Wednesday, June 13, 2012
Review Buku MANDAILING : SEJARAH, ADAT DAN ARSITEKTUR Oleh : Muhammad Dolok Lubis, ST
Review Buku MANDAILING : SEJARAH, ADAT DAN ARSITEKTUR Oleh : Muhammad Dolok Lubis, ST
Reviewer
Cut Nuraini
PENDAHULUAN
Buku yang berjudul Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur ini terdiri atas tiga bagian, yaitu pertama mengenai Sejarah dan Adat Mandailing, kedua mengenai Arsitektur Tradisional Mandailing dan ketiga mengenai Ornamen Perlambangan Adat Mandailing.
Bagian pertama buku ini terdiri atas lima bab, yaitu bab satu pendahuluan yang berisi deskripsi tentang asal muasal nama Mandailing; bab dua berisi deskripsi tentang Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal, meliputi enam sub topik, yaitu sejarah perkembangan wilayah Mandailing natal, wilayah administrasi pemerintahan, letak geografis, topografi, luas wilayah dan penduduk serta potensi wilayah. Bab tiga berisi tentang sejarah perkembangan Mandailing yang meliputi tiga sub topik, yaitu asal mula nama Mandailing, Asal-usul Marga Mandailing dan Suku-suku asli yang mendiami Mandailing. Bab empat berisi tentang Struktur dan Sistem Hukum Adat Mandailing, yang meliputi tiga sub-topik, yaitu unsur-unsur Dalihan Na Tolu, Kedudukan Dalihan Na Tolu dan Fungsi Dalihan Na Tolu. Bab lima berisi tentang Struktur Pemerintahan dalam Masyarakat Hukum adat Mandailing, yang meliputi dua sub-topik, yaitu Raja dan Namora Natoras.
Bagian kedua buku terdiri atas satu topik, yaitu Arsitektur tradisional Mandailing yang berisi dua sub-topik, yaitu bangunan adat dan struktur bangunan, sedangkan bagian ketiga buku ini juga satu topik, yaitu ornamen.
RINGKASAN BUKU
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Kabupaten daerah tingkat II Mandailing Natal, merupakan kabupaten paling selatan dari propinsi daerah tingkat I Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-undang RI no 12 tahun 1998 dan disyahkan pada tanggal 23 November 1998. Kabupaten ini adalah hasil pemekaran dari wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Tapanuli Selatan. Mandailing memiliki potensi wilayah yang beranekaragam, dengan sumber daya yang cukup luas dan subur untuk dikembangkan menjadi areal pertanian seperti kelapa, kelapa sawit, karet, padi, kulit manis, buah jeruk serta pertambakan ikan. Potensi lain adalah adanya deposit mineral, seperti emas, batubara, timah, belerang, besi, tembaga, seng, erak, timbal, kaolin dan marmar.
Keberadaan Mandailing sudah diperhitungkan sejak abad ke-14 dengan dicantumkannya nama Mandailing dalam sumpah Palapa gajah mada pada syair ke-13 Kakawin Negarakertagama hasil karya Prapanca sebagai daerah ekspansi Majapahit sekitar tahun 1287 Caka (1365) ke beberapa wilayah di luar Jawa. Mandailing pada masa tersebut diperkirakan sudah berkembang, dengan kondisi masyarakat yang homogen, tumbuh dan terhimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan dengan kebudayaannya yang sudah tinggi di zaman tesebut.
Berabad sebelum Prapanca, di Mandailing telah tumbuh masyarakat berbudaya tinggi (berdasarkan catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 M ke Kerajaan Panai) di hulu sungai Barumun atau di sepanjang aliran sungai Batang Pane mulai dari Binanga, Portibi di Gunung Tua hingga lembah pegunungan Sibualbuali di Sipirok. Hal ini ditandai dengan adanya masyarakat bermarga pane di Sipirok, Angkola dan Mandailing.
Dalam buku sejarah Batak yang dituliskan pada kesusasteraan klasik Toba Tua (Tonggo-tonggo Siboru Deak parujar), juga telah disebut nama Mandailing sebagai tempat asal nenek moyang Suku Batak Toba. Diperkirakan, Tonggo-tonggo tersebut diciptakan setelah kelahiran si raja Batak (generasi ke-6 Siboru Deakparujar dan Siraja Odap-odap) pada tahun 1305 M. Siraja Batak diduga tinggal di Mandailing yang kemudian pindah ke tanah Toba dan terus berkembang. Hal ini juga dipertegas oleh Z. Pangaduan lubis dalam bukunya ‘Kisah Asal-usul Marga di Mandailing’.
Nama Mandailing diduga berasal dari kata Mandehilang (bahasa Minangkabau, artinya ibu yang hilang), kata Mundahilang, kata Mandalay (nama kota di Burma) dan kata Mandala Holing (nama kerajaan di Portibi, Gunung Tua) Munda adalah nama bangsa di India Utara, yang menyingkir ke Selatan pada tahun 1500 SM karena desakan Bangsa Aria. Sebagian bangsa Munda masuk ke Sumatera melalui pelabuhan Barus di Pantai Barat Sumatera.
Mandailing memiliki riwayat asal usul marga yang diduga berawal sejak abad ke-9 atau -10. Mayoritas marga yang ada di Mandailing adalah Lubis dan Nasution. Nenek Moyang Marga Lubis yang bernama Angin Bugis berasal dari Sulawesi Selatan. Angin Bugis atau Sutan Bugis berlayar dan menetap di Hutapanopaan (sekarang Kotanopan) dan mengembangkan keturunannya, sampai pada anak yang bergelar Namora Pande Bosi III. Marga Hutasuhut adalah generasi berikutnya dari keturunan Namora Pande Bosi III, yang berasal dari ibu yang berbeda dan menetap di daerah Guluan Gajah.
Marga Harahap dan Hasibuan juga merupakan keturunan Namora Namora Pande Bosi III yang menetap di daerah Portibi, Padang Bolak. Marga Pulungan berasal dari Sutan Pulungan, yang merupakan keturunan ke lima dari Namora Pande Bosi dengan istri pertamanya yang berasal dari Angkola. Sedangkan pembawa marga Nasution adalah Baroar Nasakti, anak hasil pernikahan antara Batara Pinayungan (dari kerajaan Pagaruyung) dengan Lidung Bulan (adik perempuan Sutan Pulungan) yang menetap di Penyabungan Tonga. Moyang Marga Rangkuti dan Parinduri adalah Mangaraja Sutan Pane yang berasal dari kerajaan Panai, Padang Lawas. Keturunan Sutan Pane, Datu Janggut Marpayung Aji dijuluki ‘orang Nan Ditakuti’, dan berubah menjadi Rangkuti yang menetap di Huta Lobu Mandala Sena (Aek Marian). Keturunan Datu Janggut Marpayung Aji tersebar ke beberapa tempat dan salah satunya ke daerah Tamiang, membawa marga Parinduri. Nenek moyang marga Batubara, Matondang dan Daulay bernama Parmato Sopiak dan Datu Bitcu Rayo (dua orang pemimpin serombongan orang Melayu) berasal dari Batubara, Asahan.
Selain masyarakat bermarga, daerah Mandailing telah didiami tiga suku lainnya, jauh sebelum abad ke-10, yaitu Suku Sakai, Suku Hulu Muarasipongi dan suku Lubu Siladang. Suku Sakai bermukim di hulu-hulu sungai kecil, dan beberapa juga ditemukan di daerah Dumai dan Duri (Riau) serta Malaysia. Suku Hulu Muarasipongi diduga berasal dari Riau, sedangkan bahasa dan adatnya, mirip dengan bahasa dan adat Riau serta Padang Pesisir. Suku Lubu Siladang bermukim di lereng Gunung Tor Sihite, bahasa dan adatnya berbeda dengan bahasa dan adat Mandailing dan Melayu. Begitu pula ciri fisiknya yang tegap, kekar, mata bulat berwarna coklat tua, dan sikap yang ramah, rajin, selalu merendahkan diri.
Masyarakat Mandailing di dalam pelaksanaan adat dan hukum adatnya menggunakan satu struktur sistem adat yang disebut Dalihan Natolu (tungku yang tiga), yang mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial yang terdiri atas Kahanggi, (kelompok orang semarga), Mora (kelompok kerabat pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak gadis). Ketiga unsur ini senantiasa selalu bersama dalam setiap pelaksanaan kegiatan adat, seperti Horja (pekerjaan), yaitu tiga jenis (a) Horja Siriaon adalah kegiatan kegembiraan meliputi upacara kelahiran (tubuan anak), memasuki rumah baru (Marbongkot bagas na imbaru) dan mengawinkan anak (haroan boru); (b) Horja Siluluton (upacara Kematian) dan (c) Horja Siulaon (gotong royong).
Sistem pemerintahan di Mandailing, sebelum datangnya Belanda merupakan pemerintahan yang dipimpin oleh pengetua-pengetua adat, yaitu raja dan Namora Natoras sebagai pemegang kekuasaan dan adat. Raja di Mandailing terdiri atas beberapa jenis, yaitu Panusunan (raja tertinggi), Ihutan (di bawah Panusunan), Pamusuk (raja satu huta, tunduk pada Panusunan dan Pamusuk) , Sioban Ripe (di bawah raja Pamusuk) dan Suhu (di bawah Pamusuk dan Sioban Ripe, tetapi tidak terdapat di semua Huta). Semua raja Panusunan yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan marga Nasution di Mandailing Godang yang masing-masing berdaulat penuh di wilayahnya. Namora Natoras terdiri atas Namora (orang yang menjadi kepala dari tiap parompuan kaum kerabat raja yang merupakan kahanggi raja), Natoras (seseorang yang tertua dari satu parompuan), suhu (orang yang semarga dengan Raja Panusunan/Pamusuk tetapi bukan satu keturunan Raja) dan Bayo-bayo Nagodang (mereka yang tidak semarga dengan raja, yang datang bersama-sama pada waktu tertentu ke huta tersebut).
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Arsitektur Tradisional Mandailing yang dibahas pada bagian ini hanya bangunan-bangunan adat seperti Bagas Godang dan Sopo Godang di beberapa tempat di Mandailing Julu dan Mandailing Godang. Kajiannya meliputi struktur bagian atap dan tutup ari, badan bangunan, bentuk dan susunan tiang, tangga dan Halaman.
Pola atap Bagas Godang dan Sopo Godang terdiri atas dua corak, yaitu (a) Sarotole, bagian puncaknya merupakan garis datar, bermakna sifat keterbukaan dan berlapang hati, (b) Silingkung Dolok Pancucuran, bagian puncaknya merupakan garis lengkung, bermakna sifat berlapang hati. Tutup ari, merupakan bentuk segitiga di bawah atap dan ditempatkan di empat arah atap pada Bagas Godang, yang memiliki atap silang empat maupun atap yang mengarah ke depan dan ke belakang, bermakna tanda keperkasaan, pantang menyerah. Bentuk tutup ari juga melambangkan bindu matogu sebagai perlambangan Dalihan Natolu. Kedua sisi miring tutup ari memiliki nama dan arti. Sebelah kiri bernama Gaja Manyusu yang berarti setiap orang miskin harus ditolong.Sisi miring sebelah kanan bernama naniang pamulakkon, artinya setiap yang ditolong harus tahu diri. Bagian puncak Tutup Ari disebut Salopsop, berbentuk pedang yang bersilangan artinya Raja memegang adat dan hukum. Pemaknaan setiap ornamen yang tersusun di tutup ari dibahas pada topik ornamen di bab terakhir buku tersebut.
Badan bangunan ditutupi dinding yang disebut dorpi, artinya pelindung dari gangguan luar. Badan bangunan terdiri atas ruang depan, tengah, ruang tidur dan dapur. Pintu masuk depan disebut pintu ari marngaur, yang artinya setiap yang masuk akan dihormati oleh raja/ namora natoras. Pada tangga masuk terdapat pahatan berbentuk kepala manusia yang melambangkan ulu balang sebagai penjaga, artinya setiap tamu harus ijin untuk masuk. Ruang pada Bagas Godang dalam terdiri atas pantar tonga (ruang tengah), kamar tidur, parangin-angin (ruang depan), Hanan Halan (kamar terlarang), kamar khusus untuk perembahan raja dan ruang parsimonjapan (persembunyian). Ruang pada Sopo Godang hanya dua, yaitu pantar na bolak (ruang musyawarah) dan ruang penyimpanan.
Bentuk dan susunan tiang pada Bagas Godang dan Sopo Godang bervariasi sesuai dengan luas bangunan, tetapi prinsip penyusunan dan jumlahnya akan selalu ganjil mengikuti angka 3,5,7,9 yang mengandung makna tertentu dalam perlambangan adat.
Tangga di Bagas Godang, letak dan jumlahnya memiliki arti penting, disesuaikan dengan status dan kedudukan pemilik bangunan. Pada Bagas Godang jumlah anak tangganya adalah yang paling banyak, yaitu sembilan anak tangga sedangkan Sopo Godang, jumlah anak tangganya tujuh. Jumlah anak tangga tujuh, lima, empat dan dua ditemukan masing-masing pada keluarga raja, keluarga semarga raja dan rakyat biasa.
Halaman (alaman selangseutang, utang siala mardenggan) adalah hamparan tanah datar di depan Bagas Godang, berfungsi sebagai tempat kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat dan tempat perlindungan rakyat, jika terjadi perkelahian. Jika terjadi kegaduhan di dalam desa, dan pembuat onar berlari menuju halaman ini, dan ketika dia telah mencapai halaman tersebut, tidak seorang pun berhak mengakiminya, kecuali raja dan namora natoras.
BAGIAN-III : Ornamen
Motif ornamen pada bangunan adat mandailing memiliki bentuk-bentuk tumbuhan, hewan dan benda-benda pakai. Ornamen-ornamen tersebut diletakkan pada tutup ari, dengan cara dianyam dan dijalin dan menggunakan warna-warna merah, putih, hitam. Ada 33 jenis ornamen dengan makna tertentu, diantaranya adalah (a) Bona Bulu yang digambarkan dengan bentuk batang bambu tegak tersusun berbaris, artinya desa tersebut telah memiliki bona bulu (raja yang mendirikan desa) dan telah menjadi pemimpin; (b) Bondul na Opat artinya lantai dengan empat sudut, maknanya bahwa raja dan tetua desa akan menyidangkan perkara seadil-adilnya dan tidak membeda-bedakan orang; (c) Panji-panji (bendera warna-warni) yang merupakan lambang adat, bahwa desa tersebut telah memiliki hukum adat, sopan santun serta berbudi bahasa; (d) Raga-raga, yaitu bentuk bilah-bilah bambu yang disusun bersilangan, bermakna larangan menikah dengan satu marga, karena akan seperti benang kusut kehidupannya; (e) Suncang Duri, yaitu bentuk susunan duri ikan yang saling berlawanan arahnya, bermakna bahwa tamu yang datang harus dijamu; (f) mataniari, yaitu bentuk matahari bersinar, bermakna bahwa raja menjadi pelindung serta menyenangkan hati rakyatnya (g) Manuk na Bontar, yaitu ayam berwarna putih, maknanya setiap orang yang kelakukan kesalahan akan disidangkan di Sopo Godang, diberi hukuman yang setimpal, dibebaskan seekor ayam putih dan orang yang bersalah diusir dari desa tersebut; (h) Loting Pak Pak, alat pemantik api dari besi, bermakna setiap orang harus berusaha dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
PEMBAHASAN
Bagian-I : Sejarah dan Adat Mandailing
Jika ditinjau secara struktur penulisan, buku yang ditulis oleh M. Dolok Lubis pada dasarnya terdiri atas tiga bagian besar, yaitu sejarah, adat dan arsitektur Mandailing. Namun, secara teknis penyajiannya penulis telah menyatukan pembahasan sejarah dan adat, sehingga beberapa topik sangat tidak mendukung deskripsi sebelumnya. Misalnya, Pada bagian pertama yaitu bab satu, pendahuluan sama sekali tidak mendeskripsikan tentang pentingnya buku tersebut disusun. Isi di bagian pendahuluan tersebut lebih cocok berada pada pembahasan sejarah Mandailing. Pembahasan sejarah dan adat yang digabungkan pada satu bagian, menyebabkan beberapa data sering berulang pembahasannya. Topik sejarah dan adat sebaiknya dipisahkan, sehingga sebaran bab pada tiap bagian lebih merata. Pada buku ini, bagian satu sangat banyak jumlah bab-nya, sedangkan bagian dua hanya dua bab, bahkan bagian tiga sama sekali tidak memiliki bab.
Bagian pertama buku ini banyak mengulas tentang sejarah dan adat Mandailing. Dalam deskripsinya dijelaskan bahwa pada dasarnya, Mandailing telah ada sejak lama, yaitu sebelum 1023 M. Hal ini dapat dibuktikan lewat tiga hal, yaitu (a). Adanya catatan sejarah serangan Rajendra Cola dari India pada tahun 1023 ke kerajaan Panai, di hulu sungai Barmun; (b). Kakawin Negarakertagama, teks ke-13, hasil karya Prapanca, (sekitar 1365 M) yang diterbitkan pertama kali oleh sarjana Belanda Dr. J. Brandes tahun 1902 dan (c). Kesusasteraan klasik Batak Toba,Tonggo-tonggo Siboru Deakparujar, yang diperkirakan dibuat setelah kelahiran Siraja Batak, pada tahun 1305 M.
Secara eksplisit, deskripsi di bagian tersebut mampu memberikan informasi yang cukup jelas tentang sejarah Mandailing, tetapi secara struktur penyusunannya kurang tepat. Penulis langsung memulai sejarah keberadaan Mandailing justru dari Kakawin Negarakertagama, padahal pada pembahasan selanjutnya terdapat data lain yang angka tahunnya lebih awal, sehingga pembaca yang awam mungkin akan beranggapan bahwa Mandailing ada sejak lebih kurang 1365 M, padahal sesungguhnya keberadaan Mandailing diduga telah ada lebih awal lagi, yaitu 1023 M.
Keberadaan Mandailing di awal abad ke-10 tersebut semakin diperkuat lagi dengan adanya deskripsi pada topik sejarah perkembangan Mandailing pada bab selanjutnya (hal.13). Di sini dijelaskan, bahwa dari beberapa sumber diketahui Mandailing berasal dari kata ‘Mandehilang’ dan ‘Mundahilang’. Munda, merupakan nama sebuah suku di India Utara yang berpindah ke selatan, karena adanya serangan bangsa Aria pada tahun 1500 SM. Pada akhir pembahasan tidak terdapat keputusan yang pasti tentang Mandailing, dan penulis juga tidak berani menyimpulkan sesuatu. Polemik tentang asal usul nama Mandailing sejak lama memang telah diperdebatkan oleh masyarakatnya, namun demikian, terdapat kesepakatan bahwa Mandailing telah ada sejak lama.
Jika ditinjau pembahasan tentang asal-usul marga-marga di Mandailing (hal.17), dituliskan bahwa nenek moyang Mandailing yang bermarga Lubis berasal dari kerajaan Goa di Sulawesi Selatan. Dalam pembahasan tersebut sangat jelas dideskripsikan silsilah marga menurut beberapa sumber yang diacu. Pertanyaanya adalah, bagaimana dengan sejarah awal yang menunjukkan bahwa Mandailing juga berasal dari India (hal.13). Pada akhir pembahasan marga-marga (hal.26), penulis juga menyertakan beberapa data tentang suku-suku asli yang mendiami Mandailing, jauh sebelum abad ke 10 yang terdiri atas tiga suku, yaitu suku Sakai, suku Hulu Muara Sipongi dan suku Lubu Siladang. Dari tiga suku tersebut, dijelaskan bahwa suku Lubu Siladang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan dua suku lainnya dan lebih mirip dengan postur masyarakat India, yaitu tinggi, tegap, mata bulat berwarna coklat tua. Diperkirakan, suku Lobu Siladang inilah yang merupakan orang-orang kerajaan Mandala Holing dari India yang tertinggal dari kelompoknya, ketika pasukan Majapahit memasuki daerah ini pada tahun 1287 Caka (1365 M) dan bersembunyi di lereng gunung Tor Sihite, serta membentuk kelompok masyarakat sendiri dan sangat tertutup dengan suku lainnya. Sangat sedikit sekali penjelasan tentang suku asli yang mendiami Mandailing pada buku ini, sehingga masih banyak pertanyaan yang mengganjal terutama tentang perbedaan dan persamaannya dengan suku-suku lain, khususnya yang bermarga dan dianggap sebagai orang Mandailing yang sebenarnya. Tidak tertutup kemungkinan, bahwa merekalah penghuni pertama yang bermukim di bumi Mandailing. Dengan demikian, fenomena ini dapat menjadi entrypoint yang baik untuk mengeksplorasi semua hal tentang suku asli tersebut seperti budaya bermukimnya, arsitektur serta cultural lanscape yang ada.
Pembahasan asal usul marga dan sejarah Mandailing (hal.17) menunjukkan bahwa nenek moyang Mandailing berasal dari beberapa tempat yang berbeda, yaitu India (dibuktikan dengan adanya kelompok suku Lubu Siladang); Riau (Suku Hulu Muara Sipongi); Sulawesi Selatan (marga-marga Lubis), Padang (Marga Nasution dan Pulungan), Aceh Selatan (Marga Rangkuti dan Parinduri); Pantai Timur Sumatera Utara/ Batubara asahan/ Tanjung Balai (marga Batubara, Matondang, Daulay). Dengan demikian, masyarakat Mandailing bukan hanya berasal dari Sulawesi Selatan, tapi juga beberapa daerah lainnya di dalam dan luar negeri.
Dalihan Natolu merupakan sistem sosial yang tergabung dalam satu tatanan struktur dan adat yang terdiri atas Kahanggi, Mora dan Anak Boru. Kahanggi adalah hubungan kekerabatan (kinship) antara orang-orang Mandailing semarga. Mora adalah kelompok kerabat pemberi anak gadis dalam perkawinan (bride giver), sedangkan Anak Boru adalah kelompok kerabat penerima anak gadis (bride receiver). Sistem sosial tersebut berfungsi sebagai mekanisme untuk melaksanakan adat. dalam kehidupan masyarakat Mandailing adat dan pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari sistem tersebut. Satu saja perangkatnya tidak ada, maka segala kegiatan tidak akan dilakukan. Hal ini menunjukkan bahwa, dalam kehidupanya sehari-hari, masyarakat Mandailing sangat menghormati dan menghargai orang-orang tua. Namun demikian, orang-orang tua yang dihormati tersebut tidak lantas tinggi hati, tetapi justru mengayomi semua kerabat, saudara bahkan orang lain yang bukan siapa-siapa bagi mereka dalam melaksanakan setiap aktifitas di dalam huta. Setiap individu, siapapun orangnya, satu keturunan atau tidak, bermarga sama atau tidak atau bahkan pendatang sekalipun mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan pendapatnya.
Saling hormat dan menghargai ini pun semakin dipertegas pada pembahasan struktur kepemimpinan di Mandailing. Raja, di Mandailing hanya sebagai simbol, bahwa sebuah huta telah melalui sebuah proses adat tertentu. Raja tidak otokrat, tetapi sangat demokratis karena sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dan adat, raja tidak bekerja sendirian melainkan bersama dengan namora natoras. Disini semakin jelas dibuktikan, bahwa dengan struktur kepemimpinan yang seperti itu, setiap individu masyarakat dapat terwakili suaranya dalam menyampaikan aspirasinya. Masyarakat Mandailing memiliki keistimewaan dalam menyelesaikan setiap permasalahan, yaitu musyawarah. Jika dalam bermusyawarah, satu perangkat tidak hadir, maka musyawarah dibatalkan. Setiap perangkat merupakan perwakilan dari tiap kalangan yang berbeda, mulai dari orang-orang tua keturunan raja, saudara raja, orang-orang semarga tapi beda keturunan, orang-orang yang berbeda marga tapi tinggal di huta. Setiap mereka, mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menyelesaikan setiap permasalahan, jika salah satu tidak hadir maka musyawarah akan ditunda.
BAGIAN II : Arsitektur Tradisional Mandailing
Tinjauan tentang arsitektur pada bagian ini seperti terasa kurang lengkap, karena yang ditampilkan hanyalah bangunan adat saja. Hal ini mungkin dapat dimaklumi, karena secara visual bangunan adat tersebut mampu menjadikan dirinya sebagai focal point di desa-desa Mandailing. Berbicara tentang arsitektur secara fisik tentu saja tidak sekedar bangunan-bangunan, tetapi juga lingkungan hunian, kawasan terbangun (build environment), ruang-ruang luar seperti open space, ruang-ruang dalam, landscape, street furniture, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Pada kasus buku Mandailing : Sejarah, Adat dan Arsitektur oleh M. Dolok Lubis, tidak dijelaskan permasalahan yang dibahas berada pada tataran mikro, meso atau makro, sehingga pembahasan lebih bersifat kumpulan deskripsi tentang beberapa objek arsitektur yang dipilih secara acak di dua tempat, yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Padahal, Mandailing Julu dan Mandailing Godang memiliki ciri arsitektur yang berbeda. Beberapa pembahasan mungkin akan menghasilkan analisis yang tajam, jika pembahasan hanya fokus pada satu tempat saja, misalnya hanya di Mandailing Godang. Bahkan, penulisnya sendiri menegaskan bahwa bangunan adat yang terdapat di Mandailing memiliki struktur, ukuran dan bentuk yang khas dan berbeda (hal.49 dan hal.53).
Dalam pembahasan bangunan adat (hal.51), dijelaskan bahwa di depan Bagas Godang terdapat Sopo Godang, padahal dari penelitian yang telah saya lakukan, di Mandailing Jullu saja terdapat beberapa variasi letak Bagas Godang dan Sopo Godang. Sopo Godang tidak selalu berada di depan Bagas Godang, tetapi sangat bervariasi. Oleh karena itu, tidak dapat dijustifikasi bahwa di depan Bagas Godang terdapat Sopo Godang. Sayangnya, penulis juga tidak menjelaskan di desa mana posisi yang seperti itu ditemukan, sehingga informasi ini dapat menimbulkan kebingungan bagi pembaca awam.
Namun demikian, tinjauan tersebut dapat dijadikan pedoman untuk mengetahui fungsi bangunan adat Mandailing, yaitu Bagas Godang, Sopo Godang dan bangunan pelengkapnya, hopuk. Jika disimpulkan, Bagas Godang memiliki beberapa fungsi, yaitu (a) sebagai tempat tinggal raja; (b) sebagai bangunan adat yang menandakan bahwa desa tersebut telah memiliki kelengkapan adat; (c) sebagai tempat berkumpul dalam melakukan kerja adat dan (d) sebagai tempat berlindung bagi setiap anggota masyarakatnya. Fungsi ini menunjukkan bahwa raja tidak memiliki hunian tersebut secara mutlak, karena pada hakekatnya bangunan tersebut dibangun bersama-sama oleh rakyat sehingga rakyat juga memiliki hak untuk menggunakan bangunan tersebut. Namun, penggunaan hunian oleh masyarakat disesuaikan dengan kebutuhan dan waktu-waktu tertentu, seperti kegiatan-kegiatan adat desa. Hopuk sebagai pelengkap bangunan adat merupakan simbol kesejahteraan sosial. Jika bangunan adat adalah milik bersama, demikian juga halnya dengan hopuk. Setiap anggota masyarakat yang kekurangan pangan, dapat meminta bantuan kepada raja dan namora natoras untuk mengambil padi di hopuk. Fenomena ini semakin menegaskan beberapa hal, yaitu (a) kedudukan raja yang senatiasa mengayomi rakyatnya; (b) hubungan harmonis antara pemimpin dan yang dipimpin dan (c) Hubungan harmonis antar keluarga masyarakat.
Seperti halnya kajian arsitektur yang terlalu luas lokus amatannya, kajian struktur (hal 53 s/d hal.83) juga tidak disusun berdasarkan krtiteria tertentu, sehingga pembaca akan sulit memahaminya. Penulis tidak mengelompokkan struktur mana saja yang terdapat di Madailing Julu, Mandailing Godang dan Pakantan, apakah semua struktur terdapat di dua bangunan adat atau tidak, dan bagaimana dengan struktur yang terdapat pada rumah-rumah kerabat raja, seperti kahanggi, mora dan anak boru ? Namun demikian, hal yang tersirat dari semua struktur tersebut sangatlah dalam, antara lain adalah bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang (a) pemberani dan pantang menyerah (simbol tutup ari); (b) terbuka (simbol bentuk atap sarotole dan silingkung); serta (c) Suka bergotong royong dan membantu sesama (simbol badan bangunan).
Namun, ada hal yang menarik pada pembahasan tentang struktur ini. Walaupun kedudukan raja di Mandailing bukan sebagai raja yang otoriter dan berdaulat penuh, tetapi dalam mewujudkan huniannya (Bagas Godang) secara fisik tetap menunjukkan perbedaan yang mendasar dengan hunian-hunian lainnya, seperti (a) jumlah anak tangga dan tiang yang berbeda; (b) Tampilan dan bentuk Fisik; (c) Dimensi; (d) Ornamen dan (e) Halaman.
Jika dikaji secara arsitektural, hal ini mungkin berhubungan dengan beberapa alasan. Jumlah anak tangga yang berbeda dengan rumah kebanyakan bukan hanya mempunyai makna khusus, tetapi juga secara logika memang harus disesuaikan dengan postur dan tinggi bangunannya. Bangunan Bagas Godang yang besar dan tinggi tentu saja membutuhkan jumlah anak tangga yang lebih banyak bandingkan dengan rumah rakyat kebanyakan yang lebih kecil. Ukuran bangunan yang besar secara otomatis membutuhkan tiang-tiang penyangga yang lebih banyak sebagai struktur dan konstruksi yang menyokong bangunan. Hal inipun menunjukkan bahwa secara tidak langsung, masyarakat Mandailing di masa lalu telah memiliki pemahaman tentang ilmu konstruksi bangunan. Adapun bentuk fisik yang sangat mencolok (besar dan megah) memang sengaja dimunculkan dan dibuat besama-sama secara bergotog royong untuk menunjukkan pada dunia luar, bahwa desa mereka telah memiliki kelengkapan adat. Desa yang belum kelengkapan adat tidak memiliki Bagas Godang. Artinya, Bagas Godang adalah jati diri tempat (genius loci). Dimensi yang berbeda dengan rumah rakyat merupakan suatu keharusan karena pada dasarnya Bagas Godang adalah milik bersama, yang pada saat-saat tertentu akan digunakan secara bersama-sama pula oleh raja dan rakyatnya, sehingga ukurannya harus besar. Ornamen yang berbeda juga disesuakan dengan kelengkapan adat yang sudah dimiliki oleh sebuah desa. Semakin lengkap adatnya, semakin banyak ornamennya, artinya semakin besar pula tanggung jawab raja terhadap rakyatnya.
Pembahasan tentang halaman (hal.82) pada buku tersebut sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam item struktur, tetapi harus dibahas tersendiri karena halaman merupakan objek arsitektur dalam tataran mikro, sejajar dengan struktur. Halaman di Mandailing (khususnya yang terdapat di depan Bagas Godang) memiliki fenomena tersendiri yang unik, dan mampu menjelaskan beberapa keterangan yang tidak lengkap pada buku ini, seperti apakah Bagas Godang selalu berhadapan dengan Sopo Godang ? Halaman di Mandailing memiliki struktur tersendiri yang berhubungan dengan konsep banua di Mandailing tetapi tidak sedikitpun disinggung di dalam buku ini.
BAGIAN-III :Ornamen
Semua ornamen yang terdapat di bangunan adat Mandailing terdiri atas 33 jenis. Setiap ornamen memiliki makna tersendiri dan dijelaskan cukup detail dengan dua bahasa, yaitu bahasa Mandailing dan artinya dalam bahasa Indonesia. Ornamen-ornamen tersebut semuanya disajikan secara keseluruhan tanpa dibedakan apakah ornamen tersebut berada di rumah adat, balai adat, rumah kerabat raja atau rumah rakyat biasa. Penulis tidak menempatkan legenda atau peta kunci atau petunjuk lain (mungkin akan lebih ringkas dalam bentuk tabulasi) sehingga pembaca tidak sulit mengidentifikasi keberadaannya di tiap bangunan. Mungkin akan lebih terstruktur jika pembahasannya dilengkapi dengan keterangan tertentu pada bagian yang dibahas. Selain itu, pembahasan tentang ornamen ini tidak disertai dengan kesimpulan akhir, sehingga pembaca harus menyimpulkan sendiri.
Semua ornamen yang terdapat pada bangunan adat tersebut menggambarkan sikap hidup, cara pandang, nilai-nilai dan kebiasaan masyarakat Mandailing yang sangat berbeda dengan budaya-budaya masyarakat lain yang ada di daerah Sumatera Utara bahkan di Indonesia. Intinya, pembahasan tentang ornamen pada bangunan adat Mandailing menggambarkan empat aspek yang mencirikan Mandailing, yaitu aspek dalam adat, aspek kehidupan sosial, aspek hukum adat dan aspek kepribadian.
Bagian-2 dan bagian-3 buku tersebut sepenuhnya dikutip dari buku yang ditulis oleh Drs. Oloan Situmorang, berjudul : Mengenali Bangunan serta Ornamen Rumah Adat Mandailing dan Hubungannya dengan Perlambangan Adat (hal.25 s/d hal.86).
Sumber:
http://arsitektursiana.blogspot.com/2009/12/review-buku-mandailing-sejarah-adat-dan.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment