Wednesday, June 13, 2012

“Jong Bataks Bond” dan Nasionalisme Sanusi Pane


“Jong Bataks Bond” dan Nasionalisme Sanusi Pane

“Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” Demikianlah pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.”

Pernyataan itu saya kutip dari Nationalisme, Jong Batak, (Januari, 1926). Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera.

Sebagai pulau yang memiliki keanekaragaman bangsa, tentu hanya persatuanlah yang bisa memajukan Sumatera. Gagasan mendirikan Jong Bataks Bond sebenarnya adalah salah satu upaya untuk mewujudkan persatuan yang bersifat massif di kalangan orang-oarang Sumatera. Sebab bagaimana pun baik bagi orang-orang Minangkabau, Batak, Aceh dan sebagainya, Sumatera adalah tanah tumpah. Hal ini tercermin dalam sajak Mohammad Jamin (1920) yang berumbul “Tanah Air”:

Pada batasan, Bukit barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagi pun sawah, sungai yang permai;
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya, tumpah darahku

Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung, satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya jahat bumi kedunia
– firdaus melayu di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatera namanya, yang kujunjungi

Pada batasan, bukit barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudera Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-andai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatera,
Harumkan nama, selatan utara!”

Sajak yang kemudian selalu dinyanyikan oleh para pelajar Sumatera itu menggambarkan suatu spirit dalam menjunjung tanah kelahiran. Teeuw I 1967: 9-13, 20-22), sebagaimana dikutip oleh Hans van Miert dalam bukunya Dengan Semangat Berkobar (2003), mengatakan bahwa dalam sajak itu – dan dalam banyak sajak lain yang diciptakannya di masa itu – mengungkapkan perasaan banyak pelajar Sumatera yang seperti dia menyeberangi selat Sunda untuk meneruskan pendidikan di Jawa. Ketika mereka berada di lingkungan yang asing di kota Batavia, Buitonzorg atau kota yang lain di Jawa, mereka pun mengangankan tanah kelahirannya, lalu mengangankan keindahan alam yang melimpah di Andalas, Firdaus Melayu atau Sorga Melayu yang jauh di mata tapi dekat di hati. Nasion mereka itu tidak salah lagi adalah nasion Sumatera.

Dengan demikian, dalam kaitannya dengan gagasan untuk mendirikan suatu perhimpunan harus disadari sebagai bagian dari komitmen kebangsaan dalam maknanya yang luas. Karena bagaimana pun melalui perhimpunan itu, semangat, aspirasi, dan gagasan pemuda-pemuda dapat terwadahi. Hanya pemuda-pemuda dengan semangat juang penuh motivasi yang tinggi tentunya yang mau mengabdikan hidup dan perjuangannya untuk bangsa.

Dan perhimpunan Jong Bataks Bond bukanlah “perhimpunan tandingan” terhadap JSB. Walaupun banyak yang mengatakan bahwa disamping sentimen nasionalis, motif-motif duniawi lebih memainkan peranan dalam usha mendirikan perhimpunan yang khas Batak, yaitu jengkel dengan keadaan Jong Sumateranen Bond yang selama beberapa tahun berada dalam keadaan limbung, dan menolak dominasi Minangkabau. Ada “suasana menekan” di dalam perhimpunan itu, ada “sikap menahan diri” antara sesama anggota klub (Aminoedin Pohan, JB, 1926).

Namun, sebagaimana yang dikatakan Sanusi pane, berdirinya perhimpunan pemuda-pemuda Batak lebih pada tumbuhnya persatuan yang lebih besar di antara orang-orang Sumatera. “Sekali memilih dalil bahwa kekuatan suatu bangsa sebagian terdapat dalam kebudayaannya maka dengan berpikir secara konsekuen kami telah sampai kepada kesimpulan bahwa suatu Jong Bataks Bond mempunyai hak untuk berdiri.” Demikianlah Sanusi Pane menegaskan.

Selanjutnya, ia tak lupa mengingatkan kepada pemuda-pemuda Batak ihwal komitmen dasar dalam sebuah perhimpunan: “Jika kita ingin agar perhimpunan ini berumur panjang, maka jangan sekali-kali kita memasuki perhimpunan ini dengan pertanyaan keuntungan apakah yang akan kita peroleh, melainkan dengan pertanyaan apakah yang dapat kita berikan. Janganlah kepentingan kita sendiri menjadi pendorong kita untuk menjadi anggota, melainkan rasa cinta terhadap rakyat Batak, yang menantikan tuan-tuan sebagai anak-anaknya dan cinta terhadap cita-cita Pemuda Sumatera.”

Pesan sederhana tapi sarat makna itu memberikian suatu bekal yang cukup berharga agar perhimpunan yang kelak akan menjadi wadah persatuan pemuda-pemuda Batak tidak sia-sia.

Tentang Nasionalisme

Kalau nasionalisme kita pahami sebagai kecintaan kepada bangsa atau Tanah Air, maka internasionalisme mempunyai titik jangkauan yang lebih luas. Seorang internasionalis tidak lagi mepersoalkan identitas bangsa atau negara apa ketika melakukan kerja-kerja kemanusiaan. Semuanya sama, sederajat, dan berhak mendapatkan curahan kasih sayang sebagai sesama manusia.

“Seorang internasionalisme,” kata Sanusi Pane dalam Nationalisme, Jong Batak, (Januari, 1926), “tidak usah berhenti bekerja buat negaranya, ya, bahkan cita-citanya itu merupakan cambuk untuk bekerja terus tanpa lelah bagi tanah tumpah darahnya. Akan tetapi pekerjaannya tidak semata-mata dibaktikannya kepada bangsanya melainkan kepada kemanusiaan pada umumnya.”

Jangkauan dari internasionalisme, dengan demikian, jelas lebih luas karena semangat kemanusiaanlah yang sejatinya mendorong nuraninya untuk berbakti. Sebab semangat kemanusiaan berada di atas segala. Dalam konteks inilah Sanusi Pane mengingatkan, utamanya kepada pemuda-pemuda Batak, bahwa yang mendorong internasionalisme bukanlah kebencian, melainkan cinta, yang tidak mengenal batas materi, ia bekerja untuk bangsanya, demi kepentingan manusia seluruhnya, oleh karena bangsa adalah sebagian dari seluruh manusia.

Dengan begitu gagasan internasionalisme tidak menutup pintu bagi nasionalisme. Banyak orang mengatakan bahwa antara nasionalisme dan internasionalisme tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan satu asumsi : keduanya terpisah. Nasionalisme bagaimana pun adalah paham yang mengajarkan kesejatian, bagaimana kita mampu mencurahkan segala daya demi Tanah Air tercinta. Seorang nasionalis tidak tertutup kemungkinan menjadi penganut internasionalisme atau sebaliknya oleh karena rasa cinta terhadap manusia dan kemanusiaan. Jadi, atas dasar kemanusiaanlah yang mendorong nurani setiap manusia untuk saling berbagi, tolong-menolong, hingga terjalin persatuan yang meniscayakan kedamaian.

Di Indonesia, kita mendapatai kenyataan yang kurang menggembirakan, yakni ihwal nasionalisme dan internasionalisme yang diasumsikan sebagai dua paham yang tidak bisa didamping-dampingkan atau disatupadukan menjadi satu kekuatan. Seorang internasionalisme yang mengimpikan perdamaian di dunia, misalnya, seringkali tidak mendapatkan apresiasi dan bahkan dianggap sebagai utopian belaka oleh karena gagasannya dianggap tidak sejalan atau bahkan mungkin keliru.

Dalam konteks ini menarik apa yang digambarkan oleh Sanusi Pane: “Dalalam bergeloranya ombak gagasan timbul pikiran tentang perdamaian dunia bagaikan sebuah bintang pada pekatnya langit hitam di cakrawala, sambil mendendangkan lagu bagi orang-orang yang haus akan pembebasan dari lumpur hidup yang melandasi segala tipu daya politik, dengan kata-kata sebagai berikut: Pilihlah saya yang sedang kemilau di atas segala orang besar sedunia sebagai penunjuk jalanmu! Ikutilah saya ke ruangan penuh berisikan kebahagiaan rohani, ke ruang-ruang tanpa batas, penuh dengan paduan suara menggelora dengan riangnya! Saya adalah utusan Sang Cahaya nan Remaja Kembali, saya adalah nada Symphoni yang mengelu-elukan tuan dari Kehidupan Abadi, Mari, kemari, ikutilah saya!”

Namun lagu dari Dunia Kemilau itu, demikian menurut Sanusi Pane, hanya separuh dipahami orang. Mereka yang membangunkan cinta internasionalisme dari deburan ombak di masa itu, masih dinamakan kaum utopia, tukang mimpi yang tak berdaya yang hanya mampu melagukan lagu tentang indahnya bulan dan damianya kelap-kelipnya bintang di langit. Seorang internasionalisme tak lebih hanya dianggap sebagai penghayal akan idealisme atau sesuatu yang diimpikan.

Bagaimana mungkin kita bisa menerima dengan asumsi ini kalau pada kenyataannya internasionalisme mempunyai visi kemanusiaan yang cukup mendasar, yakni cinta dan pengabdian. Jelas tak ada yang bertentangan, antara nasionalisme dan internasionalisme saling mendukung. Bahkan kedua-duanya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Kalau saya berpendapat, seorang sejati adalah ia yang mempunyai spirit nasionalisme sekaligus internasionalisme. Nasionalisme tanpa internasionalisme hanya akan memunculkan pandangan yang sempit (nasionalisme ekslusif). Memang pada satu sisi hal semacam ini sangat positif karena meniscayakan adanya suatu kekuatan, yakni kecintaan yang maha dahsyat terhadap bangsa dan Tanah Airnya. Tetapi pada sisi yang lain, nasionalisme sempit atau ekslusif akan mengobarkan api egoisme, yakni memandang bangsa lain dengan amat rendah.

Karena itu, nasionalisme harus selalu disandingkan dengan internasionalisme agar memunculkan suatu pandangan yang terbuka. Internasionalisme meniscayakan adanya penghormatan dan penghargaan terhadap manusia lain terlepas ia berasal dari bangsa dan negara mana.


Sumber:
http://jejakpengelana.blogspot.com/2008/03/jong-bataks-bond-dan-nasionalisme_15.html

No comments:

Post a Comment