarah diri Bill sendiri adalah bagian penting dari sejarah jazz Indonesia sendiri.  

Masih kecil Amirsjah yang belum bisa membaca not  sudah biasa memainkan boogie woogie, aliran yang tak terpisahkan dari jazz. Pada 1949 ia mendirikan Billy Trio dan mereka tampil di RRI Medan. Enam tahun berselang ia mengadu nasib ke Jakarta. Sembari bekerja di perusahaan kapal di T. Priok Amirsjah yang kelak lebih akrab dipanggil ‘Bill’ membentuk band bersama Marihot Hutabarat, Sal Salius Hutabarat, Paul Hutabarat dan Herman Tobing.

Sedikit catatan ihwal Marihot dan Paul Hutabarat. Keduanya mahasiswa hukum di Universitas Indonesia yang rutin tampil di sebuah klub favorit mahasiswa di bilangan Harmoni. Bubi Chen masih ingat Marihot. “Marihot itu kakaknya Paul Hutabarat. Main pianonya memang bagus,” kata Bubi Chen. Adapun Sudibyo Pr., pengamat dan pegiat jazz dari Bandung (kini sudah almarhum), mencatat Marihot Hutabarat sebagai pianis berjulukan ‘George Shearing Indonesia’ dengan kualifikasi “yang terbaik di negeri setelah Nick Mamahit.”  Sempat jadi sarjana hukum, Marihot  meninggal di usia muda karena kecelakaan lalu lintas. Adapun Paul Hutabarat, ia seorang vokalis yang sampai akhir hayatnya tetap mengurusi jazz. Sebagai sarjana hukum belakangan ia lebih bergiat di Karya Cipta Indonesia (KCI), lembaga yang mengurusi hak cipta musisi. Ia menerima AMI Sharp Award 2000 karena sebagai musisi ia dianggap memajukan industri musik dengan caranya sendiri.

Masih di tahun 1955 Bill Saragih membentuk Jazz Rider (ia memainkan piano, vibes dan flute), beranggotakan Didi Chia (piano), Paul Hutabarat (vokal) Herman Tobing (bass) dan Yuse (drum). Nama Jazz Rider, menurut Deded Er Moerad (dalam Jazz Indonesia), diberi oleh Tim Kantoso, pegiat yang kemudian dikenal sebagai pengamat kritis jazz.  Dalam formasi Jazz Rider selanjutnya ada Hanny Joseph (drum), Trisno (terompet tenor), Thys Lopis (bas) dan Bob Tutupoly (vokal). Mereka bermusik untuk mengisi acara pesta dan mengiringi dansa. Tatkala Tim Kantoso menjadi manajer seni dan budaya di Hotel Indonesia, lanjut Deded er Moerad, Jazz Rider menjadi pengisi tetap di Ramayana Restaurant dengan membawakan lagu-lagu standar di samping mengiringi Bob Tutupoly menyanyikan lagu-lagu Harry Belafonte. Bergantian mereka main di sana dengan kelompok Jack Lesmana-Bubi Chen. Di Jakarta Bill akhirnya lebih banyak bergaul dengan para musisi (Jack Lesmana, Sam Saimun,  Bing Slamet dan yang lain) sehingga kuliahnya di Fakultas Hukum (ekstension) UI kandas.

Pertengahan 1965 Bill Saragih pindah ke Bangkok menambah pengalaman. Band-nya (anggotanya orang Thailand dan Malaysia) bermain lima hari dalam seminggu di sebuah hotel di kota ini. Bersama seorang temannya ia  juga menjadi pemain cabutan di sebuah klab malam. Di ibukota Thailand inilah dia mengajak Benny Likumahua yang sedang singgah,  bermusik. Yang terjadi kemudian trombonis tersebut pun kepincut sehingga mengurungkan niatnya untuk menjadi pelaut. Seterusnya ia menjadi musisi (kini merupakan trombonis jazz terkemuka).

Setelah hampir tujuh tahun di Bangkok Bill berpaling ke Australia. Di Sydney ia tujuh tahun bermusik di sebuah restoran. Di negeri kanguru dia tinggal sekitar 17 tahun. Di sana ia menikah dengan Anna Rosemary (meninggal Januari 1999) dan  beroleh anak. Juga mendalami jazz di konservatorium Sydney selain mengikuti kursus tertulis Berklee College of Music, Boston.

Setelah 23 tahun merantau (pernah cari makan antara lain di Malaysia, Laos, Vietnam, Filipina dan  Jerman Barat) akhirnya ia pulang tapi  tidak bersama anak dan isteri. Di Jakarta ia kontan giat ber-job ria, antar lain dengan menjadi pemain cabutan di hotel-hotel dan klab malam yang bermenu jazz.

Bill Saragih adalah nama yang terpatri kokoh dalam sejarah jazz Indonesia. Selain nama ini tentu ada Marihot Hutabarat, Sal Salius Hutabarat, Paul Hutabarat dan Herman Tobing. Satu lagi, Indra Malaon Lubis. Yang terakhir ini kelahiran Tarutung, pegawai Departemen Kehakiman, dan suami artis Tuti Indra Malaon. Pegiat jazz berat (pernah memimpin Perhimpunan Jazz Indonesia—PJI), ia  meninggal di Jakarta tahun 1985 akibat kecelakaan lalu lintas sepulang kerja di Bogor.   ###

Laporan: Martin Lukito Sinaga


Sumber:
http://laklakliklik.wordpress.com/2011/06/14/bill-saragih-penyemai-jazz-indonesia/

No comments:

Post a Comment