Wednesday, June 13, 2012
Review Buku MANDAILING ARCHITECTURE Tim Peneliti Badan Warisan Sumatera dan Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara
Review Buku MANDAILING ARCHITECTURE Tim Peneliti Badan Warisan Sumatera dan Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara Ketua : Rika Susanto
Reviewer
Cut Nuraini
PENDAHULUAN
Buku Mandailing Architecture ini merupakan laporan penelitian hasil kerjasama antara Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara dengan Badan Warisan Sumatera yang membentuk sebuah tim. Tim ini terdiri dari Tim Peneliti yang diketuai oleh Rika Susanto dengan anggota Isnen Fitri, Iwan Setiawan dan Miduk Hutabarat; dan Tim drafter, yang terdiri atas relawan Badan Warisan Sumatera dan beberapa mahasiswa Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Sumatera Utara.
Buku Mandailing Architecture ini terdiri atas empat bagian besar, yaitu bagian pertama Analisis Makro tentang Kampung di Mandailing, meliputi tiga tempat: Manambin, Hutagodang dan Kotanopan; bagian kedua Analisis Mikro tentang bangunan tradisional di Manambin, Hutagodang dan Kotanopan; bagian ketiga perbandingan antara arsitektur Batak lainnya, yaitu jenis-jenis rumah tradisional Toba, Karo dan Simalungun; bagian keempat Konservasi dan Strategi Implementasinya terhadap tiga kampung, yaitu Hutagodang, Manambin dan Kotanopan.
RINGKASAN BUKU
Latar Belakang sejarah Mandailing berawal dari seseorang yang bernama Daeng Malela, berasal dari Sulawesi dan pertama kali tiba di Angkola Jae, Singgalangan dan menikah dengan salah satu putri raja setempat. Setelah menikah, Daeng Malela mendapat gelar Namora Pande Bosi dan memiliki dua orang anak yang bernama Sutan Bugis dan Sutan Borayun. Selain itu, Namora Pande Bosi juga menikah dengan seorang putri bunian dan dari perkawinan tersebut dihasilkan dua anak orang anak bernama Langkitang dan Baitang (hal. 1-2).
Empat anak dari dua ibu yang berbeda ini nantinya akan menjadi cikal bakal perkembangan masyarakat Mandailing sesuai dengan kelompok marganya. Langkitang menurunkan marga Lubis Muara Partontang (Lubis Singengu) dan Baitang menurunkan marga Lubis Muara Partomuan (Lubis Singasoro) sedangkan Sutan Bugis dan Sutan Borayun menurunkan marga Hutasuhut, Harahap, Hasibuan (hal-2-3).
Masyarakat Mandailing yang menganut azas patrilineal sampai sekarang masih mempercayai adanya legenda Namora Pande Bosi yang dianggap sebagai nenek moyang masyakarat Mandaling. Pertumbuhan dan perkembangan kampung-kampung di Mandailing, khususnya Mandaliling Julu diawali dari sebuah kampung yang sudah eksis yang kemudian mengembangkan wilayahnya dengan membuka kampung-kampung baru berdasarkan kampung induknya, tempat tinggal raja. Dengan demikian, huta (kampung) ‘induk’ akan memiliki beberapa huta (kampung) ‘anak’. Raja di kampung induk disebut Panusunan Bulung dan rumahnya memiliki 9 anak tangga, sedangkan raja di kampung ‘anak’ disebut Raja Pamusuk dan rumahnya memiliki 7 anak tangga. Huta induk di Mandailing Julu adalah Manambin, Singengu dan Hutadangka dan setiap huta induk ini memiliki huta anak (hal.3).
Sebuah huta baru yang sudah ada, harus memiliki beberapa elemen dasar seperti keberadaan namora natoras, yang didalamnya terdapat tiga hubungan kekerabatan sebagai pijakan dasar bagi setiap aktifitas budaya dan sosial di huta. Sistem kekerabatan yang disebut dengan Dalihan Natolu terdiri atas Kahanggi (kelompok semarga), Mora (kelompok pemberi anak gadis) dan Anak Boru (kelompok penerima anak gadis) (hal.4)
Manambin adalah sebuah huta induk yang pertama kali didirikan oleh keturunan Namora Pande Bosi, Si Baitang. Kerajaan Manambin mulai diperintah oleh Raja Singasoro-II sekitar tahun 1860-an dan pada masa tersebut didirikan sebuah bangunan besar yang di sebut Bagas Godang. Nantinya, dari huta Manambin ini, dikembangkan sebuah huta baru, yaitu Hutagodang yang merupakan anak dari huta Manambin (hal.5)
Kampung Manambin terdiri atas lahan-lahan pertanian yang ditanami padi, buah jeruk, kopi, kayu manis dan karet. Selain itu, hampir pada setiap rumah selalu terdapat tobat/ tambak (kolam ikan) sebagai sumber penghasilan tambahan bagi masyarakatnya. Rumah-rumah penduduk memiliki kepadatan yang cukup tinggi, berderet di sepanjang sisi kiri dan kanan jalan utama desa yang membagi huta menjadi dua bagian. Jalan masuk ke desa dipadati oleh rumah-rumah yang memiliki gang sempit diantaranya, dan kebanyakan gang tersebut telah di aspal.
Dulu, kampung Manambin dikelilingi oleh pagar bambu sebagai batas kampung dan kampung tersebut dikenal dengan sebutan pagaran. Konsep seperti ini juga ditemukan pada permukiman Batak lainnya khususnya Tarutung, Balige dan Toba. Namun, di masa sekarang konsep tersebut jarang ditemukan lagi di Mandailing, khususnya Manambin. Rumah-rumah tidak dipagar, tertutup, memiliki halaman kecil dan saling mengapit (hal.6).
Ruang terbuka publik yang sangat terbatas di kampung ini menyebabkan munculnya tempat-tempat favorit warga dalam melakukan kegiatan sosialnya seperti mengobrol dan bersosialisasi di malam hari di tangga-tangga rumah mereka, demikian juga halnya dengan pancuran air. Pancuran air selalu dihubungkan ke musholla dan mesjid. Di pagi hari pancuran air ini sangat ramai oleh kaum ibu yang mencuci pakaian sambil mengobrol. Di malam hari, kaum wanita bergabung dengan kaum pria di mesjid untuk sholat berjamaah dan berdiskusi tentang kampung mereka (hal.7).
Dulu, komplek istana raja terdiri atas Bagas Godang dan Sopo Godang. Sekarang dua bangunan utama tersebut sudah tidak ada lagi. Bangunan tradisional di lingkungan komplek istana mengelilingi Alaman Bolak, yaitu halaman luas di lingkungan komplek istana. Pada awal terbentuknya perkampungan Mandailing, di sekeliling kompleks istana raja-raja dibangun rumah-rumah rakyat yang terdiri atas beberapa lapis. Lapisan pertama merupakan bangunan hunian kerabat raja, yaitu kahanggi, mora dan anak boru, sedangkan pada lapisan berikutnya merupakan bangunan-bangunan hunian rakyat biasa. Hal ini disesuaikan dengan status sosial yang diatur oleh adat atau yang dikenal dengan sebutan Dalihan na Tolu (hal.7)
Sebuah banua atau huta memiliki beberapa banjar, dan beberapa banjar Manambin adalah Banjar Jae, Paya Lobak, Tonga, Jambur Batu, Jambur Genting, Lombang dan Banjar Hutasaba. Setiap Banjar berkembang menurut populasi desanya sendiri sedangkan orientasi biasanya tidak mempertimbangkan sturktur kampung induknya. Rumah-rumah penduduk berjajar di sisi jalan dan terdapat juga pola mengelompok di tengah banjar. Umumnya pola susunan massa bangunan membentuk pola linier. Bangunan-bangunan berorientasi ke arah jalan karena semua dibangun di sepanjang jalur sirkulasi (hal.8-11).
Sama halnya dengan Manambin, Hutagodang juga merupakan bagian dari wilayah Kotanopan. Sebelum kampung Hutagodang pertama kali didirikan, raja pada awalnya masih menetap di suatu tempat yang di sebut Hutadolok yang berlokasi di atas bukit, tidak jauh dari lokasi kampung Hutagodang yang sekarang. Salah satu alasan perpindahan tersebut adalah agar mereka lebih dekat ke sungai untuk membersihkan diri, dan dapat beribadah (hal.14)
Dua perbukitan di Hutagodang ditanami dengan kopi, jeruk, kayu manis yang merupakan produk utama dari Hutagodang selain beras. Sama halnya dengan kampung-kampung Mandailing lainnya, Hutagodang juga berlokasi dekat dengan sungai. Sungai yang berada di kampung ini adalah sungai Batang Pungkut. Bentuk lahan Hutagodang berbeda dengan Manambin, seperti kontur tanahnya yang lebih datar dan berair/ basah/ lembab (hal.15)
Saat ini, komplek istana Hutagodang terdiri atas bangunan Bagas Godang, Sopo Godang, Hopuk dan sebuah rumah kerabat raja. Di tengah bangunan-bangunan tersebut terdapat sebuah halaman luas, yaitu Alaman Bolak. Dalam sejarahnya disebutkan bahwa halaman ini dapat berfungsi sebagai tempat melindungi diri dari kejaran musuh. Setiap orang yang berhasil mencapai halaman ini, berhak mendapat perlindungan raja. Halaman ini dikenal dengan nama Alaman Bolak Selangseutang, artinya halaman tempat membayar hutang. Selain itu terdapat fungsi lainnya yaitu sebagai tempat berkumpul, tempat perayaan hari-hari besar Islam dan tempat anak-anak bermain (hal.16-17)
Rumah-rumah penduduk di Hutagodang juga dibangun di sepanjang sisi kiri kanan jalan yang membagi huta menjadi dua bagian. Pola linier mendominasi bentuk susunan massa bangunan, namun pada beberapa tempat ditemukan juga pola mengelompok. Jalan masuk desa dipadati dengan rumah-rumah penduduk dengan gang-gang sempit yang berliku-liku diantaranya, yang sebagian telah di aspal, sebagian lagi tidak. Secara umum, sama halnya dengan Manambin, di Hutagodang juga terdapat pancuran air sebagai tempat favorit warga dalam berinteraksi dengan sesama. Di tengah kampung terdapat makam leluhur yang tidak berorientasi ke kiblat, yang mengindikasikan bahwa leluhur tersebut bukan seorang muslim (hal.18)
Hutagodang tidak menggunakan sistem Banjar seperti Manambin. Sejauh ini, tidak ditemukan adanya bentuk susunan fisik tertentu dari pola yang ada. Pola linier yang ada kelihatannya sudah terbentuk karena mengikuti pola jalan yang ada. Hal ini juga tampaknya secara umum, di Manambin dan Hutagodang, masalah orientasi sama sekali tidak mempertimbangkan struktur kampung. Struktur kampung terlihat sangat linier sejauh 1 km, tetapi selalu terdapat struktur mengelompok di beberapa lokasi. Pada pola mengelompok, terdapat dua dan tiga lapis rumah sepanjang jalan. Pola ini dibentuk karena kebutuhan, jika pada satu lapis rumah di sisi jalan telah padat, maka akan dibangun rumah lain pada sisi yang berbeda, sehingga membentuk lapisan baru (hal.19-20).
Tidak ada satu arahan khusus yang mengharuskan ide-ide sejenis untuk mendirikan dan mengorientasikan bangunan. Secara umum, orientasi bangunan diarahkan ke jalan dan juga terdapat beberapa bangunan yang saling berhadapan dan membentuk pola mengelompok (hal.22).
Kotanopan adalah salah satu bagian dari kabupaten Mandailing Natal di propinsi Sumatera Utara. Secara geografis, Kotanopan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan dan terletak di sepanjang sungai Batang Gadis. Kotanopan terdiri atas 84 desa yang kehidupan ekonomi masyarakatnya secara umum adalah di sektor pertanian kecuali sebagian lainnya yang berprofesi sebagai pedagang, pegawai negeri sipil dan bekerja di swasta. Hasil-hasil pertanian dari Kotanopan seperti kayu manis, jeruk, kayu, kopi, kentang dan beras banyak di pasarkan ke luar kota seperti Padang dan Medan (hal.26).
Pasar Kotanopan adalah ibukota dari kelurahan Kotanopan. Pada masa invasi Belanda ke daerah ini, Kotanopan merupakan pusat perjuangan pemuda setempat dalam memperjuangkan kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pahlawan kemerdekaan yang terkenal dari daerah ini adalah Willem iskandar, Mukhtar Lubis dan wakil presiden Indonesia yang pertama, yaitu Muhammad Hatta (hal.27).
Secara umum, arsitektur tradisional Mandailing dan Manambin dapat dibagi atas dua tipe, yaitu bangunan tradisional dan rumah-rumah setempat. Bangunan tradisional terdiri atas tiga bentuk, yaitu Bagas Bagonjong, Bagas Godang dan Sopo Godang sedangkan bangunan-bangunan setempat adalah bangunan untuk tepat tinggal kerabat raja seperti Mora, Kahanggi dan Anak Boru. Bangunan utama, yaitu Bagas Bagonjong, Bagas Godang dan Sopo Godang terletak di tengah-tengah mengelilingi Alaman Bolak. Di sekeliling bangunan utama tersebut terdapat rumah-rumah lainnya yang berlapis-lapis. Lapisan pertama adalah rumah kerabat raja seperti Kahanggi, mora dan anak boru. Lapisan selanjutnya adalah rumah-rumah rakyat biasa sedangkan lapisan terakhir adalah kelompok rumah budak (hal.29).
Bagas Bagonjong artinya adalah rumah yang atapnya berbentuk lengkung. Istilah Bagonjong berasal dari bahasa Minangkabau, namun sebagian besar masyarakat tidak setuju dengan istilah tersebut, karena menurut mereka nama bangunan tersebut tetaplah Bagas Godang. Susunan ruang-ruang di Bagas Bagonjong terdiri atas teras-teras di depan dan belakang yang digunakan sebagai ruang duduk keluarga raja, tempat penjaga dan ruang tunggu bagi tamu yang akan menemui raja. Ruang utama yang disebut pantar tonga digunakan sebagai ruang rapat atau kegiatan tradisional lainnya. Terdapat tujuh ruang tidur, yang salah satunya adalah ruang tidur tamu, terletak di sebelah kiri depan. Ada juga loteng di lantai atas, sedangkan lantai dasar digunakan sebagai gudang penyimpaan senjata dan penjara untuk budak. Dapur terdapat di belakang bangunan (hal.32)
Bangunan ini menggunakan struktur yang ringan yaitu kayu sebagai elemen utamanya dengan tiang-tiang penyangga berjumlah 49 buah. Konstruksi atapnya menggunakan kayu dan bambu sedangkan material penutup atapnya adalah bahan ijuk. Selain itu juga banyak digunakan ornamen-ornamen tradisional dengan warna-warna tertentu yaitu hitam, merah dan putih. Semua ornamen dan warna-warna yang digunakan memiliki simbol dan makna khusus. Bangunan utama secara aturan adat tidak boleh dibangun membelakangi matahari. Jadi bangunan harus menghadap matahari atau berada pada sumbu utara selatan. Bagas Godang berfungsi sebagai tempat tinggal raja dan sabagai tempat dilaksanakan kegiatan adat lainnya. Bagas Godang terdiri atas beberapa ruang seperti dua ruang tengah sebagai ruang pertemuan, ruang-ruang tidur, dapur dan gudang. Sopo Godang adalah semacam balai sidang adat, yaitu bangunan tempat dilakukannya pertemuan dengan para namora natoras untuk menyelesaikan berbagai permasalahan Rumah-rumah rakyat biasa berbeda dengan rumah tradisional ditinjau dari segi fungsi, gaya, ukuran, susunan ruang dalam, dekorasi dan lainnya. Tipe atap rumah di Manambin terdiri atas tiga bentuk, yaitu atap sarocino, merupakan atap rumah masyarakat biasa; atap sarotole dan atap silingkung dolok pancucuran merupakan atap rumah-rumah raja dan kerabatnya. (hal 34-35).
Bagas Godang di Hutagodang telah dibangun tiga kali karena pernah terbakar pada masa pemerintahan Raja Junjungan Lubis, sehingga dari segi desainnya juga telah mengalami sedikit perubahan dan perbedaan dari bentuk aslinya. Bangunan ini didirikan pada sumbu utara selatan dan memiliki beberapa ruang, seperti ruang tengah, ruang tidur, dapur dan gudang. Atapnya merupakan atap sarotole dan terdapat beragam ornamen didalamnya. Struktur bangunan ini menggunakan kayu sebagai material utamanya dengan sejumlah 26 tiang penyangga. Sopo Godang di Hutagodang letaknya berhadapan dengan Bagas Godang dan berfungsi sebagai balai sidang adat. Di dekatnya terdapat hopuk, yaitu tempat penyimpanan beras. Ukuran Sopo Godang yang sekarang juga lebih kecil dari ukuran yang sebenarnya. Bahan utama bangunan ini juga adalah kayu dan satu-satunya Sopo Godang yang tidak memiliki anak tangga, karena tanah tempat dibangunnya memiliki kontur yang agak tinggi (hal. 38-42)
Rumah-rumah rakyat biasa atau hatobangan (budak) di Hutagodang memiliki perbedaan dengan rumah-rumah kerabat raja seperti kahanggi, mora dan anak boru, ditinjau dari segi ukuran, bentuk, ornamen serta dekorasi pada dinding bangunannya. Namun, rumah-rumah jenis ini sudah jarang ditemukan, karena ketika Belanda datang ke daerah ini, para budak telah dibebaskan dan hatobangan (budak) tidak ada lagi di Mandailing. Ketika terjadi perang Paderi, beberapa warga Sumatera Barat banyak yang menetap di Mandailing dan membangun rumah di sana dengan perpaduan gaya Minangkabau dan Mandailing, sehingga model rumahnya merupakan perpaduan antara Minangkabau dan Mandailing. (hal.43)
Rumah-rumah keluarga raja di Hutagodang, yaitu kahanggi, mora dan anak boru juga telah banyak mengalami perubahan karena direnovasi. Tetapi pada dasarnya rumah-rumah tersebut terdiri atas 4 ruangan, yaitu ruang keluarga dua ruang tidur, satu dapur dan ruang makan. Besaran rumah-rumah kerabat raja ini juga bervariasi, tetapi terdiri dari dua model, yaitu rumah dengan 19 tiang dan 15 tiang penyangga sebagai strukturnya. Namun, dari sekian rumah kerabat raja hanya satu yang masih eksis sedangkan yang lainnya telah mengalami banyak perubahan karena renovasi (hal.44)
Rumah-rumah rakyat biasa di Hutagodang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan rumah-rumah kerabat raja, lebih sederhana dan ruang-ruangnya juga lebih sedikit. Hanya terdapat 3 ruang, yaitu ruang keluarga, ruang tidur dan dapur. Bagi rakyat biasa, jika telah berkeluarga harus keluar dari rumah dan membangun rumah sendiri. Rumah-rumah mereka biasannya hanya terdiri atas 3 anak tangga, namun pada masa sekarang sudah lebih bervariasi. Sedangkan strukturnya terdiri atas 15 tiang utama sebagai konstruksi penyangga di dalam bangunan. Atap rumahnya sama dengan atap yang terdapat di Manambin (hal. 45)
Kotanopan sebagai ibukota Mandailing Julu merupakan pusat terjadinya aktifitas masyarakat Mandailing Julu di masa sekarang. Banyak bangunan-bangunan tua di tempat ini memiliki konstruksi yang sangat sederhana, yang merupakan gabungan antara gaya arsitektur tradisional setempat dan arsitektur Kolonial Belanda. Bahan utama bangunan-bangunannya adalah kayu dan beton, sedangkan atap-atap bangunannya tidak lagi menggunakan ijuk tetapi telah diganti dengan seng. Selain lebih murah, seng gampang dikerjakan konstruksinya dan juga lebih tahan air. Banyak dari bangunan tersebut telah direnovasi sehingga sebagian besar telah merubah bentuk asli dan strukturnya. Beberapa fungsi bangunan yang terdapat di Kotanopan adalah pasar, penginapan, toko-toko, sejumlah kantor seperti pos, telekomunikasi dan beberapa sekolah (hal 47-48)
Berdasarkan beberapa jenis bangunan yang terdapat di Kotanopan, gaya atapnya dapat dikelompokkan atas beberapa jenis, yaitu atap bumbung panjang, atap bumbung lima, atap bumbung empat, atap sarocino, atap sarotole, atap silingkung dolok percucuran. Dekorasi pada bangunan-bangunan yang terdapat di Kotanopan didominasi oleh ornamen gaya arsitektur kolonial Belanda. Jika pada bangunan-bangunan lainnya di Manambin dan Hutagodang yang dibangun tidak menggunakan paku, maka pada bangunan-bangunan di Kotanopan semuanya menggunakan paku pada konstruksinya (ha 49-51)
Secara umum, jika dibandingkan dengan arsitektur tradisional Batak lainnya, Mandailing memiliki arsitektur tradisional yang lebih sedikit dibandingkan Batak Toba, Karo dan Simalungun. Batak Toba memiliki 5 jenis bangunan tradisional yaitu Ruma Gorga, Ruma Tanpa Gorga, Ruma Sibaba Ni Amporik, Sopo Godang dan Sopo Eme. Batak Karo juga memiliki 5 jenis bangunan tradisional, yaitu Rumah Kurung Manik, Rumah Satu Tersek, Rumah Dua Tersek Pake Anjung-anjung, Rumah Sangka Manuk dan Rumah Sendi. Batak Simalungun memiliki 5 jenis bangunan tradisional, yaitu Pinar Horbou, Pinar Musuh, Pinar Urung Manik, Pinar Bakkiring dan Pinar Rambung Lima (Hal. 52-58)
Inventori di tiga daerah Mandailing Julu, yaitu Manambin, Hutagodang dan Kotanopan menunjukkan bahwa ketiganya memiliki budaya yang signifikan untuk di konservasi. Beberapa perbedaan yang muncul dari ketiganya akan membentuk potensi konservasi yang berbeda-beda pula. Dari ketiganya, Hutagodang merupakan tempat yang memiliki karakter kuat dan dapat dilihat melalui lingkungan alamiahnya, sejarah, budaya dan aktivitas masyarakatnya yang kesemuanya itu terintegrasi menjadi satu kesatuan. Mekanisme strategi konservasi untuk Hutagodang adalah dengan melakukan revitalisasi ekonomi, dengan cara memberikan peluang di waktu senggang masyarakatnya, membantu dan memberikan pelatihan bagi masyarakat. Kotanopan memiliki potensi untuk dibangun sebuah museum atau perpustakaan sebagai pusat pengembangan kebudayaan Mandailing. Selain itu, perlu juga dilakukan konservasi terhadap beberapa bangunan bersejarah yang terdapat di sana. Manambin memiliki potensi wisata yang unik ditinjau dari letak dan komposisi massa-massa bangunannya di atas lahan-lahan berbukit dan berkontur. Potensi natural ini dapat dijadikan objek wisata yang menarik bagi pendatang, apalagi dengan adanya sistem pengaturan irigasi alami di setiap sudut kampungnya (hal.60-64).
PEMBAHASAN
Buku Mandailing Architecture ini menjelaskan tentang tiga desa di Mandailing Julu, yaitu Manambin, Hutagodang dan Kotanopan. Jika ditinjau dari sampel kasusnya, tiga desa ini tidak dapat mewakili arsitektur Mandailing yang sebenarnya, karena terdapat puluhan desa di Mandailing Julu. Teknik pemilihan sampel seharusnya dapat mewakili kasusnya, sehingga hasil penelitian tersebut lebih obyektif. Sementara, tim peneliti sama sekali tidak menjelaskan metode pemilihan sampel, mengapa hanya 3 desa tersebut yang dipilh sebagai kasus penelitian.
Latar belakang sejarah terbentuknya desa-desa di Mandailing yang dideskripsikan di awal-awal buku ini (hal.1-5) mengindikasikan adanya tipologi huta berdasarkan status dan raja yang memerintah di tiap huta pada masa lalu di Mandailing. Tipologi tersebut adalah (a). Huta Induk, yaitu huta-huta yang pada masa pemerintahan dulu dipimpin oleh seorang raja Panusunan. Huta induk memiliki beberapa huta anak yang letaknya tersebar. Manambin dan Hutagodang merupakan dua contoh huta induk di Mandailing Julu, selain Sayurmaincat, Singengu dan Tamiang (berdasarkan penelitian yang telah reviewer lakukan); (b). Huta Anak merupakan huta yang dipimpin oleh seorang raja Pamusuk dan tunduk dibawah raja Panusunan yang berkedudukan di huta induk. Huta anak tidak dapat memutuskan perkara adat secara sepihak tanpa persetujuan dari raja Panusunan. Dalam penelitian yang pernah dilakukan reviewer menunjukkan bahwa huta-huta yang termasuk dalam kelompok huta anak di Mandailing Julu adalah Hutadangka, Hutapungkut Julu, Simpang Tolang Julu, Rao-rao Lombang, Gunung Tua Muara Soro, Habincaran dan Tolang.
Hal khusus terjadi pada desa Hutagodang, Sayurmaincat dan Tamiang yang pada awalnya hanya merupakan sebuah huta anak, lalu berkembang menjadi huta induk. Salah satu huta anak dari desa Hutagodang adalah Habincaran yang pada waktu dulu dibuka oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari Hutagodang. Setiap perangkat adat yang ada di huta induk seperti kahanggi, mora dan anak boru sama kedudukannya dengan yang ada di huta anak. Perbedaannya hanya pada pelaksanaan adat. Huta anak tidak dapat memutuskan sendiri perkara atau segala hal yang berhubungan dengan adat tanpa persetujuan dari raja Panusunan yang ada di huta induk. Sayurmaincat adalah huta anak dari Singengu dan Tamiang pada awalnya merupakan huta anak dari desa Manambin. Pada perkembangan selanjutnya, Sayurmaincat dan Tamiang berkembang menjadi huta induk.
Eksplorasi tentang Manambin (hal.6-11) belum cukup mengungkap tentang Manambin yang sebenarnya. Eksplorasi hanya mengilustrasikan posisi bangunan utama dan pola letak hunian-hunian lainnya yang membentuk lingkaran imajiner. Pola estimasi ini telah banyak menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Mandailing, karena menurut mereka pola permukiman mereka sama sekali tidak membentuk lingkaran imajiner seperti yang diilustrasikan oleh tim peneliti di buku tersebut. Namun demikian, ada fenomena menarik mengenai letak bangunan utama dan halamannya yang merupakan cikal bakal untuk berdirinya sebuah huta di Mandailing Julu. Menurut sejarahnya, fenomena lobu di Mandailing memiliki dua makna yang berbeda di dalam pemikiran masyarakat Mandailing. Pengertian pertama, lobu merupakan suatu lahan yang pertama kali dibuka dan ditemukan oleh pendiri kampung, ketika ia menemukan sebuah daerah baru di dekat sungai yang akan dikembangkan menjadi huta. Daerah yang dapat dijadikan sebagai lahan perkampungan merupakan tempat di dekat sungai yang disebut tapian na so marlinta, jalangan na so marongit yang artinya tapian atau tempat yang tidak didiami lintah, padang rumput yang tidak didiami nyamuk. Jelasnya, tempat tersebut merupakan tempat yang nyaman, sehat tanpa gangguan penyakit.
Lobu yang baru dibuka tersebut dijadikan ladang yang hanya dikunjungi sewaktu-waktu dan dibangun beberapa Sopo Ladang untuk tempat berteduh. Setelah kegiatan berladang dan bersawah selesai, maka penduduk tersebut meninggalkan lobu dan kembali ke kampung asalnya. Hal ini berlangsung terus sampai kampung asal mereka telah padat dan dibutuhkan daerah untuk kampung baru. Pada tahap ini, lobu mulai dikembangkan menjadi banjar dan pagaran. Ketika menjadi huta, maka daerah lobu yang pada awalnya dimanfaatkan sebagai ladang sementara dijadikan lokasi Alaman Bolak dengan bangunan-bangunannya.
Pengertian lobu yang kedua adalah daerah perkampungan asal yang telah berubah menjadi lahan pemakaman. Jika dilihat pengertian lobu yang kedua ini, maka tidak mungkin lobu tersebut menjadi tempat dibukanya Alaman Bolak, karena lahan pemakaman tidak sesuai bagi perletakan Alaman Bolak sebagai pusat aktivitas adat di huta. Pengertian lobu yang pertama lebih relevan untuk menjawab fenomena lokasi bangunan utama, Bagas Godang, Sopo Godang, Sopo Eme dan Alaman Bolak dalam huta yang seolah-olah telah lebih dulu di rencanakan sebelumnya. Pengertian lobu tersebut, selain berada pada lokasi yang berdekatan dengan sungai juga dimanfaatkan sebagai ladang yang merupakan tempat aktivitas kerja manusia untuk tetap melanjutkan kehidupannya.
Tentang pola linier dari kelompok-kelompok rumah yang dijelaskan dalam buku tersebut, sekali lagi tim ini menyimpulkan hanya berdasarkan pandangan pada saat ini berdasarkan penampakan visual semata, padahal terdapat proses didalamnya yang belum terekspos lebih dalam. Berdasarkan penelitian yang telah reviewer lakukan, jika ditinjau dari sejarahnya, pola rumah-rumah yang ada juga dapat diklasifikasikan berdasarkan status huta-nya. Selain itu, bangunan utama dan bangunan biasa juga memiliki pola tersendiri yang berbeda. Pola tata-bangunan biasa di huta induk terdiri atas 2 pola umum, yaitu (a) pola berhadapan dan berlapis, yaitu pola awal yang terbentuk ketika huta pertama kali dibuka. Pola ini juga merupakan pola dasar yang dapat membentuk pola-pola baru melalui pengulangan atau variasinya, sehingga pola baru yang terbentuk tidak mengubah pola lama. (b) pola berhadapan dan membelakangi, yaitu pola yang terbentuk karena kebutuhan tempat hunian baru dengan cara mengulangi pola awal yang sudah ada. Bangunan-bangunan utama membentuk pola tersendiri yang sangat berkaitan dengan posisi Alaman Bolak, yaitu Alaman Bolak di antara bangunan-bangunan utama yang saling berhadapan dan Alaman Bolak sebagai perangkai bangunan-bangunan utama yang berdampingan.
Pola tata-bangunan biasa di huta anak juga dibedakan antara bangunan biasa dan bangunan utama. Bangunan-bangunan biasa tersebut membentuk dua pola yaitu pola hunian yang saling berhadapan dan membentuk lapisan-lapisan. Lapisan yang terbentuk dari pola tersebut dapat berkembang dan membentuk pola baru yaitu pola berhadapan dan berlapis, pola searah dan berlapis serta pola berhadapan dan membelakangi, penjelasannya adalah sebagai berikut : (a) pola berhadapan dan berlapis, yaitu pola awal di lingkungan permukiman Mandailing yang telah ada sejak dulu ketika huta pertama kali dibuka. Pola ini juga merupakan pola dasar yang dapat membentuk pola-pola baru melalui pengulangan atau variasinya, sehingga pola baru yang terbentuk tidak mengubah pola lama; (b) pola searah dan berlapis, yaitu pola yang terbentuk karena kebutuhan hunian baru yang posisinya searah dengan bangunan yang lebih dulu ada didepannya. Terbentuknya hunian baru di daerah bagian belakang hunian yang awal dibangun menyebabkan terbentuknya lapisan-lapisan. Pola berlapis tersebut terbentuk dengan pertimbangan-pertimbangan kondisi alam setempat; (c) pola berhadapan dan membelakangi, yaitu pola yang terbentuk dari perulangan pola awal yang sudah ada sebelumnya. Bangunan-bangunan utama di desa-desa berkategori huta anak membentuk pola yang berkaitan dengan posisi Alaman Bolak yaitu Alaman Bolak di antara bangunan-bangunan utama yang saling berhadapan dan Alaman Bolak sebagai perangkai bangunan-bangunan utama yang berdampingan.
Hutagodang, seperti yang telah dijelaskan, sebelumnya merupakan sebuah huta anak dari Manambin. Hutagodang cepat berkembang menjadi huta induk karena mampu melewati semua syarat bagi berdirinya sebuah huta adat di Mandailing Julu
Ada hal menarik yang dijelaskan pada buku tersebut tentang Hutagodang, yaitu bahwa Hutagodang tidak mengenal adanya pagaran (hal-14). Hutagodang pada awalnya berada di perbukitan dan dengan alasan agar dekat dengan sungai, maka Hutagodang turun gunung dan dibangun di dekat sungai, di lokasinya yang sekarang. Sebenarnya, bukan tidak mengenal pagaran, tetapi Hutagodang justru tetap melalui proses seperti skema di atas di tempat asalnya, di atas bukit. Tim peneliti tidak membedakan antara yang awal dan yang baru, yang berubah dan yang tetap, sehingga muncullah justifikasi tentang tidak adanya pagaran. Perpindahan tersebut justru terjadi dalam rangka menyamakan posisi Hutagodang dengan huta-huta lainnya di Mandailing Julu, yaitu dekat dengan sungai. Menurut sejarahnya, perpindahan dilakukan karena lokasi awalnya yang terletak di atas bukit/ pegunungan telah padat dan sulit didapat air bersih. Selain itu, beberapa informasi aktual mengatakan bahwa, Manambin pun pada awalnya juga berada di pegunungan, tetapi karena sulitnya mendapatkan air di daerah pegunungan di Mandailing, maka Manambin pun pindah ke lokasinya yang sekarang, dekat dengan sumber air, yaitu sungai. Artinya, setiap kampung di Mandalailing Julu selalu mengalami proses pembentukan huta seperti skema di atas.
Mengenai Alaman Bolak, bangunan utama yang ada di dalamnya seperti Bagas Godang, Sopo Godang dan Sopo Eme serta pola tatanan massa bangunan lainnya di Hutagodang (hal.16-22), tidak jauh berbeda dengan yang terdapat di Manambin. Pada dasarnya rumah-rumah saling berhadapan, berlapis dan membentuk kelompok-kelompok.
Kotanopan, secara administrasi merupakan pusat atau ibukota Mandailing Julu. Oleh karena itu, bangunan-bangunan yang terdapat di wilayah ini lebih modern dan beragam fungsinya. Gaya bangunan-bangunan yang terdapat di Kotanopan juga berbeda dengan yang terdapat di Manambin dan Hutagodang, karena lebih didominasi oleh arsitektur Kolonial Belanda. Oleh karena itu, penyandingan lebih tepat dilakukan antara Manambin dan Hutagodang sebagai sebuah huta yang telah melalui berbagai proses panjang sehingga dapat terus eksis sampai sekarang (hal. 27, hal. 47-51).
Jika dibandingkan dengan arsitektur Batak lainnya, seperti Toba, Karo dan Simalungun, arsitektur Mandailing memiliki lebih sedikit bangunan tradisional. Mandailing hanya memiliki 3 bangunan utama, sedangkan Toba, Karo dan Simalungun masing-masing memiliki 5 bangunan utama. Selain itu, desain Arsitektur Mandailing juga terlihat lebih sederhana dibandingkan lainnya. Hal ini semakin menegaskan perbedaan Mandailing dengan Batak Toba, Karo dan Simalungun (hal.52-58).
Selain isu strategi konservasi yang diusung oleh tim ini (hal.60-64), sebenarnya terdapat paparan menarik tentang perbedaan-perbedaan dan persamaan-persamaan antara Manambin dan Hutagodang. Namun, jika dikaji lebih mendalam, perbedaannya hampir tidak ada, karena perbedaan tersebut terjadi karena proses dari sesuatu yang ada menjadi tidak ada. Ini mengindikasikan bahwa perbedaan tersebut tidak signifikan untuk dianggap sebagai sebuah perbedaan. Justru yang tertangkap secara visual adalah persamaan-persamaan di antara keduanya. Perbedaan yang berkaitan dengan rumah-rumahnya (dalam hal ini ruang-ruang di dalam, jenis atap, jumlah tiang serta ornamen) lebih mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya berbeda, untuk menunjukkan prestise atau kedudukan orang-orang tertentu di dalam huta, dan hal ini wajar ditemukan dalam struktur tatanan tradisional di daerah manapun. Raja tentu harus berbeda dengan orang kebanyakan, baik dalam hal desain huniannya, sistem ruang di dalamnya, ornamen yang digunakan di rumahnya serta jenis atap yang digunakan. Oleh karena itu perbedaan yang ditinjau pada pembahasan ini lebih mengarah ke hal-hal yang lebih umum.
Ada sedikit perbedaan antara Manambin dan Hutagodang yang sebenarnya tidak mendasar tetapi hanya merupakan sesuatu yang berubah karena adanya proses. Apapun berbedaan yang terlihat dari keduanya menunjukkan bahwa terdapat satu alasan paling mendasar yang menyebabkan terjadinya bentukan-bentukan arsitektur yang sedemikian di Manambin dan Hutagodang, yaitu ketergantungan terhadap sumber air, yaitu sungai. Sungai menjadi alasan bagi dua huta tersebut untuk turun gunung dan mengembangkan permukimannya. Sungai juga menjadi sumber orientasi bagi masyarakat di dalam huta dalam melakukan segala aktifitasnya, dan hal ini dipertegas dengan penggunaan istilah jae (hilir)-julu(hulu). Sungai juga menjadi pedoman bagi mereka dalam mengembangkan permukiman dan fasilitasnya, yaitu linier pada garis sungai, di posisi manapun sungai tersebut berada.
PENUTUP
Arsitektur Mandailing Julu pada dasarnya dibentuk oleh adat dan budaya masyarakatnya. Permukiman sebagai salah satu bentuk arsitektur dan merupakan lingkungan buatan mempunyai bermacam-macam kegunaan, seperti melindungi manusia dan kegiatan-kegiatannya serta harta miliknya dari musuh-musuh berupa manusia dan hewan, dan dari kekuatan adikodrati. Fungsi lain juga untuk membuat tempat, menciptakan suatu kawasan aman, menekankan identitas sosial dan menunjukkan status dan sebagainya. Dengan demikian, bentuk arsitektur dapat dipahami dengan sebaik-baiknya, jika manusia memilih pandangan yang lebih luas dan meninjau faktor-faktor sosial budaya, dalam arti seluas-luasnya, lebih penting dari iklim, teknologi, bahan-bahan dan ekonomi. Lingkungan buatan menyampaikan makna-makna, memberikan kerangka ruang dan waktu untuk tindakan manusia dan perilaku yang tepat.
Bentuk dan susunan yang terwujud sebagai suatu fenomena fisik memberikan peluang untuk menjadi beragam, sebagai akibat respon masyarakat dengan latar lingkungan fisik, sosial, kultural dan ekonomi yang beragam pula. Terbentuknya lingkungan permukiman dan bentuk arsitektur lainnya dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktifitas manusia serta pengaruh seting atau rona lingkungan baik yang bersifat fisik maupun non-fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya.
Untuk dapat memahami arsitektur sebagai fenomena fisik tampaknya akan menjadi lebih jelas jika karakter kultur, pandangan dan tata nilai masyarakat setempat dapat digali dan ditemukan. Perbedaan atau persamaan suatu kultur dengan kultur lainnya dapat dinilai dan ditandai berdasarkan unsur-unsur universal dalam sistem kebudayaan yang terangkum dalam 3 wujud, yaitu :
1.Cultural System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan peraturan yang bersifat abstrak.
2.Social System, yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas kelakuan yang berpola dari manusia dalam masyarakat.
3.Physical System, yaitu wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia yang mempunyai sifat paling kongkrit, dapat diraba, diobservasi dan didokumentasikan atau disebut juga kebudayaan fisik.
Kebudayaan ideal mengatur pola aktifitas manusia yang pada akhirnya akan menghasilkan kebudayaan fisik dan sebaliknya kebudayaan fisik akan membentuk lingkungan tertentu yang akan mempengaruhi pola aktivitas manusia dan cara berfikirnya. Ketiga wujud kebudayaan tersebut memiliki urutan yang makin mewujud pada bentuk kongkrit dan teraga dimulai dari Cultural System menuju Social System dan akhirnya adalah Physical System.
Dengan demikian, sebagai wujud fisik, kebudayaan merupakan hasil dari kompleks gagasan yang tercermin dalam pola aktivitas masyarakatnya. Budaya merupakan faktor utama dalam proses terjadinya bentuk, sedangkan faktor lain seperti iklim, letak dan kondisi geografis, politik serta ekonomi merupakan faktor kedua.
Perubahan budaya berpengaruh terhadap rumah dan lingkungannya. Bentuk perubahan tidak berlangsung secara spontan dan menyeluruh tetapi tergantung pada kedudukan elemen rumah dan lingkungannya dalam sistem budaya (sebagai core atau peripheral elemen). Hal ini mengakibatkan ada elemen-elemen yang tidak berubah dan ada elemen yang berubah mengikuti perkembangan jaman. Sesuai dengan kondisinya, masyarakat tidak pernah diam, tetapi akan selalu berubah dan berkembang. Sesuatu yang dihasilkan manusia terbentuk karena latar belakang sosial budaya atau kondisi sosial manusianya. Tradisi perubahan yang terjadi selama ini karena masyarakat tertarik pada kesinambungan dan keotentikan, sehingga manusia cenderung mengabaikan perubahan dan ambiguitas. Sementara itu, adanya proses kesinambungan dan perubahan (continuity and change) adalah untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan baru dan kepentingan lama. Pada hakekatnya, kebudayaan merupakan reaksi umum terhadap perubahan kondisi kehidupan manusia dalam suatu proses pembaharuan terus menerus terhadap tradisi yang memungkinkan kondisi kehidupan manusia menjadi lebih baik.
Asitektur tidak hanya sekedar penyediaan wadah bagi aktivitas manusia tetapi juga menciptakan ruang-ruang yang memiliki makna sosial dan simbolik. Lingkungan hunian sebagai salah satu bentuk ruang arsitektur biasanya mencerminkan ide dan gaya hidup masyarakat penciptanya. Masyarakat menterjemahkan ruang-ruang yang berkaitan dengan fungsi publik dan ritual ke dalam lingkungan huniannya dengan cara yang berbeda dan membentuk variasi-variasi tertentu sehingga terbentuk pola yang beragam.
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa semua gejala arsitektural yang terjadi di Manambin dan Hutagodang selalu ditandai dengan adanya unsur-unsur yang tetap dan berubah, yang berkesinambungan dan yang mengalami perubahan sebagai akibat dari upaya untuk menciptakan keseimbangan lingkungan. Elemen-elemen fisik yang tetap adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan aktifitas publik, seperti Alaman Bolak, kolam dan beberapa fasilitas huta, seperti area perkebunan, persawahan, mesjid dan musholla, makam serta sungai, sedangkan elemen-elemen fisik yang mengalami perubahan adalah elemen-elemen yang berkaitan dengan aktifitas semipublik dan privat seperti, bangunan adat dan rumah-rumah biasa, pola tata-bangunan. Elemen-elemen non-fisik yang tetap adalah perangkat adat dan semua yang terkandung didalamnya, sedangkan elemen-elemen non-fisik yang berubah adalah tipologi huta.
Semua fenomena tersebut mengindikasikan adanya core (inti) dari arsitektur Mandailing Julu, baik secara fisik maupun non-fisik, dimana core tersebut merupakan elemen paling menentukan dalam terbentuknya tradisi bermukim di daerah ini. Core fisik tersebut adalah Alaman Bolak dan Sungai sedangkan core non-fisik adalah perangkat adat dengan semua bagian didalamnya. Kedua core ini senantiasa beriringan, tidak dapat dilepaskan satu dengan lainnya, membentuk satu kesatuan yang utuh.
Sumber:
http://arsitektursiana.blogspot.com/2009/12/review-buku-mandailing-architecture-tim.html
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment