Tuesday, June 12, 2012

Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita


Hutan di Tanah Karo dan Sikap Kita

            Sumatera Utara terancam kriris air bersih 5-7 tahun mendatang akibat kerusakan hutan, pengambilan humus hutan dan pencemaran air sepanjang daerah aliran sungai (DAS) dengan kondisi sangat buruk dari hulu hingga hilir.

            Jika tak segera ditanggulangi dengan system manajemen pengelolaan air bersih akan melanda Sumut pada 2015 tak akan terelakkan.

            “Kriris air bersih tersebut bukan hanya dialami masyarakat pedesaan tapi juga warga perkotaan,” ungkap pemerhati lingkungan, Ir Jaya Arjuna MSc menjawab pers di Medan, Kamis (14/2).

Di sela-sela seminar “Penanggulangan Krisis Air Bersih” yang digelar Forum Komunikasi Masyarakat Pelanggan Air (FKPA) di Hotel Madani, dia melihat kerusakan hutan sebagai fungsi tatanan air san humusnya sudah habis.

Bahkan jika saja curah hujan mencapai 110 meter kubik, Medan terancam banjir. Bktinya Juli lalu tercatat 10 kabupaten/kota terendam banjir. Soalnya kerusakan hutan di hulu sungai tak mampu dicegah.

“Saat ini harus kita pikirkan ketersediaan air bersih dan ancaman banjir. Justru itu semua pihak yang punya kewenangan dan tanggung jawab dengan ktersediaan air harus memiliki niat baik,” ujar Jaya yang juga menjadi pembicara dalam seminar itu.

Hal senada dilontarkan Jimny Panjaitan dari Dewan Walhi Sumut yang mendapat respon ratusan peserta itu.

Dia mengatkan ancaman terbesar ke depan adalah krisis air akibat kerusakan hutan. Saat ini, katanya, 60% rakyat Indonesia terutama masyarakat desa tidak dpat mengakses air bersih.

Sebagai contoh tumbuh maraknya depot air di mana-mana pertanda mulai terjadi kriris air bersih. “Untuk mendapat air bersih kita harus membeli. Bagaimana jika ke depan air bersih tidak mampu dibeli agi,” kata Jimny.

Publik

Tak heran petani jeruk di Tanah Karo membeli air untuk menyiram tanaman tersebut. Persoalan lain, katanya, PDAM di tanah air bekerja sama dengan pihak swasta mengelola air. Padahal perusahaan daerah ini milik publik untuk mengakses air dan tak menyerahkan ke swasta.

“Ini menggambarkan tanggung jawab megara terhadap pengelolaan air makin kecil sebagai hak fundamental. Kriris air bukan disebabkan kelangkaan air tetapi lebih dari kriris manajemen pengelolaan air,” ucap Jimny.

Pembicara lain Saiful dari Bapedaldasu melukiskan dahulu Sungai Deli airnya begitu jernis merupakan lambang kehidupan masyarakat. Bahkan bisa dilihat kappa VOC. Artinya, sungai tak dikotori. Tapi lihat sekarang, semua dibuang ke sungai.

Dia menyebutkan Indonesia, sebagian besar sumber air bersih dari sungai. Normalnya, total volume air di bumi, 1,4 juta meter kubik, tercatat 97% air laut, 3 % air tawar dan 2 % wujud es.

Hasil penelitian JICA (Japan International Corporation Agency) menyimpulkan status air sungai Deli pada segmen Jalan Sudirman hingga jembatan Labuhan tercemar berat. Tercatat 65% sumber pencemaran domestic dan 35% sumber pencemaran industri.

“Bahkan kondisi terburuk telah terjadi pada sejumlah sungai di Sumut. Akibatnya, kualitas air sungai tersebut semakin menurun,” ungkap Saiful yang mewakili Ketua Bapedaldasu Prof Dr Syamsul Arifin MA.

Menurutnya, pengendalian pencemaran harus dilakukan dengan menajeman tataruang yang benar. Amdal juga untuk pengendalaian pencemaran. Masyarakat juga diingatkan jangan membuang sesuatu dalam sungai.

Sementara itu Boyke dari USAID membacakan tentang pemanfaatan sumber daya air di Sumatera Utara. (Analisa, Jumat 15 Februari 2008 hal 1).

Panitia Pendidikan Relawan Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Kabupaten Karo Sumatera Utara meminta dr Robert Valentino Tarigan SPd sebagai narasumber. Karena kesibukan yang tak dapat dihindari maka beliau menugaskan pada saya (Hidayat Banjar) untuk menyampaikan pokok-pokok pikirannya. Mudah-mudahan saja – meski tak utuh – apa-apa yang dipesankannya pada saya dapat disampaikan pada forum ini.

            Panitia menyajikan tema: “Hutan di Kabupaten Karo dan Tantangan di Masa Depan”. Secara umum sudah sama kita ketahui, hutan di Tanah Karo, telah dibabat oleh para cukong – baik legal maupun ilegal. Karenanya jika tidak ada upaya moratorium serta reboisasi, niscaya ke depan akan semakin parah.

            Padahal, siapa pun tahu, hutan adalah penyangga bumi dari kehancuran. Hutan pun merupakan paru-paru dunia. Kalau air dikatakan sumber kehidupan, hutan dapat dikatakan penyangganya. Mengapa tidak, akar-akar kayu yang ada di hutan berfungsi di samping menyerap juga menyimpan air. Singkatnya, hutan merupakan ‘mesin’ sirkulasi air paling canggih yang tak dapat digantikan dengan apa pun.



Dua Kutub
Membicarakan kelestarian hutan – mau tidak mau – akan berhadapan dengan dua kutub yang saling tarik-menarik kepentingan. Kutub pertama, pembela lingkungan – yang meskipun jadi martir – akan terus berjuang agar satu batang pohon pun jangan ditebang. Sementara, kutub berikutnya adalah pihak (kaum) industrialis.

Dengan seperangkat teknologi maju yang gagah perkasa, langkah kaum industrilialis tegap-tegap dan tak jarangan dengan kekejaman. Jelas saja, kenapa mereka menomorduakan hal lain di luar perhitungan laba rugi. Mereka mengejar pengembalian investasi dan keuntungan yang sebesar-besarnya. Ya, sesungguhnyalah, teknologi maju demikian bersahabat dengan modal, ‘padat modal’ istilahnya.

Ironisnya, janji-janji kemewahan materi bagi yang terlibat di dalamnya, sekonyong-konyong menyihir manusia untuk membabat semena-mena lingkungan hanya demi mengejar janji itu. Teknologi dan invesatasi yang gagah perkasa serta meniupkan janji kepuasan materi telah diagung-agungkan sebagai ‘sang dewata’.

Mengapa tidak, dewasa ini, satu ton kayu log yang belum diolah Rp 5 juta. Satu batang pohon saja, bisa mencapai 10 – 30 ton lebih. Bayangkan, kalau di satu kawasan hutan ada puluhan ribu batang kayu, berapakah uangnya? Sungguh banyak sekali.

Uang, inilah motif dari orang-orang yang terlibat dalam ‘permainan’ kayu, baik legal maupun ilegal. Maka, dengan cara maupun jalan apa pun, hutan  harus dirambah. Karena, hanya di hutanlah bersemayam kayu-kayu besar yang berumur ratusan tahun.



Di Tanah Karo
            Menurut Bujur Sitepu (SIB 14 Agustus 2003), luas hutan di Tanah Karo pada sebelum merdeka 1/3 luas daerah produksi. Tetapi sekarang, luas itu hanya tinggal 1/7 saja. Nah, kalau dibiarkan, tidak mustahil Tanah Karo akan gundul dan Medan pun akan senantiasa mendapat banjir bandang (kiriman) dari Tanah Karo. Ini sudah kita rasakan, pada tahun 2001 Sunggal mengalami kebanjiran yang menewaskan 13 jiwa serta harta yang tak sedikit. Juga banjir-banir lain seperti di Lubuk Pakam, Binjai, Belawan dan lain sebagainya. Mungkin-mungkin – jika tak dicegah – Medan pun akan tenggelam. Mengerikan, ya, sangat mengerikan.

            Tragedi yang sangat dahsyat terjadi di Bahorok hampir 2 November 2003 malam. Mengenang tragedi Bohorok tersebut sesungguhnya adalah membuka catatan buram tentang hutan kita. Tak perlu memang saling menyalahkan, yang penting ke depan semua kita harus introspeksi dan mawas diri. Sebab, bencana tetaplah bernama bencana meskipun dibolak-balik dengan berbagai apologi dan dibungkus kalimat-kalimat manis penuh retorika.

Senin (3/11-2003) sore dr Robert Valentono SPd dan tim, termasuk saya menuju Bahorok yangdi samping memberi bantuan ala kadarnya, juga ingin membuktikan bahwa benar banjir bandang ini adalah akibat perambahan hutan di Gunung Leuser. Diduga keras, banjir ini berasal dari Tanah Karo, Kota Cane dan Langkat. Sebab, tiga kawasan itulah yang paling dekat dan paling mungkin mengirmkan bah ke Bukit Lawang ini. Dan, memang hutan Gunung Leuser di tiga kawasan tersebut telah dibabat oleh perampok kayu.

Saudara-saudara Pemuda Pelindung Hutan & Lingkungan Hidup Tanah Karo, dr Robert mulai terlibat atau melibatkan diri dalam perjuangan menyelematkan hutan yang ada di Tanah Karo berawal dari 17 Agustus 2002. Ketika itu ia  pulang ke Desa Juhar Kecamatan Juhar. Betapa pedih hatinya saat hendak mandi, sungai telah kering. Masyarakat pun terpaksa berkilo-kilo meter mengambil air ke lembah-lembah.

Siapa yang tak sedih melihat kenyatan itu? Ini benar-benar sebuah proses pemiskinan masyarakat Karo. Mengapa tidak, orang Karo tak kan mungkin hidup tanpa hutan. Dengan dirambahnya hutan, pastilah ekosistem terganggu. Padahal, masyarakat Karo mayoritas hidup dengan pertanian.



Banyak Jalan Merusak Hutan

Hadirin yang mulia, dari hasil pengamatan dan survei di lapangan, ada banyak jalan yang menuju areal hutan lindung. Taman Hutan Raya Bukit Barisan dan Kawasan Ekosistem Leuser di Kabupaten Karo, bertujuan hanya untuk merambah hutan secara semena-mena sehingga rusak dan porak-poranda.

Pertama, kerusakan hutan di Lau Gedang yang merupakan daerah segitiga antara Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo, di kaki Gunung Sibayak. Di sini, 1000 hektar hutan dirambah atas rekomendasi DPRD Karo Nomor 172/371/2001 Tanggal 27 April yang ditandatangi oleh Bastanta Surbakti, Wakil Ketua DPRD Karo Periode 1999-2004.

Kedua, kerusakan terjadi di hutan lindung Simpang Doulu, seluas 6 hektar dirambah. Ini pun atas rekomendasi pimpinan DPRD Kabupaten Karo Nomor 174/168/2002 Tanggal 28 Februari 2002 yang ditandatangani oleh Ketua DPRD Karo, Bon Purba.

Ketiga, hutan lindung Sibuaten (Register 3/K) yang terletak di Kecamatan Juhar Kabupaten Karo. Perusakan berawal dari pembukaan jalan antara beberapa desa sesuai Surat Keputusan (SK) Bupati Karo Nomor 522/193/2001 Tanggal 13 Oktober 2001, memberi HPHH seluas 40 hektar, yang merupakan pinjam pakai antara Kanwil Kehutanan Sumatera Utara dengan Bupati Karo Nomor 4/15/II/KUT-5/1989 dan kemudian direvisi dengan surat Nomor 59/79/KUL/672/2000.

Selanjutnya Bupati Karo mengeluarkan surat Nomor 620/0034 Tanggal 30 Desember 2000, Kilang Papan Nangga Lutu milik Acong diberi izin pemanfaatan kayu. Kemudian, dengan surat Tanggal 20 Februari 2001 Nomor 522.21/1252/3-A, memberikan Izin Penebangan Kayu (IPK) atas nama IPKH Nangga Lutu milik Acong.

Di Juhar, jalan dibuat berkelok-kelok ke arah kayu besar, 40 hektar lebih kawasan hutan porak-poranda. Akibatnya, Desa Juhar – kampung Valentino sendiri – jadi kering. Kejadian inilah awalnya, mendorong Valentino untuk peduli hutan.

            Keempat, hutan lindung Deleng Cengkeh, seluas 51 hektar rusak dirambah 57 warga sekitar. Para pelakunya telah dapat diidentifikasi oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Karo, akan tetapi proses hukumnya sama sekali tidak dijalankan. Malahan, dinas kehutanan membuat perdamaian dengan perambah hutan tersebut.

            Kelima, kerusakan hutan di Kuta Kendit berawal dari program Pemkab Karo yang membuka hutan sebagai areal transmigrasi untuk suku terasing yang diprakarsai Dinas Sosial Sumatera Utara. Padahal, kita tahu, tidak ada suku terasing di Kabupaten Karo. Rupanya, ‘suku terasing’ itu adalah orang-orang yang melarikan diri dari Riau karena mencuri kayu, takut rerjerat hukum.

            Dengan alasan pembukaan hutan itulah, hutan Kuta Kendit dirambah. Pada tahun 2004 ada sekitar 120 KK menghuni hutan Kuta Kendit tersebut.        

Karena hutan-hutan yang telah dibuka, tidak habis dikerjakan oleh penduduk tersebut, maka diberikan pula izin kepada PT Praja yang berkantor di Kantor Bupati Kepala Daerah Kabupaten Karo. Dengan demikian Pemkab Karo terlibat dalam masalah ini. Dapat diduga – pemberian izin kepada PT Praja itu – ada udang di balik batu.

            Keenam, kerusakan terjadi akibat jalan tembus Kabupaten Langkat-Karo. Di sini, Pemprovsu ikut pula merambah hutan tanpa izin. Pembukaan jalan antara Desa Kuta Rakyat (Karo) dengan Desa Pamahsimelir (Langkat), membelah hutan lindung dan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL).

            Ketujuh, hutan lindung Siosar yang dirusak oleh PT Kastil milik Sudarto. Kerusakan berawal dari rekomendasi bupati seluas 100 hektar. Yang diusulkan mereka kepda Manteri Kehutanan 2600 hektar. Meski tidak ada izin Menteri Kehutanan, mereka merambah terus, karenanya kerusakan hutan mencapai 600 hektar. Padahal, yang 100 hektar itu pun sebenarnya harus izin Menteri Kehutanan, bukan rekomendasi bupati. Karena, itu adalah hutan konversi, bukan hutan rakyat.

            Valentino dan tim masuk ke Siosar pada 8 Agustus 2003, kawasan tersebut dikawal aparat. Kalau Valentino tidak masuk, boleh jadi hutan di sana sudah habis. Padahal, dua aliran sungai yang menuju Danau Toba, berasal dari sini. Maka, bila hujan deras di Siosar, air Danau Toba akan meluap, membanjiri persawahan serta perladangan masyarakat. Begitu air mereda, terlihatlah sedimentasi pasir yang mengakibatkan kerusakan di sawah dan ladang petani itu. Siapa yang bertangung jawab? Atau kita memang tak peduli dengan saudara-saudara kita?

            Di tengah hutan ini juga telah dibuka jalan tanpa izin Menteri Kehutanan, yang katanya untuk areal agropolitan. Beberapa waktu berselang, Dinas Kehutanan Sumatera Utara, telah menginstruksikan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menghentikan pembukaan hutan tersebut, tetapi tidak diindahkan.

            Kedelapan, Coporate Farming Tambar Malem, dibuka Bupati Karo dengan keluarga dan kerabatnya, seperti istri, anak, ipar dan saudaranya serta Ketua DPRD Karo. Di belakangnya terjadi pencurian kayu. Valentino sudah adukan ke Polres Tanah Karo. Namun, ketika diadukan namanya Anthony Ginting, sementara di BAP namanya berubah menjadi Toni Ginting,

Ketika berdialog dengan Anthony Ginting, ia mengatakan menebang kayu atas perintah Bupati Karo Sinar Peranginangin. Yang paling aneh, Anthony Ginting masuk DPO (Daftar Pencarian Orang). Padahal ia ada di kampungnya ketika itu. Apakah ini yang kita mau.

            Seharusnya, pembukaan corporate farming, mendapat izin dari Menteri Kehutanan, tetapi sama sekali tidak ada. Sebab itu pula, Dinas Kehutanan Sumatera Utara memerintahkan kepada Dinas Kehutanan Kabupaten Karo untuk menutup corporate farming tersebut. Ironisnya, di sini, terjadi kematian pohon-pohon pinus secara meluas, yang diduga akibat disuntik dengan zat kimia tertentu.

Kesembilan, kerusakan hutan juga terjadi di Rimo Bunga di Deleng Leweh. Kerusakan di sini, karena Pemkab Karo membiarkan koloni masyarakat pendatang, mendirikan perkampungan baru di tengah hutan lindung. Padahal hanya 5 KK yang menghuni hutan ini, tetapi perlu dibuat jalan yang mulus. Padahal, di perkampungan lain – karena tidak ada hutannya – jalan-jalan dibiarkan porak-poranda. Kebijakan membiarkan perambahan hutan ini juga kita lihat terjadi di sekitar Kuta Pengkih yang termasuk dalam kawasan Ekosistem Leuser.  Perambahan terakhir terjadi di Desa Pernantin, meski pelakunya sudah ditangkap namun dilepas kembali oleh polisi.

Melihat kondisi alam Tanah Karo yang rusak, Valentino mengimbau agar warga bersatu teguh, membulatkan tekad: lawan siapa pun perambah hutan.

Persoalannya, apakah kita semua siap menghadapi teror: lewat iming-iming uang, jabatan bahkan pistol? Valentino sendiri pada 15 Juli 2003, ditodong Sudarto dengan pistol ke arah perut kanannya di teras Kantor Bupati Karo.

Selanjutnya, penodongan itu diadukan Valentino ke Polres Tanah Karo. Karena kurang mendapat respon, Valentino kembali mengadu ke Poldasu. Karena locus de licty-nya di Tanah Karo, maka pengaduan dilimpahkan kembali ke Polres Tanah Karo. Dalam pada itu Sudarto pun mengadukan Valentino atas dasar pencemaran nama baik. Maka perkara split ini disidangkan bersamaan antara Sudarto sebagai terdakwa dan Valentino sebagai terdakwa.

Perkara pidana Regno: 274/Pid.B/2003/PN Kabanjahe tersebut, mulai disidangkan sekitar September 2003 dan pembacaan vonis 14 April 2004, dengan hasil bebas murni untuk Valentino dan bebas murni pula untuk Sudarto.

Oleh Kejaksaan Negeri Kabanjahe selanjutnya dilakukan kasasi. Putusan Mahkamah Agung bebas murni buat Valentino. Sementara info yang didapatkan, Sudarto divonis satu tahun, tetapi keputusan MA tetang Sudarto tidak jelas juntrungannya. Ketika ditanyakan ke PN Kabanjahe, dikatakan mareka belum menerima putusan MA tersebut. ***



*Pimpinan BT/BS BIMA Medan

dan Direktur LSM Pelindung Bumi


Sumber:
http://pelindungbumimu.com/hutandikaro.html

No comments:

Post a Comment